THE BLUES
“Ntan, siap-siap bentar lagi ada korban” bisikku penuh semangat
“ Iya gue tinggal nunggu instruksi lo aja” jawab intan santai
Lima menit kemudian.
“ AYO NTAN 1,2,…”
Ces!, darah korban sudah mengalir
Mawar terkejut, padahal dia baru saja mau mengacungkan senjatanya tapi ada yang lebih dulu melakukannya.
“HEH JUNIOR! Sori ye, kita duluan yang dapat makanya jangan lamban kalo gerak” Teriak sosok misterius
“lo tau itu siapa”?? tanya ku heran sambil menatap temen gue satu ini
“Oh, gue tau itu karena gue dulu sekolah sekelas sama anggotanya” Jawab intan
“Itu adalah The Blues , geng yang suka merebut korban pembegal yang lain, Anggotanya ada 4, cowok oppa oppa korea yang itu namanya Adelino, kalo yang bule putih namanya Vincent, kalo yang arab-arab gitu namanya Hakim, dan yang terakhir alias ketuanya itu namanya Rana” Jelas Intan panjang lebar.
“Woi, siapa lo berdua?” Teriak salah satu dari anggota tersebut, Hakim.
“Alim, alim. Tapi kok begal ya?” Tanyaku sambil tertawa kecil.
“Wah berani ya lu?!” Kata Hakim. Sepertinya dia marah sama aku karena sikapku yang tadi. Tapi, siapa sih yang mau peduli? Namanya juga begal.
“Ya berani dong! Begal gitu loh!” Jawab Intan ikut-ikutan. Sepertinya dia kehabisan kata-kata sehingga harus ngasal.
Geng tersebut hanya tertawa melihat sikap Intan. Sedangkan Rana hanya menggelengkan kepalanya dan melihat Mawar dari atas ke bawah.
“Yang itu kayak kenal, tapi pas kecil. Aduh, gue itu apaan sih?! Fokus, Rana!” batin Rana.
“Jadi, sebenarnya nama kalian siapa sih?” Tanya Vincent.
“Jangan kasih tau nama kita ya, Mawar! Eh, upss” kata Intan keceplosan.
“Oh Mawar ya nama lo. Berani banget ni orang, bos” kata Hakim mengejek Mawar karena masih marah dengannya.
“Sialan lo, Intan!” Tidak hanya Intan, Mawar juga keceplosan mengatakan nama temannya itu.
“Ketahuan udah. Bodoh banget kalian berdua” kata Rana melihat kami berdua dengan tatapan yang sinis.
“Sinis banget itu orang!” bisikku ke Intan. Intan hanya tertawa kecil dan mengangguk kepadaku.
“Kalian ngomong apaan?! Jawab!” Tanya Adelino penasaran.
Kami hanya bisa terdiam dan melihat Adelino. Entah kenapa, Adelino berbeda bagiku. Namun di sisi lain, aku merasa kesal karena dia menggangguku, karena itu aku juga harus mencari korban lain, “Nambah-nambahin kerjaan orang tau ga si!!” batinku.
Itu awal pertemuanku dengan The blues sekaligus Adelino.
“Entah kenapa semenjak gue ketemu Adelino kenapa gue mikirin dia mulu ya”?
“ Ciee-ciee ada yang lagi cinlok nihh” Ledek intan
“ AH! NGGAK KOK INTAN!!!!! JANGAN FIKIR YANG ANEH-ANEH” TERIAKKU
“ Iya-iya, bercanda… wait war bukannya lo mau setor duit ya? Udah jam 12 tuh.” Tanya intan heran
“ ASTAGA, KOK BISA SIH GUE LUPA! Yaudah ntan gue pamit, bye” ucapku sambil mengambil jaket yang terletak di meja.
“ Iya hati-hati Jangan sampai lu oleng nanti bawa motornya gara-gara mikirin dia”
“IYA!!” teriakku sambil menyalakan motor.
Gue berangkat menuju rumah orang tuaku yang terletak ga jauh dari sini.
tiba-tiba ditengah jalan terdengar..
“TOLONG!!- TOLONG!!” teriak seseorang disana
Itu suara siapa ya? The Blues beraksi kayaknya, akhirnya gue bisa ketemu Adelino lagi!!”Batinku
Ternyata pas gue liat, bener dong pujaan hati gue lagi beraksi!
“Eits, Mawar, kamu pikir apa sih? Dia kan yang selalu gangguin kamu!” pikirku kesal sambil berusaha melawan rasa kagumku pada Adelino.
“Gue harus ingat ini tugas. Jangan sampe perasaan pribadi ngerusak segalanya,” gumamku sambil terus mendekat.
Di depan sana, The Blues sedang menghadapi sekelompok orang yang berusaha melarikan diri. Adelino, dengan gerakannya yang lincah dan terampil, memimpin anggota lainnya. Gue gak bisa nahan rasa kagumnya lihatin Adelino. Namun, dia segera mengalihkan pikirannya ke misi yang harus diselesaikan.
