“Ketentraman hati hanya ketika kita mau menerima.. Lantas bagaimana jika sesuatu itu sulit diterima? saat hati nurani berkata “Duh..ini tak benar,” maka sulit untuk bisa legowo dan menganggap itu menjadi sesuatu yang “benar” dengan pura pura tidak tahu atau biasa saja. Saat kau hanya memendam itu maka dirimulah yang akan terbakar habis.”
** Aku Rani, yang dulu ketika kecil, cita-citanya berubah-ubah: ingin menjadi dokter, lalu tentara, kemudian arsitek seperti ayahku. Tak satupun benar-benar tercapai. Setelah lulus SMA, aku bahkan tak tahu harus melangkah ke mana. Hanya karena mengikuti teman mendaftar ke sekolah keperawatan, aku akhirnya diterima. Pilihanku jatuh ke Diploma 3 bukan karena mimpi, melainkan karena ingin cepat bekerja.
Nyatanya, Allah punya cara sendiri. Aku memang tak menjadi dokter, tapi justru bisa berteman dengan banyak dokter. Aku tak menjadi tentara, tapi kuliahku berlangsung di lingkungan tentara. Seakan hidup ingin menunjukkan, meski jalannya berbeda, aku tetap sampai ke ruang-ruang yang pernah kuimpikan.
Namun, di balik itu semua, kehidupan tak hanya soal pencapaian. Ada sisi lain yang lebih sunyi: tekanan, luka, dan kehilangan. Saat kembali bekerja, aku sempat merasakan kembali denyut prestasi, seolah roda hidup berputar ke arah yang lebih terang. Tapi bayangan depresi dan rasa hampa menyelinap, hingga aku terpaksa berhenti sejenak mencoba menyembuhkan diri.
**
** Toxic Achievement**
“Pura pura bahagia bukan cara yang bijaksana. Memang betul itu terlihat baik buat orang lain lalu apakah baik juga buat dirimu? Apakah kamu pikir dirimu sudah menjadi orang yang cerdas? Atau kamu pikir kamu orang yang sabar? Jawabnya …. Tanyakan Itu Pada Hatimu?
Satu tahun sejak ibuku meninggal, aku tetap mencoba bertahan, seperti nasihat atasanku: membuat Ibu bangga dengan prestasi. Aku yang dulu memang telah terbiasa berusaha berprestasi agar Ibu bangga, merasa kalimat itu benar. Walau Ibu sudah tak ada, aku yakin dia tahu apa yang terjadi padaku. Aku tak boleh terus menyesal dan terpuruk karena ditinggalkan.
Aku yang menjadikan pekerjaan sebagai pelarian, tanpa sadar merasa tertantang menghadiahkan yang terbaik. Rekan kerja yang “menyebalkan” tak terlalu kuambil pusing, aku tetap bekerja; yang penting atasan tahu apa yang terjadi. Prioritasku adalah “lakukan yang terbaik” untuk kemajuan institusi, dan demi memudahkan teman-teman di lapangan aku selalu siap membantu bila dibutuhkan. Aku tak pernah abai terhadap pertanyaan maupun permintaan yang datang kepadaku.
Inovasi sering kulahirkan karena ide justru muncul saat terbentur kendala, saat kita merasa bebas berekspresi dan berpendapat. Sementara rekan kerjaku masih berjalan di tempat, tanpa perkembangan berarti. Awalnya kukira ia butuh adaptasi sehingga sulit memahami jobdesk, tapi sampai lima tahun pun tetap sama. Sudah berganti atasan, tetap berakhir dengan hal yang sama: atasan tak nyaman berinteraksi dengannya, lalu mengalihkan pekerjaan padaku.
Kondisi ini sebetulnya sudah kualami sejak ibuku masih ada, dan biasanya aku sering curhat padanya. Aku tahu pasti Ibu mendoakan agar aku kuat dan sabar. Karena itu, beban yang ada tak begitu kupikirkan; aku hanya peduli pada tujuanku: menjadi orang yang bermanfaat. Walau kadang kesulitan mengatur apa saja yang harus kukerjakan—saking banyaknya—aku berusaha menyelesaikannya dengan baik. Dua puluh empat jam sehari kadang hanya ku isi dengan beberapa jam istirahat. Aku benar-benar tenggelam dalam pekerjaanku.
