KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Langkahku yang Tertinggal

    Langkahku yang Tertinggal

    BY 10 Sep 2025 Dilihat: 37 kali
    Langkahku yang Tertinggal_alineaku

    1. Pengenalan Tokoh

    Di sebuah rumah sederhana di depan gang Mawar, tinggal sebuah keluarga bahagia walau sudah tidak lengkap. Ada seorang ibu yang sangat sabar, putrinya bernama Shita, seorang siswi cerdas nan rupawan, dan seorang putra yang tak kalah ganteng, yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

    Shita saat ini menduduki kelas 11 di salah satu sekolah negeri di Jakarta Pusat. Shita berhasil masuk sekolah negeri karena kecerdasan yang dimilikinya. Selain jarak sekolah yang tidak jauh dari rumah, bersekolah di sana juga menghemat biaya. Selain tidak perlu membayar SPP, Shita dan adiknya juga merupakan penerima KJP.

    Shita yang cantik dan cerdas banyak disukai kaum adam di sekolahnya, sehingga tak jarang ada saja yang mengajaknya pulang bareng atau mentraktir makan. Namun, sampai saat ini mereka hanya dianggap sebagai teman saja karena tentu saja di hatinya hanya ada Ardana seorang. Ardana adalah seorang siswa kelas 11 dengan jurusan berbeda yang sudah menjalin hubungan sejak kelas 10.

    Ardana selalu perhatian dan setia mengantar jemput Shita ke mana saja, tak terkecuali ke sekolah. Pagi ini, tepatnya di hari Senin, Ardana sudah ada di depan gang rumah Shita karena motornya tidak bisa masuk disebabkan banyak motor yang parkir di depan gang Mawar tersebut. Ardana pun duduk dengan gagahnya di atas motor matic-nya sambil mencoba menghubungi kekasih hatinya. Panggilan pertama tidak ada jawaban, begitupun panggilan yang sudah kesekian kalinya. Dengan tak sabar, Ardana turun dari motornya dan mendatangi rumah pujaan hatinya karena waktu sudah menunjukkan pukul 06.05 WIB.

    Tepat ketika akan mengetuk pintu, ibu Shita membukanya. Dengan takzim, Ardana mencium tangan calon mertuanya. 

    “Assalamualaikum, Bu. Shitanya ada?” tanya Ardana. 

    “Ada, Dana. Silahkan masuk,” ucap si ibu sambil membuka lebar-lebar pintu rumahnya.

    “Baik, terima kasih, Bu,” jawabnya sambil melangkah masuk, tak lupa membuka sepatu sekolahnya.

    “Shita di mana, Bu?” tanya Ardana.

    “Waduh, kemana tuh anak? Jangan-jangan tidur lagi. Tadi dia sudah bangun setelah salat subuh, tapi ibu tidak melihatnya lagi. Coba kamu cek di kamarnya!” perintah ibu Shita dengan suara lembutnya.

    Ardana pun melangkahkan kakinya menuju kamar Shita yang ada di pojok dekat dapur. Dengan lembut, dia memanggil nama Shita. “Shita… Shita… Ayo berangkat, nanti kita terlambat,” ucapnya sambil mengetuk pintu kamar gadis itu. Namun, tidak ada jawaban.

    Ardana pun mencoba mendorong pintu kamar Shita yang kebetulan tidak terkunci. Alangkah kagetnya Ardana melihat kekasihnya tidur dengan posisi duduk lengkap dengan seragam putih abu-abunya. Sementara itu, buku matematika terbuka di bawah wajahnya yang tertidur itu.

    Ardana pun tersenyum melihatnya, namun senyumnya bukan senyum bahagia, melainkan senyum usil yang terlihat.

    Dengan perlahan, Ardana mendekati Shita dan mengambil ujung rambutnya, kemudian memasukkannya ke dalam hidung Shita sambil menahan tawa. Kegiatan itu dilakukan secara berulang karena Shita tak juga bangun. Hingga kesekian kalinya, Shita pun kaget dan langsung memukul hidungnya dengan keras karena rasa gatal yang dirasakannya. Pukulannya yang keras membuat hidungnya merah, yang tak ayal membuat Ardana tertawa keras melihatnya.

