“Kadang, luka yang paling menyakitkan adalah yang tak terlihat oleh mata, tapi diam-diam merobek dari dalam.”
**Aku, Rani, anak pertama dari dua bersaudara. Adikku lelaki usianya dua tahun lebih muda dariku.
Kami kehilangan ayah saat sama-sama masih mahasiswa—aku di semester enam, dia di semester dua. Sejak itu, beban hidup bertumpu di pundak Ibu. Untuk membiayai kuliah kami berdua, Ibu harus menambah penghasilan dengan berjualan makanan di warung sembako milik keluarga.
Perjuangan itu tidak sia-sia. Aku berhasil lulus dan bekerja. Adikku pun melanjutkan S1 sambil bekerja, sementara aku membantu membayar uang semesternya.
Sejak kecil, kami tumbuh dengan didikan keras: banyak larangan, segunung kewajiban. Saat ayah tiada, kami diajarkan tetap kuat. Tak boleh cengeng, tak boleh bergantung, apalagi meminta pada siapapun.
Aku tumbuh menjadi anak pendiam. Tidak manja, tidak cerewet, dan terbiasa menyimpan cerita sendiri dan membawa keyakinan: untuk menjadi anak yang membanggakan, aku harus sukses. Harus membayar setiap keringat yang Ibu keluarkan demi pendidikanku. Maka aku bekerja keras, berkarier, dengan satu tujuan: membahagiakan Ibu.
Ketika aku menikah dan memiliki anak, aku tetap bekerja. Salah satu motivasiku adalah Ibu—membuktikan bahwa aku mampu “mengembalikan” setiap rupiah yang ia korbankan demi pendidikanku.
Namun takdir membawa cerita lain. Aku divonis sakit. Ada masa ketika tubuhku melemah, tetapi tuntutan justru kian menguat. Aku terus memaksa diri bertahan. Bukan sekadar karena ambisi, melainkan pelarian—dari perasaan gagal sebagai anak, juga sebagai ibu.
Aku tak sadar, emosi yang tak pernah sempat kuolah justru tumpah kepada mereka yang paling kusayangi. Dan aku… terlalu sibuk bertahan, hingga tak menyadari tangan kecil itu mulai melepasku.
Ini adalah kisah tentang retak yang tak terlihat, tapi terasa hingga ke dalam dada.**
**Vonis Itu …**
“Saat tubuh melemah, jiwa diberi kesempatan untuk lebih kuat dalam bersandar kepada-Nya.” — Ustadz Salim A. Fillah.”
Berpisah jarak dengan keluarga kecilku menjadi episode hidup yang aku harus lewati. Akhir pekan selalu jadi waktu paling kutunggu—satu-satunya kesempatan melepas rindu pada Hanin, anakku. Setiap Jumat sore aku menempuh perjalanan dari kabupaten, dan Minggu malam kembali ke rutinitas kerja. Begitu terus hingga Hanin berusia 1,5 tahun. Lelah? Sangat. Tapi rindu lebih kuat dari rasa remuk di tubuh.
Aku sempat mengajukan pindah tugas, berharap bisa lebih dekat dengan anak. Tapi, jawabannya tegas: Tidak ada posisi untukku. Aku hanya bisa menangis di kamar kontrakanku. Mungkin aku memang harus lebih sabar.
Suatu hari, di ruang administrasi rumah sakit tempatku bertugas, migrainku kambuh. Sakit itu sudah jadi teman lama sejak masa SMU—rasa seperti ditindih batu, kadang sampai muntah. Seorang teman menyuruhku istirahat di ruang pemeriksaan jantung yang sedang kosong. Di sana, sambil menutup mata, aku hanya ingin diam.
Tiba-tiba, pintu terbuka.
“Loh, kenapa kamu, Ran?” suara Dokter Adrian.
“Migrain, Dok.” jawabku pelan.
“Kamu biasa minum obat apa? Kalo Ericaf, bisa?” tanyanya lagi.
