Malam itu hujan turun cukup deras dan cukup merata di seluruh wilayah kota Bogor yang memang terkenal dengan sebutan Kota Hujan. Air di jalanan mulai mengalir seperti sungai-sungai kecil. Para pengendara sepeda motor banyak yang memilih menghentikan sepeda motornya, dan berteduh di warung-warung yang berjejer di pinggir jalan raya. Sementara pengendara mobil tetap melanjutkan perjalanan, walaupun dengan mengurangi laju kecepatan mobilnya.
Keadaan seperti itu, tidak menghalangi tekad Pak Jamal untuk mendatangi rumah Pak Hasan, salah satu guru SD yang pernah menjadi wali kelas anaknya. Dengan hanya berbekalkan payung yang cukup usang, dia terus menerobos derasnya hujan, sambil mengingat-ingat gang yang menuju rumah Pak Hasan.
Didepan sebuah rumah yang cukup indah Pak Jamal berhenti. Beberapa saat dia berdiri. “Kayanya…., ini rumahnya.” Gumah nya di dalam hati
Dengan tangan agak gemetar karena dinginya air hujan, di membukakan pagar pintu rumah itu. Setelah terbuka, diapun masuk mendekati pintu rumah. Pak Hasan yang sedang berada di tengah rumah, mendengar pintu pagar rumahnya ada yang membuka. Sebelum Pak Jamal mengucapkan salam, dia telah membukakan pintu rumahnya.
“Assalamu alaikum !” Ucap Pak Jamal sebelum Pak Hasan bertanya.
“Wa alaikum salam ! Bapak siapa, dan ada perlu apa malam-malam seperti ini berkunjung ke rumah saya ?”
“Saya Jamal, pak. Orang tua Arkan.” Jawab Pak Jamal sambil menundukan wajah
“Orang tua Arkan ?
“Iya, pak.”
“Masya Allah…., gimana kabarnya pak ?”
“Saya baik-baik, saja.”
“Silahkan masuk, pak !” Pak Hasan mempersilahkan
“Saya basah, pak. Saya disini saja.“ Jawab Pak Jamal sambil menunjuk kursi malas yang ada di sebelah kanan pintu rumah Pak Hasan. “Saya tidak lama kok, pak.” Lanjutnya.
“Bagaimana kalau bapak ganti baju dulu. Nanti saya suruh isteri saya memilihkan baju untuk bapak ?” Pak Hasan menawarkan
“Tidak usah repot-repot, pak. Saya sudah terbiasa kedinginan seperti ini.” Tolah Pak Jamal.
“Sebentar pak, ya. Saya ke dalam dulu sebentar.”
“Iya, pak.”
“Buuuu … !” Pak Hasan memanggil isterinya, setelah ada didepan pintu kamarnya
“Iya, pak. “ Jawab isterinya datang menghampiri suaminya
“Di depan ada orang tuanya Arkan, Tolong buatkan teh hangat, ya. Kasihan dia kedinginan!”
“Kenapa ga di suruh masuk aja pak ?”
“Dia tidak mau. Agak cepetan ya !
“Iya…, sayang….” Jawab istrinya manja
Sepeninggal Pak Hasan, pak Jamal mengeluarkan surat undangan yang dibungkus rapi dengan plastik, sehingga sekalipun tubuhnya basah surat itu tidak terkena air sedikitpun.
“Bagaimana kabarnya Arkan, pak ?” Tanya Pak Hasan setelah berada di samping Pak Jamal kembali.
“Kayanya…., dia bahagia sekarang, pak.” Jawab Pak Jamal sedikit ragu
“Kok, kayanya ?” Pak Hasan heran.
“Sudah hampir sepuluh tahun, dia tidak lagi hidup dengan saya.” Jawab Pak Jamal dengan mata berkaca-kaca.
“Maksudnya ?”
“Dia saya usir.”
“Kenapa ?”
“Karena sejak ibunya meninggal, dia tidak mau mulung lagi.”
“Bukanya ibunya Arkan meninggalnya pas Arkan lulus SMP ?
“Iya…”
“Pak…, sebenarnya Arkan tidak mau mulung itu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Dia dibully terus ama teman-temanya. Dia malu, dia merasa tidak ada harganya di hadapan teman-temanya, tapi dia sangat takut sama bapak. Suatu ketika dia menemui saya di ruang guru.
“Saya tidak mau melanjutkan sekolah .”
“Kenapa …?”
“Walaupun saya sekolah, tapi bapak saya tetap menyuruh saya untuk mulung.
“Kalau kamu tidak mau sekolah, apakah bapak kamu akan berhenti menyuruh kamu mulung ?”
“Saya akan tetap jadi pemulung, pak.”
“Coba kamu pikirkan lebih baik mulung sambil sekolah, atau mulung tanpa sekolah?
“Lebih baik pemulung sambil sekolah.”
“Sekarang saya mau nanya sama kamu, kamu masih mau sekolah tidak ?”
“Masih, pak. Tapi saya tidak bisa bayangkan bagaimana ejekan teman-teman saya nanti kalau mereka tahu saya seorang pemulung.”
“Arkan…., kamu yakin tidak, kalau kamu punya ilmu kamu bisa berubah ?”
“Yakin, pak.”
“Kamu mau tetap jadi seorang pemulung, atau mau berubah jadi seorang insinyur?”
“Saya ingin berubah jadi seorang insinyur, pak.”
“Bagus…. itu adalah pilihanmu, dan sekaligus cita-citamu.”
“Tapi bagaimana dengan orang tua saya, pak ?”