Memang pada dasarnya aku suka dengan apa yang aku kerjakan sehingga bisa menikmatinya, hanya saja melihat perilaku rekan kerja yang menurutku lebih cocok disebut rekan toxic membuatku terganggu. Mungkin, rasa kesal dan kecewa menggambarkan perasaanku saat itu.
Silent conflict di antara kami begitu terasa; atasan sering melakukan mediasi dan berusaha adil, hanya saja aku tak paham apa yang membuat semuanya sia-sia. Teman-teman yang lain pun tahu, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Di tim itu mereka bilang akulah nyawanya: bila aku tak ada, tim ini seperti mati.
Selain menjalankan tugas-tugasku, aku juga terus mengasah kemampuan menulis. Atas dorongan atasanku, aku ikut lomba karya tulis ilmiah di kantor. Aku kerjakan dengan serius, dan akhirnya bisa lolos seleksi tahap pertama dan kedua. Saat final, aku diwawancarai langsung oleh direksi—terasa mendebarkan sekaligus membanggakan. Akhirnya aku meraih juara ketiga tingkat nasional. Prestasi ini kupersembahkan untuk ibuku.
Tanpa kuduga, bidang yang menjadi tanggung jawabku juga berhasil mengantar unit kerja kami meraih juara satu tingkat nasional. Aku bangga dengan upaya rekan-rekan di lapangan, sementara aku hanya membantu dari balik layar. Tetapi mereka justru menilai penghargaan itu takkan ada tanpa bantuanku. Atasanku pun mengakuinya.
Di waktu lain, aku sering diajak supervisi ke daerah bersama atasan. Walau lelah, aku tetap bersedia. Kadang tubuh terasa remuk ketika sampai di rumah. Aku juga kerap diundang ke kantor pusat menjadi tim analisis data—pengalaman luar biasa karena bisa bertemu langsung dengan orang-orang hebat, yang membuatku sadar bahwa aku belum apa-apa dibanding mereka.
Prestasi lainnya, aku bersama teman-teman daerah berhasil mempersembahkan juara kedua dalam lomba tingkat nasional dan kembali bertemu direksi serta tokoh-tokoh hebat. Event itu terasa spesial karena disiarkan langsung via zoom dan disaksikan seluruh Indonesia. Bukankah itu membanggakan? Sekali lagi aku persembahkan untuk Ibu.
Namun dari semua prestasi itu, aku tetap merasa hampa. Bahagia hanya mampir sesaat di hatiku, jiwaku tetap kosong. Sementara konflik dengan rekan kerja masih tetap berlangsung. Aku seperti kehilangan arah. Entahlah…
Aku bertanya pada diriku sendiri, untuk siapa sebenarnya semua ini? Apakah untuk sekadar terlihat hebat di mata atasan? Untuk membuktikan pada dunia bahwa aku mampu? Atau hanya demi memenuhi bisikan rindu agar Ibu, yang sudah tak ada, tetap merasa bangga?
Semakin jauh aku berjalan, semakin kurasakan jalannya sunyi. Prestasi demi prestasi hanya meninggalkan jejak yang dingin. Aku berdiri di atas panggung kemenangan, tapi di dalam diriku justru terdengar gema kekosongan. Rasanya seperti meneguk air asin: haus memang reda sejenak, tapi dahaga kian menyiksa setelahnya.
Mungkin inilah yang disebut orang sebagai keberhasilan yang melelahkan—toxic achievement. Dari luar tampak berkilau, dari dalam berkarat. Aku tidak tahu harus melangkah kemana, hanya saja aku sadar: ada sesuatu yang harus kutemukan, di luar segala penghargaan dan pengakuan.
***
Dalam diam, ku merenungi
Pada sepi, ku bertanya
Pada angin ku berbisik
Aku harus apa?
Pada bayangan, ku ragu
Pada cermin, ku mencari jawab
Siapa aku?
Tapi, semua diam tanpa penjelasan
Ku tersenyum tapi bersedih
Ku tertawa tapi menangis
Lelah dengan topeng kepalsuan
Ku mencari kemana diriku?
Siapa diriku?
Adakah yang bisa kutanya lagi?
**Dari Burnout ke Depresi**
“Memaafkan bukan berarti melupakan.. Dan tidak melupakan bukan berarti dendam. Hanya saja luka itu meninggalkan bekas yang dalam. Tak ingin dilukai kembali sehingga lebih memilih menjauh..”
