Aku masih bisa mengingat dengan jelas aroma khas, yaitu wangi kertas baru yang hangat, seperti udara sore yang menyelip di sela halaman-halaman majalah anak yang baru keluar dari percetakan. Bau tinta yang masih segar, bercampur harapan dan rasa penasaran akan cerita-cerita di dalamnya. Setiap lembar seolah menyimpan dunia kecil yang menunggu untuk dijelajahi.
Siang itu, aku baru pulang sekolah. Seragamku masih kusut, dan peluh belum sepenuhnya kering di pelipis. Setelah menggantung tas di sandaran kursi, langkahku nyaris menuju dapur saat suara Bapak memanggil dari ruang tamu.
“Coba tebak, ini apa?” tanyanya sambil mengangkat kantong plastik kecil dan tersenyum lebar. Senyum khas yang selalu muncul saat beliau membawa kabar baik.
Aku langsung menoleh dan melompat kecil.
“Majalah BOBO, ya Pak? Yang edisi terbaru?”
Bapak tertawa pelan, matanya menyipit bahagia. “Iya, betul. Ada BOBO dan ANANDA juga. Bapak beli dua-duanya sekalian. Kamu kan selalu baca sampai habis, bahkan iklannya juga kamu baca.”
Aku mengangguk cepat, nyaris meraih kantong itu dari tangannya. Bukan hanya karena aku suka membaca, tapi karena di balik setiap halaman, ada ruang kecil yang menjadi milikku sendiri. Ruang di mana aku bisa tertawa bersama Bobo, berpetualang lewat dongeng Nusantara, mengintip resep kue mungil yang belum tentu bisa kubuat, atau tersesat dalam teka-teki bergambar. Majalah itu adalah sahabat sunyi, tempat aku belajar mengenal dunia perlahan-lahan, dengan warna-warna lembut dan cerita yang selalu selesai dengan bahagia.
Aku segera mengambil kantong itu dari tangan Bapak dan duduk di lantai ruang tamu. Lantai terasa dingin, tapi aku tak peduli. Dengan semangat yang nyaris meletup, aku membuka halaman demi halaman. Kertasnya masih kaku, warnanya cerah seperti baru dicat, dan setiap gambar seperti memanggil-manggilku untuk masuk ke dunia mereka.
Di majalah BOBO aku bertemu kembali dengan keluarga Bobo yang hangat, petualangan lucu Bona dan Rong Rong, serta dongeng Nirmala yang selalu berakhir dengan perasaan hangat di dada. Gambarnya berwarna-warni, tulisannya besar dan ramah, seolah memang dibuat khusus untuk mata dan hati anak-anak. Setiap karakter punya kisah, dan setiap kisah punya pesan, misalnya tentang berbagi, tentang memaafkan, tentang bekerja sama tanpa harus menjadi yang paling hebat.
Beberapa halaman kemudian, aku sampai di bagian favoritku: soal-soal latihan untuk anak SD. Dengan pensil di tangan, aku mulai mengerjakannya di buku tulis. Rasanya seperti sedang ikut lomba kecil di dalam majalah. Kadang-kadang aku pura-pura jadi guru, memeriksa jawabanku sendiri dan memberi nilai dengan tinta merah. Tapi tetap saja, aku ingin tahu apakah jawabanku benar, bukan hanya menurutku, tapi juga menurut Ibu.
Selesai mengerjakan, aku berlari kecil ke dapur. Asap dari wajan mengepul ke udara, menyatu dengan aroma bawang goreng yang harum dan akrab, aroma rumah yang sesungguhnya. Ibu sedang mengaduk tumisan untuk persiapan makan malam , lengannya yang menggulung celemek bergerak cepat tapi lembut.
“Bu, aku udah ngerjain soal-soalnya!” seruku sambil menyodorkan buku tulis. “Ini… boleh dicek nggak?”
Ibu tersenyum, mengelap tangannya dengan celemek, lalu duduk sebentar di bangku dapur. Beliau membuka halaman buku tulisku dan mulai membaca.
“Wah, rajin sekali. Coba Ibu lihat, hmm… nomor satu benar, nomor dua juga, tapi ini yang nomor tiga… kamu yakin jawabannya gitu?”
Aku mengangguk pelan, tapi ragu. “Tadi sih mikirnya gitu, Bu…”
Ibu tidak langsung mengoreksi. Beliau menatapku sebentar, lalu berkata lembut, “Kalau soal begini, coba kamu bayangin situasinya. Jangan buru-buru milih jawaban. Kadang jawabannya nggak langsung kelihatan, tapi bisa kamu temukan kalau kamu ngerti ceritanya.”