“Arkan…, di SMP teman bapak mengajar, orang yang biasa mengumpulkan sampah plastik dan sampah kertas, meninggal dunia. Kalau kamu mau, kamu akan saya masukan ke SMP teman bapak itu. Pagi kamu belajar, sore kamu mengumpulkan sampah, malam kamu panggil pengepul untuk mengangkutnya. Setelah itu kamu kembali ke rumah kamu. Katakan kepada bapak kamu, kalau kamu mulung, dan menjual hasil peluangan kamu dulu, sehingga baru bisa pulang malam hari. Bagaimana, kamu mau ?”
“Mau, pak?”
“Kalau begitu, kamu isi formulir pendaftaran ini, lengkapi yang bisa kamu lengkapi. Kalau sudah selesai, kamu serahkan kepada saya.”
“Baik, pak. Terima kasih !”
Pak Hasan, berhenti menceritakan apa yang pernah dibicarakan dengan Arkan, saat berada di ruang guru
“Berarti selama di SMP, Arkan tidak pernah mulung ke luar ?” Tanya Pak Jamal
“Tidak, pak. Dia hanya mengumpulkan sampah yang ada di tempat dia sekolah, saja” Jelas Pak Hasan.
“Pantesan….., dia tidak pernah mengelus, selam sekolah di SMP.” Pak Jamal mengangguk-anggukan kepalanya.
Isteri pak Hasan keluar dengan membawa baki berisikan dua gelas teh hangat, dan sepiring cemilan.
“Silahkan diminum airnya, pak. Lumayan buat menghangatkan tubuh. “Ucapnya
“Terima kasih, bu.”
“Maaf saya tidak bisa ikut ngobrol.”
“Iya, bu…, ga apa-apa.”
Isteri Pak Hasan membalikan tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
“Saya menyesal telah mengusirnya, pak.” Ujarnya sambil mengusap muka. Terbayang olehnya kejadian sepuluh tahun yang lalu
“Pak…., saya mau berhenti menjadi pemulung.”
“Kenapa ?”
“Saya mau melanjutkan sekolah ke SMK, pak”
“Apa sekolah di SMK bisa menghalangi kamu untuk mulung ?”
“Saya malu, pak.”
“Kemarin-kemarin, kamu tidak pernah bilang malu. Kenapa baru bilang sekarang ?”
“Sekarang, saya sudah gede, pak.”
“Oh…., sudah merasa gede kamu sekarang. Sudah merasa malu jadi seorang pemulung. Jangan-jangan kamu sudah merasa malu juga, jadi seorang anak pemulung?”
“Saya tidak berpikir sampai kesitu, pak. Saya tidak malu jadi anak bapak. Saya hanya merasa ….. “
“Tidak cocok punya bapak seorang pemulung, kan ?”
“Bukan itu, pak.”
“Arkan…, kalau kamu sudah tidak merasa nyaman tinggal bersama bapak. Kamu boleh pergi, biarkan bapak sendiri disini … !”
“Pak…., kenapa bapak bicara seperti itu ? Saya tidak malu jadi anak bapak, saya tidak malu, pak?”
“Suatu saat, kalau kamu masih disini, kamu akan merasa malu punya orang tua pemulung seperti bapak. Lebih baik, kamu pergi. Tinggalkan bapak disini !”
“Saya tidak mau pergi, pak,”
“Arkan…., kamu sudah tahu kan, apa yang akan bapak lakukan kalau perintah bapak diabaikan ?
“Maafkan saya, pak …!” Arkan merangkul bapaknya
“Bapak sudah memaafkan kamu, Arkan. Bapak doakan semoga kamu bisa menjadi orang besar, yang bisa mengangkan derajat bapak.”
Pak jamal kembali mengusap mukanya, sekaligus menghapus lingangan air di matanya. Raut penyesalan semakin nampak di wajahnya.
“Pak….,!” Ucapan Pak Hasan lirih. “Apakah sampai saat ini, bapak sudah bertemu dengan Arkan ?” Tanyanya ?
“Tadi pagi…, dia menemui saya, dan meminta agar saya dan bapak, bisa hadir di hari penikahannya. Ini suratnya, pak.” Sambungannya, sambil menyeodorkan surat undangan ke Pak Hasan.
Pak Hasan membuka surat undangan yang diberikan Pak Jamal. Dia terkejut saat melihat dua nama yang tertulis di halaman pertama undangan itu dr Siska Anggraeni & Ir. Arkam Maulana.
“Pak….., Arkan sudah jadi insinyur, sudah jadi insinyur, pak…”
“Jadi insinyur ?”
“Iya, pak. “
“Darimana bapak tahu kalau dia sudah jadi insinyur ?”
“Ini, pak….. “ Pak Hasan memperlihatkan undangan. Ir. Itu adalah singkatan dari insinyur.”
“Oh … “ Pak Jamal mangut-mangut
“Selamat pak, anak bapak sudah berhasil dalam pendidikannya !” Pak Hasan menyodorkan tangan kanan nya
“Sayalah yang harus berterima kasih kepada bapak. Karena bapak anak saya bersemangat sekolah.” Pak Jamal menerima jabatan tangan Pak Hasan
Ada senyum bahagia diraut kedua orang itu. Yang satu senang karena motivasinya dapat mendorong Arkan menjadi seorang Insinyur, yang lain merasa senang karena anaknya bisa mandiri dalam meraih prestasi.
Kreator : Baenuri
Comment Closed: Malu
Sorry, comment are closed for this post.