KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Luka Dalam Cinta

    Luka Dalam Cinta

    BY 31 Agu 2025 Dilihat: 10 kali
    Luka Dalam Cinta_alineaku

    PROLOG

    Untuk luka yang tak tampak, tapi terasa sampai ke ujung napas.

     

    Aku tidak tahu pasti kapan cinta mulai terasa seperti beban.

    Mungkin saat panggilan “Ibu” terdengar lebih seperti pengingat, bukan pujian.

    Mungkin sejak malam-malam panjang menjadi saksi air mata yang tak sempat ditampung pelukan.

    Atau ketika dunia menuntutku jadi kuat, saat hatiku bahkan tak punya ruang untuk rapuh.

     

    Orang bilang, menjadi ibu adalah anugerah.

    Tapi tak ada yang jujur tentang sepinya, tentang kehilangan diri sendiri, tentang luka yang kita sembunyikan di balik senyum.

    Aku pernah mencintai hidupku—dengan semangat muda dan impian yang mengepul.

    Lalu semuanya berubah.

     

    Saat cinta harus memilih bentuknya: bukan lagi bunga, tapi tanggung jawab.

    Ibuku pergi, dunia kerja menelanku, dan rumah bukan lagi tempat yang hangat.

    Di antara kehilangan dan kesalahan, aku seperti berjalan sambil menahan napas—berharap tidak runtuh, walau tahu retaknya sudah sejak lama.

     

    Ini kisahku.

    Tentang seorang perempuan yang pernah kuat karena terpaksa, dan akhirnya belajar mencintai dirinya lagi dengan perlahan.

    Jika kau membaca ini, mungkin kau juga sedang mencoba berdamai.

    Dengan luka, dengan masa lalu, atau dengan bayanganmu sendiri.

    Aku menulis ini, bukan untuk menyalahkan siapa pun.

    Tapi untuk memberi ruang bagi suara-suara sunyi dalam hati para ibu.

    Bahwa kita pun boleh lelah.

    Bahwa kadang, cinta butuh jeda.

    Dan tak apa, jika butuh waktu untuk pulang pada diri sendiri.

     

    Sebab, tidak semua luka harus disembuhkan segera.

    Ada yang butuh diterima dulu, sebelum bisa dimaafkan.

    BAB 1.  Saat Cinta Berwujud Tanggung Jawab

     

    Panggil saja aku Rani. Aku bekerja di salah satu instansi pemerintah, di bawah naungan Kementerian BUMN.  Dari luar mungkin hidupku tampak stabil—pekerjaan tetap, usia pernikahan yang dianggap “ideal”, dan pasangan yang cukup dewasa.

    Usiaku 25 tahun saat menikah, suamiku 29. Cukup dewasa, katanya. Tapi usia tak pernah benar-benar menjamin kebijaksanaan. Yang menempanya justru adalah luka, kehilangan, dan keputusan-keputusan sulit yang kadang tak sempat dipertimbangkan.

    Aku tinggal sendiri saat itu. Di sebuah rumah kontrakan mungil, lima kali lima meter saja ukurannya. Satu kamar, satu dapur, dan satu dunia kecil yang jauh dari hangatnya keluarga. Rumah itu berdiri di pinggir ibukota kabupaten, di salah satu sudut Sumatera yang tak banyak orang tahu.

    Inilah bab awal dari sebuah perjalanan, menjadi istri, lalu menjadi ibu—bukan hanya secara status, tapi secara jiwa. Saat cinta tak lagi manis dan ringan, melainkan berubah wujud menjadi tanggung jawab yang tak bisa kau tinggalkan di depan pintu.

     

    “Kadang kita lupa atau bahkan mungkin tak memahami, bahwa saat memutuskan menikah __artinya kita juga siap menjadi orang tua”.

     

    **Antara Bahagia dan Bingung**

    Pagi itu, aku duduk menekuk kedua lututku di lantai dingin kamar mandi dan memandang alat test pack di tanganku. 

    Garis dua…

    Tanganku gemetar, ya Allah artinya aku hamil…

    Aku menangis, air mata bahagia juga takut. 

