Tungku itu sudah menyala sejak sebelum Adzan shubuh, Ibu sepagi itu sudah tugas rutin menyalakan tungku untuk memasak, persiapan untuk sarapan ke12 anaknya.
Jarak antara kakak dan adik rata2 dua tahun. Coba tebak, aku anak no5, sedang adik paling kecil baru umur 1 th, kira2 aku umur berapa kalau kami selisih 2th.
Yah, memang aku baru berumur 15th, punya adik 7 laki dan perempuan .Kakak ada 4. Ramai ?, jangan ditanya lagi, sungguh sangat ramai.Banyak momen kebersamaan yang membuat memori mengenang terus tak bisa hilang.
Tanah orang tua yang luas ini membuat tugas harian harus dibagi agar pekerjaan Ibu lebih terbantu.Kebetulan aku kebagian tugas masak karena kesukaanku masak memasak.
Kami suka mengulang cerita lama dirumah induk ini, rumah kasepuhan. Kebersamaan, ngumpul2, reunian keluarga inti, sering kami lakukan .
Masak pagi yang paling mudah dan praktis adalah sarapan nasi krawu. Caranya mudah dan simpel, enak lagi.
Jika nasi sudah matang , boleh nasi jagung atau nasi putih. Tinggal ambil kelapa dibelakang rumah kemudian kepruk atau pecah jadi dua. Ambil biji kelapanya dengan pisau bengkok, setelah itu dicuci dan diparut.
Kemudian kelapa parut dicampurkan dengan nasi
ditambah garam sedikit, rasanya makin gurih.Benar2 nikmat. Kalau ada ikan asin, dibakar ditungku buat teman nasi krawu.
Tugasku adalah membagi nasi kepiring sebanyak 12. ” Sebelumnya, sisihkan dulu untuk Ayah” begitu cara Ibu mengajari menghormati orang tua.Bagian Ibu, nanti saja kalau ada sisa, atau jika adik kecil tidak habis. Kasihan , apakah memang harus begitu kalau menjadi Ibu?. Diam2 aku juga menyisihkan untuk Ibu.
Dipan besar dan lebar didapur sudah tertata rapih piring2 berisi nasi krawu, berjejer keliling ditengahnya tersedia cobek besar tempat sambel trasi.
Ibu selalu menyediakan sambel trasi setiap sarapan pagi. Cara membuatnyapun sangat mudah. Lombok 2 biji, garam dan trasi , sudah begitu saja, tinggal uleg sampai lembut, kemudian dikasih air sedikit buat meratakan keseluruh permukaan cobek.
” Sarapan sudah siap” teriakku dari dapur.
Sontak 7 adikku berhamburan datang. Memang mereka sudah sangat lapar karena dari pagi bantu Ayah cabutin rumput dihalaman depan yang sangat luas.
Mereka mulai naik dipan , mengelilingi sambel dan piring yang berjejer.
” Eiiit, cuci tangan dulu” aku mencegah.
” Wow, sambelnya banyak sekali” ucap Fuad adikku yang paling demen sambel, bibirnya mendesis kegirangan. Mereka naik dipan , rebutan mengambil bagian masing2, kemudian melingkar mengelilingi cobek besar sambel trasi.
Satu dulitan jari telunjuk Fuad sudah gak sabar ndulit sambel lagi, disusul jari telunjuk Fatih, sekali towel memanjang berharap dapat banyak sambel. Najih, Nita, Muid tak mau ketinggalan . Kami biasa makan dengan tangan , tanpa sendok.
Goresan alami, abstrak dari tangan2 mungil yang diciptakan mereka. Ibu datang memperhatikan Tamim, adik yang paling kecil, nasi dipiring masih utuh, diraihnya piring Tamim.
” Adik belum ma em” tanya Ibu. Tamim hanya menggeleng.
” Sini Ibu suapi” kemudian Ibu mengambil piring Tamim. Nasi dikepal2 bulat lonjong kemudian ditata rapih berjajar dipinggiran piring. Ibu mengambil satu kepal nasi krawu, kemudian ditutulkan kesambel, diangkat langsung dimasukkan kemulut Tamim.Lagi, ambil sekepal nasi, tutul sambel, masuk mulut. Begitu berulang ulang, sampai nasi dipiring habis.
Libur jum’at pagi sangat menyenangkan ,karena saudara kami belum ada yang berumah tangga, ramai beraktifitas sekitar kegiatan keluarga besar kami.
Beberes, memasak, mencuci pakaian dan sepatu, kerja bakti halaman , olah raga dan main sama teman.
Sabtu mulai masuk sekolah lagi, sekolah kami tidak jauh. Desa kami yang kecil ini sudah ada sekolah TK sampai SLTA. Kami tidak perlu jauh2, kata Ibu
” Habiskan ilmu gurumu, sak kuwatmu”
” Ilmu itu yang penting manfaat tur barokah”.
Kakakku semua sekolah di kampong sendiri, tidak ada yang keluar, walau sebenarnya kepingin juga merasakan sekolah yang jauh.Buat kami ridlonya orang tua itu lebih utama. Ya sudahlah, kami manut, nurut.
