KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » MEMBERSAMAI ZAITUN

    MEMBERSAMAI ZAITUN

    BY 20 Jul 2024 Dilihat: 144 kali
    MEMBERSAMAI ZAITUN_alineaku

    Mimpiku tumbuh sekuat akarnya yang menghujam bumi. Ranting dan cabang bergerak bebas menantang langit melalui batang kokoh yang menjulang tinggi mencoba menggapai cita-cita yang tertimbun di dalam hati. Harapanku luwes bergerak seperti daun hijaunya tertiup angin musim semi. Manfaatku ranum seiring kabar gembira yang dibawa saat musim panen. Melalui goncangan lembut tangan-tangan para petani, buah zaitun berguguran. Kami bersuka cita. Kegembiraan yang amat sederhana selalu membuncah tiap kali merangkum zaitun dalam raupan dua telapak tangan. Kepuasan tumbuh diiringi rasa syukur kepada Sang Pencipta.  

    Namaku Mahmudah, lahir 1951, tiga tahun setelah mereka “bermain rumah-rumahan” di tanah kami. Ini ceritaku membersamai ratusan pohon yang kurawat ibarat anak sendiri di Desa Salem, Tepi Barat, Palestina. Ayahku petani zaitun, demikian pula kakek dan leluhur terdahulu. Kehadiranku di tanah ini sekedar mewarisi kepiawaian mereka merawat tanaman. Aku dikenali sebagai gadis kecil yang selalu menghabiskan waktu di bawah rindangnya zaitun. Menemani Ibu mengolah adonan roti untuk dimakan dengan minyaknya. Roti hangat dicelupkan pada minyak zaitun cukup membuat kami tidur nyenyak setiap malam tanpa merasa lapar.

    Dari bisikan dongeng ibu sebelum tidur jenis ini telah berusia 8000 tahun. Pohon ini tak memiliki banyak tuntutan kepada pemilik. Selama musim semi dan musim dingin tak harus berpayah-payah menyirami. Akarnya sangat mudah menyesuaikan diri dengan tanah air kami yang kering, gembur, namun lembab. Tiap kali aku perhatikan ayah dan paman hati-hati memangkas dedaunan untuk memastikan akar lebih banyak memberi nutrisi kepada buah yang siap dipanen bulan September atau Oktober menjelang musim panas. Setelah musim panen kami berlama-lama duduk menikmati cahaya bulan purnama sambil bercengkrama mendengarkan ayah membawakan kisah para nabi. Keyakinannya kuat, Allah tak akan membiarkan kampung halaman kami, tanah penuh keberkahan ini sia-sia. Penduduknya tak akan merasa kelaparan walau serba kekurangan. Tak ada rasa takut meski dalam penawanan. Tak ada rasa sedih di tengah kesempitan. 

    Ketika Ayah syahid, kata-kata itu telah terpatri dalam hati. Keahlian menumbuhkan zaitun menjadi satu-satunya harta yang ia warisan. Aku paham bagaimana membesarkan tunas dari biji hingga melesat menjadi pohon penghasil buah lezat. Aku hafal tanah ini dan apa yang terkandung di dalamnya. Tanganku bersahabat dengan lumpur dan debu, mengirimkan cinta kasih dalam hati untuk menumbuhkan bakal-bakal buah. Entah berapa ratus zaitun telah kutanam. Kami tumbuh bersama. Melihat tanah terbelah oleh dua kuncup dedaunan muda telah membuatku belajar untuk pantang menyerah. Tanah yang demikian solid dapat tertembus oleh kehalusan dua kelopak. Sebagai gadis Palestina, aku hanya diminta bersabar menunggu saat kemenangan tiba.  

    Masa depanku tak terlalu terbentang luas seperti kebanyakan gadis muda lain. Tapi aku tahu yang kalian tak tahu. Tiap detik aku dapat merasakan kasih sayang melalui belaianNya di antara zaitun. Aku jarang terganggu hal duniawi lainnya. Hidupku hanya zaitun, dimulai ketika tunas beralih menjadi perdu hingga pohon yang menghasilkan buah aneka warna. Aku yakin Dia tumbuhkan tanaman berusia hingga seribu tahun untuk memberi penghiburan kepada kami. Buah yang hijau, kecoklatan, atau ungu kehitaman disambut dengan suka cita. Butiran-butiran kecil ini dapat mengalihkan pandangan dari segala kerusakan yang dilakukan para pendatang. Kami tenun daun zaitun dalam kaffiyeh untuk mengingatkan kekuatannya bertahan menghadapi iklim. Kami sematkan menutupi kepala sehingga menularkan semangat pertahanan itu.