    “Apaan sih kamu?! Pagi-pagi bikin masalah aja,” ucap Shita dengan sewot dan memelototi kekasihnya.

    “Nih, lihat sudah jam berapa? Masih molor aja. Mau sekolah nggak, sih?” jawab Ardana sambil menunjukkan jam tangannya kepada Shita.

    Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 06.10, Shita pun terlonjak kaget dan dengan terburu-buru memakai tas sekolahnya, tak lupa menarik tangan Ardana.

    “Ayo cepat, nanti kita terlambat,” katanya sambil matanya mencari keberadaan ibu tercinta.

    “Ma… Mama… Shita berangkat, ya!” 

    Dengan tergopoh-gopoh, Sang Mama mendekati anak gadisnya sambil mengulurkan tangan kepada putrinya, begitu pun Ardana. Mereka pun pamit dengan mengucapkan salam.

    Pukul 06.20, Shita dan Ardana pun sampai di sekolah karena memang jaraknya yang tidak begitu jauh. Begitu turun dari motor, mereka pun berpisah untuk segera masuk ke kelas masing-masing.

     

    2. Perubahan Shita

    Di dalam kelas, Shita pun duduk di bangkunya yang sudah ditunggu Dian, teman sebangkunya. Bel berbunyi menandakan jam pertama segera dimulai. Namun, entah ada angin dari mana Bu Wiwit, yang merupakan wali kelas Shita 11 AK, masuk kelas. “Assalamualaikum wr wb. Selamat pagi, anak-anak! Bagaimana kabar kalian?” tanya Bu Wiwit. “Baik, Bu!” jawab seluruh siswa dengan semangat. Di belakang, para siswa berbisik-bisik, “Kenapa Bu Wiwit masuk kelas? Kan sekarang tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia?” “Mungkin ada masalah,” yang lain menimpali. “Enggak mungkinlah, kita kan anak baik,” jawab Rido yang terkenal dengan gaya tengilnya. “Terus, apa dong?” tanya Dewi penasaran, masih dengan berbisik.

    Melihat siswanya yang mulai tidak kondusif, Bu Wiwit pun berucap, “Halo…”

    “Hai!” jawab muridnya. 

    “Tolong dengarkan Ibu sebentar. Hari ini kita kedatangan siswa baru. Silakan masuk, Dewi.” 

    Masuklah seorang siswi yang cantik dengan penampilannya yang glamor. Jam tangan mahal, tas dengan edisi terbatas, dan HP keluaran terbaru.

    “Assalamualaikum wr wb. Perkenalkan nama saya Dewi Lestari, pindahan dari Jepara. Mohon bantuannya ya, teman-teman.”

    “Baik, silahkan duduk di bangku yang kosong di belakang Shita.” 

    “Baik, Bu, terima kasih.” 

    Dewi pun duduk di deretan kedua dari kanan, tepat di belakang Shita.

    “Perkenalkan, aku Shita,” kata Shita sambil menjulurkan tangannya kepada Dewi. 

    “Aku Dewi, mohon bantuannya,” jawabnya sambil tersenyum menjabat tangan Shita.

    “Jangan sungkan,” jawab Shita membalas senyum Dewi. Kemudian mereka pun belajar dengan tekun, mendengarkan setiap materi yang disampaikan guru mereka.

    Pukul 09.45, bel berbunyi menandakan waktu istirahat. Shita dan Dian yang merupakan teman sebangkunya mengajak Dewi ke kantin. 

    “Wi, ke kantin, yuk?” ajak Shita. 

    “Ayo,” jawab Dewi sambil merapikan buku pelajarannya. 

    Tiba di kantin, mereka membeli makanan sesuai selera masing-masing. Shita membeli bakso, Dian nasi cokot/hap, dan Dewi spageti.

