Sore itu suasana alam tampak gelap. Mendung menutupi langit yang biasanya cerah terlihat biru bersih. Namun kali ini cuaca terlihat redup. Pertanda akan turun hujan. Cuaca sore itu seolah mewakili perasaan Siti yang terasa redup lesu akibat adanya peristiwa yang dialami saat rapat evaluasi siang tadi. Usai kegiatan pentas seni akhir tahun siang ini sebelum pulang bu kepala sekolah mengajak untuk kumpul bersama. Rapat evaluasi terhadap kegiatan yang baru saja selesai. Acara perpisahan sekolahnya digelar dengan gebyar ekspresi bocil masa kini.
Para guru umumnya telah capek. Dari mempersiapkan tampilan anak-anak, dan mempersiapkan perlengkapan dekorasi panggung dan segala macamnya yang tidak cukup sehari atau dua hari. Pagi itu adalah puncak acar dan puncak kerepotan yang direncanakan.
Sejak pagi sampai siang tiada henti. Mulai persiapan selanjutnya acara gebyar berlangsung, sampai para undangan dan para wali murid pulang semua meninggalkan lokasi.
Para guru masih harus bersih-bersih, beres-beres, dan segala macamnya. Demi menggugurkan tugas kepala sekolah bahwa usai ada acara mesti ada evaluasi maka semua guru diajak duduk bersama rapat evaluasi. Walaupun badan sudah lelah, tenaga sudah capek, dan mental sudah lunglai. Tetap saja rapat digelar.
Walaupun dikatakan rapat sebentar ternyata makan waktu yang lama pula. Setelah selesai rapat semua boleh pulang untuk istirahat. Memang hari sudah sore. Tak terasa hampir sehari penuh baru bisa pulang.
Siti mempercepat ayunan langkah kakinya seolah dikejar rintik hujan yang mulai turun perlahan. Buru-buru dia meninggalkan tempat pentas tersebut. Tak lama dia berjalan kaki sampailah dia di rumah. Segera dia buka pintu dan menaruh tasnya di meja kayu ruang belajar.
Hatinya yang sedikit galau membuatnya ia segera wudhu dan merebahkan diri. Tanpa banyak bicara dia berbaring di kamar yang sejuk dan tertata rapi.
Matanya menatap langit-langit, pikirannya tak bisa terlepas dari peristiwa yang membuatnya galau. Dipejamkan matanya berulang-ulang berusaha kuat hendak melupakan peristiwa itu.
Terus menerus dia mengucap istighfar dari mulutnya. Namun hatinya tetap terngiang hal-hal yang mengganggu perasaannya. Dia terus berusaha menata hati. Menata perasaan. Menghibur hati. Dan terus berusaha membuat hati untuk bisa tenang. Namun emosi meronta tetap mengganggu perasaannya.
Melihat perilaku Siti yang berbeda dengan biasanya itu mamanya mendekati dan menyapa dengan lirih.
“Nduk, sudah hampir maghrib nih. Ayo cepetan kita ke masjid. Ntar telat lagi, loh.”
“Mak, aku malas ke masjid. Aku sholat di rumah aja, ya.” Jawab Siti menolak ajakan Emak dengan mantap.
“Ya sudah, Emak berangkat ya.” Sahut emaknya tanpa berusaha merayu Siti untuk mau berangkat ke masjid.
Sepeninggal Emak, Siti bangkit dan duduk termenung di pinggir ranjang. Terdengar suara pujian di masjid yang masih belum usai. Sedangkan di masjid yang lainnya sudah terdengar iqomah. Tanda sholat jamaah akan segera dimulai.
Siti menghela nafas panjang. Rasa egois dan emosinya masih belum bisa ditaklukkan. Kembali dia mengucap istighfar dengan suara lirih. Sambil mengikat rambutnya yang terurai dia berjalan perlahan menuju tempat wudhu di samping rumah. Segera dia melaksanakan sholat maghrib kemudian tilawah sebentar, lalu kembali berbaring di kamarnya.
Tak lama kemudian, Emak yang baru pulang dari masjid mendapati putrinya yang masih berada di tempat semula, membuat Emak tak tahan untuk bersikap tenang dan mendiamkan.
Didatanginya kembali Siti yang sedang pura-pura tidur. Sambil menaruh mukena di sampingnya, dia menegur Siti dengan sedikit keras.
“Oh, sudah tidur ya. Belum sholat maghrib sampai jam segini?” tanya Emak sedikit menghakimi.
“Aku sudah sholat kok, Mak. Sekalian ngaji sedikit. Mau menyelesaikan satu juz kok males. Pinginnya tidur tapi belum ngantuk. Sudah aku pejamkan mata tapi gak bisa segera tidur.” Jawab Siti.
“Memang ada masalah apa dirimu? Kok tumben. Bilang dong sama Emak. Kalau bisa emak kasih solusi ya, alhamdulillah. Kalau gak bisa minimal dirimu sudah sedikit lega dengan menceritakan permasalahan yang sedang menimpamu.” ucap Emak mencoba menenangkan.