“Ehm, kayaknya tak bisa, Dok. Jantung saya berdebar kalo makan obat itu,” jelasku sambil tetap dengan mata terpejam menahan sakit.
“Kalo gitu, dosisnya saya kurangi. Kamu cukup minum setengah tablet saja,” lanjut Dokter Adrian.
Lalu, Dokter menuliskan resep dan memberikan ke temanku untuk ditukar di Apotek.
Beruntung aku memiliki teman yang baik, semua dokter pun sangat ramah, walaupun aku hanya ditugaskan sementara di Rumah Sakit itu dan bukan bagian dari pegawainya.
“Besok kalo kamu udah enakan, kamu ke ruangan saya, ya,” ucap Dokter Adrian lagi.
“Baik, Dok.” jawabku.
Keesokan harinya aku penuhi saran dr. Adrian dan dengan cepat dia mengumpulkan informasi sebagai penunjang penegakkan diagnosanya atau istilah medis disebut anamnesa. Seperti menyusun puzzle, Dokter Adrian menanyai satu per satu.
“Kamu sudah sering sakit kepala?” tanya Dokter Adrian.
“Iya, Dok. Sejak SMU,” jawabku
“Rambut kamu rontok tidak?”
“Rontok, Dok. Tapi kan karena saya pake hijab,”
“Kamu sering sariawan?”
“Iya, Dok. Saya malas makan buah dan sayur,”
“Kalo terkena sinar matahari, kulit kamu sensitif tidak?”
“Sebelum saya pake hijab, kalo kulit saya terkena panas matahari maka akan muncul kemerahan seperti terbakar, dan tidak cepat hilang berbentuk bulat bulat, Dok,” Jawabku panjang, tapi aku sambil berfikir ke arah mana Dokter Adrian menanyakan semuanya.
Semua penjelasanku dicatatnya di rekam medis, lalu dia mengambil lembar surat rujukan.. menuliskan sesuatu lalu menyerahkan kepadaku sambil berpesan: “Kalau pulang ke kota, coba periksa ke bagian Alergi dan Imunologi.”
Aneh, pikirku. Apa hubungan migrain dengan semua ini?
Saat pulang, biasanya aku bahagia. Tapi kali ini ada cemas yang tak biasa. Aku ceritakan semua ke suami dan ia langsung mengantarku ke dokter senior yang direkomendasikan.
Dokter itu memeriksaku dengan cermat. Tanya jawab serupa kembali terjadi, lalu aku diberi daftar tes laboratorium. Keesokan harinya, kami membuat janji untuk datang kembali.
“Dari hasil pemeriksaan laboratorium, tidak tampak kelainan, hanya Hb saja agak rendah yang lain normal, ANA Test juga negatif,” papar Prof. Salim.
“Namun dari sepuluh gejala yang saya tanyakan, ada empat yang Ibu alami, jadi ini tetap bisa tegak diagnosa, walau hasil lab tidak terlihat.” lanjutnya lagi.
Apa maksudnya? Aku masih bingung penjelasan itu, tapi aku dengarkan dengan serius.
“Diagnosa kamu Systemic Lupus Erythematosus, atau Lupus, penyakit autoimun yang dikenal sebagai ‘penyakit seribu wajah’,” ucapnya pelan namun pasti.
Otakku terasa blank, aku pernah mendengar lupus dan pernah melihat pasien konsumsi banyak sekali obat dalam satu hari karena penyakit ini. Lalu sekarang dokter bilang aku terdiagnosa. Rasanya seperti mimpi, aku belum sadar betul. Telingaku masih mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang penyakit ini.
“Kenapa tiba-tiba penyakit ini muncul, Dok?” tanyaku
“Sebetulnya kelainan imun sudah ada, atau bisa disebut sejak lahir, namun tidak tampak. Nah, yang menjadi pemicu mungkin adalah kehamilan dan persalinan, karena pada masa itu terjadi perubahan hormon pada wanita dan itu memicu imun bekerja lebih keras.” jawab Dokter Salim panjang lebar.