    Ya Allah bukan aku tak bersyukur tapi ini terlalu cepat…

    Aku baru menikah satu bulan dan Kau berikan janin di rahimku.

    Apakah aku bisa menjalani kehamilan ini Ya Allah?, sedangkan saat ini aku masih terpisah jarak dengan suamiku.

    Apakah aku bisa menjadi ibu? Sedangkan menjadi anak pun aku belum bisa membahagiakan ibuku.

    Kutarik nafas, kuambil gawaiku lalu kucari nomor ibuku. Ya…yang aku beri tahu lebih dulu adalah ibuku bukan suamiku..

    “Assalammualaikum Ma.”

    “Wa’alaikum salam, Kenapa Ran, pagi pagi sudah telepon mama?” Jawab ibuku.

    “Ma, Rani hamil” ucapku pelan.

    “Alhamdulillah, ya gak apa-apa hamil…wong kamu sudah punya suami.” sahut ibuku.

    Aku terdiam, antara ikut senang dan juga ragu apakah ibuku benar benar bahagia aku hamil.

     

    “Cepat nanti periksa ke dokter. Suamimu sudah tahu?” Sambung ibuku lagi.

    “Belum Ma, Mas Lingga belum Rani telepon. Habis ini nanti Rani kabari Mas Lingga Ma,” jawabku.

    “Tolong doakan Rani dan calon bayinya sehat ya Ma” ucapku lagi.

    “Iya..mama doakan, jangan terlalu banyak fikiran, jaga kesehatan.” sahut ibuku.

    “Makasih Ma, sudah dulu ya Ma, Rani telepon Mas Lingga dulu, Assalamualaikum.” tutupku.

    “Wa’alaikum salam.” jawab ibuku.

     

    Layar handphone-ku kembali gelap.

    Sedikit rasa lega ketika respon ibuku menerima calon bayi ini.

    Ku dial nomor hp suamiku, tak lama ada respon,

    “Assalamualaikum dek, gimana hasil test nya” suamiku langsung bertanya.

    “Wa’alaikum salam Mas, Alhamdulillah positif” jawabku.

    ‘Alhamdulillah, sabtu ini mas kesana ya” responnya terdengar bahagia

    Tak banyak yang kami bicarakan, aku hanya mengatakan akan segera cek ke dokter sore ini, dan dia pun mengizinkan.

     

    Saat memutuskan menikah, tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku akan menjalani kehamilan pertama ini jauh dari suami. 

    Kami telah saling mengenal sejak aku lulus kuliah, dan selama itu kami memang terbiasa berpisah jarak. Sebelum menjadi pegawai yang akhirnya ditempatkan di luar kota, aku pun pernah bekerja jauh dari rumah.

    Maka saat menikah, aku pikir semua akan baik-baik saja. Aku yakin aku sudah terbiasa. Tapi ternyata aku lupa satu hal: Menikah bukan sekadar berbagi status, tapi tentang kesiapan membangun rumah, menjadi keluarga, dan pada akhirnya…menjadi orang tua.

     

    Hari itu, pikiranku kusut seperti benang kusut di hati—campur aduk antara cemas dan harap. Di kantor, aku duduk tanpa daya, tubuh hadir tapi jiwa entah melayang ke mana. Sepulang kerja, aku melangkah ke Klinik Bersalin satu-satunya di kota ini. Sendiri. Tanpa tangan yang menggenggam, tanpa suara yang menyemangati. Hanya aku dan sebaris doa dalam dada.

    Alhamdulillah, dari balik layar hitam putih itu, kantung kecil kehidupan sudah nampak—dua minggu sejak HPHT-ku, kata dokter. Masih sangat muda, rapuh, dan penuh kemungkinan. Tapi itulah awal. Awal dari segala doa dan penjagaan.

    Dokter memberikan resep: obat anti mual dan vitamin, tapi lebih dari itu, ia mengingatkanku untuk menjaga dengan sepenuh hati. Karena ini kehamilan pertamaku. Foto USG itu aku simpan rapi—seperti rahasia suci yang belum waktunya dibuka. Aku akan menunjukkannya pada suamiku saat ia pulang akhir pekan nanti. Semoga saat itu, ada pelukan yang menjawab sunyi yang selama ini kubendung sendiri..