Aku menatap angka tiga yang dilingkari pensilku. “Oh iya ya… aku coba lagi deh, Bu.”
Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku sebelum kembali berdiri. Di mataku, saat itu Ibu bukan cuma sosok yang pandai memasak, tapi juga guru yang sabar, seperti tokoh-tokoh dalam majalah yang aku baca.
Setelah Ibu kembali sibuk di dapur, aku kembali duduk bersila di ruang tamu. Cahaya sore menembus kisi jendela, menyulam lantai dengan pola-pola lembut keemasan. Aku merentangkan majalah BOBO, membalik halaman pelan seolah setiap lembar adalah pintu rahasia. Bahkan iklan mainan dan jadwal acara televisi anak-anak kubaca saksama, karena semuanya terasa seperti harta karun kecil yang hanya aku yang tahu nilainya.
Menjelang magrib, giliran majalah ANANDA yang menemaniku di ruang keluarga. Di dalamnya ada cerita bersambung Mahabharata yang selalu kunanti. Gambaran Pandawa, Kurawa, dan kereta perang memercikkan imajinasi, seakan sosok-sosok itu hidup di depan mata.
“Pak,” panggilku sambil mendekati Bapak yang sedang membaca koran. “Di ANANDA ada bagian Arjuna harus memilih antara senjata dan Krishna. Seru sekali, Pak!”
Bapak menurunkan koran, matanya berbinar. “Itu kisah sebelum perang Bharatayudha. Arjuna memilih Krishna walaupun tanpa senjata, karena Krishna punya kebijaksanaan dan strategi,” jelas Bapak sambil menepuk bahuku.
Aku tersenyum lebar. “Iya, di sini juga ditulis begitu. Dulu Bapak yang cerita, sekarang aku bisa baca sendiri!”
Bapak mengangguk lembut. “Buku dan majalah itu jendela dunia. Bapak senang kamu gemar membaca.”
Majalah-majalah itu pun menumpuk. Setiap kali terkumpul sepuluh edisi, Bapak mengajak kami membundelnya menjadi satu bundel majalah yang rapi.
“Supaya rapi dan awet,” katanya, mengikat tumpukan dengan cermat.
Aku membantu memegang sisi majalah, sesekali tersenyum membaca ulang halaman favoritku. Adikku yang masih Taman Kanak-kanak mulai ikut penasaran. Ia duduk di sampingku sambil menunjuk gambar. “Mbak, itu siapa?” tanyanya, meraba ilustrasi Bobo dan keluarganya.
“Itu Bobo si kelinci baik hati. Ini adiknya, Coreng. Mereka tinggal bersama Papa dan Mama Bobo,” jelasku sambil menunjuk satu per satu tokoh.
“Lucu, ya,” katanya terkikik.
Aku pun membuka halaman cerita, membacakannya dengan suara pelan penuh intonasi.
“Suatu hari, Bobo dan Coreng pergi ke taman. Di sana mereka menemukan seekor burung kecil yang terluka …”
Adikku mendengarkan dengan mata berbinar. Kadang ia menyela, “Terus, burungnya kenapa, Mbak?” dan aku melanjutkan sampai akhir, membuatnya tersenyum lega.
Sejak itu, membaca keras-keras menjadi kebiasaan kami. Aku membaca, ia menyimak. Kami tertawa saat kisahnya lucu, terdiam saat ceritanya menyentuh hati. Di antara halaman-halaman kertas berwarna itu, kami membangun dunia kecil yang hangat dan penuh cinta, dunia yang selalu menunggu kami pulang kapan saja.
Namun, tak semua kenangan indah bisa kusimpan selamanya dalam bentuk yang bisa kusentuh. Kami semua tidak menyangka saat 2 tahun kemudian, rumah dinas Bapak tempat kami tinggal diterpa banjir besar. Hujan turun tanpa henti selama berhari-hari, langit seperti menumpahkan segala kesedihan yang tak tertampung. Air dari selokan yang meluap perlahan merayap masuk ke dalam rumah, membawa dingin, keruh, dan tak terbendung.
Kami panik. Semua orang bergerak cepat, mencoba menyelamatkan barang-barang penting, misalnya dokumen, pakaian, perabot dan peralatan rumah tangga. Di tengah kekacauan itu, tak seorang pun sempat menyentuh laci bufet di ruang tamu, tempat bundel majalah-majalah kesayanganku disimpan. Air naik hingga hampir sebetis orang dewasa, menenggelamkan tumpukan kenangan yang selama ini kusimpan dengan penuh cinta.