” Bu, Fuad nanti akan diikutkan lomba”.
” Lomba apa dek” tiba2 aku pingin nyletuk saja, karena memang aneh, selama ini keluarga kami tidak pernah ada yang diikutkan lomba, aku sendiri tidak tau apa sebabnya. Mungkin kemampuan kami tida k ada yang nampak.
” Lomba lukis di kecamatan kak”jawab Fuad adikku.
Fuad senang membuat corat coret seperti tidak sengaja, tapi hasilnya berbentuk sebuah gambar atau lukisan apresiasi hati. Guru seni disekolah menangkap hal ini.
” Ibu do’akan , semoga Fuad berhasil,…..kerjakan dengan tenang anakku” pesan Ibu.
” Baik bu, tapiii…..” mikir kebingungan.
” Tapi Fuad enaknya melukis apa bu”
” Lukislah apa yang ada di perasaanmu” saran Ibu sambil menepuk dada Fuad dengan lembut.
” Baiklah bu,” dengan girang Fuad berangkat kesekolah, tanpa sangu, tanpa bekel. Sarapan nasi krawu sambel trasi itu sudah cukup energi sampai siang.
Kami di sekolah tidak pernah bolos, seandainya ingin bolospun pasti ketahuan, karena sekolah kami sangat dekat. Rumah kami hampir berdempetan dengan gedung sekolah.
Kalau ada kegiatan extra misal pramuka, sholawatan, pengajian atau upacara setiap hari senin terdengar sangat jelas.
Upacara hari senin ini ada pengumuman hasil lomba tingkat kecamatan. Ternyata Fuad terpilih sebagai pemenang juara 1 di kecamatan. Bulan depan Fuad di kirim ke tingkat Kabupaten.
Pulang sekolah Fuad begitu girang, berlarian menghampiri Ibu sambil membawa piala kebanggaanya.
” Ibu, Fuad jadi juara” teriaknya
Kebetulan kakak perempuan dan 2 laki juga baru pulang sekolah, ikutan nimbrung.
” Emangnya Fuad kemaren melukis apa waktu lomba” tanya kak Aam penasaran.
Fuad bingung, bagaimana harus menjelaskan , karena bagi Fuad kali ini adalah pengalaman pertama diikutkan lomba, tapi Fuad bingung harus menggambar apa.Dia merasa hanya bisa corat coret, terus diwarnai.
” Kata Ibu, gambar yang ada diperasaanku” jawab Fuad.
” Lha iya, apa yang kamu gambar” sahutku tak sabar.
” Gambar sambal trasi”. Ujar Fuad lirih, karena dia merasa malu.
” Haah” kami semua kaget, bagaimana mungkin sang juara melukis sambal trasi. Ibu tersenyum, diraihnya tangan Fuad dengan lembut, dituntun keruang tengah.
” Fuad bisa menggambar ulang?”
” Bisa” jawabnya tegas.Kemudian kak Aam memberi selembar kertas dan color untuk dipakai melukis.
Fuad mulai menuangkan perasaanya keselembar kertas. Menggambar sebuah cobek besar , ditengahnya ada corat coret tak beraturan seperti akar serabut diselingi beberapa bunga bermekaran .
” Apa itu” aku sudah tak sabar.
” Sambal trasi” kami saling berpandangan dengan kakak dan Ibu, kemudian Ibu tersenyum.
” Biar dilanjutkan dulu” kata Ibu. Kamipun diam tak komentar.
Cobek besar itu dikelilingi anak2 kecil yang membawa sepiring nasi krawu, ada yang jari2nya sedang ndulat ndulit sambel sehingga bekasnya membentuk garis “Sreet” seperti akar. Kemudian sambal trasi membentuk beberapa bunga bermekaran, rupanya gambar bunga ini adalah bekas tutulan nasi yang dikepali Ibu.
” Shubhaanalloh” Ibu menyebut lirih.
” Ada apa bu” kak Aam bertanya.
” Ini……” tiba2 Ibu terdiam dan meneteskan air mata.
Kami, anak2 didudukkan Ibu dilantai menghadap Ibu. Kak Aam, kak Ima, kak A’yun, kak Afiq, aku, Fatih, Najih, Nita, Fuad, Muid, Irul dan adik paling kecil, Tamim.
” Ini adalah gambaran kebersamaan anakku” Ibu mulai bertutur, ” Disini ada kerukunan, kesuksesan. Kalian dari wadah yang sederhana, bahan yang sederhana, tapi dengan kebersamaan dan kerukunan saling mendukung, kelak kalian akan bermekaran, berbunga. Meraih sukses,…..Ridlo Ibu akan selalu menyertai kalian”.
Kami 12 bersaudara yang sedang berkumpul tertunduk, mengamini.
*****
1 Komentar Pada LUKISAN SAMBAL TRASI
Merinding baca ceritanya.
Apa cerita sebenarnya?
Kasih link cerita lain lagi kak yang seru.