Nisa berdiri di depan jendela ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar, menembus tirai hujan yang turun dengan deras. Biasanya, suara ritmis tetesan air itu menenangkan hatinya, membantunya mengumpulkan ide-ide untuk buku atau naskah film yang sedang ia kerjakan. Namun malam ini, semua terasa berbeda. Ia memegang tirai dengan tangan yang kurus dan lemah, sementara rambut panjangnya yang kusut jatuh ke bahu, mencerminkan kelelahan yang tak pernah hilang dari wajahnya. Tatapan matanya yang dulu penuh semangat kini redup, seolah terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu.
Di sudut ruangan, buku dan naskah yang belum selesai menumpuk di meja kecil, mencerminkan kesibukan yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Di sisi lain, ada foto keluarga mereka—Nisa, Adi, dan Arya—tersenyum bahagia di sebuah taman, memperlihatkan senyum yang sekarang terasa asing. Ia menghela napas, merasakan beban berat yang semakin menekan. Setiap sudut rumah ini menjadi saksi bisu impian yang perlahan memudar, tergantikan oleh kenyataan pahit yang harus ia hadapi setiap hari. Setiap sudut rumah ini menjadi saksi bisu dari luka yang tak terlihat, tapi selalu terasa. Arya, anak laki-laki mereka yang baru berusia enam tahun, tidur dengan lelap di kamar. Di balik pintu kamarnya, Nisa mendengar dengkur lembutnya, satu-satunya hal yang membuat hatinya tetap hangat. Di saat seperti ini, Nisa sering bertanya-tanya, bagaimana kehidupan mereka jika ia mengambil keputusan yang lain?
“Brak!” Pintu depan terbanting keras, mengejutkan Nisa dari lamunannya. Adi masuk dengan langkah gontai, tubuhnya oleng, disertai bau alkohol yang menyengat. Matanya merah, penuh kemarahan dan kekecewaan yang tak pernah ia sembunyikan. “Nisa! Mana uangku?!” suaranya parau, menggema di seluruh ruangan. Nisa merasakan tenggorokannya tercekat. “A-aku tidak punya, Di,” jawabnya dengan suara lirih. Namun, Adi tidak mau mendengar. Dengan cepat, ia mendekat dan mencengkeram kerah baju Nisa, wajahnya memerah karena marah. “Bohong!” teriaknya, tangan besar dan kasar itu siap melayang.
Nisa berusaha melindungi diri, tapi tubuh Adi terlalu kuat. “Lepasin aku, Di!” rintihnya, suara dan hatinya bergetar. Namun, kali ini, ia menolak untuk diam. Dengan sisa keberanian yang ada, ia berteriak, “Sudah, cukup!” Suaranya tegas, meski matanya berkaca-kaca. “Aku tidak akan membiarkan kamu menyakitiku lagi!”
Adi terkejut sejenak, lalu tertawa sinis. “Berani-beraninya kau melawan aku!” katanya sambil mendorong Nisa hingga terjatuh. Nisa meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar ketakutan. Namun, di dalam hatinya, sebuah tekad bulat telah tertanam. Kali ini, ia tidak akan menyerah.
Dengan sisa tenaga yang ada, Nisa bangkit dan berlari ke kamar Arya, anaknya. Ia memeluk erat tubuh mungil anaknya, air matanya mengalir deras. “Maafkan Mama, ya, Sayang,” gumamnya. “Mama akan membawa kamu ke tempat yang aman.”
Malam itu, Nisa membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Dengan keberanian yang tak terduga, ia memutuskan untuk meninggalkan Adi dan memulai hidup baru bersama Arya.
Nisa meringkuk di sudut dapur, tangannya gemetar menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Bau alkohol masih tercium samar dari kamar tidur, menusuk hidung. Kepalanya terasa berdenyut-denyut seperti drum yang dipukul terus-menerus. Bukan hanya luka lebam di pipinya yang membuatnya sakit, tetapi juga luka batin yang semakin dalam. Setiap kali mengingat tatapan kosong Adi saat kalah judi, dan amarahnya yang meledak-ledak, Nisa merasa seperti tenggelam dalam jurang yang gelap.
Ia ingat betul bagaimana Adi yang dulu, pria yang lembut dan penuh perhatian, berubah drastis setelah terjerat dalam dunia perjudian online. Awalnya, Adi hanya mencoba-coba untuk mengisi waktu luang, namun lambat laun judi menjadi candu yang sulit dilepaskan. Setiap kali kalah, Adi akan menjadi sangat marah dan menyalahkan Nisa atas segala kesialannya. Uang hasil kerja keras Nisa habis terpakai untuk membayar utang judi, dan rumah yang dulu penuh tawa kini menjadi neraka.
