“Mah, sepertinya sudah saatnya deh Mamah memikirkan pendamping hidup,” ujar bujangku setelah menyeruput es kopi creamy lattenya. Deg! Sesaat aku tertegun dengan pernyataannya yang di luar dugaanku.
Aku memandangnya dengan tatapan yang masih terkesima. Putra semata wayangku, yang rasanya kemarin sore masih ku timang dalam dekapan, kini mengutarakan sesuatu yang cukup mengejutkan, yang tak pernah ada dalam daftar panjang rencana hidupku. “Kenapa kamu tiba-tiba bilang begitu, Nak?” tanyaku sambil mencoba mengendalikan perasaan.
“Kalau kamu sudah melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mungkin Mamah akan menimbang-nimbang ide baikmu itu, Nak,” selorohku sambil menepuk-nepuk pundaknya dengan senyum yang ragu-ragu.
Dia meletakkan gelasnya dan menatapku dengan serius. “Mah, Mamah juga berhak untuk bahagia. Sekarang aku sudah cukup mengerti. Aku sudah menemukan jawaban di saat dulu Mamah hanya memelukku ketika aku bertanya kenapa Papah meninggalkan kita dan kenapa Mamah begitu tega menitipkan aku di pesantren. Sekarang aku ingin Mamah juga memikirkan diri Mamah sendiri, mempunyai teman hidup, dan berbahagia.”
Jujur saja, aku kehilangan kata-kata, air mataku tak mampu lagi kutahan. Aku memeluknya. “Masya Allah, terima kasih ya Allah.” Bukan karena isi pernyataannya yang membuatku terharu, tapi karena perkembangan kedewasaannya yang luar biasa.
“Mah, udah, Mah. Arif malu diliatin teman-teman.”
“Ya deh, anak Mamah yang sudah bujang, sudah kelas dua Madrasah Aliyah. Terima kasih, sayang. Mamah terharu kamu begitu perhatian sama Mamah. Yang penting buat Mamah, kamu dulu khatam Al-Quran, melanjutkan ke perguruan tinggi, dan menjadi orang sukses.” Aku menegaskan, ku lepaskan pelukan dengan lembut, menyeka air mata yang mengalir di pipiku. “Nanti kalau saatnya Tuhan memberikan jodoh, Mamah pasti akan membicarakannya denganmu, Nak. Makanya kamu doain dong, biar Mamah mendapatkan yang pengertian dan sayang sama Mamah. Pokoknya yang terbaik untuk kita berdua,” ujarku sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Aku memandang sekeliling, melihat para santri yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Beberapa di antaranya terlihat mencuri pandang ke arah kami dengan penasaran. Senyum tipis terbentuk di wajahku yang bertemu pandang dengan mereka. Alhamdulillah, betapa damainya suasana pondok pesantren ini, tempat di mana anakku tumbuh dan belajar.
Arif mencopot peci hitamnya dan mengambil sesuatu dari lipatan peci itu. Sebuah undangan yang terlipat rapi. “Mah, ini ada undangan akhir tahun dari pesantren,” katanya sambil menyerahkannya padaku. Aku membuka lipatan kertas itu dengan hati-hati, membaca isi undangan dengan seksama. Di dalamnya, terdapat surat pemberitahuan bahwa Arif tahun ini akan mengkhatamkan kitab Imrithi, sesuatu yang sejak tiga tahun lalu ia cita-citakan.
“Masyaallah, Nak! Mamah sangat bangga sama kamu,” kataku dengan suara bergetar. “Ini adalah pencapaian yang luar biasa.” Meskipun aku tidak begitu mengerti sistem dan pelajaran di pondok pesantren, berkat ceritanya aku tahu ini adalah pencapaian terbesarnya di tahun ini.
Arif tersenyum lebar, matanya berbinar dengan kebahagiaan. “Alhamdulillah, Mah.”
Setelah bercengkrama ngalor ngidul melepas kerinduan, aku mengajaknya sowan ke ndalem sekadar untuk meminta doa pada Mama Yai, berharap semoga semangat belajar anakku tetap terjaga dan ia menjadi anak yang soleh, menyayangi keluarga, dan siapapun yang ada di sekelilingnya.
