Apa kabar sulungku di pondok? Juga sekolahnya? Aku selalu merasa berdebar setiap kali mendengar kabar darinya. Menanyakan kabar si sulung menjadi salah satu cara bagiku untuk membersamai tumbuh kembangnya. Sebagai seorang ibu, kehadiranku sangat penting bagi anak-anakku. Melalui Ustadz asrama, aku mendapat kabar sulungku terlihat nyaman di sana. Meski awalnya dengan sedikit perdebatan yang “alot” untuk mengarahkannya sekolah sekaligus mondok.
Ingatanku kembali pada setahun lalu ketika kami berdiskusi untuk mengambil keputusan ini.
“Aku nggak mau mondok, Bu.” ucap sulungku setahun lalu saat aku memberikan pilihan kepadanya untuk meneruskan SMA sekaligus mondok.
“Kalau nggak mau mondok, Mamas mau nerus sekolah ke mana, Nak? Sampai saat ini Mamas belum memberikan jawaban ke Ibu,” sahutku cepat.
“Bagaimana kalau Mamas survey dulu ke pondok pesantren yang Ibu pilihkan? Kalau setelah melihat langsung pondok itu Mamas tetep nggak mau, Ibu akan mengikuti keputusan Mamas.” Aku menawarkan solusi.
“Baik, Bu. Aku akan melihat dulu pondok yang Ibu pilihkan. Tapi janji ya, kalau setelah itu Mamas nggak tertarik, Ibu menyerahkan keputusan kepadaku.”
“Oke, sepakat.”ucapku cepat.
Suamiku yang baru pulang dari ladang, menatap penuh tanya ke arahku.
“Ini, Pak. Mas Faruq sepakat untuk survei ke pondok yang kita pilihkan. Setelah itu, kita menyerahkan keputusan ke Mamas,” jawabku.
“Bapak setuju, Bu. Bapak siap mengantar Mamas.” Bapak menanggapi.
“Kapan nih, Mamas mau survei ke pondok?” Bapak mengalihkan pandangan ke Mas Faruq, bertanya.
Setelah melalui diskusi, akhirnya ditentukan lah hari Minggu mereka berangkat menuju ke pondok, sekedar melihat-lihat dan melakukan survei sebagai bahan pertimbangan Mas Faruq untuk memilih sekolahnya. Keputusan Faruq menerima saranku untuk sekolah mondok. Sungguh keputusan yang melegakan hatiku. Hingga musibah itu menimpa sebelum Mas Faruq berangkat ke pondok.
Keputusan telah diambil, apapun yang terjadi. Dengan berbagai rasa, antara sedih, cemas, khawatir, merasa kembali “kehilangan” bercampur aduk dalam hatiku. Hari-hari pertama Si Sulung di pondok, aku sering merasa khawatir tentang bagaimana dia beradaptasi tanpa kehadiran ibunya.
Namun, seiring waktu aku merasa lega melihat kemajuan sulungku. Secara berkala, aku terus memantau perkembangan sulungku melalui Ustadz asrama dan juga wali kelasnya. Ada rasa syukur di hati, sulungku mampu beradaptasi dengan baik dalam lingkungan pondok.
Karakternya sebagai anak sulung juga semakin terbentuk. Dia mulai memiliki tanggung jawab terhadap keluarga. Dia seolah mengerti, kehadirannya menggantikan tanggung jawab ayahnya, menjadi teladan bagi adik-adiknya, melindungi dan membantu ibunya.
Tak segan, aku mulai melibatkannya dalam pengambilan keputusan. Salah satu contoh, saat harus mengambil keputusan terkait kuota haji ayahnya, aku mengajaknya berdiskusi. Selain meminta pendapat Si Sulung, aku juga mengajak anak tengahku. Kami bermusyawarah bertiga agar kedepannya tidak akan ada kecemburuan sosial. Dan, kami sepakat kuota haji akan dilimpahkan kepada Faruq sebagai anak sulung.
Aku juga melibatkan anak-anakku dalam pengambilan keputusan terkait urusan perladangan.