Pikirannya melayang pada Arya, anak kecil yang sedang terlelap di kamar. Nisa mengusap air mata yang mengalir deras. Bagaimana ia bisa tega membawa Arya pergi dari rumah ini? Arya sangat menyayangi papanya, meskipun Adi seringkali bersikap kasar padanya. Nisa tidak ingin Arya tumbuh dalam kebencian, tetapi ia juga tidak ingin Arya melihat ibunya terus-menerus disakiti. Dilema ini begitu berat, bagai batu besar yang menindih dadanya. Haruskah ia tetap bertahan demi menjaga keluarga utuh, atau pergi demi keselamatan dan kebahagiaan Arya? Nisa tahu, keputusan yang ia ambil akan menentukan nasib mereka selamanya.
Pagi harinya, setelah memastikan Adi masih tertidur lelap, Nisa berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap wajahnya yang dihiasi memar. Dengan hati yang teguh, ia mengambil napas dalam-dalam dan memandang dirinya sendiri dengan mata yang kini penuh tekad. Di saat itu, ia menyadari bahwa dirinya tidak bisa lagi membiarkan Arya tumbuh dalam bayang-bayang ketakutan dan kekerasan. Jika ia tetap tinggal, Arya mungkin akan belajar menerima perlakuan kasar sebagai sesuatu yang normal. Dengan mantap, Nisa memutuskan untuk pergi.
Ia mengemas barang-barang penting dengan tenang, memastikan tidak ada yang terlewat, dan kemudian membangunkan Arya dengan senyum hangat, berkata dengan lembut, “Kita akan pergi, Nak. Mulai hari ini, kita akan memulai hidup baru.” Keputusan ini menandai awal dari perjalanan baru bagi Nisa dan Arya, sebuah langkah besar menuju kebebasan dan kehidupan yang lebih baik. “Ayo, Sayang, kita harus buru-buru,” bisik Nisa lembut, membangunkan Arya dari tidurnya. Mata bulat Arya mengucek-ngucek. “Kita mau ke mana, Ma?” tanyanya dengan suara serak. Nisa tersenyum lembut, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Kita akan pergi ke tempat yang jauh lebih menyenangkan, Sayang. Nanti kamu akan bertemu dengan Tante Rina, teman Mama. Dia baik banget, pasti suka sama kamu.” Arya mengangguk perlahan, masih terlihat bingung. Ia meraih tangan Nisa dan menggenggamnya erat. Mereka keluar dari rumah, membawa koper kecil dan tas ransel. Udara pagi yang sejuk menerpa wajah mereka, membawa serta aroma tanah basah yang menenangkan.
Dalam perjalanan menuju halte bus, Arya terus bertanya tentang tujuan mereka. “Kenapa kita harus pergi, Ma?” tanyanya lagi. Nisa menghela napas panjang. “Karena Mama ingin kamu bahagia, Sayang. Di tempat yang baru, kita bisa memulai hidup yang lebih baik.” Arya menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Aku akan kangen rumah, Ma.” Nisa memeluk erat tubuh mungil anaknya. “Nanti kalau sudah besar, kamu bisa kembali ke sini, Sayang. Tapi sekarang, yang penting kita aman.”
Saat bus mulai melaju meninggalkan kota, Arya menempelkan wajahnya di jendela kaca. Ia melambaikan tangan ke arah rumah mereka, seolah-olah sedang mengucapkan selamat tinggal. Nisa mengusap lembut rambut anaknya, hatinya dipenuhi dengan rasa haru dan syukur. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidup mereka, sebuah petualangan yang penuh harapan dan cinta. Setelah tiba di rumah Rina, Nisa mencoba menata ulang hidupnya.
“Nisa memeluk erat tubuh mungil Arya. Mereka berdua duduk di sofa kecil di kamar rumah Rina. Cahaya matahari pagi menyinari ruangan, namun Nisa tetap merasa dingin. Ponselnya bergetar tanpa henti, notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Adi memenuhi layar. Arya yang melihat ibunya cemas, menarik ujung baju Nisa. “Mama kenapa, sih?” tanyanya dengan suara polos. Nisa berusaha tersenyum, tetapi air matanya mengalir deras. “Tidak apa-apa, Sayang. Mama hanya sedikit lelah.” Ia mengusap air matanya dan berusaha mengalihkan perhatian Arya. “Mau bermain puzzle, ya?” Namun, Arya menggelengkan kepalanya. “Aku takut, Ma. Papa marah sama kita.” Hati Nisa hancur mendengar kata-kata Arya. Ia memeluk anaknya erat-erat. “Jangan takut, ya. Mama akan selalu bersama kamu.”