    Mereka bertiga menikmati makanan masing-masing sambil mengobrol. Lebih tepatnya, Dewi menceritakan dirinya sendiri. Mulai dari gaya hidupnya yang serba wah karena orang tuanya merupakan pengusaha sukses dan ibunya yang merupakan ibu sosialita. Shita dan Dian mendengarkannya dengan antusias karena mereka berasal dari keluarga menengah ke bawah.

    Berawal dari makan bersama, mereka semakin akrab. Seperti saat ini, pulang sekolah mereka janjian akan healing ke mal. Berhubung Shita dan Dian jarang ke mal, mereka sangat antusias dengan ajakan Dewi.

    Selama mereka jalan-jalan di mal, mata Shita dan Dian dimanjakan dengan banyak barang-barang branded dan keinginan untuk memiliki salah satu barang tersebut. Namun, hal itu tidak dirasakan Dewi yang sudah terbiasa dengan yang demikian. Melihat kedua temannya yang sangat menikmati dan memiliki minat yang tinggi untuk memiliki tas yang sedang mereka lihat-lihat satu per satu.

    Dengan wajah yang menunjukkan kebahagiaan, Shita dan Dian pulang ke rumah masing-masing, tentunya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dewi.

    Keesokan harinya di hari Jumat, mereka dengan bahagia memakai tas baru yang kemarin mereka dapatkan. Tentunya ada rasa bangga saat menggunakan tas tersebut karena itulah satu-satunya tas bermerek yang mereka miliki.

    Semakin hari, pertemanan Shita, Dian, dan Dewi semakin erat saja. Bahkan tak jarang mereka menginap di rumah Dewi, terutama Shita. Lambat laun, kebiasaan Dewi menular ke Shita, seperti nongkrong di kafe.

    Shita, yang biasanya langsung pulang ke rumah sepulang sekolah, kini jarang pulang tepat waktu. Ia bahkan sering menginap di rumah temannya dengan alasan kerja kelompok. Sang ibu yang melihat perubahan Shita mulai curiga. Namun, alasan kerja kelompok dan banyaknya tugas membuat Ibu merasa sedikit lega, meski kecemasan tetap ada di hatinya.

    Sering kali sang ibu bertanya, “Kenapa kamu pulang malam? Apa yang kamu bawa? Dari mana kamu dapat uang untuk membeli ini semua?”

    Namun, dengan santainya Shita menjawab, “Dari rumah teman, Ma. Dapat hadiah/kado dari Dana.”

    Jawaban Shita justru menambah kecurigaan sang ibu. Apalagi, Dana kemudian mengaku tidak pernah mampu membelikan barang-barang yang Shita miliki karena harganya yang sangat mahal.

    Karena rasa penasaran dan cemas, sang ibu meminta Ardana untuk lebih memperhatikan Shita, mulai dari pertemanannya dan kebiasaannya. Bahkan, ia meminta Dana untuk mengikuti kemanapun Shita pergi. Dengan berat hati, Dana pun melaksanakan permintaan Ibu Shita, tentunya setelah meminta izin kepada ibunya sendiri.

    Setelah mendengar cerita perubahan Shita, sang ibu pun mendukung Dana karena ia juga merasa kehilangan Shita yang sudah tidak pernah lagi main ke rumahnya.

    Pengintaian Dana pun dimulai. Tepat sepulang sekolah, Shita bersama Ani dan Dewi nongkrong di sebuah kafe dengan laki-laki yang belum Dana kenal. Dana duduk tidak jauh dari tempat mereka. Ia mendengar mereka akan pergi ke mal, tetapi sebelumnya mereka akan mampir ke sebuah tempat yang disebut hotel.

    Dengan jarak yang cukup aman, Dana mengikuti mobil yang ditumpangi Shita dan rombongannya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit, mereka tiba di sebuah hotel di pinggir kota. Dengan sabar, Dana tetap mengikuti mereka hingga ke lobi hotel. Sampai di titik ini, Dana masih berusaha berpikir positif, meskipun pikiran negatif sudah mulai muncul.