Saat banjir akhirnya surut, aku berlari ke rak itu dengan harapan yang masih menyala kecil, karena barangkali ada yang bisa diselamatkan. Tapi yang kutemukan hanyalah tumpukan kertas lembek, berbau apek dan berubah bentuk. Benang-benang pengikatnya longgar, halaman-halaman yang dulu berwarna cerah kini saling menempel, luntur dan tak terbaca. Tanganku gemetar saat menarik salah satu bundel. Di balik lembar yang sobek dan kusut, aku mengenali siluet samar ilustrasi keluarga Bobo, sayangnya tak ada lagi cerita yang bisa dibaca.
“Pak… majalahnya rusak semua,” kataku pelan. Suaraku nyaris hilang, teredam oleh benjolan tangis di tenggorokan.
Bapak menghampiri. Ia tak berkata apa-apa dulu, hanya memeluk bahuku dan menepuknya perlahan, lalu berkata lembut, “Yang penting, kenangannya masih ada di sini, Nduk,” katanya sambil menunjuk ke dadaku. “Majalah bisa rusak. Tapi apa yang kamu pelajari dan rasakan dari membacanya… itu nggak akan pernah hilang.”
Aku mengangguk, air mata jatuh satu per satu. Kata-kata Bapak seperti payung kecil yang melindungiku dari kehampaan. Aku tahu, ia benar. Meski kertas-kertas itu tak bisa kuselamatkan, cerita-cerita di dalamnya tetap hidup, di ruang paling dalam dari ingatan masa kecilku.
Sejak saat itu, aku menyadari: yang paling berharga dari masa kecilku bukanlah benda-benda yang bisa kusimpan dalam kotak, melainkan perhatian, waktu, dan kasih yang mengelilinginya. Dari Bapak yang tanpa lelah membawakanku majalah setiap bulan, Ibu yang sabar memeriksa jawaban latihanku, hingga adikku yang duduk menanti kisah baru dengan mata berbinar, semua itu membentuk mozaik kenangan yang tak ternilai, dan tak akan pernah terendam oleh waktu.
Majalah BOBO dan ANANDA bukan hanya bacaan anak-anak. Mereka adalah jendela pertama menuju dunia imajinasi, pengetahuan, dan kehangatan keluarga. Dan semua itu dimulai dari tangan Bapak, yang membawa pulang dunia dalam kantong plastik kecil, lalu memberikannya padaku, tanpa pernah tahu bahwa hadiah sederhana itu akan bertahan lebih lama daripada kertasnya sendiri.
Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu, aku tak lagi tinggal di rumah dinas kecil yang dulu kebanjiran. Aku bahkan kini tinggal di kota lain, tetapi kenangan tentang majalah-majalah yang menemaniku tumbuh masih tersimpan rapi di dalam hati, tak lusuh, tak luntur, tak pernah benar-benar hilang. Di antara tumpukan buku yang sekarang memenuhi rak-rak di ruang kerjaku, selalu ada satu tempat istimewa dalam pikiranku untuk BOBO, ANANDA, dan halaman-halaman kecil yang dulu membuka jendela dunia.
Lalu waktu berjalan, dan aku menjadi ibu. Saat aku menatap putri tunggalku di masa kecilnya tersenyum gembira karena diizinkan memilih buku cerita apa saja yang ia inginkan di toko buku, aku ikut tersenyum. Ada pantulan masa kecilku dalam sorot matanya yang berbinar. Ia duduk bersila sambil membuka halaman dengan rasa ingin tahu yang nyaris tak terbendung, persis seperti dulu aku memeluk majalah-majalah kesayanganku di lantai ruang tamu. Ia benar-benar tiruan kecilku.
Dan setiap kali aku menulis, setiap kali membacakan cerita untuk anak-anak, aku tahu… jejak kecil itu masih ada. Jejak dari tangan Bapak yang menyodorkan dunia dengan senyum hangat, dari suara Ibu yang menjawab soal nomor tiga dengan sabar, dan kini dari tawa anakku yang tenggelam dalam halaman-halaman baru. Karena rupanya, beberapa hadiah terbesar dalam hidup tidak dibungkus pita, melainkan dibuka perlahan lewat lembaran cerita, dan bertahan selamanya dalam kenangan.
Kreator : Indriyati Rodjan
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Majalah Anak Favoritku
Sorry, comment are closed for this post.