KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » LULUH

    LULUH

    BY 06 Agu 2024 Dilihat: 334 kali
    LULUH_alineaku

    Satu bulan setelah putus dengan Yoga, Hana berubah menjadi seorang pendiam. Keceriaan yang selalu ditunjukanya tidak nampak lagi. Kesehariannya dia hanya melamun dan mengurung diri di dalam kamar. Tak mau makan, tak mau minum, tak mau melakukan apapun. 

    Bu Asih selaku ibu Hana, sangat mengkhawatirkan keadaan anak semata wayangnya itu. Ada rasa sesal di raut wajahnya yang sudah mulai sedikit mengkerut. Menyesal  karena telah memisahkan tali kasih antara Hana dengan Yoga anak Suhanda, mantan pacarnya yang telah menorehkan luka di hatinya. Tanpa sepengetahuan anaknya terkadang dia menangis meratapi nasib yang menimpa diri dan anaknya.

    Pagi itu Bu Asih sedang menjemur bantal kesayangan Hana yang basah karena tangisanya pada malam tadi. Tiba-tiba dia dikagetkan suara dari belakangnya.

    “Assalamu alaikum, bu !” Suara itu adalah suara Nida dan Aqila sahabat dekat Hana.

    “Wa alaikum salam !” Jawabnya dengan sedikit kaget. “Nida, Aqila kebetulan kalian datang.” Ucapnya sambil menerima salaman dari kedua sahabat anaknya tersebut.

    “Hana sudah sembuh, bu ?” Tanya Nida

    “Justru itu, dari hari ke hari kondisi Hana semakin memburuk.” Jawab bu Asih.

    “Tapi makan masih mau, kan bu ?” Tanya Aqila

    Bu Asih terdiam sambil menggelengkan kepala. “Sudah tiga hari ini, dia tidak mau makan. Tidurnyapun tidak mau di kamar. Dia malah tiduran di shofa. Mari masuk !” Jelas bu Asih, sambil mempersilahkan kedua tamunya masuk.

    Ketiganya masuk ke dalam rumah, dan langsung mendekati Hana yang sedang tiduran di sopa.

    “Hana…, ini ada Nida dan Aqila. Bangun sayang … !” Pinta bu Asih sambil mencoba membangunkan anaknya.

    Sambil bersandar Hana memandang kedua sahabatnya yang baru saja tiba. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Pandanganyapun nampak kosong.

    “Ibu ke belakang dulu, ya !” Ucap bu Asih.

    “Tidak usah repot-repot, bu !” Pinta Aqila

    “Engga, kok.” Jawab bu Asih membalikan badanya menuju dapur.

    “Hana…, Ada apa dengan kamu, Na ? Kenapa seperti ini ?” Tanya Nida setelah bu Asih pergi.

    “Nida ….!” Hanya itu yang terucap dari mulut Hana.  Dia  langsung menangis dalam pelukan Nida, beberapa saat kemudian dia menoleh ke Aqila. Dilepasnya pelukan Nida, lalu  beralih ke Aqila. “Qila ….!” Ucapnya, sambil memeluk Aqila, dan  kembali dia menangis.

    “Kamu harus kuat Hana, bukankah putus dengan Yoga itu, keinginan kamu  ?”

    “Ternyata aku ga bisa Qila…., aku ga bisa melupakan Yoga.”

    “Kamu harus tegar,  Hana ! Seiring dengan waktu, kamu pasti bisa melupakanya.”

    “Ibu kamu datang.” Nida yang melihat bu Asih datang, berbisik dan memberikan isyarat.

    Hana berusaha menghapus air matanya sebelum ibunya sampai. Sementara ibu Asih berjalan gontai  dengan membawa baki yang berisikan tiga gelas air dan satu mangkok bubur. “Ini airnya, nak !” Katanya sambil meletakan baki di atas meja.

    “Iya bu, terima kasih !” Jawab Nida dan Aqila berbarengan.

    “Hana…, makan ya, nak !” Kata bu Asih pada anaknya.

    “Iya Hana, kamu harus makan, biar cepat sembuh !” Kata Nida.