Di tanganku, ia berikan buku saku tentang lupus. Judulnya saja membuat nyaliku ciut. Aku berjalan keluar ruangan seperti orang linglung. Sampai rumah, aku tak bisa bermain dengan Hanin seperti biasa. Aku hanya ingin menyendiri. Kututup pintu kamar, dan menangis.
“Ya Allah… cobaan apalagi ini?” Tanyaku lirih dalam hati, sambil air mata tak henti mengalir.
**Akhirnya Kembali Bersama**
“Kadang, yang kita anggap musibah adalah pintu pulang yang disamarkan oleh Allah.”
Dua bulan sudah aku menyandang status sebagai Odapus. Rasa menolak masih kerap muncul—baik di hati maupun dalam sikapku. Obat yang diresepkan tak kunjung kuminum. Aku malah sibuk mencari pendapat dokter spesialis penyakit dalam lain, seolah meragukan Prof. Salim.
Setelah melewati fase penolakan dan tawar-menawar dengan diri sendiri, perlahan aku mulai mencoba menerima. Aku pasrah. Aku akan menjalani pengobatan dengan disiplin, kontrol rutin sebulan sekali setiap kali pulang ke kota—karena obat yang kubutuhkan tidak tersedia di kabupaten. Konsekuensinya, waktu bersama Hanin semakin berkurang. Belum lagi saat kambuh, aku tak bisa berbuat apa-apa selain berbaring, merasakan nyeri di setiap persendian.
Suatu hari, ketika aku sedang menggendong Hanin, ponselku berdering. Tertera nama salah satu seniorku, Asisten Manajer bidang SDM di kantorku.
“Assalamu’alaikum, Kak,” sapaku.
“Wa’alaikum salam,” jawabnya.
“Rani, kamu sakit, ya? Kenapa tidak melapor?”
“Maaf, Kak. Kupikir tak perlu melaporkan yang seperti ini.”
“Bagaimana kondisimu sekarang? Apa kesulitanmu?”
“Aku berusaha berdamai, Kak. Aku tidak ingin menolak penyakit ini dan membuatnya semakin parah. Hanya saja, aku harus rutin kontrol di kota karena obatnya tidak tersedia di kabupaten.”
“Kudengar, kalau kamu kambuh, kamu benar-benar tak bisa apa-apa, ya? Kalau begitu, sebaiknya kamu mengajukan pindah ke kota. Nanti aku yang urus dari sini. Soal bos, biar aku yang meyakinkannya.”
Aku terdiam. Rasanya seperti mimpi. Saat aku dulu memohon pindah tapi ditolak, kini tawaran itu datang sendiri. Ya Allah… Engkau Maha Baik. Ternyata sakit ini adalah jalan untuk kembali berkumpul bersama keluarga kecilku dan Ibu.
Proses mutasi pun berjalan cepat—hanya sekitar tiga bulan. Aku meninggalkan kabupaten ini dengan segala suka duka, dengan teman-teman yang sudah kuanggap keluarga. Mereka semua begitu baik padaku.
Aku belajar, bahwa setiap pertemuan memang disiapkan untuk perpisahan. Dan setiap perpisahan, menyisakan kenangan—yang tak hanya tersimpan di kepala, tapi terpatri di dada, menjadi bagian dari perjalanan hidupku.
**Kehamilan Kedua**
“Doa seorang ibu adalah nyanyian sunyi yang menembus langit, bahkan ketika ia sedang takut akan masa depan.”
Waktu berlalu, usia Hanin menginjak empat tahun. Sudah dua setengah tahun kami hidup bersama, hingga aku hamil anak kedua. Walau dokter menganjurkan agar aku tak hamil lagi, Allah memberiku kesempatan. Dengan segala resikonya, kujalani kehamilan ini karena aku tidak sendiri.
Aku pernah bercita-cita menjadi ibu yang sempurna—tidak ingin apa yang ku rasa di masa kecilku terulang pada anakku. Aku yakin mampu menjalani peran sebagai ibu yang ideal, sekaligus tetap bekerja dan menjadi istri, meski aku memiliki keterbatasan fisik.