“Mas, ladang kita mau di tanami apa ya, Nak?” suatu hari ketika Si Sulung sedang di rumah menikmati libur.
Aku mengajak Si Sulung dan Si Tengah untuk mendiskusikan perihal ladang ini.
“Menurut Ibu, tanaman apa yang sekiranya tidak terlalu membuat Ibu capek? Ibu kan harus mengajar juga. Apa ga sebaiknya nyari orang untuk garap ladang kita, Bu?” usul si Tengah.
“Tapi, kalau Ibu ingin garap sendiri untuk kegiatan biar Ibu ga jenuh pas pulang sekolah atau saat liburan, nggak papa, Bu. Nanti kami bisa membantu ketika libur.” Sulungku memberikan pendapatnya.
Dengan dukungan dari keduanya, aku menanami ladang peninggalan suamiku. Kadang melibatkan mereka dalam perawatan tanaman seperti memupuk, dan menyiangi rumput di sela waktu sekolah mereka. Gelak tawa mereka membuat suasana menjadi lebih ceria. Bagi mereka, membantu pekerjaan di ladang seolah sebuah permainan.
Melibatkan mereka dalam pekerjaan ini sekaligus menjadi upayaku untuk melatih mereka agar terbiasa bekerja keras, menghargai setiap perjuangan yang dilalui, serta memiliki tanggung jawab. Juga, agar mereka tahu betapa mencari nafkah itu tidak mudah sehingga mereka akan menempuh setiap pendidikan dengan semangat dan sungguh-sungguh.
Meskipun pada akhirnya, aku lebih banyak menggunakan tenaga pekerja. Bagiku itu tak mengapa, yang terpenting adalah ladang itu bisa menambah penghasilan keluarga kami.
Aku merasa sangat bersyukur bahwa anak-anakku semakin terbentuk karakternya dan bisa diandalkan. Mereka selalu berusaha membantuku saat ada kesempatan membantu. Ini tentu membuatku sangat bangga kepada mereka.
Dengan kegiatan yang ada di pondok, penanaman akhlak di pesantrennya, sulungku tumbuh dengan baik.
Jadwal sambangan yang diberikan sebulan sekali oleh pihak pondok pesantren, aku manfaatkan sepenuhnya untuk membersamai sulungku dalam proses pendidikannya. Aku menguatkan hatinya dan memompakan semangat untuknya.
Suatu ketika saat ada jadwal pemulangan santri, aku menjemputnya dengan mengendarai mobil sendiri. Di perjalanan, kami membicarakan banyak hal. Kami berbincang tentang sekolahnya, berbincang masa depannya.
Sulungku bercerita, bahwa di pondok, beberapa hari yang lalu, dia mengikuti olimpiade online pada mata pelajaran Matematika.
“Terus, gimana hasilnya, Mas?” aku menanggapi ceritanya, antusias.
“Alhamdulillah, Mamas dapet medali perak, Bu,” sahut sulungku.
“Alhamdulillah, Mas …”
Mendengar prestasi Si Sulung, rasa bangga menyelimuti hatiku. Aku menghentikan sejenak laju mobilku. Aku menatap sulungku penuh rasa haru dan bahagia. Rasa haru membuat embun kembali menggantung di sudut mataku. Cepat kutarik nafas mencoba mengusir air mata yang mendesak keluar.
“Tidaklah Allah mengambil sesuatu darimu, kecuali Dia akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Sebuah ayat Tuhan dalam Al-Qur’an membayang di pelupuk mataku. Putra sulungku telah membuatku menangis bahagia.
Dengan segala yang telah kami lalui, aku yakin bahwa mereka akan menemukan jalan yang indah dalam hidup, dan semoga setiap langkah kami akan membawa berkah. Sebait do’a ku selipkan di hatiku untuk keempat permataku. Aku berharap mereka akan menemukan takdir baiknya dengan indah, kelak.
Kreator : Suharni
Comment Closed: Medali Perak Buat Ibu
Sorry, comment are closed for this post.