KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Lantai Berdebu dan Kenangan yang Membusuk

    Lantai Berdebu dan Kenangan yang Membusuk

    BY 21 Jul 2025 Dilihat: 9 kali
    Lantai Berdebu dan Kenangan yang Membusuk_alineaku

    Debu. Selalu ada debu. Menyelimuti setiap permukaan, menari-nari di udara yang pengap, seolah setiap partikelnya adalah fragmen dari waktu yang membeku, atau mungkin, serpihan dari diriku yang perlahan hancur. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku membersihkan lantai ini. Mungkin setahun yang lalu? Atau sepuluh? Waktu di sini, di dalam empat dinding yang membusuk ini, adalah sebuah ilusi yang kejam.

    Namaku, ah, namaku sudah lama tidak relevan. Aku hanya sebuah gumpalan daging yang bernapas, terperangkap dalam siklus tanpa akhir antara bangun dan merenung. Perenungan tentang apa? Tentu saja, tentang itu. Selalu tentang itu. Sebuah kesalahan yang, seperti jamur di dinding lembab, terus tumbuh dan menyebar, menggerogoti setiap sudut kesadaranku.

    Aku duduk di kursi kayu reyot di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh tumpukan buku-buku yang tak pernah kubaca, surat kabar yang menguning, dan entah apa lagi yang dulu pernah memiliki makna. Semuanya kini hanya onggokan sampah, saksi bisu dari kemunduran yang tak terhindarkan. Matahari, jika memang ada, tak lagi mampu menembus tirai tebal yang berlumut. Hanya bias cahaya keabu-abuan yang menyelinap, cukup untuk menunjukkan betapa kotornya segalanya.

    “Mengapa aku masih di sini?” gumamku. Suaraku serak, asing di telingaku sendiri.

    “Karena kau pantas.” bisik sebuah suara dari sudut ruangan. Itu bukan suara nyata. Itu adalah suara dia. Suara dari kenangan yang tak pernah mati.

    “Pantas menerima apa?”

    “Semua ini. Kesendirian. Pembusukan. Hingga kau juga membusuk.”

    Aku terdiam. Percakapan ini, dialog gila dengan diriku sendiri, adalah satu-satunya hiburan yang kumiliki. Atau mungkin, siksaan. Aku tidak bisa membedakannya lagi. Aku hanya tahu, setiap nafas yang kuambil adalah pengingat akan beban yang tak terlihat, namun begitu nyata. Beban dari itu.

    Tanganku gemetar saat meraih cangkir kosong di meja. Dulu, cangkir ini berisi kopi hangat, menemaniku membaca, menulis, atau sekadar menatap keluar jendela. Sekarang, ia hanya wadah bagi debu dan sisa-sisa kehidupan yang telah lama pergi. Aku memutar cangkir itu di antara jemariku, merasakan tekstur kasar dari kotoran yang menempel.

    “Kau ingat?” suara itu kembali, lebih dekat kali ini, seolah duduk di sampingku. “Bagaimana tanganmu gemetar saat itu? Sama seperti sekarang.”

    Aku memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan itu. Tapi ia tak pernah pergi. Ia adalah bagian dariku, sebuah parasit yang tumbuh subur dari rasa bersalah. Aku bisa merasakan denyutan di pelipis, irama yang sama dengan saat itu terjadi.

    “Itu hanya kebetulan.” bisikku, mencoba meyakinkan diri sendiri.

    “Kebetulan? Ribuan kebetulan yang membentuk satu tragedi? Omong kosong.”

    Aku membuka mata, menatap kosong ke arah dinding yang mengelupas. Catnya sudah lama menyerah pada kelembapan, membentuk pola-pola aneh yang kadang terlihat seperti wajah-wajah yang menghakimi. Wajah-wajah yang tahu.

    “Aku tidak bermaksud…”

    “Tidak bermaksud? Lalu, mengapa terjadi? Mengapa kau membiarkannya?”

    Pertanyaan-pertanyaan itu, seperti jarum-jarum kecil, menusuk-nusuk sarafku. Aku tidak punya jawaban. Hanya kehampaan yang menganga, diisi oleh gema penyesalan. Aku bangkit, langkahku berat, menyeret kakiku melintasi lantai berdebu. Setiap jejak yang kutinggalkan adalah bukti dari keberadaanku yang menyedihkan.

    Aku berhenti di depan cermin tua yang buram. Pantulanku samar, seolah aku sendiri adalah hantu di rumah ini. Mataku cekung, rambutku acak-acakan, kulitku pucat. Bukan lagi Van yang dulu. Aku adalah cerminan dari kehancuran.

    “Apa yang kau lihat?” suara itu bertanya, sinis.

    “Tidak ada. Hanya kehampaan.”

    “Kau melihat dirimu yang sebenarnya. Sebuah kekejaman yang tak termaafkan.”

    Aku memalingkan muka dari cermin. Tidak sanggup lagi melihat pantulan dari kebenaran yang begitu pahit. Aku berjalan menuju jendela, menarik sedikit tirai yang berat. Di luar, kota tampak sibuk, hiruk pikuk, seolah tidak ada yang berubah. Orang-orang berjalan tergesa-gesa, mobil-mobil melaju, kehidupan terus berjalan. Tanpa aku. Tanpa itu.

    “Mereka tidak tahu,” kataku, lebih kepada diriku sendiri.

    “Tentu saja tidak. Kau menyembunyikannya dengan sangat baik. Seperti bangkai di bawah lantai.”

    Kata-kata itu menusuk. Bangkai. Ya, aku adalah bangkai yang berjalan, mengangkat beban dari bangkai lain yang terkubur dalam ingatanku. Aku melepaskan tirai, membiarkan kegelapan kembali menelan ruangan. Lebih baik begitu. Lebih baik tidak melihat dunia yang terus bergerak maju, sementara aku terjebak di masa lalu.

    Aku kembali ke kursi, merosotkan diri dengan lelah. Rasa dingin menjalar dari lantai, menembus kaos tipisku. Aku menggigil, bukan karena dingin, tapi karena ketakutan. Ketakutan akan kesendirian yang tak berujung, ketakutan akan ingatan yang tak pernah memudar.

    “Apakah ini akan berakhir?” bisikku, suaraku nyaris tak terdengar.

    “Tidak. Tidak akan pernah.”

    Dan aku tahu itu benar. Seperti debu yang tak pernah berhenti menumpuk, seperti kenangan yang tak pernah berhenti membusuk, siksaan ini akan terus ada. Hingga aku sendiri menjadi bagian dari debu dan pembusukan itu. Hingga aku, seperti apartemen ini, sepenuhnya usang dan terlupakan.

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Lantai Berdebu dan Kenangan yang Membusuk

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021