    “Sini bu, biar saya yang nyuapin !” Ucap Aqila sambil mengambil bubur dari tangan bu Asih.

    Berkat bujukan, saran dan masukan yang diberikan kedua sahabatnya akhirnya Hana mau juga makan bubur.       Bu Asih sangat senang melihat anaknya mau makan bubur meskipun sedikit. Dia sangat berterima kasih atas kehadiran mereka berdua.

    Sementara di tempat yang lain, Yoga mantan kekasih Hana berubah menjadi sosok yang mudah marah dan mudah tersinggung setelah putus  dengan Hana. Kekecewaan di hatinya membuatnya membuatnya labil, dan lepas kontrol. Suatu ketika dia mengendarai sepeda motor dengan sangat kencal, hampir-hampir dia menabrak orang.

    “Hai….!  Bawa motor ga kira-kira luh !” Kata orang yang hampir tertabrak. Saking kesalnya dia mengambil batu lalu dilemparkan ke arah motor yang sedang dikendarai Yoga.

    Merasa ada yang melemparnya meskipun tidak kena. Yoga menghentikan motornya, dia membuka helm yang sedang dikenakanya, lalu berjalan mendekati orang yang melemparnya.

    “Etu ga kenapa-kenapa, kan ?” Tanyanya dengan roman menantang.

    “Iya, tapi lu hampir nyelakain gua.” Jawab orang itu membalas melotot.

    “Terus mau lu apa, sekarang ?”

    “Ee…., lu nantangin gua ?”

    Saat itu warga yang melihat mulai banyak yang mendekat.

    “Ada apa, Bang ?” Tanya salah seorang warga yang datang kepada orang yang hampir tertabrak.

    “Ini orang, ditegur malah ngegas.” Jawabnya

    “Orang kaya begini, harus dikasih pelajaran,Bang !”

    “Gua berurusan dengan dia, bukan dengan elu.      Ngerti ?” Kata Yoga sambil melotot pada orang itu.

    “Eh…., benar-benar cari penyakit, lu.” Kata orang itu sambil menghujani muka Yoga dengan tinjunya.

    Perkelahianpun tidak dapat dihindari. Yoga dikeroyok oleh warga yang berdatangan dari berbagai arah. Tubuh Yoga terhunyung kesana kemari yang pada akhirnya ambruk berlumuran darah. Warga yang masih kesal masih terus menghajar dan menendanginya, untunglah saat kondisi kritis seperti itu Ucok dan Udin datang.

    “Bang, bang, maafkan teman saya, bang.!” Kata Ucok sambil berusaha menghalangi mereka yang masih kesal atas perilaku Yoga.

    “Iya, bang. Dia lagi punya masalah besar, tolong maafkan dia, bang !” Udin menguatkan.

    “Oh, ini teman eluh, Din ?” Tanya orang yang pertama mukul.

    “Bubar, bubar, bubar….!” Kata orang itu, menguruh bubar kepada orang-orang yang tadi mengeroyok Yoga “Kalau bukan temen lu, Din. Udah gua habisin dia.” Ucapnya sambil diapun pergi meninggalkan Ucok dan Udin. 

    “Yoga, sadar, Yog ! Lu bisa mati dikeroyok orang, kalau lu begini terus.” Kata udin sambil berusaha untuk membangunkan Yoga.

    “Aku ga peduli, aku ga peduli.” Teriak Yoga dengan napas terengah-engah.

    “Menyelesaikan masalah tidak bisa dengan cara seperti ini, Yog “ Ucap Ucok dengan nada bataknya.

    “Tidak ada yang bisa diselesaikan. Semua sudah berakhir.” Ucap Yoga dengan napas tersengal-sengal.

    “Ayo, kita pulang !” Ajak Udin, sambil berupaya membangunkan Yoya.

    Dengan susah payah Ucok dan Udin membawa pulang Yoga ke rumahnya. Pak Suganda sudah berada di depan pintu, menunggu kedatanganya. Dia sudah tahu kalau anaknya  dikeroyok orang, karena ada tetangganya yang melihat saat kejadian pengeroyokan itu, dan langsung menelponnya.

