“Nek, hari Jumat nginep di Ancol yuk. Sabtunya kita jalan-jalan ke Dufan, besoknya pulang habis sarapan,” kataku sambil menemani nenek duduk di teras belakang.
“Ah! Ngapain nenek ikut, nanti malah ngerpotin kalian,” kata Nenek sambil matanya sibuk memperhatikan tanaman.
“Kita-kita aja Nek, santai kok. Aku, Ayah, Ibu dan Nenek,” bujukku. “Kalau nenek ikut, kita ajak Mbak Ikah, biar bisa bantu-bantu keperluan nenek di sana.”
“Sudah, kalian bertiga saja yang pergi. Nenek jaga rumah,” ujarnya yakin.
“Cuma sebentar kok Nek, weekend ini saja. Kan hari Senin aku sudah masuk kuliah lagi, Ibu dan Ayah harus kerja,” aku masih terus membujuk.
“Nenek senang ngumpul-ngumpul dengan kalian, tapi kalau sudah umur segini, minat untuk bepergian, apalagi pakai menginap segala itu sudah tidak ada, sayang. Nenek lebih senang santai di rumah. Kalau bosan berkebun, bisa melihat berita, ngobrol sama Ikah.”
“Nggak bosan Nek?” tanyaku.
“Alhamdulillah, nggak bosan tuh. Kalau nenek duduk di teras depan, ada saja Ibu-ibu yang mampir ngajak ngobrol ini itu,” Nenek tertawa.
“Oke deh Nek!” akhirnya aku menyerah.
“Tapi kalian kalau Nenek telpon, diangkat ya.”
“Ya tentu saja dong Nek. Masak telpon Nenek dicuekin.”
“Ah, kamu suka nggak dengar kalau Nenek telpon.”
“Hehe itu kan kalau lagi kuliah Nek. HP harus di-silent.”
“Oleh-olehi Nenek sandal jepit ya,” pintanya.
Aku tertawa. “Ada-ada aja Nek, masak dari Ancol mintanya sendal jepit.”
“Tau Bu Ati kan?” tiba-tiba Nenek mengalihkan pembicaraan.
“Iya tau yang tinggal di dekat masjid. Lagi sakit ya Nek. Aku belum sempat jengukin.”
“Iya stroke, selalu pakai pampers lho,” suara Nenek terdengar lirih.
Mendengarnya aku berseloroh sambil mengusap-usap perutnya, “Tenaaang Nek, kalau nanti Nenek harus pakai pampers aku yang ganti.”
“Aduh naudzubillah. Semoga nenek nggak harus ngerepotin siapa-siapa.”
***
Itu pembicaraanku dengan Nenek di Kamis siang. Rabu pagi pekan selanjutnya setelah mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat selesai, aku lirik HP-ku baru saja menerima telpon dari Ibu. Sambil menuju kelas di lantai 2 untuk melanjutkan kuliah hari ini, aku balas panggilan tak terjawab itu.
“Nak, Nenek sakit ada di UGD Graha Medika ya, Ibu tunggu sekarang.” Lalu Ibu mematikan sambungan telpon kami.
Aku menghentikan langkahku sambil menahan bahu Dwi memintanya berhenti. “Aku harus pulang, Nenek masuk UGD.”
“Pulang sekarang? Bolos kuliah Pak Faza? Tanggung kuliah aja dulu, kan tinggal satu pelajaran. Nanti aku juga ikut ke rumah sakit,” saran Dwi.
“Nenek sakit jantung. Ngga bisa ditunda-tunda lagi. Aku harus ke sana sekarang. Kamu kuliah aja, nanti aku pinjam catatan,” kataku sambil membalikan badan dan setengah berlari segera menuruni tangga.
Di dalam mobil aku berdoa semoga Nenek tidak apa-apa. Tiga puluh menit perjalanan dari kampus ke rumah sakit terasa lebih lama dari biasanya. Sepanjang perjalanan aku tak berhenti mengklakson kendaraan yang memperlambat laju mobilku. Pikiran menerawang ke masa lalu, ketika sering sekali aku menghabiskan waktu bersama Nenek setiap kali orang tuaku bekerja.
“Nama kok Ragil. Nanti kamu tak punya adik lho kalau Ibu Bapakmu menamaimu seperti itu.”
