KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » MEMBASUH LUKA (BAB 1)

    MEMBASUH LUKA (BAB 1)

    BY 29 Mar 2025 Dilihat: 56 kali
    MEMBASUH LUKA_alineaku

    KELAHIRANKU DI BULAN RAMADHAN

    Aku lahir di tengah kekacauan. Bukan hanya di rumah, tapi juga di hati bapak. Saat Ibu sedang berjuang melahirkanku, bapak justru berada di kolong jembatan Jatinegara, mabuk bersama teman-temannya. Aku lahir bukan diiringi doa-doa penuh syukur, melainkan umpatan dan keputusasaan seorang lelaki yang merasa hidupnya semakin terbebani. 

    Malam itu, Ibu sedang duduk di lantai dapur, memarut kelapa. Perutnya yang besar membuatnya sedikit kesulitan, tapi Ibu tetap melakukannya dengan tekun. Bapak tak ada di rumah, seperti biasa. Di ruang tamu, hanya ada abang pertamaku, Bayu, yang sedang bermain gitar pelan, mencoba menghIbur diri di tengah keadaan keluarga yang serba sulit. Tiba-tiba, Ibu meringis kesakitan. Kelapa yang sedang diparut jatuh ke lantai, suara batoknya bergulir ke sudut dapur. Ibu memegang perutnya, napasnya terengah. 

    “Bang!! Bang Bayu!” panggil Ibu dengan suara lemah. 

    Bayu langsung berlari ke dapur. Melihat Ibu yang sudah mulai sulit bernapas, ia panik. Tanpa pikir panjang, ia menopang tubuh Ibu dan bergegas keluar rumah mencari bantuan. 

    Tetangga berkumpul sebab mereka tahu malam itu bisa menjadi pertaruhan nyawa bagi Ibu dan anak yang dikandungnya. Sayangnya, tak ada kendaraan pribadi di rumah, hanya sepeda yang menjadi kendaraan buat nganter koran. Salah satu tetangga, Bu Siti, bergegas mencari bajaj yang sedang mangkal di ujung gang. 

    “Cepat, Bang! Ibu ini mau lahiran!” seru Bu Siti. 

    Sopir bajaj terlihat ragu.

    “Aduh, Bu. Takut saya kalau kenapa-kenapa di jalan.” 

    “Tanggung jawab di saya! Ayo, Bang. Kalau telat nanti malah gawat!” desak Bu Siti. 

    Akhirnya Ibu dan Bayu naik ke dalam bajaj yang melaju kencang menembus dinginnya malam. Bajaj berguncang hebat di setiap lubang jalanan, membuat Ibu mengerang kesakitan. Bayu berusaha menenangkan, meski hatinya sendiri ikut cemas. 

    Sesampainya di depan IGD rumah sakit, sopir bajaj langsung mengucap syukur. 

    “Alhamdulillah, nyampe juga! Duh, jantung saya mau copot, Bang!” 

    Bayu yang sedang bersiap turun langsung menepuk bahu sopir bajaj. 

    “Bang! Cepet, bantuin gue bopong Ibu!” Sopir bajaj terkejut, wajahnya pucat. 

    “Hah?! Lah, udah nyampe. Tugas saya kan selesai!” 

    “Selesai gimana?! Kalau Ibu kenapa-kenapa di depan IGD, dosa lu gede, Bang!” Bayu membelalak, membuat sopir bajaj reflek meloncat turun dan ikut membantu memapah Ibu ke dalam rumah sakit. 

      

    Di rumah sakit, suster yang melihat Bayu datang bersama Ibu langsung salah paham. 

    “Suaminya, ya?” tanya suster sambil tersenyum ramah. 

    “Hah? Nggak, Bu. Ini Ibu saya,” jawab Bayu gugup. 

    Suster langsung beralih ke sopir bajaj dan menepuk pundaknya dengan tegas. 

    “Pak, mohon mendampingi istri Anda di dalam, ya.” 

    Sopir bajaj membelalak, wajahnya pucat seketika. 

    “HAH?! Istri?! Bu Suster, saya cuma nganter doang, sumpah!” Suster mengernyit, menatapnya penuh selidik. 

    “Aduh, Pak. Jangan malu-malu. Istri Bapak butuh pendamping, ini momen penting!” 

    Sopir bajaj mulai berkeringat dingin, matanya melirik ke Bayu, meminta pertolongan. Tapi, Bayu malah terkekeh. 