Silent conflict makin menekan sejak bergantinya atasan. Awalnya aku berharap ada keadilan dan penyelesaian dari persoalan yang berlarut-larut, tapi harapan itu pupus. Proses terkait pegawai terlalu panjang, jarang ada solusi konkret, dan aku diminta untuk terus bersabar. Beban pekerjaan tak berkurang.
Dan atasan baru ternyata membuatku merasa terdzalimi, disaat aku membutuhkan dukungan namun ternyata aku dibiarkan sendiri. Justru rekan kerja toxic merasa mendapatkan pembelaan padahal performa pekerjaannya yang tidak terlihat. Aku tak faham apakah semua itu terjadi karena mereka sudah saling kenal atau karena atasanku tak peduli perasaan bawahannya.
Aku merasa benar benar sendiri ketika itu. Rasa sedih karena kehilangan Ibu belum sepenuhnya pulih dan di tempat kerja aku dihadapkan pada kondisi seperti itu, lama kelamaan batinku tak kuat, walau semua kekecewaanku sering aku sampaikan pada suamiku tapi hanya sebatas penghilang sementara, tekanan itu terus bertumpuk. Keadaan ini terus berlanjut, aku berusaha terus bertahan.
Sampai suatu periode terjadi perubahan struktural di institusi tempatku bekerja. Dan ini serasa membawa harapan baru buatku. Harapan akan terlepas dari belenggu rekan yang toxic.
Atasan baru memberi harapan, bahkan sempat ku diskusikan keinginanku keluar dari tim ini. Namun kenyataannya, justru rekan kerjaku yang juga merasa terbebani seperti diriku yang dipindah ke unit lain, meninggalkanku semakin sendiri.
Aku tak mengerti kenapa aku dibiarkan bertahan, apakah mereka tidak memahami kondisiku. apakah menurut mereka yang terlihat baik baik saja itu tidak ada masalah. Sungguh aku menjadi seperti tidak ada yang mengerti aku.
Aku berusaha menyentil dengan memberikan ide untuk melakukan skrining mental health kemudian dijadikan inovasi agar bisa diimplementasikan. Awalnya didukung, bahkan saat itu aku sudah berusaha berkoordinasi dengan salah satu dosen psikologi universitas negeri di kotaku tapi kemudian tak berlanjut dan dilupakan.
Kehidupan di kantor terus berjalan, sementara aku diminta untuk tetap menampilkan performa pekerjaan yang luar biasa. Mereka memang memuji hasil kerjaku dan membuat aku merasa sangat dibutuhkan.
Tujuh tahun aku bertahan dengan rekan toxic, dan perasaan kecewaku terus bertambah, rasanya dadaku sudah penuh, pada akhirnya aku putuskan untuk meminta bantuan profesional, seorang psikolog. Beberapa kali aku menjalani terapi konseling. Namun tak mudah karena sebetulnya psikolog pun tak memahami secara utuh apa yang kurasakan. Lalu aku berpikir mungkin aku butuh psikiater yang akhirnya aku mencoba untuk konsultasi ditemani suamiku.
Dari wawancara yang disampaikan aku menderita depresi sedang ke berat, akibat dari burnout yang menumpuk. Obat anti depresan dan obat tidur mulai menemaniku..
Gejalanya semakin terasa: menarik diri dari lingkungan, aku meminta izin work from home, pola makan berantakan hingga kambuhnya asam lambung dan lupus. Tidur pun tak nyenyak, beberapa kali aku harus dirawat..
Dengan kondisi yang menurutku tak bisa lagi normal bekerja aku memutuskan meminta izin untuk rehat selama satu bulan dari rutinitas kantor termasuk komunikasi, dengan harapan cukup waktu memulihkan batinku dari semua rasa lelah. kemudian mulai fokus di rumah melakukan hobi yang selama ini tak pernah aku lakukan lagi: merawat tanaman, menulis, menyulam dan sekali kali aku sekedar mewarnai.
Dalam “pelarian” ku aku berusaha menemukan kemana aku harus melangkah setelah ini, aku belajar ilmu self healing dan kupraktekan, aku mencoba menerima semua perasaanku, menerima orang-orang yang menyakitiku, kemudian aku mencoba memaafkan semuanya.
kuperbaiki hubunganku dengan sang pencipta, yang selama ini ibadah hanya yang wajib dengan sisa waktu, pelan-pelan mulai aku biasakan tidak terlambat ku tambah dengan sunah-sunah Rasul-Nya. Aku bersyukur jalan pulang itu masih Allah berikan padaku.