    Di sana, ternyata mereka sudah ditunggu oleh seorang kakak kelas bernama Anggun dari jurusan DKV. Hal itu membuat kecurigaan Dana sedikit berkurang. Setelah berbincang sebentar dengan Anggun, Shita dan Ani mengikuti Anggun yang mengambil dua kunci kamar dari resepsionis. Mereka pun naik ke lantai tiga.

    Ardana dengan perlahan mengikuti mereka, tentunya setelah mengganti penampilannya. Ia memakai kacamata hitam, hoodie hitam, dan masker untuk menutupi wajahnya.

    Betapa terkejutnya Dana saat melihat Shita dan Ani masuk ke kamar yang berbeda, meskipun kamarnya bersebelahan. Anggun, di sisi lain, langsung menghubungi seseorang melalui ponselnya. Tak berselang lama, masuklah laki-laki berusia sekitar 30-an ke kamar Shita dan juga ke kamar Ani. Karena tidak tahan dan hatinya sudah memanas, Dana pun pulang.

    Ia menceritakan semua yang dilihat dan didengarnya kepada Ibu Shita. Namun, Ibu Shita tidak mempercayainya.

    “Tidak mungkin Shita melakukan itu, Dana. Kamu pasti salah lihat,” jawab sang Ibu dengan suara nyaris hilang karena dadanya sesak dan air mata terus mengalir.

    “Dana tidak mungkin berani bohongi Ibu. Ini buktinya kalau Ibu tidak percaya,” ucap Dana sambil menunjukkan foto dan video yang tadi sudah diambilnya sebagai bukti.

    Setelah menceritakan semuanya dan menenangkan Ibu Shita, Dana pun pulang. Ia merasa sedih dan kecewa kepada Shita.

     

    3. Teguran Ibu dan Dana

    Setelah penantian Ibu yang cukup lama, Shita pun pulang ke rumah tepat pukul 23.00 WIB. Dengan tidak sabar, Ibu pun bertanya kepada Shita.

    “Kamu dari mana saja baru pulang jam segini, Shita?”

    “Dari rumah teman, Ma,” jawab Shita dengan lembut.

    “Terus ini apa? Jangan bilang ini hadiah dari Dana lagi.”

    Dengan kaget, Shita pun menatap ibunya. “Kok Ibu tahu ini dari Dana?” jawabnya sambil tersenyum.

    “Kamu tidak usah bohong, jawab dengan jujur! Kamu dari mana dan barang-barang ini kamu beli pakai uang siapa? Tadi Dana datang mencari kamu karena ponselmu tidak bisa dihubungi.”

    Dengan tertunduk, tidak berani menatap wajah ibunya, Shita menjawab, “Shita dari rumah Dewi, Ma. Ini dibelikan oleh omnya Dewi.” Jawabnya terbata-bata.

    “Jawab dengan jujur, kenapa Om Dewi membelikan barang-barang mahal ini untukmu? Ada hubungan apa kamu dengannya?” Sang ibu mulai meminta kejujuran Shita, tetapi Shita tetap berbohong.

    “Tidak ada apa-apa, Ma. Omnya Dewi baru pulang dari luar negeri dan baru dapat bonus besar. Jadi, aku, Dewi, dan Ani dikasih hadiah.”

    “Ibu hanya minta kamu tetap menjadi anak gadis Ibu yang rajin belajar dan menurut kata Ibu, supaya bisa membanggakan Ibu dan Bapakmu.”

    “Iya, Ma, ini juga mau belajar,” jawabnya dengan pelan dan enggan menatap wajah lelah ibunya. Dengan alasan mau belajar, Shita pun izin ke kamarnya.

    Namun, sebelum Shita melangkah, sang ibu menasihati. “Nak, tolong jauhi Dewi. Bertemanlah dengan yang mengajakmu berbuat kebaikan, dan mulai besok pulang sekolah langsung ke rumah. Tidak ada alasan kerja kelompok lagi. Lihat semua masih berantakan karena tugas di rumah kamu abaikan.”

    Dengan lesu, Shita menjawab, “Ya, Ma.”