Malam harinya, saat Arya sudah tertidur, Nisa kembali duduk di sofa, menatap kosong ke luar jendela. Ponselnya berdering lagi. Ia melihat nama Adi pada layar, lalu memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Ia tahu Adi tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Nisa merasa sangat lelah, baik secara fisik maupun mental. Ia bertanya-tanya, sampai kapan ia harus bersembunyi dan hidup dalam ketakutan?
“Mama, kenapa Papa selalu marah-marah?” tanya Arya suatu sore, matanya berkaca-kaca. Nisa menghela napas panjang. “Karena Papa sedang tidak baik-baik saja, Sayang,” jawabnya lembut, berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Papa kecanduan bermain judi online, dan itu membuatnya sering marah.” “Judi online itu apa, Ma?” tanya Arya lagi, polos. Nisa terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Itu seperti permainan yang menggunakan uang, Sayang. Tapi kalau kalah, orang yang bermain bisa menjadi sedih dan marah.”
Arya mengangguk pelan, masih tampak bingung. “Terus, kenapa Papa marah-marah sama Mama?” Nisa memeluk erat Arya. “Karena Papa menyalahkan Mama atas semua masalahnya. Tapi, Mama akan selalu melindungi kamu, Sayang.”
Nisa tak lagi mampu menahan air mata yang mulai mengalir saat Arya bertanya, tapi tekadnya sudah bulat. Malam itu, setelah Arya tertidur lelap, Nisa duduk di meja dapur dengan telepon di tangannya. Ia menghubungi pengacara yang sudah ia temui diam-diam beberapa minggu terakhir. “Saya sudah siap untuk melangkah maju,” katanya pelan, tapi tegas. “Saya ingin menggugat cerai Adi dan mendapatkan hak asuh untuk Arya. Saya tak bisa membiarkan ini berlanjut.” Suara di seberang telepon terdengar penuh pengertian, mengarahkan Nisa pada langkah-langkah berikutnya. Setelah menutup telepon, Nisa menatap ke arah kamar Arya, menyadari bahwa keputusannya ini adalah demi masa depan mereka berdua. “Mama janji akan melindungi kamu,” bisiknya lirih, seakan berjanji pada dirinya sendiri.
Di ruang sidang, suasana tegang. Adi, dengan wajah congkak, duduk di samping pengacaranya. Saat giliran Nisa bersaksi, ia menatap tajam ke arah Adi. “Saya tidak pernah menyangka pernikahan yang saya impikan akan berakhir seperti ini,” ujarnya, suaranya bergetar. “Suami saya, yang dulu adalah pria yang baik, berubah menjadi sosok yang kejam dan kasar setelah terjerat dalam dunia judi online. Uang hasil kerja keras saya habis terpakai untuk membayar utang-utangnya, dan saya serta anak saya hidup dalam ketakutan.”
Nisa menceritakan semua kekerasan yang dialaminya, dengan detail yang memilukan. Ia juga mengungkapkan bagaimana judi online telah menghancurkan keluarganya. “Judi online tidak hanya merusak finansial keluarga, tetapi juga merusak hubungan emosional kami. Saya mohon kepada Yang Mulia, berikan saya hak asuh atas anak saya, agar ia bisa tumbuh dalam lingkungan yang aman dan jauh dari pengaruh buruk judi.”
Saat Nisa mengakhiri kesaksiannya, suara gemuruh AC di ruang sidang seakan menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Hakim menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca, matanya beralih dari Nisa ke Adi yang wajahnya memerah menahan amarah. Beberapa pengunjung menyeka sudut mata mereka, terharu oleh keberanian Nisa.
Setelah beberapa kali sidang yang menegangkan, akhirnya keputusan jatuh. Hakim mengetuk palu, suaranya memecah keheningan. “Menimbang semua bukti yang ada, pengadilan memutuskan untuk memberikan hak asuh sementara anak kepada Ibu Nisa,” ucap hakim tegas. Nisa merasa seketika beban berat yang selama ini menindih hatinya terangkat. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Begitu keluar ruang siding, ia memeluk Arya erat-erat, merasakan kehangatan tubuh anaknya. “Kita menang, Sayang,” bisik Nisa, suaranya bergetar karena haru. Arya hanya mengangguk, air matanya juga mengalir deras. Rina juga menyambut Nisa dengan pelukan hangatnya. “Sekarang kamu bisa memulai hidup baru, Nisa,” ucap Rina sambil tersenyum.
