Pagi itu cerah di bulan Agustus, awal ceritra ringan penuh makna. Dari pintu pagar nampak jelas sosok gadis ini. Ia muncul dari arah selatan berjalan guntai namun tidak tampak lelah dari gerak ayun langkahnya yang masi kaku. Gadis bertubuh gempal begitu menyatu dengan kemeja wanita berpadu dengan jeans biru muda, pas dengan lekuk tubuhnya. Ia tampak rapi, necis, pasti ia datang dari keluarga berpendidikan namun ia tetap sederhana. Sepatu kets biru tanpa kaus terikat erat mengiringi langkahnya, semakin lama semakin mendekat.
Ia tidak basa basi, salam seadanya ketika menemuiku di depan pintu sebelum memasuki ruang kuliah. Ada perbedaan yang sangat mencolok dari cara ia bertutur. Ia nampak cerdas mengatur tata kata layaknya orang kota sementara aku harus meraba-raba antara dialeg asli yang masih melekat pada bibir ku yang kaku dengan menyambung tata tutur di dunia yang baru ini. Sebagai seorang mahasiswa jurusan bahasa aku paham betul hakekat dari bahasa. Bahasa secara habitual akan menyatu dengan sendirinya secara alamiah kalau penuturnya mulai diperbiasakan untuk menutur walaupun kadang kala terasa lucu, tapi itu hal biasa.
Di ruang kuliah dalam suasana baru kami masih terlihat sebagai orang asing, belum kenal satu sama lain. Nampak jelas hal ikhwal bertalian dengan watak dasar setiap orang nampak terlihat dari bagaimana membuka komunikasi antar teman. Ada yang terlihat lebih agresif. Tipe orang seperti ini mendapatkan teman begitu sangat mudah. Ia menjadi sangat lebih mengenal siapa saja. Satu diantara tipe yang satu ini adalah si-gadis yang telah membuat mata ini bersalah, telah mencurinya. Mata ini telah terlanjur menatapnya secara saksama tanpa diketahui oleh pemiliknya. Tipe ini tentu akan terasa cocok denganku walaupun aku masih terikat dengan rasa rendah diri. Aku bukan orang kota, tamatan dari kampung. Tetapi itu bukan soal karena secara akademis aku menjadi penghuni kampus bukan melalui ujian masuk perguruan tinggi alias tanpa test. Modal ini harus menjadi sesuatu yang paling bernilai, bisa jadi menjadi penolong diriku sendiri tanpa harus mengeluarkan banyak energy.
Tersentak dalam keanggkuhan pikiranku, sesungguhnya hal seperti itu tidak boleh tertanam di dalam otak kecilku. Dunia kampus adalah perkumpulan orang-orang mampu, kumpulan orang-orang bernalar mumpuni. Mereka datang dari tamatan sekolah-sekolah favorit yang sudah lebih dahulu berkompetisi untuk menempati satu kursi di Perguruan Tinggi Negeri. Pasti termasuk gadis bertubuh gempal namun tidak terlalu jangkung yang terlanjur membuat mata ini bersalah. Kenapa aku menjadi lebih larut berpikir terhadapnya sampai lupa membaca namanya pada daftar hadir yang sudah ku tanda tangani dan telah berpindah dari tanganku.
Mata kuliah jam pertama berlalu. Hari pertama ku lalui dengan satu dua ceritra cerdas. Menjawab pertanyaan dosen, ikut berdebat dengan teman setingkat. Kami harus bergegas meninggalkan ruang kuliah sambil menanti jam-jam kuliah berikutnya. Ada canda ringan antara satu dengan yang lain. Saling bersalaman dan memperkenalkan diri. Terasa tangan yang satu ini beda rasa dengan pegangan tangan sahabat yang lain. Yang terasa dari tangannya yang kekar namun lembut, ia memang tampak atletis. Ku sebut namaku pendek, lazim menjadi sapaan harian, hanya ada tiga huruf didepan nama lengkapku. Gadis bermata jeli di depanku ini menyuguhkan sebutan dengan tiga huruf tengah dari nama lengkapnya dan itu sangat mudah untuk ku ingat. Kali ini aku bisa menatap matanya, tidak ada polesan di wajahnya yang polos dengan rambut yang tertata seadanya. Jelaslah sudah dugaanku sebelumnya bahwa ia datang dari keluarga berpendidikan namun tetap tampil sederhana. Ia tampak tidak menyembunyikan hatinya yang tulus dari tutur katanya yang selalu ia memulainya dengan kata,’ baik’.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Berada di jenjang perkulihan berdurasi pendek karena jenjang ini bagi pemerintah merupakan program pendidikan guru bahasa Inggris untuk memenuhi kebutuhan guru di seluruh pelosok negeri. Belajar dari pengalaman menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah yang harus ku lewati dengan tertatih-tatih, maka kali ini aku harus mengumpulkan banyak tangan, dan tangan tangan itu harus kujadikan tangan-tangan malaikat. Tidak boleh ada satu titik nila pun yang tertumpah di atas tangan-tangan ini.