Rasanya damai sekali kembali ke kota, walau masih tinggal di rumah Ibu. Setiap hari aku bisa bersama Hanin. Pagi-pagi aku memandikannya. Tak pernah sekalipun kutinggalkan ia dalam keadaan masih tertidur. Sore harinya, ia akan menungguku pulang, lalu kami bermain hingga malam sebelum tertidur bersama.
Kami memilih tidak menyewa rumah. Ibu hanya tinggal berdua dengan adikku, dan aku ingin kehadiran kami bisa menghiburnya. Hanin kecil sangat disayang Ibu, dan aku pun tak tega menjauhkannya.
Namun, pada awal kehamilan kedua, aku sempat dirawat karena dehidrasi dan kehilangan nafsu makan setelah mendengar kesimpulan dokter bahwa janinku tak berkembang di usia enam minggu. Aku mencari pendapat kedua, dan ternyata semuanya baik-baik saja. Meski begitu, tubuhku sudah terlanjur lemah akibat dua hari tak makan. Setelah itu, kehamilan berjalan lancar.
Saat tiba waktu melahirkan, aku harus menjalani operasi sesar karena KPSW—sama seperti kelahiran pertama, tanpa kontraksi. Aku memohon doa kepada ibuku, sadar betapa banyak salahku padanya. Aku juga meminta doa dari ibu mertuaku, agar semuanya dilancarkan. Dalam hati, jika aku tak selamat, aku sudah menitipkan maaf kepada mereka.
Alhamdulillah, aku dan bayi selamat. Meski ia terdiagnosa kelainan katup jantung, dokter memberi harapan bahwa kelainan itu bisa kembali menutup sendiri dalam satu hingga tiga bulan.
Siang malam aku memohon kesembuhan pada Allah. Dan qadarullah, pada kontrol pertama di usia satu bulan, katup jantung itu telah menutup sempurna. Air mata bahagia tak henti mengalir di pipiku.
Hari berganti bulan. Hanin mulai bersekolah di taman kanak-kanak, dan tanggung jawabku bertambah. Aku berusaha menjadi ibu yang adil bagi kedua putriku, memastikan Hanin tidak merasa diabaikan. Namun sejak Aisyah lahir, Hanin tidak lagi tidur bersama kami—keputusan yang diatur oleh ibuku, dan aku tak bisa membantah. Meski begitu, sebelum tidur aku selalu memeluknya, membacakan cerita, atau sekedar menggosok punggungnya sambil bershalawat.
Di mataku, Hanin tetap ceria. Dan di hatiku, aku merasa masih memegang teguh cita-citaku—menjadi ibu yang hadir, untuk keduanya.
**Dibawah Bayang-Bayang**
“Cinta yang terlalu ingin melindungi kadang justru membatasi sayap yang ingin terbang.”
Konflik mulai terasa ketika aku dan suamiku menyadari bahwa kehidupan kami tak sepenuhnya bisa kami atur sendiri. Banyak hal yang diatur oleh ibuku. Aku sudah terbiasa dengan pola asuh seperti itu sejak kecil, tapi bagi suamiku, ini adalah dunia yang asing.
Di awal tinggal bersama mertua, ia sempat kaget. Salah sedikit atau tak sesuai keinginan Ibu, langsung mendapat omelan. Syukurlah suamiku orang yang sabar. Ia tak pernah menyimpan dendam. Ia selalu berkata, “Kalau kita tak suka dengan yang mama minta, niatkan saja untuk menyenangkan hatinya.”
Namun di mata mama, selalu saja ada yang kurang dari yang dilakukan suamiku. Misalnya, pulang kerja ia mampir ke rumah orang tuanya tanpa langsung pulang, atau membelikan sesuatu untuk mereka tanpa memberitahuku. Awalnya aku tak masalah, tapi menurut Ibu, itu bukan kebiasaan baik. Bahkan, baginya, pergi ke rumah orang tua tanpa pamit pada istri sama saja dengan berkhianat.