Beberapa minggu kemudian, Nisa dan Arya sudah pindah ke apartemen sewaan kecil yang nyaman. Cahaya matahari pagi menyinari ruangan, menerobos celah-celah tirai tipis. Arya sedang asyik bermain dengan mainan barunya, sementara Nisa sedang memasak sarapan. Ada Rina juga sedang berkunjung di sana. Aroma masakan memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat dan penuh kasih sayang. Nisa tersenyum menatap Arya yang sedang tertawa riang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar Bahagia.
Namun, rasa aman ini ternyata hanya sementara. Kemenangan awal ini memberi Nisa kepercayaan diri, tetapi ia belum menyadari bahwa Adi tidak akan menyerah begitu saja. Beberapa minggu setelah kemenangan awal itu, Nisa mendapatkan kabar buruk: Adi mengajukan banding dan berhasil menemukan bukti baru yang bisa melemahkan posisi Nisa di pengadilan. Ia menggunakan hubungan yang dimilikinya untuk menekan hakim dan otoritas hukum, serta membuat klaim palsu bahwa Nisa tidak mampu secara finansial dan mental untuk merawat Arya. Mendengar hal ini, Nisa merasa putus asa dan mulai meragukan keputusannya untuk melawan Adi. Ia merasa seolah-olah seluruh perjuangannya sia-sia, dan kini ketakutan terbesarnya adalah kehilangan Arya.
“Nisa, kamu tidak sendirian,” ucap Rina, sahabatnya yang selalu setia, sambil mengusap bahu Nisa. “Aku sudah menghubungimu dengan komunitas perlindungan perempuan. Mereka bisa membantumu.” Nisa menatap Rina dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Rin. Aku merasa lelah dan putus asa.””Aku tahu rasanya, Nis,” sahut Rina. “Tapi kamu harus tetap kuat demi Arya. Komunitas itu bisa memberikan dukungan yang kamu butuhkan.”
Beberapa hari kemudian, Nisa mengikuti pertemuan dengan komunitas tersebut. Ia bertemu dengan wanita-wanita lain yang memiliki pengalaman serupa. Mereka berbagi cerita, saling menguatkan, dan memberikan nasihat. “Nisa, kasusmu ini sangat serius,” ujar salah satu anggota komunitas, seorang advokat perempuan. “Kita bisa bantu kamu mencarikan solusi. Tapi kamu harus bersedia untuk lebih aktif. Kita bisa coba libatkan media untuk menarik perhatian publik.”
Nisa terdiam sejenak, menimbang-nimbang perkataan advokat itu. “Tapi, apa media mau meliput kasus saya?” tanyanya ragu-ragu. “Tentu saja,” jawab advokat itu tegas. “Kasus KDRT seperti ini harus diketahui publik. Dengan begitu, kita bisa menekan pelaku dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban.”Nisa memutuskan untuk mengikuti saran dari komunitas perlindungan perempuan. Dengan bantuan pengacara dan teman-temannya, ia mulai mengumpulkan lebih banyak bukti tentang kekerasan yang dialaminya dan mencari kesaksian dari tetangga dan kenalan yang mengetahui situasi sebenarnya. Ia juga memutuskan untuk tampil di sebuah program televisi yang mengangkat kasus kekerasan dalam rumah tangga, dengan harapan mendapatkan dukungan publik yang lebih luas.
Namun, saat Nisa mulai merasa ada harapan baru, Adi meningkatkan tekanannya. Ia mengirim pesan-pesan ancaman yang lebih intens dan bahkan mencoba menghubungi Arya melalui teman-teman sekolahnya. Nisa terpaksa memperketat keamanan di apartemennya dan merasa semakin tertekan dengan kondisi yang ada. Selain itu, Adi menggunakan kekuatan finansialnya untuk memperpanjang proses hukum dan membuat Nisa kehabisan sumber daya.
