Pagi ini aku masuk sekolah untuk mengikuti kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Di sekolahku yang berada di daerah kepulauan, kegiatan P5 tidak hanya menjadi momen belajar di luar kelas, tetapi juga sarana penting untuk mengenalkan kearifan lokal kepada anak-anak. Hari ini adalah jadwal anak-anak di fase C untuk belajar cara mengolah santan menjadi minyak kelapa. Kegiatan ini dipilih karena kegiatan ini sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat di sini. Mereka membawa kelapa dari kebun masing-masing, memarut, memeras santan, dan kemudian memasaknya hingga menjadi minyak.
Ibu kepala sekolah, guru-guru serta siswa sangat antusias dalam menyiapkan peralatan, mulai dari wajan, parutan, saringan santan, hingga kayu bakar. Ditengah-tengah kegiatan memasak minyak kelapa, masyarakat Dusun 1 Hiliadulo, dusun yang terdekat dari sekolah kami yang berada di atas bukit, mulai berdatangan ke jalanan depan sekolah. Rupanya mereka akan menebang pohon-pohon yang ada di sekitar jalanan sekolah karena katanya akan dibangun tiang-tiang listrik menuju Dusun Hiliadulo.
Anak-anak yang penasaran kemudian berduyun-duyun ke depan sekolah menonton penebangan pohon. Ibu kepala sekolah dan beberapa guru pun turut menyaksikan proses penebangan pohon. Dengan rasa penasaran, aku bertanya-tanya kepada Kepala Dusun Hiliadulo, Ibu Ina Tina, terkait rencana pembangunan tiang listrik yang memasuki Dusun Hiliadulo.
Warga Hiliadulo sangat antusias, ujar mereka, listrik memunculkan harapan bagi warga di sana. Ibu Ina Tina berkata kalau misalnya listrik sudah masuk dusun atas di Hiliadulo, beliau bisa membuat kue dengan mixer. Selain itu, banyak juga kemudahan yang warga dusun atas bisa rasakan jika listrik sudah tersedia disana. Dari yang sebelumnya mereka mengandalkan genset sebagai sumber listrik pada malam hari, kini mereka bisa merasakan malam yang diterangi dengan cahaya lampu dari PLN.
Aku juga jadi membayangkan, bagaimana jadinya jika listrik akhirnya masuk ke sekolah kami. Rasanya, pembelajaran bisa menjadi jauh lebih variatif dan kreatif. Guru-guru bisa membawa laptop ke sekolah tanpa khawatir kehabisan daya, dan mulai menerapkan pembelajaran berbasis teknologi, seperti menampilkan video pembelajaran, simulasi interaktif, atau menggunakan presentasi visual yang menarik. LCD dan proyektor pun bisa dimanfaatkan, bukan hanya untuk mendukung proses belajar-mengajar, tetapi juga untuk rapat guru, pelatihan, dan kegiatan pengembangan profesional lainnya. Hal-hal seperti itu mungkin terdengar sederhana bagi sekolah-sekolah di kota, tetapi di sini, itu adalah impian yang besar.
Inilah mengapa pemerataan pembangunan, terutama di sektor pendidikan, sangat penting di daerah-daerah tertinggal dan kepulauan. Akses terhadap listrik, jaringan internet, dan sarana penunjang pembelajaran lainnya tidak hanya mempengaruhi kenyamanan belajar, tetapi juga membuka peluang anak-anak untuk mengenal dunia yang lebih luas. Tanpa listrik, potensi pembelajaran berbasis teknologi tertutup rapat. Pemerataan bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap anak Indonesia, di manapun ia tinggal, memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh, belajar, dan meraih masa depan yang cerah.
Kreator : Fadiya Dina H
Comment Closed: Listrik Masuk Hiliadulo
Sorry, comment are closed for this post.