
Hari apes memang tidak pernah ada di kalender. Semua terjadi begitu saja tanpa ada yang menyangka dan menduga. Pagi itu, 5 Februari 2024, hari yang seharusnya aku gunakan untuk bekerja sebelum aku mengambil cuti tahunan di pekan berikutnya, berubah menjadi berita duka. Anak laki-lakiku menelepon sambil menangis tersedu.
“Buk, banjir.” begitu katanya.
Kubuka mata dan mendapati gambar bahwa keadaan rumah orang tuaku sudah porak poranda. Hari itu sebelum Subuh tiba, banjir bandang menerjang kampung halamanku, tempat dimana aku menghabiskan masa kecilku hingga berkeluarga.
Langsung aku menghubungi teman-teman kantorku untuk meng-handle pekerjaanku untuk sementara. Aku juga izin pulang saat itu juga tanpa menunggu waktu cuti tiba. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah segera sampai rumah, karena rumah orang tuaku berada di titik pusat bencana. Cemas, panik, bingung, tak tahu harus mulai darimana untuk melukiskan perasaanku saat itu. Aku hanya ingin pulang, itu saja. Banjir bandang yang masuk ke dalam rumah hingga 1 meter ini membuatku semakin bingung karena di rumah hanya ada orang tuaku yang sudah sepuh dan anakku yang duduk di kelas 5 semester 2. Aku tidak perduli dengan surat-surat berharga yang mungkin sudah tak tersisa. Bagiku, nyawa orang-orang tercinta itu yang utama.
Perjalanan pulang yang biasanya ku tempuh dengan waktu paling lama 3 jam jadi semakin lama karena akses menuju rumah ditutup. Allaahu akbar, Turun dari bus aku naik ojek online yang kuharap bisa mengantarku sampai setidaknya dekat dengan rumahku, ternyata tidak bisa. Aku nekat jalan kaki menerjang banjir yang kufikir saat itu sudah dekat ke rumah ternyata masih sekitar 10 km. Driver ojek online yang ku tumpangi ternyata masih menungguku. Si bapak memberhentikan mobil patroli polisi yang akan menuju titik bencana dan meminta izin agar aku bisa diangkut menuju rumahku. Terimakasih bapak ojol,, terima kasih para Bapak polisi. Lemah teles, Gusti Allah ingkang mbales.
Sampai rumah, aku disambut tangis bahagia anakku, aku pun tak kuasa menahan air mataku.
“Udah nggak apa-apa. Yang penting sehat selamat semua.”
Aku menenangkannya meskipun gemuruh tak juga usai dalam dadaku. Aku mulai mengecek surat-surat berharga yang masih bisa diselamatkan. Tak lupa aku membalas pesan yang terus mengalir ke ponselku. Aku tidak mau membuat teman dan kerabatku semakin khawatir dengan keadaan kami.
Februari yang katanya bulan penuh cinta, bagiku saat itu Februari adalah bulan duka. Aku menerima segala takdir-Mu, Ya Allah. Semoga setelah bencana ini kami lebih taat dan ikhlas akan ketetapan-Mu. Aamiin.
Kreator : Jihan Maria Ulfa
Comment Closed: Me in My Forty Part 4
Sorry, comment are closed for this post.