“ Kenapa Win ? Pulang sekolah kok mukanya kusut begitu ? ” tiba-tiba suara lembut ibu mengejutkanku dari balik pintu kamar. Aku tak berani membalikkan badanku takut ibu akan melihat air mata yang sudah mulai tergenang di mataku.
“ Ya sudah, cepat ganti baju dan segera makan. Hari ini ibu masak sayur bayam dan tempe mendol kesukaanmu. Jangan biarkan mendolmu menunggu terlalu lama. ” ucap ibuku sambil berlalu dari kamar. Jelas ku dengar senyum ibu di balik lembut suaranya. Rasa bersalah dan berdosa pada ibu semakin besar ku rasakan ketika aku tak mampu membalas pertanyaan sederhana ibu hanya demi untuk menyembunyikan kesedihanku.
“ Maafkan Wiwin bu ” banjir bandang dari
pelupuk mata pun tak lagi mampu ditahan.
“ Satu jam mencoba berdamai dengan situasi batin ternyata lumayan membuat lapar. Akhirnya ku putuskan untuk segera beranjak dari kamar dan segera mencari pengganjal perut di dapur.
Melintasi ruang tamu yang tidak terlalu besar, kulihat kedua adikku Titin dan Bambang sedang asik tertawa saling menceritakan kejadian menarik di kelasnya.
Rasa bersalah kembali mengusik batinku. Teringat betapa jengkelnya Titin karena harus menungguku terlalu lama. Aku tak bisa menyalahkan adikku yang terus meluapkan kemarahannya di sepanjang perjalanan menumpang angkot pulang sekolah tadi. Dengan bekal uang saku yang tak bisa dibilang cukup, kedua adikku sudah tentu tak bisa membeli jajan ketika pulang sekolah.
Tapi situasi tak diharapkan harus mereka hadapi. Aku dipanggil ibu Helen, mantan wali kelasku di kelas lima. Beliau berpesan untuk menghadap sepulang sekolah karena ada beberapa revisi atas tulisan ku yang ku setor tadi pagi. Aku tak berdaya menolak pesan ibu Helen sebagai pembimbing, meski aku tahu untuk itu adikku harus berkorban menunggu.
Aku tak punya pilihan. Jarak rumah kami cukup jauh dari sekolah. Melepaskan kedua adikku untuk menumpang angkot sendiri agar tidak terlalu lama menunggu aku rasa bukan pilihan yang tepat dan bertanggungjawab. Akhirnya dengan terpaksa aku memberikan pengertian pada mereka untuk bersabar sebentar, meskipun aku harus menerima protes dari keduanya.
“ Kok bengong Win ? “ suara lembut ibu membuyarkan lamunanku. Aku terkejut dan merasa kebinggungan, mencoba mencari tahu dari mana datangnya ibuku. Ibu tersenyum melihat ekspresiku.
“ Piringmu sudah ibu siapkan di meja. Ayo ! ” ucap ibu sambil membimbingku. Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya sempurna, aku menurut. Aku menyendok nasi secukupnya dan mengambil tempe mendol kesukaanku. Masih fresh. Batin dan pikiran yang terus berkecamuk perlahan membimbing langkah kakiku menuju bangku kecil di bawah jemuran di samping rumah. Tempat paling nyaman di saat aku harus bergulat dengan gelisah dan Baru saja aku menyendok nasi dan membuka mulut, tiba-tiba…
” Tambah lagi mendolnya. ” ucap ibu sambil meletakkan satu tempe mendol di piringku.
“ Kok cuma satu, biasanya kamu yang makan tempe mendol paling banyak. ” ibu tertawa.
Aku tertunduk, tak ingin ibu melihat mataku yang mulai berkaca-kaca, menyadari ternyata ibu belum makan demi menungguku. Kami pun menikmati makan siang dalam kesunyian.
Aku terperanjat. Jam mungil di meja belajar ku menunjukkan pukul 12 malam. Titin yang tadi sibuk menghafal materinya, kulihat sudah tertidur pulas di sampingku. Perlahan aku turun dari ranjang agar tidak membangunkan Adikku
Kuraih lembaran folio bergaris yang tadi siang mendapatkan coretan dan beberapa revisi dari ibu Helen. Sambil tersenyum kupandangi lembaran tulisan tangan yang kini sudah bertambah 1 lembar hasil pengembangan selama 2 hari.
” Hmmm…lumayan. Padahal bisa juga ya aku menulis. ” gumamku dalam hati. Tak lama kemudian penaku sudah berlenggak lenggok lagi di atas lembaran folio dengan hasil bimbingan dan arahan dari ibu Helen. Makin malam, makin sunyi, makin mengalir seluruh ide gilaku yang tertuang dalam lembaran folio.
“ Sambil belajar, jangan lupa sambil minum air anget, Win ” ibu muncul tiba-tiba dengan secangkir teh panas di tangannya.
” Ibu, berapa kali saya bilang, nanti saya buat sendiri. ” protesku pada kebiasaan ibu yang selalu terjaga dan membuatkan teh setiap kali aku belajar tengah malam.
” Hanya teh aja kok, Nduk. Cuma ini yang ibu bisa bantu. Ibu tahu kamu lelah sekali. Mana yang persiapkan ujian akhir, mana yang mau siap diri lomba pelajar teladan, mana yang harus siap untuk lomba mengarang, masih tambah tugas lagi harus urus adik-adik dari berangkat sampai kembali pulang ke rumah. Ibu mengerti, untuk anak seusia kamu, pasti semua beban tugas itu berat dan melelahkan.
Tapi percayalah nak, segala tugas yang dipercayakan kepada kamu suatu hari nanti pasti akan memberi kebaikan buat masa depanmu.
Ibu nggak sekolah. Ibu hanya bisa menemani kamu belajar. ” ucap ibu bijak penuh kelembutan, seolah tahu segala hal yang ku ceritakan dalam kebisuan. Ku peluk ibu dengan rasa haru mendalam.
“ Terima kasih bu, maafkan saya “
Kreator : UC Wind
Comment Closed: Lelah Terhapus Kasih
Sorry, comment are closed for this post.