“Nak, Mamah ke kantor pengurus dulu ya!” izinku selepas sowan. Arif pun mengangguk dan berlalu sambil merogoh kitab kecil di sakunya. Beberapa saat setelah keluar dari kantor pengurus untuk mengurus pembiayaan akhirussanah, aku hendak memanggil anakku. Dari kejauhan terdengar ia sedang bersenandung menghafalkan nadzom sambil bersandar di tiang serambi masjid pondok dengan mendongak ke atas dan kaki selonjoran. Peci hitam yang sedari tadi ia pakai diletakkan di lantai masjid di samping tempat ia duduk. Aku sangat terharu melihat pemandangan ini, tak terasa butiran air mata membasahi pipiku. Masya Allah, Alhamdulillah. Belasan tahun aku berjuang sendiri, berusaha kuat menjadi ibu sekaligus bapak untuk anak semata wayangku. Rasanya kebahagiaan tak terhingga melihat dia tumbuh menjadi seperti sekarang.
Seolah menyadari kedatanganku, ia segera menoleh dan bangkit menyambutku. Aku pun pamit dan ia mengantar sampai di pintu mobil. “Ini hadiah untuk anak Mamah,” ucapku sambil menyerahkan satu paket pena tutul lughoh yang kuambil dari dalam mobil, sebagai pendukung kegemaran barunya belajar menulis kaligrafi. “Mamah pulang ya, Nak,” ucapku sambil mencium keningnya.
Kalimat anakku mengenai pendamping hidup terus bergema dalam ingatan sepanjang perjalanan pulangku. Sejak 17 tahun yang lalu, baru kali ini pikiranku terganggu oleh pernyataan terkait jodoh. Apakah aku perlu memiliki pasangan? Sejujurnya, trauma itu belum hilang. Rasa khawatir dan takut mengalami perlakuan yang sama, kegagalan yang sama, dan banyak hal lainnya selalu menghantui pikiranku.
Kurang apa hidupku kini, betapa bersyukurnya aku berada di fase ini. Usahaku membuka jasa pembuatan aneka buket dan seserahan berkembang pesat sampai membuka empat cabang, tidak hanya jasa pembuatan tapi juga pusat grosir bahan-bahan buket dan seserahan. Belum lagi grosir aneka kue kering, pemesanan online membludak, orang tua yang selalu mendukung dan mendoakanku, fasilitas hidup yang sangat memadai, dan terlebih anakku menjelma sebagai laki-laki yang dewasa dan bijaksana, sebagaimana nama Arif yang kusematkan padanya.
Ingatanku jadi melesat jauh pada masa-masa yang menjadikanku sekuat ini. Berbagai kesulitan yang menghadang perjalanan hidupku. Selama dua tahun aku menimbang, mengkalkulasi berbagai kemungkinan, merenungkan apakah aku harus bertahan atau mundur dari ikatan pernikahan yang hari-harinya meracuni hidupku. Bagaimana nasib anakku nanti? Apakah dia bisa tetap sekolah dan hidup layak, sementara aku tak memiliki pekerjaan? Aku tidak ingin menjerumuskan anakku dalam kesulitan.
Aku masih ingat betul hari itu. Suatu pagi, dia pulang berjalan kaki dengan muka lusuh. “Kamu kemanakan sepeda motor kita? Buat bahan taruhan judi lagi atau dijual untuk perempuan itu? Hah?!” Begitu masuk rumah, dia langsung membanting pintu mendengar pertanyaanku dan kami pun terlibat dalam pertengkaran hebat hingga akhirnya dia melampiaskan amarahnya dengan memukulku. Arif yang masih balita, usianya baru setahun kala itu, menangis histeris menyaksikan peristiwa itu, peristiwa yang berulang kali menimpaku. Mata mungilnya, ah! Aku tak kuasa mengingat kembali ekspresi tangisnya saat itu.