Di tengah hiruk pikuk persiapan pindah, Nisa mendengar suara tangis lirih dari kamar Arya. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu dan masuk. Arya sedang duduk di tepi ranjang, memeluk boneka beruang kesayangannya. “Ma, kenapa kita harus pindah?” tanya Arya, suaranya bergetar. Nisa menghela napas panjang. Ia duduk di samping Arya, menariknya ke dalam pelukannya. “Karena Mama ingin kita tinggal di tempat yang aman dan nyaman, Sayang,” jawabnya lembut. “Papa sedang tidak baik-baik saja, dan Mama tidak ingin kamu melihat Papa marah-marah lagi.” Arya terdiam sejenak, kemudian bertanya lagi, “Tapi, aku kan sayang Papa.”
Nisa mengusap lembut rambut Arya. “Mama tahu kamu sayang Papa, Sayang. Tapi, kadang orang dewasa juga bisa membuat kesalahan. Dan kita harus melindungi diri kita dari orang yang menyakiti kita.” Arya menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Aku takut Papa marah sama Mama,” ucapnya lirih. Nisa tersenyum lembut. “Jangan khawatir, Sayang. Mama akan selalu ada untuk menjaga kamu. Kita akan memulai hidup baru yang lebih baik.”
Dengan lembut, Nisa menjelaskan kepada Arya tentang pentingnya menjaga diri sendiri dan menjauhi orang yang berpotensi menyakiti. Meskipun sulit, Nisa berusaha sekuat tenaga untuk membuat Arya merasa aman dan nyaman dalam situasi yang sulit ini. Nisa juga harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya kini dipenuhi oleh ketidakpastian. Meski telah mendapat dukungan dari komunitas dan media, proses hukum yang panjang dan melelahkan membuatnya merasa semakin terisolasi. Ketika Adi berhasil mendapatkan perintah pengadilan untuk sementara waktu mengunjungi Arya, Nisa merasa ketakutan besar akan keselamatan anaknya. Ia harus terus berjuang, tidak hanya di pengadilan, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan emosional dan mentalnya serta memastikan Arya tetap merasa aman dan dicintai.
Dalam menghadapi halangan ini, Nisa belajar, ketahanan dan ketekunan tidak hanya tentang melawan kekerasan secara fisik, tetapi juga menjaga dirinya tetap kuat secara emosional dan mental. Ia semakin yakin bahwa perjuangannya adalah untuk masa depan yang lebih baik bagi Arya, meskipun jalan yang harus ia tempuh masih penuh dengan rintangan yang tidak terduga.
Nisa memutuskan untuk mengikuti saran dari komunitas perlindungan perempuan. Dengan bantuan pengacara dan teman-temannya, ia mulai mengumpulkan lebih banyak bukti tentang kekerasan yang dialaminya dan mencari kesaksian dari tetangga dan kenalan yang mengetahui situasi sebenarnya. Ia juga memutuskan untuk tampil di sebuah program televisi yang mengangkat kasus kekerasan dalam rumah tangga, dengan harapan mendapatkan dukungan publik yang lebih luas.
Namun, saat Nisa mulai merasa ada harapan baru, Adi meningkatkan tekanannya. Suatu malam, ponsel Nisa bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari Adi: “Kamu pikir bisa lari dariku? Aku akan pastikan kamu dan Arya tidak akan pernah hidup tenang.” Nisa menghela napas, mencoba menahan gemetar di tangannya saat ia membaca pesan itu. Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Adi menelepon, tapi Nisa tak mau mengangkatnya. Di pesan suara, suaranya terdengar marah dan mengancam, “Jangan pikir kamu bisa menang di pengadilan. Aku punya uang, dan aku akan habiskan semuanya untuk membuatmu menyesal.”
Tak hanya itu, beberapa hari kemudian, Nisa menerima kabar dari salah satu orang tua teman Arya. “Nisa, maaf mengganggu, tapi Adi tadi mencoba menghubungi Arya lewat anak saya. Dia bilang ada hal penting yang harus dibicarakan. Kamu tahu soal ini?” Suara Nisa tercekat. “Tidak,” jawabnya, berusaha tetap tenang. “Terima kasih sudah memberitahu saya. Saya akan pastikan hal ini tidak terjadi lagi.”
Merasa semakin terancam, Nisa pun terpaksa memperketat keamanan di apartemennya. Ia memasang kamera pengawas di depan pintu. Di tengah tekanan yang semakin berat, Nisa juga harus menghadapi kenyataan bahwa Adi menggunakan kekuatan finansialnya untuk memperpanjang proses hukum. “Kita perlu lebih banyak waktu dan kekuatan,” kata pengacaranya dalam nada prihatin. Nisa hanya bisa mengangguk, merasa semakin tertekan dengan kondisi yang ada. “Saya akan cari cara,” jawabnya pelan, meski dalam hatinya ia tahu tabungannya semakin menipis.