    “Yoga…, apa lagi yang kau lakukan, nak ? Hampir tiap hari kamu ribut dengan orang. Berhentilah, nak ! “ Pintanya dengan nada sedih.

    “Sebaiknya bapak tidak usah ngatur hidup Yoga. Karena ayah tidak lebih baik dari Yoga.” Yoga membalas ucapan bapaknya, dengan ucapan yang cukup menyakitkan bagi pak Suhanda.

    “Maafkan ayah, nak ! Maafkan ayah …!” Ucap pak Suganda. Tidak terasa air matanya mengucur dengan deras.

    “Yoga, jangan ngomong seperti itu, kasihan orang tuamu !” Udin berusaha menasehati Yoga.

    “Aku tidak peduli, aku tidak peduli. Dan kalian juga, sebaiknya pergi dari sini !” Yoga mengusir kedua teman yang telah menolongnya.

    “Kita mau pulang, setelah kamu masuk kedalam rumah. Ayo, masuk … !” Kata Ucok sambil menarik tubuh Yoga ke dalam rumahnya.

    Seminggu setelah kejadian itu, Yoga mengalami demam dan panas yang cukup tinggi, sehingga dia di rawat di rumah sakit. Sementara itu, kondisi Hana semakin memprihatinkan. Dia bukan tidak mau makan dan minum lagi, dia malah tidak mau bebicara sepatah katapun. Matanya memandang hampa kedepan. Melihat, tapi tak jelas apa yang dilihatnya. 

    “Hana….., kamu jadi begini, nak ….., kenapa ?” Tanya bu Asih di tengah-tengah kepanikanya.

    Hana sama sekali tidak merespon, hanya air matanya yang keluar membasahi pipinya.

    “Maafkan Ibu, nak ! Gara gara ibu kamu jadi seperti ini….” Bu Asih duduk bersimpuh dihadapan Hana, tangisannya pun kembali pecah.

    Sadar kalau tangisan tidak akan menyelesaikan masalah bu Asih mengambil HP anaknya, lalu dibawanya keluar. Dia mencoba menghubungi seseorang.

    “Assalaamu alaikum !” Ucapnya setelah terhubung.

    “Wa alaikum salam !”

    “Apa ini ustadz Wisnu ?”

    “Iya, bu. Dengan siapa ini ?”

    “Saya ibunya Hana, pak ustadz.”

    “Iya, bu. Apa ada yang perlu saya bantu ?”

    “Bisa tengokin  anak saya di rumah, pak ? Keadaanya sangat mengkhawatirkan. Saya takut, pak. Saya takut terjadi sesuatu yang buruk pada anak saya.” Ucap bu Asih dengan tangisan yang ditahan-tahan.

    “Ibu yang tenang, bu ya… ! Insya Allah saya segera ke rumah ibu.” Ustadz Wisnu menenangkan bu Asih

    “Terima kasih, pak. Assalamu alaikum !”

    “Wa alaikum salam !”

    Saat kondisi seperti ini tiba tiba Nida dan Aqila kembali datang untuk menengok Hana.

    “Assalamu alaikum !” Ucap Nida

    “Wa alaikum salam ! Kebetulan kalian datang. Hana…. hana…..” Ucap bu Asih, panik.

    “Kenapa dengan Hana, bu ?” Tanya Aqila

    “Hana gak mau bicara, nak. Hana ga mau bicara……” Jawab bu Asih yang disusul dengan tangisan.

    Setengah berlari Nadia dan Aqila masuk ke dalam rumah. Didapatinya Hana tengah duduk dengan tatapan mata yang kosong.

    “Hana….,Hana…, kenapa kamu, Na ?” Ucap Nadia sambil menggoyang-goyangkan tubuh Hana.

    “Jangan berbuat seperti ini, Hana …? Istighfar…. istighfar …, Hana ?” Pinta Aqila sambil menangis.

    “Kamu harus tegar, Hana…. Kamu harus tegar … !” Nadiapun ikut menangis.

    “Assalamu alaikum !” Ucap ustadz Wisnu yang langsung masuk, karena salamnya di depan tidak kedengaran oleh mereka.