    Keesokan harinya, Shita berangkat ke sekolah tanpa dijemput Dana. Hal itu membuatnya merasa kehilangan dan bertanya-tanya mengapa Dana tidak datang menjemputnya. Setibanya di sekolah, Shita langsung menuju kelasnya dan belajar seperti biasa. Namun, selama pelajaran, dia tidak bisa fokus karena memikirkan Dana. Hingga bel istirahat berbunyi, Shita pun pamit kepada teman-temannya untuk menemui Dana. Dengan enggan, Ani dan Dewi menyetujuinya.

    Di kantin, Shita menemukan Dana yang sedang menikmati jajanannya. Dengan perlahan, Shita mendekati Dana.

    “Dan, tadi kok tidak jemput aku? Tumben, biasanya kalau tidak bisa jemput, mengabari. Ada apa? Kamu marah ya sama aku? Kalau aku ada salah, aku minta maaf deh.” Ucap Shita dengan lembut.

    Namun, Dana tidak menanggapi. Ia masih menikmati makanannya dengan santai, tanpa menghiraukan kehadiran Shita.

    “Dan, ngomong dong. Biar aku tahu jika aku ada salah.”

    Dana pun menatap Shita dengan tajam, tidak seperti biasanya. “Kamu tidak tahu apa kesalahanmu? Atau pura-pura tidak tahu?”

    “Ya kasih tahu dong biar aku tahu, karena aku merasa tidak melakukan kesalahan apa pun.”

    “Yakin tidak melakukan kesalahan?”

    “Tidak.”

    “Kalau kamu tidak tahu, baik, aku beritahu, tapi jangan di sini. Nanti kamu malu, kecuali kamu tidak tahu malu, tidak apa-apa.”

    “Kok kamu gitu sih, Dan, sama aku. Ya sudah, kita kemana sekarang?”

    “Nanti sepulang sekolah, temui aku di tempat biasa,” ucap Dana sambil melangkah meninggalkan Shita.

    “Tapi kan aku sudah janji sama temanku mau main,” jawab Shita sambil mengejar Dana.

    Namun, Dana tetap melangkah. Ia ingin tahu, Shita akan memilih menemuinya atau jalan bersama temannya.

    Dengan lesu, Shita kembali ke kelas, tetapi ia tidak menemukan Dewi dan Ani. Shita pun duduk termenung, memikirkan apa kesalahan yang sudah dilakukannya dan apakah nanti ia akan bertemu Dana atau tetap jalan dengan temannya. Tanpa terasa, bel tanda masuk berbunyi. Semua siswa kelas 11 AK masuk kelas dan siap mengikuti pelajaran hingga pulang.

    Tepat pukul 15.00 WIB, bel tanda pelajaran selesai pun berbunyi. Tidak seperti biasanya, Shita yang biasanya semangat jika bel pulang berbunyi kini dengan lesu mengikuti kedua temannya keluar kelas. Hingga tiba di depan gerbang, Dewi bertanya, “Ta, lu kenapa? Tumben diam aja?”

    “Gue lagi bimbang nih, mau ikut kalian atau ketemu Dana?”

    “Ya elah, kirain ada apaan. Ya ikut kita lah. Ketemu Dana besok juga bisa. Kalau lu ikut kita, pulangnya lu bisa dapat duit tuh buat beli barang baru atau kasih ke Ibu lu.”

    “Tapi gimana ya? Aku sudah janji sama Dana.”

    “Gitu aja repot. Ayo ah, nanti tinggal WA aja, bilang lagi ada perlu. Dia juga paham,” ucap Dewi.

    Tanpa mereka sadari, Dana mendengar apa yang mereka ucapkan. Hal itu membuat Dana semakin kecewa kepada Shita, yang lebih mengutamakan temannya daripada dirinya. Dengan kesal, Dana pun meninggalkan sekolah tanpa melihat mereka lagi.

    Sementara Shita dan kedua temannya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Di wajahnya sudah tidak ada lagi kegelisahan, hanya kebahagiaan yang terlihat. Di sebuah kafe, mereka sudah janjian dengan omnya Dewi. Ketika mereka masuk, ternyata si om sudah menunggu. Tanpa ada rasa canggung, Shita langsung duduk di samping si om dan menyelipkan tangannya ke lengan si om.