Di tengah tekanan ini, Nisa harus menghadapi tantangan yang lebih besar. Arya mulai merasa tertekan dan bingung dengan situasi yang ada. Ia merindukan papanya meskipun tahu bahwa Adi sering kasar terhadap ibunya. Ketika Arya mulai bertanya mengapa mereka harus menjauh dari papanya, Nisa merasa hatinya hancur. Ia harus menjelaskan situasi yang kompleks ini kepada Arya tanpa membuatnya merasa takut atau bersalah.
Nisa menarik napas dalam-dalam, menghirup udara pagi yang sejuk namun terasa hampa. Cahaya matahari pagi yang biasanya membangkitkan semangat, kini terasa begitu menyengat di matanya. Kehidupan barunya yang seharusnya penuh harapan, kini terasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Suara bising lalu lalang kendaraan di jalan raya seakan menjadi iringan bagi kekhawatiran yang terus menghantui pikirannya.
Meskipun dukungan dari komunitas dan media membanjir, Nisa tetap merasa terisolasi. Setiap kali ada pemberitaan tentang kasusnya, ia merasa seperti sedang diadili kembali di ruang publik. Proses hukum yang panjang dan melelahkan itu terasa seperti jurang yang dalam, siap menelannya kapan saja.
Ketika surat panggilan pengadilan tiba, memberitahukan bahwa Adi telah mendapatkan izin untuk mengunjungi Arya, Nisa merasa jantungnya berdebar kencang. “Tidak mungkin… bagaimana ini bisa terjadi?” gumamnya dengan suara bergetar, surat itu gemetar di tangannya. Bayangan-bayangan buruk menghantui pikirannya. Ia membayangkan bagaimana Adi akan mencoba mempengaruhi Arya, bagaimana tatapan penuh kebencian itu akan kembali menghantui anak kesayangannya.
Nisa menggenggam erat foto keluarga mereka, menatap wajah Arya yang tersenyum ceria dalam foto itu. “Aku harus kuat untukmu, Sayang,” bisiknya pada gambar Arya, seolah berbicara langsung kepadanya. Setiap malam, ia berdoa agar Arya selalu merasa aman dan dicintai, terlepas dari badai kehidupan yang sedang mereka hadapi. “Tolong, berikan aku kekuatan untuk melindunginya,” doanya, diucapkan dengan penuh harap di tengah keheningan malam.
Dalam menghadapi halangan ini, Nisa belajar bahwa ketahanan dan ketekunan tidak hanya tentang melawan kekerasan secara fisik, tetapi juga menjaga dirinya tetap kuat secara emosional dan mental. “Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan kita,” tekad nya bulat, meskipun jalan yang harus ia tempuh masih penuh dengan rintangan yang tidak terduga. Ia semakin yakin bahwa perjuangannya adalah untuk masa depan yang lebih baik bagi Arya, dan ia siap menghadapi apa pun demi itu.
Setelah menghadapi serangkaian tekanan yang tak henti-hentinya dari Adi, termasuk ancaman fisik dan emosional, Nisa merasa dirinya berada di titik terendah. Kehidupan yang ia bayangkan untuk dirinya dan Arya terasa semakin jauh dari jangkauan. Namun, di saat-saat tergelap itu, ponselnya berdering. Suara familiar dari seberang sana membuat Nisa tertegun.
“Mbak Nisa, ini aku, Bu Siti, tetanggamu dulu,” kata suara itu dengan nada hati-hati.
“Bu Siti?” Nisa mengangkat alis, tidak menyangka akan mendengar kabar dari tetangganya dulu itu. “Ada apa, Bu?”
“Saya tahu ini mungkin terlambat, tapi saya… saya siap memberikan kesaksian di pengadilan,” ujar Bu Siti, suaranya terdengar tegas meski ada getarannya. “Saya tidak bisa diam saja lagi melihat Mbak Nisa terus menderita. Saya akan ceritakan semuanya, tentang bagaimana Adi memperlakukan Mbak selama ini.”
Mata Nisa berkaca-kaca. “Bu Siti… terima kasih, ini sangat berarti bagi saya.”
Selain itu, dukungan dari komunitas perlindungan perempuan semakin kuat. Pada suatu hari, Nisa menerima panggilan lain dari seorang aktivis yang telah bekerja keras membantunya selama ini. “Nisa, kami sudah mengatur pertemuan dengan pengacara baru. Mereka bersedia menangani kasusmu secara probono, dan kami juga akan meningkatkan perlindungan fisik untukmu dan Arya,” kata aktivis itu dengan nada meyakinkan. Nisa tersenyum kecil, merasa sedikit lebih ringan. “Terima kasih, Mbak. Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana tanpa kalian.”
