Chapter FEBRUARI

Pasca banjir, anakku masih trauma setiap hujan deras,,, namun aku selalu meyakinkannya semua akan kembali pulih.
“Tenang, Dek. Ada Ibu, yuk kita rangkai lagi satu-satu.”
Pemandangan di depan balkon rumahku ini dulu kusebut sudut kebahagiaan Bapak. Karena disitu selalu kutemukan senyum bahagia Bapak setiap kali selesai mengajar madrasah yang salah satu kelasnya berada di rumah. Bapak yang notabene seorang pensiunan guru agama masih belum bisa melepas rutinitasnya sebagai pendidik. Jadilah beliau mengisi siang hingga sore harinya dengan tetap mengajar anak-anak seusia SD sampai SMP yang mengikuti kegiatan sekolah sore berbasis agama, semacam TPA atau di daerah kami biasa disebut dengan madrasah atau sekolah Arab.
Usai memberikan materi, Bapak akan duduk di kursi tersebut sambil menatap pemandangan di depannya. Di balik pintu teras atas tersebut biasanya para siswa mendengarkan apa yang Bapak sampaikan. Pemandangan atap masjid yang terletak di depan rumah kami sering dipandang lekat-lekat oleh Bapak. Lalu, jika adzan Ashar berkumandang dari muadzin Masjid, Bapak akan bersiap menjadi imam untuk memimpin sholat.
Lupa, sejak kapan aku menjadikannya sudut kebahagiaan Bapak. Mungkin sejak aku sering melihat Bapak tersenyum usai mengajar siswanya. Sudut kebahagiaan Bapak ini tidak akan kami ubah sampai kapanpun. Semoga Bapak diberikan panjang umur dan kesehatan agar menjadi sumber kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Aamiin… Uh, nulis gini aja, aku kok jadi mewek sendiri, emang dasar aku cengeng orangnya.
Pasca banjir, kunamai sudut ini menjadi sudut kehangatan, karena setelah lelah membersihkan rumah yang penuh lumpur akibat bencana, kami akan berkumpul bersama di sana. Makan bersama, sholat bersama, hingga tidur bersama kami lakukan di ruangan yang sebelumnya adalah kelas tempat Bapak mengajar murid-muridnya. Ruangan yang tak begitu besar yang menjadi saksi betapa kita menghabiskan suka duka bersama, saling menguatkan agar semua kembali pulih seperti semula.
Ada satu sudut lagi yang menjadi saksi hebatnya orang tuaku mendidikku menjadi wanita kuat seperti ini. Kalian mau tahu sudut apa yang kumaksud ? Aku akan menceritakannya,,
Sudut di rumah orang tua kami, yang tiap weekendnya aku kunjungi. Sudut ini kunamakan sudut pencapaian. Kenapa seperti itu? Karena di sudut yang berada di ruang tamu rumah orang tua kami, terlihat tiga foto wisuda kami. By the way, aku adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Kakak perempuanku adalah seorang nakes yang berkecimpung di per-gizian, Adik lelakiku adalah seorang tenaga ahli di bidang kelistrikan. Sedangkan aku adalah seorang penata ruang (bukan penata ruangan yaa hihi), lebih concern ke perwilayahan dan perkotaan.
Foto dan plakat wisuda kami adalah bukti pencapaian kami di bidang masing-masing. Menjadi bukti pula bahwa pasangan tenaga pendidik di sebuah kota kecil di Jawa Tengah telah berhasil mengantarkan putra putrinya hingga sekarang ini. Aku masih ingat momen-momen ketika setiap dari kami mendapatkan pencapaian selanjutnya yaitu diterima bekerja, Bapak menangis dengan penuh sedu sedan, sedangkan Ibu berusaha tegar, tapi aku tahu sebenarnya Ibu juga menyembunyikan perasaan haru birunya.
Kini setelah Bapak Ibu purna dari tugasnya, kami yang Insya Allah melanjutkan kiprah beliau berdua mengabdi untuk negeri ini. Suatu saat nanti, aku akan dengan bangga bercerita kepada anak dan cucuku. Aku bangga terlahir dari keluarga yang penuh kehangatan. Keluarga yang selalu mengapresiasi setiap momen pencapaian yang telah diraih. Sehat selalu, Bapak Ibu. Semoga masih ada waktuku untuk membahagiakan keduanya.
Aamiin,,,
Kreator : Jihan Maria Ulfa
Comment Closed: Me in My Forty Part 5
Sorry, comment are closed for this post.