    “Wa alaikum salam !” Jawab ketiganya.

    “Pak Ustadz, tolong anak saya pak ! Tolong anak    saya !” Pinta bu Asih.

    “Ibu tenang dulu, ya bu !” Ucap ustad Wisnu

    Ustadz Wisnu memandang Hana yang masih tidak bergeming. Didekatinya telinga Hana, lalu ditiupnya perlahan-lahan. “Assalamu alaikum, Hana …..!” Ucapnya dengan lirih.

    “Wa alaikum salam !” Jawab Hana dengan suara yang hampir tidak terdengar.

    “Tenggorokanmu, nampak kering. Kamu minum dulu, ya !” Pinta ustadz Wisnu.

    Hana hanya menganggukan kepalanya sedikit. Tali itu sudah isyarat bahwa dia mau minum.

    “Tolong ambilkan air putih….!” Ucap ustadz Wisnu sambil melirik ke Aqila.

    “Baik pak ustadz “ Jawab Aqila

    “Hana…., coba ucapkan dalam hati kamu, astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah….!” Pinta ustadz Wisnu.

    Dengan tatapan yang masih kosong, Hana mengikuti arahan ustadz Wisnu.

    “Ini airnya, pak !” Ucap Aqila sambil menyodorkan segelas air putih.

    “Terima kasih !” Kata ustadz Wisnu. Setelah itu dia membaca beberapa kalimat dalam bahasa Arab, lalu air tersebut ditiupnya tiga kali. “Ibu…, tolong minumkan air ini !” pintanya pada bu Asih.

    “Baik, pak….” Jawab bu  Asih sambil menerima air dari ustadz Wisnu, lalu dia mendekati Hana. “Hana…., minum dulu ya sayang … !” Pintanya pada anaknya.

    Hana meminum air yang telah didoain oleh ustadz Wisnu sedikit-sedikit.

    “Bu….!” Ucap Hana, beberapa saat setelah minum air do’a. 

    “Iya sayang….”

    “Hana ngantuk…”

    “Pak ustadz….!” Bu Asih menoleh ke ustadz Wisnu, seolah-olah minta persetujuan.

    “Tidur aja, ga apa-apa.” Jawab ustadz Wisnu.

    Nadia dan Aqila membantu Ibu Hana membaringkan Hana di shofa tempat duduknya. Beberapa saat kemudian Hana tertidur pulas.

    “Ibu…., kedepan sebentar ya. Ada yang ingin saya bicarakan.” Pinta ustadz Wisnu.

    “Iya, pak.” Jawab bu Asih. “Kalian disini dulu ya,  Nungguin Hana !” Pintany kepada Nadia dan Aqila.

    “Iya, bu…” Jawab Nadia dan Aqila bersamaan.

    Bu Asih mengikuti ustadz Wisnu yang keluar menuju serambi rumah, sementara Nadia dan Aqila menunggu Hana yang tengah tidur dengan pulas setelah sebelumnya meminum air yang telah didoain oleh ustadz Wisnu.

    “Ibu….!” Ucap ustad Wisnu setelah berada di serambi rumah. “Jiwa Hana sangat tergoncang. Hati kecilnya belum siap menerima resiko perpisahanya dengan Yoga.” Lanjutnya.

    “Iya, pak. Saya juga mengerti. Tapi….,” Bu Asih tidak kuasa menahan tangisan. Kali ini tangisannya tidak ditahan-tahan lagi.

    “Saya paham, ibu sangat berat dan sangat tidak ingin bertemu dengan pak Suhanda orang tua Yoga. Hanapun mengerti perasaan ibu, makanya dia mengambil keputusan itu. Dia lebih memilih berpisah dengan Yoga. Tapi…., dia tidak sanggup menanggung resikonya.”

    “Lalu apa yang harus saya lakukan, pak ?” Tanya bu Asih ditengah isak tangisnya.

    “Jangan putuskan hubungan mereka. Biar waktulah yang memutuskannya.”

    “Maksudnya ?”

