Penulis : Agus Siswanto (Member KMO Alineaku)
“Pak, nih buat beli sarapan pagi ini!” Tanganku mengulurkan selembar uang lima ribuan ke arah laki-laki tua yang duduk di pos ronda ujung desa.
Tangan renta itu terjulur menerima uang itu. Tidak ada satu kalimat pun terucap dari bibirnya. Namun matanya menunjukkan ungkapan tanda terima kasih.
“Buat beli nasi lho, jangan rokok,” pesanku.
Pesan itu sengaja ku ucapkan karena acapkali kulihat dia asyik dengan gulungan asap rokok di pos ronda itu. Aku tidak tahu dari mana dia dapat rokok itu.
Sama seperti tadi. Tidak sepatah kata pun terucap. Namun lagi-lagi matanya yang berbicara.
Setelah memastikan semuanya, kunyalakan mesin Vario kesayanganku. Jarum panjang jam di tangan sudah menunjukkan angka sepuluh. Berarti sepuluh menit lagi bel masuk di sekolahku berdentang. Segera bergegas kupacu sepeda motor kesayangan itu.
Pos ronda ujung desa itu selalu ku lewati saat menuju sekolah tempatku bekerja. Sebenarnya ada juga jalan yang lebih dekat, namun sayang sebagian jalan itu belum diaspal, sehingga sering membuat repot saat hujan. Dengan alasan itu maka aku memilih lewat depan pos ronda, walaupun agak jauh.
Seringnya aku melewati pos ronda itu, membuat aku hampir hafal dengan semua yang ada di sekitar pos ronda itu. Termasuk pula dengan orang tua yang tadi kuberikan uang lima ribu tadi.
Perkenalanku dengannya pun terjadi tanpa disengaja. Suatu siang saat pulang sekolah, kebetulan hujan deras turun di sekitar wilayah itu. Cuaca yang semula begitu cerah, mendadak berubah menjadi hujan lebat. Secara kebetulan juga jas hujan yang biasanya tersedia di bagasi sepeda motor tidak kubawa. Cuaca cerah di pagi hari membuatku membiarkan jas hujan itu tergantung di halaman samping.
Saat berteduh di pos ronda tersebut, pandanganku tertumbuk pada sosok laki-laki tua yang duduk meringkuk di sudut. Baju kumal tampak menutup badan kurusnya. Pandangannya menatap lurus ke arahku yang tengah melepas jaket.
“Pak!” sapaku ramah.
Tidak ada jawaban. Tapi dari pandangan matanya, tampak dia mendengar apa yang kuucapkan.
“Sudah makan?” tanyaku lagi.
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Namun matanya menunjukkan dia mendengar apa yang kuucapkan.
“Bapak mau ini?” Kali ini ku ulurkan kotak nasi yang kudapat saat rapat tadi siang.
Kali ini dia beringsut ke arahku. Tangan rentanya terjulur ke arah kotak yang diangsurkan. Setelah itu dengan lahap dihabiskannya nasi dan sayur dari kotak itu. Aku mengamati semua tingkah lakunya dengan seksama. Ingatanku melayang ke sosok bapak di kampung. Bapak lebih beruntung dibanding orang tua di depanku. Sebab di kampung bapak relatif tercukupi semua kebutuhannya.
“Enak, Pak?” tanyaku setelah dia menyelesaikan suapan terakhir.
Kali ini dia mengangguk. Senyum tipis terlihat dari bibirnya. Sedangkan pandangan matanya menunjukkan rasa terima kasih.
Sejak pertemuan itu, aku selalu menyempatkan berhenti di pos ronda itu. Beberapa lembar uang biasanya kuulurkan untuk sarapan. Bahkan terkadang jika sore pulang sekolah, kotak snack atau nasi rapat yang kudapat, sengaja kuberikan. Rasanya ada rasa lega saat senyum tipisnya muncul di sela-sela bibirnya.
Sore itu kembali aku berhenti di pos ronda. Mataku nanar mencari sosok renta yang biasanya duduk di pojokan. Namun tidak kutemukan. Kontan muncul rasa kehilangan. Saat aku mencoba melangkah ke belakang pos ronda, sosok itu tetap tidak kutemukan.
“Pak Guru mencari siapa,” tanya seorang pemuda berkaos hitam.
“Orang tua yang biasa ada di pos ronda ini. Adik lihat?” Aku balik bertanya.
“O, Pak Gito.”
“Emang namanya Pak Gito?”
“Iya, Pak Guru.”
“Ke mana dia?”
“Dibawa ke rumah sakit,” jawab pemuda tadi. “Tadi pagi waktu menyeberang jalan mau beli nasi, sebuah pick up menabraknya,” terang pemuda tadi.
Pandanganku seketika gelap. Kotak nasi yang ada di tanganku terjatuh ke tanah berhamburan.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
1 Komentar Pada Lelaki Tua di Ujung Desa
Sangat bagus