Penulis : Diyonisius Roch Ediyanto (Member KMO Alineaku)
Seusai perayaan misa malam natal dia pulang melalui jalan lain. Wajahnya tak sendu. Hatinya berbeban berat seperti orang yang tidak mampu menanggung hidupnya. Begitu sedih, begitu pilu. Raut wajah cantiknya seperti Andin, pemeran sinetron yang sedang naik daun. Kini, dia lesu dan haru. Dengan langkah berat ia tinggalkan kegembiraan natal di gerejanya. Ia mengendarai sepeda motornya di malam gelap, menuju kampung. Ia ke rumah Pak Markus.
Ia berhenti di depan rumah sederhana. Dalam hatinya ia berkata, ”Aku yakin ini rumah Pak Markus. Sahabatku Pambudi pernah bercerita padaku bahwa rumah Pak Markus itu bersih dan indah. Halamannya luas, tumbuh subur berbagai bunga bermekaran. Kupu-kupu terbang kian kemari hinggap dari satu kembang ke kembang lain. Sungguh membahagiakan hati setiap orang yang mampu memaknai kebahagiaan. Tetapi mana mungkin kelihatan bunga-bunga dan kupu-kupu yang indah di malam begiri.”
Dengan cekatan ia membelokkan sepeda motornya ke halaman rumah tua itu. Ia turun dari sepeda motornya, berjalan menuju pintu rumah indah itu.
”Permisi, permisi! Kula nuwun Pak Markus!” Kata gadis itu sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah Pak Markus.
Tidak lama kemudian pintu dibuka dari dalam. ”Woow kamu, ta! Kamu Bernadeta Handini ta? Anaknya Maria Murwanti ta? Mari masuk!” pinta Pak Markus.
”Wah, Pak Markus benar-benar hebat. Bapak masih ingat nama lengkapku dan nama lengkap ibuku,” kata Bernadeta sambil berjalan ke ruang tamu.
”Dulu, sebelum menerima sakramen perkawinan, ibumu menjadi katekumen pertama yang saya bimbing. Saya menjadi emban babtisnya ketika ia dibabtis. Ketika ia menerima sakramen perkawinan saya menjadi saksinya. Ketika ibumu mengandung dirimu tujuh bulan, saya diminta memimpin sembahyangan mitoni. Semuanya itu menjadi pengalaman pertama saya. Itulah yang membuat saya ingat pada dirimu dan keluargamu. Yang membuat saya selalu ingat pada ibumu, adalah kecantikannya. Dia cantik seperti Andin, pemeran sinetron itu,” jelas Pak Markus sambil tertawa lebar.
Sesaat kemudian, suasana sepi seperti mati. Sorot mata Bernadeta yang sayu membuat Pak Markus memenggal tawa. Wajah susah Bernadeta semakin jelas di mata hati Pak Markus.
”Sebenarnya ada apa Bernadeta malam-malam begini datang di sini?” tanya Pak Markus.
”Aku dari gereja, mengikuti perayaan malam natal. Aku pulang melalui jalan lain,” jawab Bernadeta.
”Mengapa kau pulang melalui jalan lain? Mengapa kau bersedih di malam natal penuh suka cita? Mengapa kau bersusah-susah? Apa yang kau susahkan? Ingatlah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung namun diberi makan oleh Tuhan yang di sorga. Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Tuhan berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jangan khawatir akan hidupmu nanti. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu,” jelas Pak Markus.
”Terus terang Pak Markus, aku sedih. Tadi dalam khotbahnya, Pastur Alex menjelaskan tema natal tahun ini, ‘Pulanglah Mereka ke Negerinya Melalui Jalan Lain.’ Dari tema itu Pastur mengatakan bahwa setelah mengikuti perayaan natal bisa saja orang melalui jalan lain. Orang yang semula hidup dalam dosa berubah ke jalan kebaikan. Bisa juga orang melalui jalan lain untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Seperti yang kualami malam ini,” jelas Bernadeta sambil mengusap air matanya yang mengalir.
”Pastur berkata apa yang membuat dirimu pulang melalui jalan lain?” tanya Pak Markus.
”Di akhir khotbah Pastur mengajak umat untuk bersyukur dan mohon doanya untuk Mas Pramana yang diterima di Seminari Tinggi. Oleh karena itu aku memutuskan pulang melalui jalan lain menuju kehidupan yang kuimpikan,” jalas Bernadeta dengan sedih.