    “Iya, Bang. Tanggung jawab dong! Masa ditinggal di saat genting begini?” 

    “Astaghfirullah… ini beneran apes.” gumam sopir bajaj pasrah, melirik pintu IGD seakan mencari jalan keluar. 

    Tepat saat itu, Bayu buru-buru memberi penjelasan ke suster. “Bu Suster, bukan, bukan! Ini cuma sopir bajaj, bukan suami Ibu saya.” 

    Suster terdiam sesaat, lalu menatap sopir bajaj yang masih tampak pucat.

    “Oh, begitu?” 

    Ia mengangguk pelan, meski wajahnya masih menyimpan kebingungan. 

    “Ya sudah, Pak. Tunggu di luar, ya. Kami akan menangani persalinannya.” 

    Sopir bajaj langsung menghela nafas lega, tangannya refleks mengusap dada. 

    “Alhamdulillah… Hampir saja saya dapat istri mendadak.” 

    Sementara itu, bapak masih tenggelam dalam kebiasaannya di kolong jembatan. Gelak tawa dan suara musik jaipongan mengiringi kebersamaannya dengan Bang Ancang, Koh Mansur, dan Bang Pei. Mereka bercanda dan menertawakan hidup mereka yang semakin sulit. 

    “Gila, lu, Han! Anak udah tujuh, masih nambah satu lagi?” ujar Bang Ancang sambil tertawa terbahak. 

    Koh Mansur menambahkan, “Tok cer juga lu, ya! Udah tua, masih produktif.” 

    Bapak hanya mendengus, meneguk tuaknya dengan kasar. 

    “Gue juga nggak mau, tahu! Ini gara-gara… ah, sudahlah!” 

    Lantas ia diam bukan karena tak peduli, tapi karena dalam hatinya ada kemarahan yang ia sendiri tak bisa jelaskan. Hidupnya yang penuh keterbatasan membuatnya merasa terperangkap. Ia tak pernah benar-benar membenci anak-anaknya, tapi ia merasa mereka adalah beban yang terlalu berat untuk dipikul. 

    Di rumah sakit, Ibu berjuang antara hidup dan mati. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat pasi. Dokter terus memberi aba-aba agar ia mengejan, sementara Bayu menunggu dengan cemas di luar. Di dalam hatinya, ia berjanji pada diri sendiri untuk selalu melindungi adiknya, siapa pun dia nanti. 

    Di tempat lain, kelompok tari jaipong di atas panggung masih melanjutkan pertunjukan mereka, mengira ini seperti malam biasa. Namun, perlahan suasana berubah ketika sekelompok pria mulai bersitegang. Bapak terseret dalam kericuhan. Satu pukulan menghantam pipinya, membuatnya terhuyung. Ia balas menyerang, tapi lawannya lebih gesit. Ia mulai tersadar bahwa ini bukan sekadar adu mulut. Ini bisa menjadi pertaruhan nyawa. Dua orang penari dengan wajah tegang memutuskan turun dari panggung dan bersembunyi di belakang layar. Pemain musik pun akhirnya menghentikan musiknya. Yang tersisa hanyalah suara benturan dan baku hantam. 

    Di saat yang sama, Ibu masih berjuang. Dokter terus memberi aba-aba. Di sisi lain, bapak berhasil meloloskan diri dari kerusuhan, tubuhnya penuh luka dan napasnya terengah. Ia berdiri di tepi jalan. Tangis pertamaku terdengar di ruangan itu. Seorang bayi perempuan lahir ke dunia. Bapak masih berada di tepi jalan sunyi, ia menghela napas panjang. Ia tidak tahu, di saat yang sama, anak bungsunya baru saja mengeluarkan tangisan pertamanya ke dunia. Sementara Ibu tersenyum tipis, meski aku tahu saat itu pasti ada rasa sedih yang mendalam di matanya.  

    Lahir di bulan Ramadhan seharusnya membawa berkah, tapi aku tahu, kedatanganku justru membawa kecemasan baru dalam keluarga ini. Namun, di balik wajah letih Ibu dan tegang berubah penuh syukurnya Bang Bayu, ada secercah harapan. Mungkin mereka berharap aku akan menjadi cahaya dalam keluarga yang hampir padam ini. 