Pernikahanku yang baru berumur tiga tahun harus kulepaskan. Siapa yang menikah dengan harapan untuk berpisah? Rasanya tidak ada perempuan yang merencanakan hal itu. Namun, tabiat suamiku yang berubah, atau mungkin perangai aslinya yang baru kuketahui setelah satu tahun pernikahan, begitu menyiksaku. Tidak hanya menyiksaku secara verbal dan fisik, tetapi juga secara psikis aku terguncang. Aku yakinkan diriku bahwa aku berhak menjalani kehidupan yang bahagia. Aku harus menemukan jalan untuk hidup lebih baik, tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk anakku yang menjadi saksi peristiwa yang tidak sepantasnya ia alami dalam sebuah keluarga. Pada saat itu, aku berjanji untuk terus berusaha mendidik anakku menjadi laki-laki yang bertanggung jawab, penyayang, bijaksana, dan mengerti agama, agar kelak istri dan anaknya tidak mengalami penderitaan seperti yang kami alami.
Beberapa bulan setelah perceraian, aku masih terpuruk. Setelah beberapa kali aku gagal mencari pekerjaan yang cocok, akhirnya aku mulai dengan membuka jasa titip apapun pada area yang terjangkau. Media sosial sangat membantuku menemukan para pelanggan jasa titip ku, mulai dari membelikan makanan, pakaian, perabot rumah tangga, mengantar dan menjemput anak sekolah, apapun aku lakukan. Uang yang dikumpulkan dari yang sedikit itu kuputar sebagai modal berjualan kue kering, namun hasil yang kudapatkan belum mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kemudian aku belajar via YouTube mencoba membuat aneka buket seserahan pernikahan, dan Alhamdulillah ekonomiku perlahan semakin membaik.
Aku memperkuat koneksi di media sosial dan berbagai grup WhatsApp, termasuk alumni SMA. Aku semakin aktif dalam menjalin pertemanan. Banyak obrolan terkait bisnisku, namun tak sedikit yang hanya iseng mendekatiku. Aku menjawab dengan hati-hati, menghindari chat yang bersifat pribadi.
Suatu hari, sebuah pesan membuatku terusik: “Daripada kamu capek-capek cari usaha begini, lebih baik kamu jadi istri keduaku. Aku pasti akan nafkahi kamu.” Sesaat setelah itu, langsung saja ku blokir nomornya. Pada kesempatan yang lain di grup alumni sekolahku, foto profilku bahkan dijadikan stiker untuk ajakan ngopi. Mereka mungkin hanya bercanda, tapi hal-hal seperti itu membuatku merasa terhina dan kecewa. Sebagai seorang wanita yang sudah tidak bersuami, kata-kata seperti “janda” sering kali dijadikan lelucon dengan stereotip yang melecehkanku.
Kekecewaan ini semakin memantapkan tekad ku untuk terus berkembang dan membuktikan bahwa aku pantas hidup bahagia tanpa harus terpengaruh oleh stereotip mereka. Sekarang, mereka yang dulunya merendahkanku terlihat segan saat bertemu denganku.
Dan masalah pendamping hidup, bagiku tidak selesai dengan masalah nafkah. Pengalaman hidupku mengajarkanku bahwa aku ingin mendapatkan pendamping hidup yang tak hanya siap secara nafkah, tapi juga yang mampu menyayangi anakku, membimbingku dalam beribadah, saling mengerti, menyayangi, menghormati, dan berbagi peran dalam kehidupan berumah tangga. Sehingga siapapun dia, dia adalah orang yang dapat menjadi teman yang asyik, berbahagia dalam menua bersama.
Anakku yang beranjak dewasa, Muhammad Arif Hidayatullah, doakan Mamahmu ini agar mendapat yang terbaik, Nak. Mamah yakin, entah kapan, jika memang sudah waktunya, Allah akan mempertemukan kita dengan seseorang yang tepat. gumamku dalam hati. Aku terus meluncur menempuh setengah perjalanan lagi menuju rumah.
Kreator : Uus Hasanah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: MELEPAS LUKA
Sorry, comment are closed for this post.