    “Biarkan mereka berhubungan kembali,  sehingga mereka menemukan sendiri kelemahan masing-masing.  Saya yakin, peristiwa yang terjadi pada ibu, akan menjadi pertimbangan berharga buat Hana.

    “Baiklah, demi kebaikan Hana, anak saya. Saya akan telpon Yoga agar datang kesini.”

    Bu Asih mengambil HP Hana dan langsung menghubungi nomor Yoga. Sementara Yoga yang dihubungi sedang tidur setelah suster memberinya obat. Pak Suhanda yang telah menunggu Yoga, langsung mengarahkan pandangannya ke HP anaknya yang tengah berdering. Terlihat olehnya bahwa panggilan itu dari Hana. Dia tidak berani membangunkan anaknya, akhirnya dia mengambil inisiatif untuk mengangkat HP Yoga.

    “Halo…, Assalamualaikum !” Ucapnya

    Bu Asih terdiam, dia tidak berkata sepatah katapun setelah dia tahu orang yang mengangkat panggilanya.

    “Halo…!” Kembali pah Suhanda memanggil

    Bu Asih, tetap diam. Tangannya yang tengah memegang HP nampak gemetar, nafasnya terlihat turun naik.

    “Aku yakin kamu bukan Hana, tapi kamu Asih…” Kata pak Suhanda setelah beberapa saat tak mendapatkan jawaban. “Anakku sedang sedang sakit, dan sekarang tengan berada di rumah sakit karena beberapa minggu yang lalu dia dipukuli orang. Dia jadi orang brutal setelah kamu usir dan kamu paksa putus dengan anakmu.” Pak Suhanda berhenti sejenak seolah-olah memberikan kesempatan kepada bu Hana untuk memikirkan bahwa tindakan nya telah membuat anaknya menjadi brutal.  “Jika ada kabar  yang ingin kamu sampaikan wa saja, karena aku yakin kamu masih dendam dan tidak mau bicara padaku.” 

    Mendengar ucapan pak Suhanda seperti itu tangan bu Asih semakin gemetar sampai sampai hp yang tengah dia pegang terjatuh. Untunglah ustadz Wisnu dengan sigap meraih HP yang tengah melayang itu. Sementara bu Asih duduk berlutut, seakan-akan tidak kuasa lagi untuk berdiri.

    “Ini Wisnu, pak. Mentornya anak bapak di kampus.” Ucap ustadz Wisnu

    “Oh…., maaf pak. Saya kira ibunya Hana. Ada apa ya, pak ?” Tanya pak Suhanda

    “Kalau bisa, besok atau lusa, Yoga suruh ke rumah Hana, pak.”

    “Sekarang ini Yoga sedang di rumah sakit, pak. Nanti kalau sudah pulang akan saya sampaikan. Tapi saya tidak tahu apakah dia bersedia atau tidak datang lagi ke rumah Hana.”

    “Sampaikan saja salam dari saya, dan sampaikan pula bahwa Hana sedang sakit. Mudah-mudahan hatinya terketuk untuk datang menjenguk.”

    “Siap, pak. Nanti saya sampaikan. Assalamualaikum !” Jawab pak Suhanda, dan dia langsung menutup teleponnya, karena dia melihat Yoga terbangun dari tidurnya. Kayaknya dia tidak ingin pembicaraannya terdengar oleh anaknya

    “Wa alaikum salam !” Jawab ustadz Wisnu. Dimatikannya  HP milik Hana, lalu mendekat kepada bu Asih yang nampak.

    “Ini HP nya, bu …!” Ucapnya sambil menyodorkan HP

    “Terima kasih banyak, pak. !” 

    “Sama-sama, bu. Dan…., karena saya masih ada janji dengan orang, saya mohon diri…! Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya lagi. Insya Allah saya akan datang. Assalamu alaikum !”

    “Wa alaikum salam !” Jawab bu Asih.

    Sepeninggal ustad Wisnu, bu Asih bergegas masuk ke dalam rumahnya untuk melihat kondisi anaknya yang sedang ditunggui oleh kedua sahabat setianya.

     

     

    Kreator : Baenuri

    Bagikan ke

    Comment Closed: LULUH

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021