Melalui interaksi dengan sesama penyintas yang sudah berhasil keluar dari situasi yang serupa, Nisa mendapatkan inspirasi dan kepercayaan diri yang baru. Saat berbincang dengan seorang perempuan yang sudah berhasil memenangkan kasusnya, Nisa mendengar kata-kata yang menggugah hati.
“Jangan pernah menyerah, Nisa,” kata wanita itu dengan tegas. “Keberanianmu bukan hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk Arya. Tunjukkan padanya apa artinya menjadi kuat.”
Nisa mengangguk, merasakan gelombang keberanian yang perlahan menguat dalam dirinya. “Kamu benar,” jawabnya. “Aku akan lakukan ini, bukan hanya untuk diriku, tapi untuk Arya. Aku tidak akan menyerah. “Dengan kekuatan baru ini, Nisa mengambil langkah-langkah lebih berani. Ia memutuskan untuk melibatkan lebih banyak media untuk mengungkapkan tekanan dan ancaman yang terus ia terima dari Adi. Publikasi ini tidak hanya menarik perhatian publik tetapi juga menempatkan tekanan sosial pada Adi, yang semakin terkucil dalam komunitasnya. Nisa mulai merasa bahwa, meskipun jalannya panjang dan penuh tantangan, ada harapan nyata untuk meraih keadilan.
Akhirnya, hari sidang terakhir tiba. Ini adalah momen penentuan di mana hak asuh Arya akan diputuskan dan apakah Nisa bisa bebas sepenuhnya dari bayang-bayang Adi. Ruang sidang penuh dengan ketegangan, dengan Nisa dan Adi duduk di sisi berlawanan. Pengacara Nisa dengan tegas memaparkan semua bukti, termasuk kesaksian tetangga yang mengungkap kekerasan yang dilakukan Adi secara intens dalam waktu yang panjang.
Saat giliran Adi berbicara, ia mencoba memutarbalikkan situasi dengan menyalahkan Nisa, tetapi kali ini suaranya tidak sekuat dulu. Dukungan publik yang diterima Nisa, ditambah dengan kesaksian-kesaksian kuat, membuat Adi kehilangan pijakan. Di hadapan hakim, Nisa memberikan kesaksian terakhirnya, mengungkapkan dengan hati-hati dan penuh ketegasan tentang penderitaan yang ia alami dan mengapa ia harus melindungi Arya dari siklus kekerasan ini. Ia berbicara dengan ketenangan dan keberanian yang menggerakkan semua orang di ruang sidang.
Setelah mendengarkan semua bukti dan kesaksian, hakim mengambil keputusan yang sangat penting. Hak asuh penuh diberikan kepada Nisa, dan Adi dikenakan pembatasan ketat dalam berhubungan dengan Arya, serta diwajibkan menjalani konseling dan program rehabilitasi sebelum bisa mengajukan permohonan untuk melihat Arya kembali.
Nisa merasakan gelombang emosi yang luar biasa saat hakim mengetukkan palu dan mengumumkan keputusan itu. Suara dentuman palu yang nyaring memenuhi ruang sidang, menggetarkan hati Nisa seperti dentuman genderang kemenangan. Ini bukan hanya kemenangan di ruang sidang, tetapi juga kemenangan pribadi atas rasa takut dan ketidakberdayaan yang selama ini menghantuinya. Kenangan pahit dari malam-malam penuh ketakutan, suara ancaman yang terus menghantuinya, semua perlahan-lahan memudar seperti bayangan di ujung senja. Meskipun perjuangan ini penuh dengan luka, yang masih terasa perih seperti duri yang menancap di kulit, Nisa akhirnya bisa melihat masa depan yang lebih cerah untuk dirinya dan Arya.
Jantungnya berdetak kencang, hampir tenggelam oleh luapan rasa syukur yang mendadak memenuhi dirinya. Begitu keluar ruang siding, ia langsung mencari-cari Arya yang menunggu bersama Rina seperti biasanya. Ia pun langsung menemukan senyum polos Arya yang menghangatkan jiwa. “Mama, kita menang?” tanya Arya dengan mata berbinar, seolah belum sepenuhnya mengerti apa yang baru saja terjadi. “Ya, Sayang, kita menang,” bisik Nisa, suaranya bergetar karena emosi. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin ruang sidang yang kini terasa lebih segar dan membebaskan.
