KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Lomba 17 Agustus

    Lomba 17 Agustus

    BY 20 Agu 2024 Dilihat: 23 kali
    Lomba 17 Agustus_alineaku

    Di bawah langit biru yang mendungnya hanya selewat, hari itu tanggal 17 Agustus. Sebuah hari yang diisi dengan semangat kemerdekaan, di mana orang-orang berkumpul, tertawa, dan berkompetisi dalam serangkaian lomba yang aneh tapi akrab. Tapi, di tengah keramaian itu, saya merasa terasing, seperti tokoh dalam novel yang tersesat di tengah plot yang tak ia pahami.

     

    Lomba makan pisang. Saya berdiri di antara kerumunan, menyaksikan pisang digantung di tali seperti kenangan masa kecil yang samar. Namun, ada sesuatu yang mengganggu, seperti nada sumbang dalam melodi yang familiar. Panitia tiba-tiba muncul, membawa kaleng Susu Kental Manis, dan tanpa aba-aba, pisang itu dicelupkan ke dalam cairan putih pekat. Tawa meledak dari mulut para peserta, terutama ibu-ibu yang tampak begitu menikmati absurdnya situasi ini. Tapi, di kepala saya, tawa itu bergema seperti suara hampa di ruangan kosong.

     

    Saya mencoba mencerna maknanya. Apa yang lucu dari pisang yang dicelupkan dalam susu? Mungkin, saya yang sudah terlalu jauh berpikir, terlalu banyak membaca buku yang membuat imajinasi saya tersesat di belantara makna. Atau mungkin, ada semacam ketidaksesuaian antara tindakan dan konteks yang membuat semuanya tampak aneh dan sedikit menjijikkan.

     

    Kemudian, ada lomba memasukkan sesuatu. Tapi ini bukan lomba masa kecil yang sederhana, seperti memasukkan pensil ke dalam botol. Tidak, ini jauh lebih rumit, seperti mimpi yang berubah menjadi labirin tanpa pintu keluar. Laki-laki dewasa dengan terong tergantung di pinggangnya, dan wanita dengan gelas diikat di depan tubuhnya. Gerakan mereka, yang seharusnya membawa tawa, malah terasa seperti gerakan para aktor dalam teater absurd, di mana makna terurai menjadi kebingungan.

     

    Dan akhirnya, ada lomba memecahkan balon. Pasangan laki-laki dan perempuan dewasa, dengan balon yang ditempatkan tepat di depan kelamin. Awalnya mungkin terlihat lucu, seperti guyonan ringan di antara teman-teman. Tapi lama-lama, semakin saya perhatikan, semakin saya merasa bahwa sesuatu telah hilang dari makna lomba itu. Kenapa tidak menempatkan balon di kursi, di punggung, atau di tempat lain yang lebih netral?

     

    Saat itu, saya merasa seperti sedang menyaksikan suatu adegan dalam mimpi yang tak sepenuhnya bisa saya pahami, di mana simbol-simbol kehilangan makna mereka dan hanya meninggalkan rasa tidak nyaman. Kenapa kita tertawa pada hal-hal yang seharusnya membuat kita bertanya-tanya tentang makna di baliknya? Atau mungkin, dalam tawa itulah kita berusaha menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang terlalu berat untuk dijawab.

     

    Di bawah langit 17 Agustus itu, saya bertanya-tanya apakah kemerdekaan yang kita rayakan ini telah memberi kita kebebasan yang sesungguhnya, atau justru membuat kita terperangkap dalam kebiasaan dan ritus yang tak kita pahami lagi. Mungkin, seperti halnya dalam novel-novel Kafka, kita semua hanya sedang menjalani peran-peran yang diberikan oleh tangan tak terlihat, di mana makna dan tujuan sering kali kabur, dan kita hanya bisa terus berjalan tanpa tahu arah yang pasti.

     

    Dalam hati, saya berharap lomba-lomba itu bisa kembali ke bentuknya yang sederhana, seperti masa kecil yang polos dan penuh harapan. Karena dalam kesederhanaan itulah, mungkin, kita bisa menemukan kembali makna yang hilang di antara tawa yang kosong dan tindakan yang absurd.

     

     

    Kreator : Wista

    Bagikan ke

    Comment Closed: Lomba 17 Agustus

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021