“Memangnya kenapa Nek,” tanyaku tak paham perkataan Nenek.
“Ragil dalam Bahasa Jawa berarti anak paling kecil,” jawab Nenek.
Betul perkataan Nenek, aku tak pernah punya adik. Mungkin Ibuku berpikir praktis, tak mau repot kebanyakan anak. Kesibukan Ibu sebagai seorang dosen menuntutnya harus bergelar sarjana, master dan doktor. Studi Ibuku berjalan lancar. Selama Ibu sibuk menuntut ilmu, nenek yang membantunya mensupervisi perkembanganku. Nenek bermain bersamaku setiap hari. Usianya baru 55 tahun ketika aku lahir. Sebagai cucu pertama aku dirawat sepenuh kasih. Nenek mengajarkan aku berhitung, membaca, mengaji. Mengantar dan menjemputku sekolah setiap hari bergantian dengan Ibu jika sedang luang.
Ibu suka melarang aku jajan, tapi Nenek tidak. Dia belikan apa saja yang aku mau. Semakin aku besar, Nenek kerap membisikan nasehat dengan caranya. Ia sampaikan makanan apa yang sehat dan bagus untuk dimakan, makanan apa yang kurang sehat dan sebaiknya tidak dikonsumsi. Tekniknya menyampaikan nasehat dengan santai sambil bermain sangat jitu, aku tak gandrung lagi untuk jajan sembarangan.
Setiap masuk waktu shalat, nenek mengajakku berjamaah. Mulai dari takbir hingga salam, ia bacakan dengan jelas sehingga aku mendengar bacaannya dengan baik sambil mengikuti gerakan shalatnya. Hasilnya ketika kelas 1 SD, aku sudah hafal semua bacaan shalat dengan sempurna tanpa Ibu harus menyita waktu khusus untuk mendampingiku menghafal. Besar sekali jasa Nenek untuk hidupku.
Setelah mobil aku parkir di tempat terdekat dengan UGD, aku bergegas mencari Ibu. Mendengar aku datang, Ibu memanggil dari balik tirai, “Di sini Gil!”
“Iya sebentar Bu. Ragil charge HP dulu,” kataku sambil meminta izin kepada suster untuk menggunakan stop kontak.
Satu menit dalam hidupku itu masih dipenuhi rasa optimis. Tapi ketika tirai ruang UGD aku singkap, apa yang kulihat membuat tubuhku serasa tak memiliki darah lagi. Ibu duduk di samping kanan Nenek sambil tersedu. Kain tipis putih yang melingkari wajah nenek untuk menahan dagu cukup membuatku tersandra dalam perasaan yang belum pernah aku alami sebelumnya.
“Nenek kenapa Nek? Ya Allah.. Inna lillahi wa inna illaihi rajiun,” aku tersungkur di sisinya.
***
Hari itu banyak pelayat yang hadir di rumah. Aku tak bergeming, mengambil tempat di ujung kepala Nenek. Kuciumi kening yang masih sangat hangat. Pelayat yang hadir kebanyakan adalah ibu-ibu tetangga yang dalam pandanganku berusia lebih tua dari Nenek. Dalam hati aku menjerit, “Mengapa Engkau ambil Nenekku, sementara mereka lebih tua ya Allah.”
Di titik ini aku sadar, benar kata guru agama di sekolah, bahwa kematian adalah bentuk dari kiamat kecil. Ketika jenazah Nenek sudah selesai dimandikan dan rapi dikafani, sekali lagi kami diberi kesempatan untuk menciumnya. Kening itu sudah dingin. Ke mana jiwanya pergi? Selama ini Nenek tak suka bepergian, hanya mau menjaga rumah saja menanti kami pulang. Tapi kini ia yang pergi dan tak akan kembali.
Di makam, aku sengaja menolak diajak pulang lebih dulu. Kutunggu sampai semua peziarah meninggalkan pemakaman. Perlahan aku bangkit dari pusara yang telah terkubur bunga, kutaburi sekali lagi dengan melati yang Nenek tanam di halaman. Aku menghitung langkahku. Dan pada langkah ketujuh tak kuasa aku menahan tangis. Nenek telah melanjutkan hidupnya dalam keabadian. Ia tak bisa tinggal bersamaku.
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Melati untuk Nenek
Sorry, comment are closed for this post.