    “Halo, cantik, makin cantik aja,” ucap si om sambil mencuil hidung mancung Shita.

    Dengan wajah memerah, Shita menjawab, “Om bisa saja. Kita mau kemana sekarang, Om?”

    “Terserah kalian, tapi tunggu sebentar, teman Om sudah mau sampai. Nah, itu dia. Hai, Bro, kenalin, ini Shita, Ani, dan ponakan gue, Dewi.”

    Mereka pun bergantian menyalami teman si om.

    “Karena lu sudah di sini, kita jalan yuk.”

    Sebelum mereka keluar kafe, Dewi mengangkat ponselnya yang sedari tadi berdering. Ia berbicara sebentar. Dengan tidak sabar, ia berkata, “Maaf, Om dan teman-teman, aku tidak bisa ikut. Mama baru telepon, aku disuruh pulang karena papaku baru pulang dari luar negeri. Maaf, ya. Om, aku titip teman-temanku, ya,” katanya sambil melangkah dan melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan.

    Alhasil, tinggallah mereka berempat. “Kita jadinya kemana nih, Om?”

    “Kita nanti akan belanja, tapi sebelumnya kalian ganti baju dulu,” kata Doni, yang merupakan omnya Dewi.

    “Kalian bawa baju ganti kan?”

    “Bawa dong, Om,” jawab Ani.

    “Oke, kita ke atas dulu.” Mereka pun ke lantai 15, tempat apartemen Doni berada. Setelah sampai di lantai 15, mereka masuk setelah Doni memasukkan kata sandi apartemennya.

    “Shita, ayo ganti bajunya di kamar Om saja, dan Ani silakan ganti di kamar tamu di sebelah sana,” ucapnya sambil memberikan arahan.

    Shita pun memasuki kamar yang ditunjuk si om, demikian juga Ani. Namun, mereka tidak sadar, kedua lelaki dewasa itu mengikuti mereka dari belakang sampai ke kamar dan segera menutup pintu. Mereka pun melakukan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah.

    Satu jam berlalu. Barulah Doni dan temannya yang bernama Andi keluar dari kamar dengan wajah lelah, tetapi bahagia.

    “Gila, Bro, nikmat benar. Beda dengan yang biasa,” ucap Andi.

    “Ya jelas dong, ini masih ABG, masih fresh,” jawab Doni. “Kalau lu masih mau, bilang gue nanti gue hubungi mereka. Yang penting siapin saja dompet tebal lo.”

    “Aman itu mah.”

    Sebelum maghrib, mereka berempat sudah berada di toko baju. Mereka pun berbelanja dengan bahagia. Begitulah keseharian Shita sekarang, setelah pegang duit banyak dan mengerti barang-barang mewah.

    Keesokan harinya, kehidupan Shita berjalan seperti biasa. Pagi ini ia sekolah tanpa diantar Dana lagi. Sebelum pembelajaran dimulai, Shita menyempatkan diri ke kelas Dana yang berada di lantai atas, beda satu lantai dengan kelasnya yang berada di lantai tiga.

    “Dana, maafin aku ya. Kemarin ada perlu, jadi tidak bisa ketemu kamu,” ucapnya dengan wajah memelas.

    “Oh, memang kamu kemana kemarin, sampai tidak bisa ketemu aku?”

    “Kemarin aku dan teman-teman sudah janji ke rumah Dewi karena Papanya pulang dari luar negeri.”

    “Yakin ke rumah Dewi?” tanya Dana.

    “Masa aku bohong ke kamu?” jawab Shita tanpa berani menatap wajah Dana.

    “Aku cuma minta kamu kembali ke jalan yang benar dan jauhi Dewi, itu saja. Kamu pasti paham apa maksudku,” ucap Dana. “Kebetulan bel masuk sudah bunyi tuh, masuk kelas sana nanti terlambat.”

    Dana mengusir Shita secara halus.

     

     

    Kreator : Samsinar Sambo

    Bagikan ke

    Comment Closed: Langkahku yang Tertinggal

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021