Mereka telah memenangkan pertempuran yang menentukan nasib. Kini mereka siap memulai hidup baru yang lebih damai dan penuh harapan. “Kita akan baik-baik saja, Arya,” ucap Nisa pelan sambil mengelus lembut kepala anaknya. Matahari sore yang mengintip dari balik jendela ruang sidang menyinari wajah Nisa, seolah memberkati awal baru yang mereka nantikan. Angin lembut yang masuk melalui celah pintu mengusap wajahnya, membawa serta janji kehidupan yang lebih tenang dan bahagia.
Setelah keputusan pengadilan yang menguntungkan Nisa, hidupnya mulai memasuki babak baru yang lebih tenang. Ia dan Arya pindah ke kota kecil yang lebih damai, jauh dari bayang-bayang masa lalu yang penuh ketakutan. Di tempat yang baru ini, Nisa menemukan kembali kebahagiaannya, menikmati kebebasan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Nisa mulai bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar swasta, pekerjaan yang selalu ia impikan namun tak pernah berani ia kejar karena situasi rumah tangganya yang dulu. Arya juga mulai bersekolah di tempat baru, dengan teman-teman yang baik dan lingkungan yang aman. Hubungan mereka semakin erat, dan Nisa merasa lega melihat Arya tumbuh dengan ceria tanpa ketakutan yang dulu menyelimuti hidup mereka.
Setiap malam, sebelum tidur, Nisa merenung tentang perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Ia masih kadang-kadang merasakan bayangan ketakutan dari masa lalu, tetapi ia belajar untuk menghadapinya dengan keberanian yang ia bangun selama ini. Nisa juga tetap terlibat dalam komunitas perlindungan perempuan, membantu perempuan lain yang berada dalam situasi yang mirip dengan apa yang pernah ia alami. Melalui pengalamannya sendiri, Nisa menjadi sumber inspirasi dan kekuatan bagi banyak orang.
Suatu malam, ketika mereka duduk bersama di sofa sambil menonton film, Arya menoleh ke ibunya. “Ma, kenapa kita harus pergi dari rumah dulu?” tanyanya pelan, matanya yang polos menatap Nisa penuh rasa ingin tahu.
Nisa menghela napas, menyadari bahwa inilah saatnya berbicara dengan jujur. “Arya, Mama tahu itu susah buat kamu,” jawabnya lembut, merapikan rambut Arya yang jatuh di dahinya. “Tapi Mama harus membuat keputusan yang berat demi kita berdua. Papa dulu sering marah dan menyakiti kita, dan Mama tidak bisa membiarkan itu terus terjadi.” Arya mengangguk pelan, mencoba memahami. “Jadi, kita pindah supaya aman?”
Nisa tersenyum kecil, menahan air mata yang ingin keluar. “Iya, Sayang. Cinta seorang ibu sering kali berarti berani melakukan apa pun untuk melindungi anaknya. Mama ingin kamu tumbuh di tempat yang aman, tempat kita bisa tenang, tidak merasa takut.” Arya merangkul Nisa erat-erat, kepalanya bersandar di dada ibunya. “Aku sayang Mama,” bisiknya. Nisa membalas pelukan itu dengan hangat, merasakan kedekatan yang semakin kuat di antara mereka.
“Mama juga sayang Arya. Kita sudah berusaha bersama, dan sekarang kita ada di tempat yang lebih baik. Kita akan terus berjalan maju, dan Mama janji, kita akan baik-baik saja,” ucap Nisa dengan penuh keyakinan, mencium lembut kening anaknya. Meski Adi masih mencoba untuk menghubungi mereka dari waktu ke waktu, pengadilan dengan tegas menegakkan pembatasan yang telah ditetapkan. Setiap kali Nisa merasa goyah, ia mengingatkan dirinya bahwa ia telah memenangkan pertarungan terbesar dalam hidupnya dan sekarang memiliki kendali penuh atas masa depannya.
Akhirnya, Nisa dan Arya menemukan kedamaian yang mereka cari. Hidup mereka tidak lagi ditentukan oleh rasa takut, tetapi harapan dan cinta. Mereka belajar, kekuatan sejati datang dari keberanian untuk berubah, untuk melindungi orang yang kita cintai, dan untuk terus melangkah maju meskipun rintangan yang dihadapi tampak tidak terkalahkan.
Kreator : Latifah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Langkah untuk Arya
Sorry, comment are closed for this post.