    Setelah malam kelahiranku, rumah kami tak bertambah bahagia. Aku adalah anak yang tidak diharapkan. Mungkin hanya oleh Bapak, tidak dengan kakak-kakakku. Bapak semakin sering pulang dalam keadaan mabuk. Uang tak lagi mengalir dari tangannya. Ibu menjadi tulang punggung, banting tulang berjualan sayur di pasar. 

    Saat usiaku baru dua minggu, aku sudah akrab dengan dinginnya pasar. Ibu terpaksa membawaku karena tak ada yang menjaga. Kakak-kakakku yang lain ikut membantu menyiapkan sayur mayur untuk para pedagang keliling. Di sana, aku berteman dengan kecoa dan serangga pasar lainnya. Bau anyir dan aroma sayuran menjadi latar belakang masa kecilku. Neli, kakak yang paling dekat denganku, sibuk menepuk nyamuk agar tidak hinggap di tubuh kecilku. Namun, Jaya, kakakku yang lain, berinisiatif mengambil autan. 

    “Balurin aja, Nel. Daripada digigit terus.” kata Jaya sambil merobek sachet autan. 

    Neli ragu. “Tapi buat bayi boleh nggak sih?” 

    Tiba-tiba, Jeni, kakak perempuanku yang lain, merebut sachet autan dari tangan Jaya. 

    “Eh, jangan! Itu buat orang gede, bukan bayi!” 

    “Ya tapi masa digigitin nyamuk?” Jaya membalas dengan kesal. 

    Perdebatan mereka membuat Neli kebingungan. Tak tahu harus berbuat apa, ia akhirnya menutup wajahku dengan kain gendong agar nyamuk tidak mendekat. Namun, aku malah gelagapan dan mulai menangis keras. 

    “Riana!” Jeni dan Jaya serempak panik. 

    Jeni buru-buru membuka kain, sementara Jaya mengela nafas panjang. 

    “Ya ampun, Nel! Mau nolongin malah bikin mati napas!” 

    Neli terdiam, menahan tangis. “Aku cuma mau Riana nggak digigit nyamuk.” 

    Jeni menghela napas, lalu merangkul Neli. “Udah, maaf. Kita sama-sama bingung.”

    Di tengah kekacauan itu, Riana bayi hanya bisa menangis. Kehidupan ini baru dimulai, tapi sudah penuh dengan perjuangan. Begitulah aku, Riana, lahir ke dunia ini di tengah kesulitan, di tengah ketidakpastian. 

    Bapak tak peduli. Justru ia yang sering datang ke pasar, bukan untuk membantu, tapi untuk meminta uang. Jika Ibu menolak, tamparan akan melayang. Kakak-kakakku hanya bisa menahan amarah, tak berdaya di hadapan lelaki yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Lain waktu ketika bapak berlaku seperti ini lagi, kakak-kakakku bikin siasat untuk melawan bapak. Ya, benar saja. Ketika bapak datang lagi, teriakan suara bapak sudah terdengar dari ujung lorong pasar. Secepat kilat aku diungsikan jauh ke atas toko sebelah. Abangku, Bayu, mengevakuasi ke lapak lain toko yang menjual makanan ringan. Ia meletakkanku di antara kardus-kardus bekas Chiki, memastikan aku aman dan jauh dari jangkauan Bapak. 

    “Sstt, diem ya, Dek. Jangan nangis.” bisik Bayu sambil menepuk-nepuk dadaku pelan. 

    Tak lama, Bapak datang dengan langkah gontai. Bau alkohol menyengat, lebih menyengat dari bau ikan asin yang dijual di lapak sebelah. Ibu masih sIbuk menyiangi sayuran, wajahnya letih. 

    “Uangnya mana?” suara bapak berat, matanya merah. 

    “Belum ada, Pak. Ini masih nyiangin sayur, besok baru ada uang,” jawab Ibu dengan suara sabar.  

    Bapak mendengus, tangannya terkepal. 

    “Jangan bohong kau! Kau kasih laki-laki lain, ya? Anak ini bukan anakku, kan?” katanya sambil menunjuk tempat tidurku yang kosong. Untung aku sudah diamankan Bayu. 

    Ibu terbelalak. “Astaghfirullah! Apa-apaan sih, Pak?!” 

    Bayu yang mendengar itu langsung geram. “Kurang ajar kau, Pak! Jangan asal nuduh!” 