Siti yang sudah terbiasa selalu terbuka kepada emaknya dari setiap permasalahan yang dihadapinya langsung menceritakan peristiwa sore tadi yang membuatnya galau.
“Begini loh, Mak. Sebenarnya bukan masalah besar, sih. Cuma perasaanku gak bisa menguasai ego dan emosiku. Sebenarnya aku tahu kalau aku harus selalu berbenah. Harus selalu berusaha untuk semakin baik. Dan aku tahu juga bahwa aku harus selalu siap untuk dikoreksi.
Tapi kenapa hati ini rasanya jengkel sekali ketika ada rapat yang dinamakan rapat evaluasi. Di sini aku merasa selalu salah. Aku merasa selalu tidak benar. Dan aku merasa selalu jelek. Dengan berpikir sebaliknya Mak. bu kepala sekolahku yang selalu mengoreksi. Selalu mencari kesalahan. Setiap evaluasi bukan mengapresiasi capaian yang telah dilaksanakan sesuai rencana.
Bahkan suatu event yang aku nilai sukses, di mata Kepala Sekolah seolah penuh dengan kekurangan dan kesalahan, dengan dalih kata evaluasi, pada hakekatnya mencari kekurangan dan kesalahan orang lain. Semua guru di-petani atau dicari-cari kekurangan dan kesalahannya. Dengan alasan untuk kebaikan di masa yang akan datang.
Bukankah event yang sama masih akan dilaksanakan satu tahun yang akan datang. Masih akan dilaksanakan tahun depan. Kenapa harus evaluasi saat ini di mana event ini baru saja selesai berlangsung. Kenapa tidak dilaksanakan besuk pagi saja. Biarlah guru memiliki kesempatan untuk menghela nafas. Biarlah guru ada kesempatan untuk merenungkan dan mengulas rangkaian kegiatan hari ini. Biarlah guru merasakan lega dan puas atas aktivitasnya hari ini. kenapa harus saat ini di mana badan capek kepala pusing, tenaga sudah lelah, harus dikoreksi dicari-cari salahnya. Ya bagi yang kerjanya halus, badannya tidak seberapa capek. Lha kalau guru yang kerjanya kasar, semua dikerjakan apa badan tak akan lelah. Sedangkan dalam rapat tidak ada apresiasi kepada guru, adanya cuma koreksi. Hati ini rasanya berontak.
Padahal semua hadirin, semua pengurus, dan para undangan mengapresiasi acara ini tadi sukses, acaranya bagus. Tampilan semua anak keren dan bagus serta menghibur. Bahkan pak ketua RW sampai menangis sesenggukan saat menyampaikan sambutan di atas panggung.
Beliau salut dan tercengang melihat anak-anak tampil hafalan surat-surat yang panjang-panjang dengan lancar dan pintar. Juga mengapresiasi segala persiapan dan gebyar yang luar biasa, bisa dikatakan mewah untuk ukuran wilayah ini.
Tapi kenapa di mata ibu kepala sekolahku adanya Cuma kurang dan salah. Tiap guru dikoreksi satu-satu dicari kesalahan dan kekurangannya, padahal tidak semua yang diucapkan benar, karena dia tidak melihat atau mengamati keseluruhannya.
Dia tidak menghargai besar kecilnya tenaga dan pikiran guru yang bekerja keras menyiapkan dan melaksanakan serta ngatur dan ngurusin sekian banyak murid-murid yang akan tampil. Sampai mereka bisa tampil dengan baik dan sukses. Sungguh dilema. Sangat dilema. Ini yang membuat hatiku terasa koyak.
Hilang rasanya keikhlasan karena jerih payah yang tidak dihargai. Padahal aku tahu besar kecil atau sedikit banyak peran yang aku lakukan harus rela ikhlas kerana Allah ta’ala. Tapi kenapa hati ini meronta dengan sikap ibu kepala sekolah yang demikian.
Apakah aku salah. Apakah aku terlalu egois, apakah aku mau menang sendiri. Apakah aku beramal ingin dipuji manusia. Padahal aku sudah niat setiap amal perbuatanku aku niatkan ibadah lillahi ta’ala. Tapi kenapa ketika menghadapi hal yang demikian hatiku jadi ciut, ikhlasku jadi koyak, egoku tak mau ngalah. Maka dari itu, aku malas dengan yang namanya evaluasi. Galau rasanya hatiku.”
Siti mencurahkan isi hatinya kepada Emak dengan semangat berapi-api seperti kebiasaannya setiap berbicara selalu keras dan berapi-api. Ditambah dengan emosi dan hati yang lagi galau, dalam mengungkapkan perasaannya pun penuh emosi dan ekspresi.
(bersambung)
Kreator : Endah Suryani
Comment Closed: MALAS (1)
Sorry, comment are closed for this post.