    ______

     

    “Aku belajar bahwa menjadi ibu, bahkan sejak dalam rahim, adalah tentang mencintai sambil berani kehilangan.”

     

    **Takut kehilangan**

    Selama trimester awal ini, aku menjalani kehamilan dengan segala proses khas ibu hamil muda—mual, muntah, dan keinginan-keinginan aneh yang datang tanpa aba-aba.

    Pernah suatu pagi, aku tiba di kantor seperti biasa. Tiba-tiba, hidungku menangkap aroma yang entah dari mana datangnya, dan langsung membuat perutku bergejolak. Bergegas aku ke kamar mandi dan memuntahkan sarapan yang belum lama masuk. Tubuhku lemas, tapi aku tahu aku tak boleh manja. Tak ada yang mengelus punggungku atau menyodorkan minyak kayu putih untuk sekadar meredakan mual.

    Aku kembali duduk di meja kerja, menahan semuanya sendiri. 

    Pernah pula, suatu malam saat menonton televisi, aku melihat iklan ayam goreng cepat saji. Air liurku menetes tanpa sadar. Tapi di kota kecil tempatku tinggal, makanan itu tak tersedia. Aku hanya bisa berkata pada suamiku lewat telepon,

    “Nanti kalau ke sini, jangan lupa bawakan ayam goreng, ya.”

    Namun, seperti biasa, saat akhirnya ayam itu datang… seleraku sudah hilang entah ke mana. 

    Sore itu, sepulang kerja, tubuhku terasa sangat lelah. Aku berbaring sebentar, lalu merasa ingin buang air. Saat ke kamar mandi, dunia seolah berhenti sejenak—darah. Banyak. Ada di celana dalamku.

    Aku menangis. Tubuhku lemas seketika. .Dengan tangan bergetar, aku menelepon seorang teman dan menceritakan semuanya. Dia menyuruhku segera berbaring, tidak bergerak, menunggu suamiku datang malam nanti.

    Aku tak memberi tahu suamiku. Aku takut dia tak tenang di jalan. Takut kekhawatiran malah memperburuk keadaannya. 

    Aku menarik napas panjang, berulang kali.

    “Tak apa, Rani…” bisikku pada diri sendiri.

    Aku memohon pada Allah agar tidak mengambilnya dariku.

    Baru kali ini aku mulai benar-benar menerima kehadiran mungil itu di rahimku—dan aku belum siap kehilangannya.

     

    Ketenanganku kutambatkan lewat zikir. Hingga malam datang, suamiku tiba. Saat kuberitahu, ia langsung panik. Seperti dugaanku, ia ingin segera membawaku ke rumah sakit malam itu juga. Tapi aku meyakinkannya, aku tidak merasa nyeri. Besok saja, kataku.

    Pagi harinya, setelah mencari kendaraan, kami menuju rumah sakit terdekat. Tapi karena hari libur, tidak ada dokter atau bidan. Mereka menyarankan kami ke kabupaten sebelah.

    Akhirnya, suamiku memutuskan membawa aku pulang ke kota asalku. Di sana fasilitas lebih lengkap.

    Perjalanan enam jam terasa seperti seumur hidup. Sesampainya di UGD, aku langsung diperiksa. Diputuskan aku harus dirawat dan bed rest total.

    Setelah serangkaian pemeriksaan, dokter berkata,

    “Janinnya baik-baik saja.”

    Aku menangis lagi. Tapi kali ini bukan karena takut.

    Melainkan karena rasa syukur yang meluap—aku belum kehilangan.

    Belum. Dan semoga tak akan pernah..

    ________

    “Perjuangan melahirkan mengajarkanku bahwa cinta bukan hanya tentang merawat—tapi juga tentang bertahan, menyerah, lalu bangkit kembali.”

