Debu. Selalu ada debu. Menyelimuti setiap permukaan, menari-nari di udara yang pengap, seolah setiap partikelnya adalah fragmen dari waktu yang membeku, atau mungkin, serpihan dari diriku yang perlahan hancur. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku membersihkan lantai ini. Mungkin setahun yang lalu? Atau sepuluh? Waktu di sini, di dalam empat dinding yang membusuk ini, adalah sebuah ilusi yang kejam.
Namaku, ah, namaku sudah lama tidak relevan. Aku hanya sebuah gumpalan daging yang bernapas, terperangkap dalam siklus tanpa akhir antara bangun dan merenung. Perenungan tentang apa? Tentu saja, tentang itu. Selalu tentang itu. Sebuah kesalahan yang, seperti jamur di dinding lembab, terus tumbuh dan menyebar, menggerogoti setiap sudut kesadaranku.
Aku duduk di kursi kayu reyot di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh tumpukan buku-buku yang tak pernah kubaca, surat kabar yang menguning, dan entah apa lagi yang dulu pernah memiliki makna. Semuanya kini hanya onggokan sampah, saksi bisu dari kemunduran yang tak terhindarkan. Matahari, jika memang ada, tak lagi mampu menembus tirai tebal yang berlumut. Hanya bias cahaya keabu-abuan yang menyelinap, cukup untuk menunjukkan betapa kotornya segalanya.
“Mengapa aku masih di sini?” gumamku. Suaraku serak, asing di telingaku sendiri.
“Karena kau pantas.” bisik sebuah suara dari sudut ruangan. Itu bukan suara nyata. Itu adalah suara dia. Suara dari kenangan yang tak pernah mati.
“Pantas menerima apa?”
“Semua ini. Kesendirian. Pembusukan. Hingga kau juga membusuk.”
Aku terdiam. Percakapan ini, dialog gila dengan diriku sendiri, adalah satu-satunya hiburan yang kumiliki. Atau mungkin, siksaan. Aku tidak bisa membedakannya lagi. Aku hanya tahu, setiap nafas yang kuambil adalah pengingat akan beban yang tak terlihat, namun begitu nyata. Beban dari itu.
Tanganku gemetar saat meraih cangkir kosong di meja. Dulu, cangkir ini berisi kopi hangat, menemaniku membaca, menulis, atau sekadar menatap keluar jendela. Sekarang, ia hanya wadah bagi debu dan sisa-sisa kehidupan yang telah lama pergi. Aku memutar cangkir itu di antara jemariku, merasakan tekstur kasar dari kotoran yang menempel.
“Kau ingat?” suara itu kembali, lebih dekat kali ini, seolah duduk di sampingku. “Bagaimana tanganmu gemetar saat itu? Sama seperti sekarang.”
Aku memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan itu. Tapi ia tak pernah pergi. Ia adalah bagian dariku, sebuah parasit yang tumbuh subur dari rasa bersalah. Aku bisa merasakan denyutan di pelipis, irama yang sama dengan saat itu terjadi.
“Itu hanya kebetulan.” bisikku, mencoba meyakinkan diri sendiri.
“Kebetulan? Ribuan kebetulan yang membentuk satu tragedi? Omong kosong.”
Aku membuka mata, menatap kosong ke arah dinding yang mengelupas. Catnya sudah lama menyerah pada kelembapan, membentuk pola-pola aneh yang kadang terlihat seperti wajah-wajah yang menghakimi. Wajah-wajah yang tahu.
“Aku tidak bermaksud…”
“Tidak bermaksud? Lalu, mengapa terjadi? Mengapa kau membiarkannya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu, seperti jarum-jarum kecil, menusuk-nusuk sarafku. Aku tidak punya jawaban. Hanya kehampaan yang menganga, diisi oleh gema penyesalan. Aku bangkit, langkahku berat, menyeret kakiku melintasi lantai berdebu. Setiap jejak yang kutinggalkan adalah bukti dari keberadaanku yang menyedihkan.
Aku berhenti di depan cermin tua yang buram. Pantulanku samar, seolah aku sendiri adalah hantu di rumah ini. Mataku cekung, rambutku acak-acakan, kulitku pucat. Bukan lagi Van yang dulu. Aku adalah cerminan dari kehancuran.
“Apa yang kau lihat?” suara itu bertanya, sinis.
“Tidak ada. Hanya kehampaan.”
“Kau melihat dirimu yang sebenarnya. Sebuah kekejaman yang tak termaafkan.”
Aku memalingkan muka dari cermin. Tidak sanggup lagi melihat pantulan dari kebenaran yang begitu pahit. Aku berjalan menuju jendela, menarik sedikit tirai yang berat. Di luar, kota tampak sibuk, hiruk pikuk, seolah tidak ada yang berubah. Orang-orang berjalan tergesa-gesa, mobil-mobil melaju, kehidupan terus berjalan. Tanpa aku. Tanpa itu.
“Mereka tidak tahu,” kataku, lebih kepada diriku sendiri.
“Tentu saja tidak. Kau menyembunyikannya dengan sangat baik. Seperti bangkai di bawah lantai.”
Kata-kata itu menusuk. Bangkai. Ya, aku adalah bangkai yang berjalan, mengangkat beban dari bangkai lain yang terkubur dalam ingatanku. Aku melepaskan tirai, membiarkan kegelapan kembali menelan ruangan. Lebih baik begitu. Lebih baik tidak melihat dunia yang terus bergerak maju, sementara aku terjebak di masa lalu.
Aku kembali ke kursi, merosotkan diri dengan lelah. Rasa dingin menjalar dari lantai, menembus kaos tipisku. Aku menggigil, bukan karena dingin, tapi karena ketakutan. Ketakutan akan kesendirian yang tak berujung, ketakutan akan ingatan yang tak pernah memudar.
“Apakah ini akan berakhir?” bisikku, suaraku nyaris tak terdengar.
“Tidak. Tidak akan pernah.”
Dan aku tahu itu benar. Seperti debu yang tak pernah berhenti menumpuk, seperti kenangan yang tak pernah berhenti membusuk, siksaan ini akan terus ada. Hingga aku sendiri menjadi bagian dari debu dan pembusukan itu. Hingga aku, seperti apartemen ini, sepenuhnya usang dan terlupakan.
Kreator : Clown Face
Comment Closed: Lantai Berdebu dan Kenangan yang Membusuk
Sorry, comment are closed for this post.