Waktu jaman kuliah dulu, inget banget ada salah satu mata kuliah yang ngasih cukup banyak penjelasan terkait kondisi psikologis seseorang itu berkaitan dengan masa lalu. Bagaimana pola asuh dari orang tua, bagaimana didikan semasa kecil sampai dewasa, komunikasi di rumah, sampai persoalan luka batin masa kecil yang terbawa hingga usia tuanya. Bagi sebagian orang, kisah kek gini bisa jadi alibi terus dijadiin bahan kilahan gini:
Aku nih masa lalunya kek gini nih, jadinya kamu mesti ngerti dong sikapku yang begini. Udah ga bisa diapa-apain lagi.
Dan seumur hidupnya selalu minta pemakluman orang lain. Dih. Malesin. Lah kita kan dikasih nafas baru tiap waktunya, kalau masih ada umur maka besok hidup lagi berarti ada peluang berubah dan menulis cerita yang baru. Romantis amat bang, ga mau berubah lebih baik apa gimana?
Saya pikir, segala derita masa lalu, kekecewaan, rasa sakit, trauma apapun, bekasnya udah pasti ada. Kalau sekarang sih, saya maklumnya adalah sebab jaman dulu histori cerita pernikahan bisa jadi dilandasi oleh faktor yang nggak ngenakin. Ada yang paksaan, perjodohan tanpa kecocokan, atau jika pun harmoni awalnya tapi ngga cukup ruang dan bekal untuk pengetahuan menjalani kehidupan pernikahan yang sesungguhnya perlu persiapan. Makanya begitu kemudian punya anak, daya juang seseorang untuk mengasuh lebih baik dari apa yang ia alami sendiri pun berbeda-beda.
Ngga mau ngomongin itu deh, berat amat. Kalaupun dibahas, saya sih cuma mau kasih pandangan pribadi yang relate aja, bahwa seseorang dengan banyak trauma dalam masa lalunya itu sangat bisa kok melakukan banyak hal yang lebih baik dari yang ia alami. Entah dilakukan dalam mode surviving atau memang ingin menulis garis nasib yang jauh berbeda, keduanya oke aja menurut saya.
Asalkan mau menerima, bahwa masa lalu itu sudah terjadi, diterima, dimaafkan, walau agak sulit dilupakan. Dan bikin rencana diri sendiri, bahwa apa yang akan dilakukan untuk masa depannya, atau yang lagi dijalani sekarang, mestinya bisa lebih baik dari apa yang ia terima dulu. Kan perubahan itu bukan di tangan buku sejarah atau di dalam ramalan bola kristal. Tapi diniatkan dalam hati sendiri dan diracik dengan tangan dan kesediaan hati kita sendiri.
Gampang emangnya? Ya ngga lah! Makanya ini saya tulis! ^^
Tapi kalau udah masuk dalam kenyataan sehari-hari, ternyata tydack segampang itu Fernando!
Selalu ada aja entah si perempuan atau si laki, yang nggak bersedia bergerak lebih dari titik nyamannya. Yang satu bersemangat untuk berkompromi, tapi yang satu lagi terlalu cuek. Makan hati, jantung, akar, daun, tanaman semuanya. Hebat sih kalau bertahan, kan kata orang-orang, seumur hidup itu lama. Eh tapi bagi saya, kalimat seperti itu ngga bisa mentah-mentah diartikan bahwa “Ya sudahlah kalau ceritanya buruk langsung ganti aja pemainnya, seumur hidup kan katanya lama.” Hm, bagaimana dengan fakta bahwa ngga ada orang yang sempurna sesuai keinginan hati kita? Mau dicari sampai ubanan, selalu akan berjumpa dengan orang-orang yang jauh dari perfect walau kadar persennya berbeda. Soal kesiapan dan pengenalan, saya setuju. Tapi jika sudah di tahap diambil keputusan dan kemudian terjadi pernikahan, memangnya ganti buku nikah adalah perihal main-main? Ngga dong.
Makanya bersyukurlah kalau dapat pasangan yang setara. Setara cintanya, setara berjuangnya, setara keinginan berubahnya. Gimana cara dapatnya? Saya sih saat ini bersyukur untuk generasi anak-anak saya saat ini dimana teknologi dan informasi jauh lebih mudah didapat, pilihan pelajaran dan persiapan sebelum pernikahan panjang deret alternatifnya, serta para orang tua generasi milenial dan Gen X seperti saya mestinya sudah banyak sekali belajar dan membekali diri lebih daripada dulu yang dialami, semoga anak-anak kita nanti cukup menjadi generasi yang berkomunikasinya terbuka kepada kedua orang tuanya. Sehingga ketika waktunya tiba untuk memilih calon pasangan, minimal sudah dengan kesadaran penuh akan kriteria yang dicari juga menyiapkan diri. Bagaimanapun masa lalu dan pola asuh yang dialami siapapun sebelumnya, banyak cara kok untuk memperbaiki cerita berikutnya.
Kalau nggak juga dapat yang setara, gimana?
Hahahaha,, pelukan online aja yuk bestie 😉 dan kita saling doain aja bahwa yang baik-baik akan selalu terjadi diawali dengan pikiran kita sendiri, jadi kuat yok, biar kuatnya mental ini buahnya selalu kebaikan untuk diri sendiri dan orang-orang yang kita sayangi.
Jika diri kita belum mengalami apa yang ditulis dalam cerita-cerita penyedap mata, maka semoga itu terjadi di kehidupan anak-anak kita.
Hal penting yang selalu diingatkan oleh konselor kesayangan saya adalah supaya sibukkan pikiran dengan hal-hal produktif dan menyenangkan. Sebab segala tindakan dan wujud aksi itu pemicunya ada di kepala kita sendiri.
Kreator : Dixie Maia
Comment Closed: Masa Lalu
Sorry, comment are closed for this post.