”Waktu SMP aku bersahabat erat dengan Pranawa. Dia teman sekelasku tetapi dia lebih tua tiga bulan dari usiaku. Karena itu aku menyebutnya Mas Pranawa. Kami saling mencintai. Sebelum lulus SMP Mas Pranawa ikut testing di Seminari. Aku sedih sekali. Namun, kesedihan itu tidak lama karena Mas Pranawa tidak diterima di Seminari.
Kami melanjutkan ke SMA yang sama. Tanpa kuminta, di SMA aku sekelas lagi dengan Mas Pranawa. Kami selalu bersama sehingga hubungan kami semakin kuat. Hari-hari berlalu penuh kebahagiaan.
Di kelas XII SMA kesedihanku hadir lagi karena diam-diam Mas Pranawa mendaftarksan diri di Seminari Tinggi. Malam ini kesedihanku memuncak karena Mas Pranawa diterima di Seminari Tinggi. Ia berharap besar menjadi seorang imam. Aku tidak mengerti mengapa begitu besar harapannya akan menjadi imam,” sambung Bernadeta sambil menitikkan air matanya.
”Kuatkanlah hatimu Bernadeta, ketahuilah bahwa dalam pengharapan, orang berani melangkah di tengah ketidakpastian. Pengharapan itu menantang orang untuk menciptakan kesempatan bagi sesamanya agar mampu menjadi dirinya sendiri. Sadarlah Bernadeta bahwa cara hidup berkeluarga bukanlah satu-satunya pilihan hidup. Pilihan hidup yang lain adalah hidup imamat seperti yang dicita-citakan Mas Pranawa.
Bagi masyarakat sekarang yang mengagungkan hal-hal duniawi, status, kenikmatan, termasuk seks, cara hidup imamat dipandang mustahil, tidak masuk akal. Menurut masyarakat umum, menjadi imam sangat sulit dipahami dalam kehidupan modern seperti sekarang ini.
Pilihan hidup imamat dipahami Gereja Katolik sebagai panggilan Allah sendiri. Hidup imamat merupakan panggilan khusus. Panggilan khusus itu, oleh Gereja Katolik dimeteraikan sebagai sakramen, yakni Sakramen Imamat.
Sakramen imamat melantik seseorang untuk ikut serta dalam tugas perutusan Yesus Kristus. Ia diangkat dan diakui sebagai wakil Kristus. Alangkah senangnya kita, bila kelak Mas Pranawa menjadi imam, wakil Kristus. Kita bersyukur akan harapan besar Mas Pranawa yang akan menjalani hidupnya sebagai imam. Kita pasrahkan dia kepada Bapa. Bila Tuhan berkenan, semua terjadi. Bukankah tuaian memang banyak tetapi sedikit pekerjanya?” jelas Pak Markus.
Bernadeta terhibur hatinya. Hatinya bercerita. ”Aku senang mendengar petuah-petuah Pak Markus yang sungguh-sungguh keluar dari penghayatannya. Aku merasa dikuatkan. Aku senang datang di rumah ini, ada damai. Aku belajar sumeleh, dan nrima. Tuhan berkatilah Mas Pranawa. Teguhkan hatiku dalam peziarahan ini. Kasihanilah aku orang berdosa ini. Tuhan, Engkau yang memberi Engkau pula yang mengambil. Kehendak-Mu lebih bijaksana dari semuanya. Ke dalam tangan-Mu kuserahkan Mas Pranawa.”
Malam semakin malam, Bernadeta mengendarai sepeda motornya meningglkan rumah yang damai itu. Dengan senyum, Pak Markus melambaikan tangannya untuk Bernadeta. Ia memandang Bernadeta hingga jauh, sejauh harapannya. Ia membalikkan tubuhnya, berjalan memasuki rumah damai itu. Ia mengucap doa singkat. ”Tuhan lindungilah Bernadeta dan kuatkanlah imannya. Berkatilah Pranawa, semoga dia kelak menjadi imam. Berkatilah keduanya di sepanjang perjalanan hidupnya. Semoga mereka berdua berbahagia di malam natal ini dan selanjutnya. Pulanglah Mereka ke Negerinya Melalui Jalan Lain. Semoga mereka berdua sampai di negerinya masing-masing dengan suka cita abadi. Amin.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Melalui Jalan Lain
Sorry, comment are closed for this post.