Aku tahu Ibu sangat menyayangiku, ingin memastikan aku bahagia dengan pasanganku. Tapi, posisiku sungguh sulit: membela suami berarti melawan Ibu, membela Ibu berarti melukai suami. Aku memilih diam, menangis sendirian, berharap suamiku perlahan akan mengerti.
Pola asuh anak pun menjadi persoalan. Saat anak-anakku mulai besar, Ibu menerapkan gaya mendidik cucunya sama seperti dulu ketika mendidik kami anak-anaknya. Setiap hari sepulang kerja, ada saja laporan tentang tingkah mereka: Aisyah yang mencoret pintu dan dinding, Hanin yang enggan mencuci piring, atau keduanya yang betah bermain ponsel tanpa henti.
Kepalaku terasa mau pecah. Tubuh lelah, anak-anak berulah, dan Ibu menyalahkanku karena dianggap terlalu lembut mendidik mereka. Tapi, aku tak mau mereka merasakan luka yang sama sepertiku. Aku tak pernah menuntut Hanin menjadi juara kelas, karena aku tahu rasanya hanya dihargai jika menjadi yang terbaik.
Setiap kali Ibu mengadu, aku mencoba mengajak anak-anak berbicara, mendengar versi mereka, lalu memberi nasihat: bahwa Oma sudah tua, jadi harus patuh, rajin membantu, dan tidak membantah. Mereka mengangguk. Namun dalam hati aku khawatir—perbedaan pola asuh ini akan membuat mereka bingung.
Hidup di rumah yang setiap hari dipenuhi masalah tentang anak-anak membuatku mencari pelarian. Entah sejak kapan aku mulai kecanduan bekerja. Pekerjaan kubawa pulang, dan suamiku tak pernah melarang. Baginya, yang penting aku senang melakukannya.
Jiwaku lelah. Pikiran terbelah antara pekerjaan dan anak-anak. Akhirnya, aku membiarkan Ibu memarahi mereka. Aku berhenti memeluk setelah marah, malah ikut menegur dengan keras—tanpa sadar, aku sedang meniru pola asuh Ibu, berharap anak-anakku menjadi kuat.
Suamiku? Saat itu aku nyaris tak memikirkan perannya sebagai ayah. Mungkin karena latar belakang keluarganya yang bebas tanpa aturan ketat. Ia hanya tahu anak-anak harus punya cukup, dibelikan mainan mahal, bahkan ponsel. Aku tak setuju, tapi tak ingin memperlihatkan perbedaan di depan anak-anak. Sayangnya, ia jarang berdiskusi denganku. Mungkin hal ini karena masa kecilnya hanya bisa memendam keinginan untuk membeli barang-barang mahal, jadi dia tak ingin anaknya merasakan hal yang sama.
Tanpa kami sadari, kami menjadi cerminan orang tua kami masing-masing: aku dengan didikan keras dan harus teratur, suamiku dengan kebebasan tanpa tekanan namun terbatas memenuhi keinginan. Dua kutub yang bertolak belakang tapi sama-sama meninggalkan trauma kecil, kini kami wariskan pada anak-anak kami.
Aku masih hadir di sekolah saat orang tua diundang, memastikan anak-anakku merasa diperhatikan. Tapi, ketika di rumah… aku sebenarnya tak pernah benar-benar ada.
**Luka Itu Semakin Dalam**
“Yang paling berbahaya dari luka batin adalah ketika ia tak terasa di awal, tapi perlahan membuat hati saling menjauh.”
Ternyata, sesabar apa pun aku berusaha, ada masa dimana lelahku memuncak. Ada saat aku bertindak tanpa sadar—Hanin pernah aku kurung di kamar hanya karena dia sibuk bermain ponsel. Suamiku pun pernah membanting ponsel yang dipegangnya hingga hancur. Saat itu, aku tidak memeluknya. Aku hanya diam.
Di tengah itu semua, perubahan besar di tempat kerja menambah beban pikiranku. Fokusku sepenuhnya tersedot ke kantor. Aku bekerja keras, tak mau terlihat lemah hanya karena sakit, dan ingin tetap memberi kontribusi terbaik.