Malam ini terasa begitu sangat menyiksa bathin ku. Mata ini terasa sulit terpejam karena tidak ada sedikitpun rasa kantuk hadir. Sesekali ku coba mengingat-ingat, apakah aku meneguk kofein sore tadi? Atau aku kelebihan Nikotin dari asap rokok? Sementara pikiranku begitu galau dengan gelagat hampir semua teman setingkatku. Mereka seolah-olah begitu sangat memahami karena aku begitu sangat dekat dengan gadis berinisial tiga huruf itu. Aku coba meraba-raba ingatanku, setiap kali memasuki ruang kuliah ia selalu menyiapkan bangku kuliah untuk ku. Dan tentu ia selalu disampuingku. Aku memang cerdas, setiap tantangan dosen selalu aku lalui dan bagiku mungkin hal inilah yang membuat ia sangat dekat denganku. Aku sampai merasakan bahwa siapa yang dekat denganku, segala sesuatu akan menjadi lebih mudah untuknya termasuk sahabat dekatku yang satu ini. Ketika aku terlambat tiba di ruang kuliah, ia pasti nampak cemas. Ia terpaksa tetap berada di teras ruangan menanti dengan tulus. Bisikan-bisikan teman sempat sampai ke telingaku bahwa dia sesungguhnya menjadi miliku.
Tak kusadari ternyata ditanganku aku memegang kamus Oxford yang didalamnya tersimpan selembar foto kenangan pada saat kegiatan praktik Speaking, dan aku MC-nya. Ku tatap wajah di foto ini dengan saksama. Tak terasa butiran bening jatuh dari mataku. Bibir gemetar mengucapkan kalimat sakti ini, “ Engkaulah malaikat cintaku”. Setiap kekuranganku engakau lengkapi. Engkau termasuk dalam deretan tangan-tangan malaikat karena engakau selalu hadir pada saat-saat sulit. Yang keluar dari bibirmu yang ranum hanyalah kata ’ baik’, sejalan dengan baik hatimu. Engkau begitu menolongku, bukan karena engkau memiliki sesuatu yang lebih dari nama besar ayahmu. Engkau memang terlahir dari keluarga terpandang tetapi dari kesederhanaanmu engkau mau menunjukan bahwa engkau tidak menggunakan kecukupan orang tuamu untuk membesarkan namamu namun engkau menggunakannya untuk menolong aku. Engkau bisa membaca kekuranganku tanpa aku beritahu membuat siapapun yang melihat aku dan engkau akan merasa pasti ada sesuatu yang lebih jauh dari sekedar berteman. Aku harus mengatakan sekali lagi,’Engkaulah malaikat cintaku.’
Sahabat, aku memang mempunyai hati untukmu, tetapi engkau sudah terlanjur lebih dahulu mengasihiku. Ingin sekali mengungkapkan rasa dihatiku, namun aku tidak bisa membedakan antara kadar mencintai dan mengasihi. Cinta itu harus identic dengan pengorbanan namun untuk makna cinta yang satu ini sungguh tidak identic karena aku belum apa-apanya buatmu. Dengan cara apa aku menyampaikan rasa hatiku? Apakah engkau perna membayangkan pada satu saatnya nanti engkau akan mendengar dari mulutku sendiri rasa itu.
Sahabat ku, malikat cintaku. Besok tali toga kita akan dipindahkan oleh pimpinan tertinggi kampus sebagai pembatas sua menjalani kehidupan kampus. Apakah hari yang membahagiakan itu masih sempat ku pegang tanganmu sambil mendengar tutur manjamu,’baik’ ? Atau setelah itu engkau masih mengajaku meneguk secangkir teh dan mencicipi sepotong kue basah di kantin kampus ? Apakah kita masih mengulangi lagi peristiwa seperti kemarin, menumpang bemo kota dan engaku membayarnya? Aku memang mencintaimu namun engaku sudah jauh sekali mengasihiku membuat aku tak berdaya dihadapanmu untuk mengungkapkan satu kata, aku cinta pada mu. Sahabat ku, sebelum ku pejamkan mata ini, aku harus meraih sesuatu untuk menyapa mu. Mungkinkah engkau mendengarnya dalam mimpi indah mu malam ini. Aku mendekap erat gambar mu di dadaku sembari bertutur iklhlas bahwa engkau pantas mendapat tempat di hati ini sebagai,” Malaikat cinta ku”. Hanya ini sajalah akhir dari semuanya itu, semoga kebaikan hati dan keltusanmu berada dalam pelukan orang yang pantas memiliki mu.
Comment Closed: MALAIKAT CINTA KU (untuk sahabat Iin)
Sorry, comment are closed for this post.