Namaku Raka. Aku pernah berada di titik di mana dunia terasa seolah berputar di sekelilingku. Segala hal harus tentang aku, kebahagiaanku, egoku, ambisiku. Aku mengira itulah caranya menjadi laki-laki yang ‘bernilai’. Tapi aku salah. Keegoisanku telah melukai satu-satunya orang yang benar-benar mencintaiku yaitu Laras.
Laras bukan perempuan yang akan menarik perhatian banyak mata. Ia tidak seperti gadis-gadis selebgram yang selalu tampil sempurna. Dia biasa saja, berwajah polos, berpakaian sederhana dan berasal dari keluarga yang juga sederhana. Tapi ada yang istimewa dari Laras, Hatinya. Ia mencintaiku dengan tulus, sabar dan tanpa syarat.
Saat pertama mengenalnya, aku tertarik karena kehangatannya. Ia tenang, pendengar yang baik dan tidak pernah menuntut lebih dari yang ku beri. Tapi, seiring waktu, aku mulai membandingkannya. Standar ku yang dangkal soal cantik, soal status sosial, mulai menutupi segala kebaikannya. Di mata orang lain, mungkin aku beruntung memiliki Laras. Tapi aku justru merasa malu. Aku menyembunyikan hubungan kami. Aku takut ditanya-tanya soal pacar ku. Aku takut teman-temanku tahu siapa dia.
Puncaknya, saat kami berlibur bersama beberapa teman. Di sana, aku bertemu dengan seorang perempuan cantik, glamor dan berasal dari keluarga terpandang. Dunia seolah menawarkan versi “lebih baik” dari segalanya. Aku pun mulai menjauh dari Laras, pelan tapi pasti. Mulai menoleh ke perempuan-perempuan yang bisa membuat ku terlihat “lebih keren” di mata orang lain.
Hingga suatu hari, Laras menatapku dengan mata yang sudah kehilangan cahayanya. Ia memegang tangan ku dan suaranya lirih, “Raka, aku lelah. Aku hanya ingin dicintai apa adanya. Kenapa kamu nggak pernah benar-benar melihat ku?”
Aku bungkam. Bukan karena tak punya jawaban, tapi karena tahu semua itu benar. Laras berjalan menjauh. Dan aku dalam kebodohanku hanya menatap punggungnya sambil berpikir, “Dia sangat mencintaiku, dia pasti akan kembali. Dia tak akan pergi.”
Tapi dia tidak kembali.
Hari-hari mulai terasa kosong. Aku mencoba mengisi waktu dengan teman-teman, pesta, perempuan, apa pun yang bisa mengalihkan. Tapi malam selalu datang dengan sepi. Dan dalam sepi itu, Laras selalu hadir. Bayangannya, suaranya, caranya tertawa saat aku melawak konyol, bahkan caranya marah yang tetap lembut. Semua itu menghantui, lebih dalam dari yang kubayangkan.
Aku mulai sadar, semua perempuan yang ku dekati hanya untuk pamer. Tidak satu pun dari mereka yang menatap ku seperti Laras dengan ketulusan, dengan harapan bahwa aku akan tumbuh menjadi pria yang lebih baik.
Suatu malam, aku duduk sendiri di balkon apartemen, ditemani angin dan langit gelap. Aku berpikir, kenapa aku dulu sebodoh itu? Kenapa aku buta oleh standar palsu yang ku tanam sendiri?
Esoknya, aku nekat. Aku datang ke rumah Laras.
Pintu dibuka perlahan. Laras berdiri di sana, tampak lebih dewasa, lebih tenang. Tapi bukan Laras yang dulu. Ada batas di matanya, sesuatu yang dulu tak pernah ada. Aku berusaha tersenyum, meski dadaku sesak.
“Laras… maaf,” ucap ku pelan. “Aku datang bukan untuk menuntut apa-apa. Aku cuma… ingin bilang aku salah. Aku menyesal sudah mengecewakanmu.”
Dia diam. Tak ada pelukan, tak ada air mata yang tumpah di pundak ku. Hanya tatapan yang tenang, lalu sebuah kalimat yang mengakhiri segalanya,
“Raka, aku hanya ingin di cintai. Terlalu lama aku menunggu cintamu. Sekarang aku tahu, aku cukup. Dan aku tidak mau kembali ke masa di mana aku merasa harus menjadi orang lain agar dicintai.”
Aku terdiam. Rasanya seperti tertampar oleh kenyataan.
Laras tersenyum tipis. “Aku nggak benci kamu. Aku hanya tidak ingin mengulang luka yang sama.”
Dan saat itu, aku benar-benar mengerti. Cinta ku telah habis pada nya namun Cinta tidak selalu berakhir dengan bersama. Dan penyesalan sering datang terlambat saat orang yang kamu abaikan sudah menemukan versi terbaik dari dirinya sendiri… tanpa kamu. Maafkan aku Laras, aku akan tetap mencintai mu.
Kreator : SITI RAHMAH
Comment Closed: Maafkan Aku
Sorry, comment are closed for this post.