“Ayo Mawar, fokus,” ujar gue pada diri sendiri sambil terus mendekati lokasi kejadian.
Adelino menoleh dan melihatku mendekat. Mata kami bertemu sejenak, dan dia tersenyum kecil sebelum kembali fokus pada aksinya. Itu cukup untuk membuat hatiku berdegup kencang.
“Gila, dia senyum ke gue,” batin gue dengan rasa yang bercampur aduk antara senang dan gugup.
“Lo ngapain di sini?” teriak Vincent saat melihatku. Dia tampak bingung kenapa aku muncul lagi di sekitar mereka.
“Gue cuma lewat. Denger ada keributan, gue pengen tau ada apa,” jawabku berusaha terdengar santai.
“Bukan urusan lo. Pergi sana,” kata Hakim dengan nada tajam.
“Lo beneran keras kepala ya, Mawar?” sambung Adelino, masih dengan senyumnya yang menawan.
“Gue cuma pengen bantu,” kataku, mencoba meyakinkan mereka meskipun dalam hati aku tau itu cuma alasan buat bisa lebih dekat sama Adelino.
“Bantu? Hah, jangan bikin kami ketawa,” ejek Hakim lagi.
Namun sebelum aku bisa menjawab, tiba-tiba ada suara sirine polisi dari kejauhan. Semua orang panik, termasuk The Blues.
“Cepat, kita harus cabut sekarang!” perintah Rana dengan tegas. “Adelino, urus mereka!”
Adelino mengangguk dan mulai berlari, diikuti anggota lainnya. Aku terkejut melihat betapa cepat mereka bisa berkoordinasi dan menghilang. Ketika sirene semakin dekat, aku tahu aku harus pergi juga.
Tapi sebelum aku bisa beranjak, Adelino kembali dan menarik tanganku. “Ikut gue,” bisiknya.
“Kenapa gue harus ikut lo?” tanyaku, bingung.
“Percaya sama gue,” jawabnya singkat.
Gue ngerasa sedikit ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk mempercayainya. Kami berlari bersama menuju sebuah gang sempit di antara dua bangunan tua. Nafas gue udah mulai terengah-engah, tetapi gue terus mengikuti Adelino.
“Kita aman di sini,” katanya sambil melepaskan genggaman tangannya.
Gue nyender di dinding, nyoba buat mengatur napas. “Kenapa lo bawa gue ke sini?”
Adelino ngeliatin gue dengan serius. “Lo terlalu berani buat urusan ini, Mawar. Gue gak mau lo kenapa-kenapa.”
Kata-katanya membuat gue terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat hatiku hangat, tapi gue juga tahu bahwa ini bukan saatnya untuk terlena.
“Kita harus pergi sebelum polisi sampai ke sini,” tambahnya. “Gue tau tempat yang aman. Lo ikut atau enggak?”
Gue ngangguk. “Oke, gue ikut.”
Kami mulai bergerak lagi, kali ini lebih hati-hati. Suara sirine semakin jauh, tetapi aku masih bisa merasakan ketegangan di udara.
“Adelino,” panggilku pelan. “Makasih ya.”
Dia menoleh dan tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkahnya.
Setelah punggung Adelino sudah mulai menghilang, gue langsung menuju motor gue dan melanjutkan perjalanan ke rumah orangtua gue.
“Tok-tok- tok ibu,ayah ini mawar mau setor duit”
Tiba-tiba pintu terbuka terlihat dua sosok lelaki dan perempuan yang sudah menunggu.
“Masuk aja Mawar udah ibu nungguin dari tadi juga” Jawab ibu sambil menyuruh mawar duduk
“ Maaf Ibu tadi mawar ketemu orang lagi begal jadi mawar harus puter jalan” Kataku sambil memohon maaf .
“Iya gapapa nak, udah dapet berapa total bulan ini”? Kali ini ayah yang bertanya.
“ Ini yah, udah dapet sekitar 200 korban, jadi sekitar 600 jutaan yah” Ucapku sambil mengeluarkan sebuah amplop .
“Bagus ini baru anak ayah dan ibu” jawab ayah sambil mengambil amplop itu.
“ Peluk dong nak” kata ibu sambil mendekatkan tangannya.
“ Iya ayah, ibu” sambil memeluk ibunya.
“ Nanti bulan depan makin banyak ya saldonya..” canda ayah
“ Ayah, ibu aku pamit ya mau istirahat”
“Iya nak hati-hati”
Aku membuka pintu rumah dan langsung menyalakan motor.
Sambil mengendarakan motorku, tiba-tiba fikiran gue terlintas sosok Rana ketua the blues itu.
Saat pertama kali gue bertemu dengan sosok Rana, aku merasa sangat dekat dengannya, entah kenapa. Aku merasa kenal dengannya padahal gue belum pernah bertemu dengan sosok ketua the blues itu.
Ketua the blues itu memiliki kesamaan denganku memiliki satu tanda lahir yaitu garis di jidat.
Ada hubungan apa aku dengannya?
Kreator : Kakay
Comment Closed: Mawar’s life story Bab 2
Sorry, comment are closed for this post.