     

    **Akhirnya Menjadi Ibu**

    Kehamilan yang kutapaki sendiri, hanya hitungan kali ketika merasakan tangan suami di pundak atau sekedar memijat punggung yang terasa lelah. Namun tiap detak janin dalam rahim, adalah lagu penguat yang tak pernah diam. Kupeluk sabar dalam doa, Suka duka itu akhirnya terlewati. 

    Akhirnya tibalah waktu mempersiapkan diri, aku pulang ke rumah ibuku setelah kantor setuju pengajuan cuti bersalinku.

    Ditemani lelaki penjagaku, bersama dengan langkah kecil yang teratur setiap pagi—sebab dokter berkata: “Gerakkan tubuhmu, agar kelak kamu bisa melahirkan tanpa luka.” Dan aku menurutinya, seperti bumi menurut pada musim yang datang bergilir. 

    Kini, masa bahagia akan segera tiba. Rasa sakit pun akan berubah menjadi tangis pertama yang paling kutunggu sepanjang hidupku. 

    Sore yang tenang, saat sedang merajut cerita bersama ibu di sela tugas rumah, Dimana perkiraan persalinan masih satu minggu lagi, tapi tanda itu tiba lebih cepat.

    “Ma, sepertinya sudah waktunya.” laporku pada ibu.

    Dengan wajah kaget beliau berkata, “Cepatlah periksa dulu ke bidan Nur, supaya dilihat sudah pembukaan berapa.”

    “Gak usah, Ma. Nanti langsung ke Rumah Sakit tempat Rani kontrol saja, sekarang juga belum ada rasa sakit. Rani hubungi mas Lingga dulu Ma.” 

     Mas Lingga segera pulang ketika aku kabari kondisiku. Berdua kami naik motor ke Rumah Sakit dengan membawa perlengkapan yang sudah aku siapkan. Diiringi dengan doa Ibu kami berangkat dengan hati bahagia bercampur panik.

    Setelah pemeriksaan di ruang bersalin, ah…ternyata anakku tak mau segera bertemu, dia ingin ibunya berjuang lagi. 

    Hampir dua belas jam aku menahan sakitnya kontraksi tapi jalan lahir belum mau terbuka lengkap, akhirnya aku terpaksa di induksi.

    Ya Allah…begini rasanya berjuang saat melahirkan, aku yang saat itu kaget, lelah dan bingung hanya bisa pasrah ketika rasa sakit itu menghujam. Peluhku telah membasahi. Kali ini ibuku hadir menenangkan, suamiku menatapku dengan perasaan iba. Genggaman tangannya tak lepas dariku. 

    Akhirnya suara tangis itu terdengar,  bayi mungil Perempuan dengan wajah yang tak asing bagiku, mulutnya menghisap jempol tangannya sendiri. 

    Alhamdulillah…aku merasa lega dia selamat dan tak kurang satu apapun. Babak baru dalam hidupku akan dimulai menjadi seorang Ibu.

    ________

     

    “Ada air mata yang tak jatuh di pipi, tapi menetap di hati—itulah air mata ibu yang harus pergi demi memberi”

     

    **Pilihan Yang Terpaksa**

    Bahagia itu datang seperti matahari pagi, menghapus malam panjang dan rasa nyeri. Tangisnya yang pertama kali kudengar, membuat segala luka seolah tak pernah ada. Pelukan ibu, tatap saudara, tawa teman-teman,semuanya seperti puisi yang dibacakan serempak. 

    Setiap hari ada saja kado, bukan hanya yang dititipkan kepada suamiku, tapi dari langit yang seolah ikut bersyukur: “Akhirnya kau jadi ibu.”

    Hidupku terasa sempurna, seperti musim semi yang tak pernah tahu dingin. Tapi musim pun berganti diam-diam. Satu bulan berlalu, dan kegembiraan mulai diganggu oleh bayangan-bayangan kecil. “Siapa yang akan menjagamu saat aku kembali bekerja?” tanyaku dalam senyap.

    Kutatap matanya yang belum tahu apa-apa tentang dunia dan kegamangan seorang ibu. Khawatir ini menjelma seperti kabut pagi, menyelimuti pelan-pelan, tak dingin tapi mengusik. Aku ingin bahagia itu menetap, tapi cemas mulai mengetuk pintu dada.