Bagiku, itu bentuk terima kasih karena perusahaan telah menjamin penuh pengobatanku dan mendekatkanku kembali pada keluarga. Aku memberi timbal balik dengan loyalitas tanpa batas. Kapan pun dibutuhkan, aku siap. Pulang tengah malam pun tak masalah, sampai tubuhku sendiri memberi tanda bahaya.
Waktu bersama anak-anak otomatis semakin sedikit. Pagi diwarnai drama mengantar sekolah, perjalanan terjebak macet, dan pulang kerja sering kali kami sholat Maghrib di masjid yang dilewati. Walaupun sholat di rumah, sudah di ujung waktu. Ibadah terasa sekedar menggugurkan kewajiban.
Struktur kantor pun berubah, datang “orang baru” yang kupikir akan menjadi angin segar. Harapanku terlalu tinggi. Aku tetap menjadi tumpuan utama bagi atasan. Tidak masalah, karena itu bukti aku diandalkan. Tapi, seringkali tubuhku sudah berteriak minta istirahat, dan aku mengabaikannya. Kontrol kesehatan mulai jarang aku lakukan. Minum obat pun hanya kalau ingat.
Orang baru itu seharusnya menjadi jembatan antara staf dan manajer, tapi fungsi itu nyaris tak berjalan. Aku kesal melihat cara berpikirnya yang menurutku tak memahami peran jabatan. Kenapa ada orang yang seperti itu, aku membandingkan dengan diriku sendiri.
Hampir setiap hari kekesalan itu ku ceritakan pada suami. Kalau mood-ku buruk, kemarahan itu tumpah pada anak-anak. Aku membentak, mengomel, bahkan dengan kata-kata yang keras. Aku tak merasa ada yang salah. Suamiku pun tak pernah menegur sikapku.
Hanin mulai melawan dalam diam. Ia tidak membalas kata-kataku, hanya terbungkam. Itu membuatku frustasi. Aku tak sadar bahwa diamnya adalah protes atas perlakuanku—juga atas omelan Omanya yang ia terima setiap hari.
Beberapa tahun kemudian, aku mulai merasakan jarak. Hanin tak lagi bercerita seperti dulu. Ada tatapan yang terasa dingin, ada senyum yang tak lagi penuh. Aku tahu ini bukan sekadar fase remaja—ini retak yang pernah ku biarkan menganga. Dan yang paling menyakitkan, retak itu tak terlihat orang lain. Hanya aku dan anakku yang tahu.
Retak itu akhirnya nyata, meski tak kasat mata. Sebuah jarak terbentuk, menganga pelan-pelan, dan aku tidak tahu bagaimana cara menutupnya kembali.
“Kadang, rumah tidak runtuh karena badai dari luar, tapi karena retak kecil yang dibiarkan di dalam.”
Catatan :
*) Ericaf obat yang mengandung Ergotamine dan Caffeine. Obat ini digunakan untuk mengatasi serangan migrain akut.
*) Hb = Hemoglobin adalah protein yang terdapat dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh dan membawa karbon dioksida kembali ke paru-paru untuk dikeluarkan
*) ANA Test : Tes ANA (Antibodi Antinuklear) adalah tes darah yang dilakukan untuk mendeteksi keberadaan antibodi antinuklear dalam darah. Antibodi ini adalah protein yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh dan, pada kondisi normal, menyerang zat asing seperti virus dan bakteri. Namun, pada penyakit autoimun, antibodi ini justru menyerang sel-sel sehat tubuh sendiri. Tes ANA dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit autoimun, seperti lupus, rheumatoid arthritis, dan skleroderma.
*) KPSW : Ketuban Pecah Sebelum Waktu, Kondisi ini terjadi ketika kantung ketuban pecah atau robek sebelum waktunya melahirkan, yaitu sebelum usia kehamilan 37 minggu atau bahkan sebelum tanda-tanda persalinan muncul.
Kreator : Puspa Raito
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Luka Dalam Cinta Bab 2
Sorry, comment are closed for this post.