Pada suatu tengah malam tidurku yang terlelap, aku terjaga mendengar tangisan Ibu memanggil Kakek yang sudah meninggal. Aku yang terbangun masih terdiam di kamar dan tidak melihat Ibu. Saat itu juga, Ayah membawa Ibu ke rumah sakit Sanglah, Denpasar Bali.
Ibu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, sedangkan aku ditinggal di rumah bersama adikku dan dijaga oleh Om. Namun, karena waktu itu aku masih anak-anak yang belum begitu paham sekali, aku masih melaksanakan aktivitasku, sekolah dan bermain seperti biasanya, seperti tidak ada kejadian sama sekali.
Di suatu sore hari, tanggal 22 Oktober 1986, datang teman Ayah ke rumah dan mengajakku bicara secara perlahan. Aku yang melihat teman Ayah ketika baru datang, sudah merasa ada firasat yang tidak enak di hati. Setelah itu teman ayah berkata, “Ibu wis sedo,”
Ucapannya membuatku bungkam seribu bahasa. Seketika itu, tetangga pada datang ke rumah. Aku sempat duduk di tepi jalan gang yang ditutup oleh kayu yang dipakai tukang untuk menyerut kayu. Ada temanku datang dan bertanya ada apa?
“Ibuku meninggal, “ jawabku singkat.
Pada malam hari datang teman Ayah yang lain, mengabarkan bahwa rencananya jenazah Ibu akan dimakamkan di Jawa. Seketika itu, aku dan adikku dibantu teman Ayah mengumpulkan pakaian yang akan dibawa ke Jawa, padahal di rumah saat itu sangat ramai dengan para tetangga, bahkan aku melihat ember besar yang akan dipersiapkan untuk memandikan jenazah Ibu. Karena saking paniknya dalam kondisi yang ramai pula, aku hanya membawa beberapa potong pakaian saja.
Akhirnya, kami dibawa menuju rumah sakit dan bertemu Ayah. Ayah menangis, aku pun turut sedih kehilangan Ibu. Di rumah sakit, banyak teman Ayah yang menunggu keberangkatan kami ke Jawa. Ternyata prosesnya sangat lama. Setelah selesai dimandikan dan dimasukkan ke peti jenazah, akhirnya kami berangkat ke Jawa. Jenazah Ibu dibawa menggunakan mobil ambulans, dan kami beserta teman-teman Ayah dalam satu mobil dari kantor berangkat ke Jawa.
Dalam perjalanan ke Jawa, adikku yang waktu itu kira-kira kelas II SD dan aku kelas VI SD, selalu bercerita tentang Ibu dan berkata besok Ibu akan bangun, seolah-olah Ibu masih hidup menemani kita. Aku kasihan pada adikku, karena hanya sebentar merasakan kasih sayang Ibu.
Perjalanan menuju Jawa, tepatnya menuju Sragen membutuhkan waktu yang sangat lama, kurang lebih 12 jam. Setelah rombongan melalui jalan raya Gempol Porong, mobil yang kami tumpangi terpaksa berhenti karena tali kipasnya putus. Karena mobil berhenti di tempat yang jauh dari keramaian, akhirnya mobil ambulans yang membawa jenazah Ibu pergi mencari tali kipas untuk dipasangkan pada mobil yang kami tumpangi. Sungguh malang, nasib jenazah Ibu yang dibawa ambulans keliling mencari tali kipas. Pada zaman itu belum popular penggunaan ponsel, tapi mobil ambulans dan mobil yang kami tumpangi jalannya selalu beriringan.
Dan kira pukul 14.00 – 15.00 akhirnya kami sampai di Dukuh Jetak Tani, Desa Jetak, tepatnya di rumah Ayah yang di Jawa. Sampai di sana, kami disambut oleh para keluarga besar Ayah dan Ibu. Aku disambut Bu Lik Karsi dan dibawa menuju dapur. Aku yang semula tidak menangis, akhirnya tumpah juga. Aku baru merasakan betapa saat itu aku merasakan kesedihan yang mendalam. Setelah itu, datang Bu De Darman yang turut menangis saat itu, membuatku tidak kuasa menahan tangis dan air mata yang mengucur dengan deras.
Setelah itu, peti jenazah Ibu diberi hiasan. Sebelum peti dipaku, aku berkesempatan melihat jenazah Ibu, tapi hanya sekejap saja. Karena baru pertama kalinya dalam sejarah hidupku melihat orang yang sudah meninggal, sehingga aku takut. Tak lama kemudian, jenazah Ibu disholatkan, tapi aku tidak ikut sholat. Aku hanya diam di kamar, karena pada masa itu, kami sekeluarga belum menjalankan sholat. Dan, ini menjadi penyesalan sepanjang hidupku, karena tidak ikut menyolatkan jenazah Ibu.
Kemudian prosesi upacara dan sambutan dari pihak keluarga dan pemerintah desa, peti jenazah Ibu dibawa secara beramai-ramai menuju makam. Jalan utama desa menuju kuburan, masih merupakan jalan tanah, beda dengan kondisi saat ini yang sudah diaspal.
Di makam, aku mengikuti dan menyaksikan pemakaman Ibu. Aku merasa sedih sebab ingat Ibu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu.
Kemudian, sehabis pemakaman, kami beserta teman-teman Ayah mengadakan doa bersama di tepi makam Ibu.
Pada malam harinya, di rumah Ayah diadakan tahlilan. Setelah selesai acara tersebut, adikku, Rita, tidur di lantai beralaskan tikar. Tak lama setelah tertidur, adikku menangis memanggil-manggil Ibu. Dan, yang tidak bisa kumengerti, posisi tidur adikku tepat di lantai di bawah tempat peti jenazah Ibu sewaktu masih disemayamkan.
Ibu….
Engkaulah yang melahirkanku dan adikku
Yang membesarkanku dengan penuh kasih sayangmu
Namamu terukir indah dihati sanubariku
Ibu…
Kini engkau pergi meninggalkanku dan adikku
Pergi jauh untuk menemui Tuhan-Mu
Ibu..
Malam itu malam yang tidak pernah kuduga
Saat engkau memanggil kakekku
Ternyata itu malam terakhir ku mendengar suaramu
Ibu …
Aku selalu merindukanmu
Kudoakan agar engkau dapat diterima disisi-Nya
Dalam keabadian di alam surga-Nya
Kreator : Fibri Aryanto
Comment Closed: Malam Terakhir Mendengar Suaramu
Sorry, comment are closed for this post.