    Dan, aku tahu, menjadi ibu adalah berjalan di antara harapan dan kecemasan, dengan cinta yang terus belajar bernapas di tengah perubahan.

    Aku mulai membuat pilihan, kusampaikan kekhawatiranku pada suamiku. Tapi, kami tak bisa menemukan jalan tengah selain aku mengajukan permohonan pindah. Tapi apakah akan disetujui sedangkan aku belum genap dua tahun bekerja. Ada rasa cemas. Sedangkan jika suamiku yang pindah, akan sulit karena posisinya hanya ada di Kantor Pusat. Kami sama-sama terdiam. Seperti tak menemukan jalan keluar.

    Salah satu rekan kerjaku bilang, “Hidup itu memang pilihan, kamu tak bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan,” masih terngiang di telingaku.

    Waktu cutiku sudah hampir habis dan kami belum menemukan Solusi terbaik. Tiba-tiba satu malam, Ibuku mengusulkan tapi sebetulnya ini adalah titah. “Yumna biar sama mama, nanti kamu pulang seminggu sekali untuk ketemu anakmu, toh ASI-mu sudah tak banyak lagi, Yumna bisa minum susu formula” katanya.

    Aku dan suami saling pandang, kami tahu jika ibu sudah berkata maka wajib untuk dipatuhi. Akhirnya kami berdua pasrah. Sementara inilah solusi terbaik yang bisa kami Jalani, karena ibuku tak percaya jika ketika aku bekerja anakku yang masih bayi ini dititipkan ke orang lain. 

    Tapi sebetulnya aku pun ragu, ibuku membuka warung di rumah, masih suka membuat makanan untuk dijual, ditambah mengurus cucu apakah tidak tambah repot. Namun ibuku bilang “Mama sudah biasa, tak usah kamu pikirkan, dulu mengurus kalian pun Mama sendiri, Papa kalian kerja juga pulang sebulan sekali” jelas ibuku. 

    Tak ada ibu yang ingin menjauh dari bayinya, terlebih di bulan-bulan pertama yang begitu rapuh dan penuh keajaiban. Tapi hidup tak selalu memberi kita pilihan yang mudah.  Aku harus kembali bekerja, meski hatiku masih tertinggal di balik selimut kecil dan aroma tubuh mungil yang baru saja kukenal.

    Ini bukan tentang ambisi. Ini tentang tanggung jawab. Tentang cinta yang diwujudkan lewat pengorbanan diam-diam.

    Aku dan suamiku ingin anakku tumbuh tanpa harus mengenal pahitnya menahan keinginan, atau menelan kecewa saat mimpi harus dikubur hanya karena tak ada biaya. kami ingin ia punya pilihan yang lebih luas dari yang pernah kami miliki. 

    Aku dan suamiku ingin ia bisa belajar setinggi mungkin, melangkah sejauh ia mau, tanpa harus melihat ayah ibunya menjual satu-satunya barang berharga di rumah hanya untuk daftar ulang kuliah. 

    Selain itu aku juga pernah berjanji pada diriku sendiri untuk membahagiakan ibu dari pekerjaanku, masih ada mimpi yang ingin kuwujudkan untuk ibu.

    Aku tahu, luka karena jarak ini tak terlihat oleh banyak orang. Setiap suara tangis yang tak kudengar langsung, setiap momen pertama yang mungkin kulewatkan, adalah harga yang kubayar dengan air mata sunyi.

    Tapi jika pengorbananku hari ini bisa menjadi alas pijak yang lebih kokoh untuk masa depan anak dan kebahagiaan ibuku, maka biarlah. 

    Biarlah aku menjadi ibu dan anak yang kuat, walau sebenarnya sering goyah. Karena cinta, sejatinya, tak selalu tinggal di rumah—kadang ia harus pergi jauh untuk kembali dengan lebih banyak yang bisa diberi..

    Tapi, aku dan suamiku kelak akan menerima hasil dari keputusan ini.

     

    Kreator : Puspa Raito

    Bagikan ke

    Comment Closed: Luka Dalam Cinta

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021