    Ia turun dari lapak toko sebelah, sementara aku—bayi mungil yang tidak tahu apa-apa—tertidur pulas, ditemani kucing liar pasar yang menggeliat nyaman di sampingku. 

    Jaya, abangku yang lain, juga tak kalah panas. “Kami ini anakmu, Pak! Kami yang lihat gimana Ibu banting tulang buat makan kita semua, sementara kau cuma mabuk-mabukan!” Bapak mengayunkan tangan, mencoba menampar Bayu. Tapi kali ini, Bayu tak diam saja. Ia menangkis dan mendorong bapak hingga hampir jatuh ke tumpukan bawang. Tetangga-tetangga mulai berdatangan. Mereka bukan ingin membantu, tapi menonton. 

    “Woi, woi! Ada drama gratis nih!” bisik seseorang dari belakang. 

    Ibu menangis, berusaha menarik Bayu dan Jaya agar tidak semakin terpancing emosi. 

    “Sudah! Sudah! Jangan begini!” 

    Neli dan Jeni, kakak perempuanku, menangis ketakutan. Teriakan mereka bercampur dengan ocehan bapak yang tak jelas. Lorong pasar yang biasanya hanya ramai oleh suara transaksi dan obrolan pedagang, kini berubah jadi arena pertunjukan keluarga kami. 

    “Ih, seru nih! Nih, nih, lihat tuh!” seorang bocah menunjuk-nunjuk ke arah Bayu yang masih menantang Bapak. 

    “Udah-udah, pisahin dulu! Ntar ada yang mati di pasar, kita yang kena getahnya!” seru seorang pedagang tahu yang akhirnya mencoba melerai. 

    Tetangga lapak akhirnya turun tangan, menarik bapak menjauh sebelum situasi makin panas. Bapak masih menggerutu, “Anak durhaka! Perempuan laknat!” sebelum akhirnya tersandung dan jatuh sendiri di depan lapak bumbu dapur. 

    Jika tidak dilerai oleh tetangga lapak, mungkin malam itu akan berakhir lebih buruk. Setelah puas mencaci, bapak pergi dengan langkah sempoyongan, masih mengomel soal anak durhaka. Gelak tawa kecil terdengar dari para penghuni lapak lain yang mengintip di balik tumpukan karung beras. 

    “Ckckck, drama pasar malam. Seru juga,” gumam seorang pedagang sambil mengunyah kacang. Setelah puas mencaci, bapak pergi dengan langkah sempoyongan, masih mengomel soal anak durhaka. 

    Lorong pasar yang ricuh berangsur senyap, berganti dengan suara ngaji dari toa masjid. Malam makin larut. Ibu dan kakak-kakakku menghabiskan malam itu di lapak, mereka menandingi sayur asem dan sayuran sop ke dalam plastik-plastik keteng. Neli sudah tergeletak tidur dekat tumpukan kacang panjang. Suara dari toa masjid berganti menjadi pengumuman sahur. Bang Bayu menarik napas panjang, menatap langit yang gelap. 

    “Besok kita masih hidup, kan?” gumamnya pelan. 

    Ibu tersenyum lelah, tangannya masih sIbuk membungkus sayuran. 

    “Selama kita bersama, kita pasti bisa,” bisiknya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. 

    Ya, malam itu, Ibu, Bang Bayu, Bang Jaya, Neli, dan Jeni memutuskan untuk sahur di lapak. Tidak ada meja makan, tidak ada piring cantik, hanya nasi bungkus dan lauk seadanya. Tapi di tengah dinginnya malam, itulah satu-satunya kehangatan yang kami punya. 

    Aku? si Riana bayi masih terlelap di alamnya. Aku tetap tidur pulas, dIbuai malam yang dingin. Sementara dunia di sekitarku gaduh. Aku tidak tahu bahwa malam itu adalah pintu pertama dari perjalanan panjang yang telah Tuhan siapkan untukku. Lorong pasar yang dingin dan penuh suara kini menjadi saksi awal dari perjalanan panjangku. Dan entah bagaimana, aku akan bertahan. Aku tidak memilih jalan ini, Tuhan sedang menulis kisahnya untukku, dan aku hanya bisa menjalaninya, satu babak demi satu babak kehidupanku.

     

     

    Kreator : Nur Fitriah Napiz

    Bagikan ke

    Comment Closed: MEMBASUH LUKA (BAB 1)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021