Satu bulan dalam pengasingan diri aku ingin kembali menjadi pribadi yang lebih tangguh. Proses ini tak berjalan mudah, jatuh bangun aku hadapi. Pernah sekali waktu saat ke mall bersama suami dan anak-anak, aku mengalami serangan panik: napas sesak, tubuh gemetar, hingga suami buru-buru membawaku pulang. Setelah itu aku menangis, sadar aku belum siap bertemu keramaian, lalu sampai kapan? Ya Allah, Aku ingin sembuh.
Masa cuti telah habis, kantor bertanya apakah aku butuh waktu tambahan, tapi dengan segala pertimbangan aku memilih kembali ke kantor. Aku tak boleh terus lari, harus menghadapi kekecewaan dan berdamai dengan keadaan.
Pelan-pelan aku mulai membuka komunikasi lewat chat, lalu tatap muka terbatas. Aku lebih banyak diam, hanya bicara bila diminta. Aku yang dulu kritis kini pasif. Namun pekerjaan online masih ku jalankan. Aku melatih diriku dengan afirmasi sederhana: “Aku bisa”. Akhirnya aku mampu melewatinya.
Pergantian atasan kembali datang. Dengan kondisi mental yang belum pulih, aku harus beradaptasi lagi. Namun aku tak lagi banyak berharap, harapan sudah ku kubur sedalam dalamnya agar aku tak merasa kecewa lagi dan lagi.
Tak lama rekan toxic itu dimutasi jauh dari kotaku, lalu apakah aku bahagia? Tidak. Karena saat itu aku sudah jatuh ke titik terdalam yang tak pernah kubayangkan. Aku yang dididik untuk tangguh harus mengalami depresi. Sesuatu yang terasa memalukan bagiku.
Sejak itu aku bekerja seperlunya saja: sesuai jobdesk, tanpa inovasi, menolak supervisi, tak lagi mau jadi penopang. Aku ingin merasakan jadi pegawai biasa—bekerja sekadar memenuhi kewajiban, menerima gaji bulanan, tanpa harus berkorban lebih. Karena pada akhirnya, sebesar apa pun kontribusi, penghargaan dan gaji yang diterima tetap sama.
Setelah depresi, demotivasi pun datang.
***
Dear, Sir
We can’t choose our partners,
So we must be able to dance, sing and run together.
We want to be happy together, and feel like we need each other.
We want to learn together, remind each other when we make mistakes.
We want nothing to differentiate between us, between one another.
Treat us according to what we should, not because of likes and dislikes.
Dear Sir,
You are someone we respect, how proud we are to respect you not only because of your position, but because of your wisdom, your justice and your compassion.
Look at us as humans who have hearts, not just a tool behind your goals.
We also have feelings and those feelings will always be stored as memories.
Let’s make good memories together, until the end we can testify to each other in before Him
***
Dear friends,
Sorry if I always have a serious face
Sorry if my smile is hard to see
Sorry if my silence makes you uncomfortable.
Because I try hard to be the same as you
Because I can’t just rely on 8 hours
Because I was given privileges, which I’m sure
you don’t want it.
Dear friends,
Which I know, I have to be nice to you guys
Because goodness will come back to me.
Maybe we’re just separated by a glass wall
But we should still care about each other
Dear friends,
I never hated you
Because I was taught to love each other
I don’t want to see you fall
Because I know the pain
Therefore, I am forced to reprimand you.
Make this Friendship like a star in the sky.
Close to each other even though they seem far away
Receive each other’s light and give each other kindness
Kreator : Puspa Raito
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Rumusan dasar negara yang dikemukakan oleh Mr. Soepomo memiliki peran sangat penting dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, Mr. Soepomo menjelaskan gagasan ini dengan jelas, menekankan pentingnya persatuan dan keadilan sosial. Dengan demikian, fokusnya pada teori negara integralistik membantu menyatukan pemerintah dan rakyat dalam satu kesatuan. Lebih lanjut, gagasan ini tidak hanya membentuk […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Luka Dalam Cinta Bab 4
Sorry, comment are closed for this post.