    Pada usia ke-16 tahun, Mustafa melamar. Ketika menikah, perasaanku untuk Mustafa belum sebesar cinta pada tanaman zaitun di pekarangan. Tapi ini bukan hal aneh bagi pasangan suami istri di daerah kami. Kasih sayang itu akan tumbuh selebat rimbunnya dedaunan di pohon zaitun seiring bertambahnya usia pernikahan. Aku tak pernah bergaul dengan Mustafa. Pembicaraan pertama kami secara serius adalah dua hari sebelum menikah. Ia hanya berkata akan membuatku bahagia dan berharap aku mau menemani merawat ibunya yang sudah lanjut usia. Aku hanya mengangguk dan ia pun pamit untuk pulang seraya berjanji akan melangsungkan akad nikah dua hari lagi. 

    Aku mengenakan gaun berwarna putih tulang dengan sulaman tradisional tatreez merah. Ibu memoleskan bedak dan lipstik tipis-tipis agar aku tampil lain dari hari biasa. Setelah asar kami berkumpul di tengah-tengah kebun zaitun, lampu bercahaya kuning dinyalakan menerangi sekeliling tenda membuat suasana menjadi lebih hangat. Meja besar telah tertata dipenuhi makanan khas yang telah diupayakan pembuatannya oleh teman-teman ibu. Ada maqluba nasi yang dimasak dalam satu panci besar dengan susunan daging di dasar, lalu sayuran, kemudian beras. Ketika matang panci itu akan ditumpahkan ke atas nampan sehingga susunannya menjadi terbalik: nasi bertabur daging dan sayur di atasnya. Makdous mereka buat dari terong fermentasi minyak zaitun diberi isian paprika, bawang dan kenari. Hummus dibanjiri minyak zaitun hasil kebun sendiri lengkap dengan roti tak boleh ketinggalan. Labneh biasa dikenal dengan yoghurt dan kunafa disajikan sebagai makanan penutup, gurih dengan perpaduan keju dan saus karamel. 

    Kegembiraan hari itu masih terasa berbulan-bulan setelahnya. Seperti zaitun segar yang baru dipanen dan harus digiling kuat-kuat hingga hancur seluruh bentuknya begitulah perasaanku ketika Mustafa syahid tepat lima bulan usia kehamilanku. Hatiku berkata tak boleh bersedih lama-lama. Segala yang hidup pasti akan kembali kepadaNya. Mustafa dimakamkan apa adanya dalam keadaan syahidnya, tak perlu dimandikan. Pikiranku melambung jauh sambil mengguyur buah zaitun dengan air dingin, memisahkannya dari debu, ranting dan kerikil. Aku harus menjadikannya amat bersih, bahkan air hasil cucian pun harus diseka jika ingin menghasilkan minyak berkualitas baik. Ini pula yang harus kulakukan terhadap hidup, membuang semua rasa sedih dan was-was. Kejadian demi kejadian membuatku menciut persis seperti zaitun yang harus diperas kuat-kuat. Tapi dari tiap kesedihan yang hadir, aku berjanji harus membuahkan sesuatu yang manis seperti minyak zaitun. 

    Hiburanku menjalani hari-hari adalah terus-menerus membaca surah Maryam ditemani gemerisik daun zaitun bergesekan satu sama lain. Aku bayangkan wanita suci ini seorang diri mengandung puteranya tanpa kehadiran suami. Dalam keadaan yang paling amat lemah, dia diperintah untuk menggoncangkan batang kurma agar berjatuhan buah matangnya. Bergeraklah untuk bertahan hidup. Upayakan dengan tanganmu sendiri karena rezki sudah disiapkan untuk kau raih. Itu pesannya.  Tanganku menyentuh pokok zaitun yang kokoh. Kekuatannya adalah kekuatanku. Puteri yang lahir dalam dekapan cahaya rembulan kuberi nama Maryam. Untuknya aku menyimpan kisah sedih, namun juga penuh harapan. Yang Maha Pengasih telah menitipkan rizki dalam butiran zaitun terbaik. 

    Aku berjanji Maryam tidak akan pernah merasa kekurangan. Meski ibunya adalah generasi kedua yang menyirami zaitun sambil bersimbah air mata dari lubuk hati terdalam. Nestapa memberi kesuburan lebih pada zaitun-zaitun baru menandai perlawanan. Ratusan bahkan ribuan pohon menyaksikan kekejaman. Tanah air ini tak pernah kehabisan nutrisi karena selalu bersimbah darah. Akarnya meresapi darah para petani yang harus tumpah menghadapi pemukim jahanam. Dunia hanya melihat melalui layar kaca bagaimana manusia bersimbah darah di tanah para nabi. Tapi sesungguhnya tak hanya manusia yang menjadi target.

    Kami tak dapat menebak apa yang akan terjadi esok hari. Tapi aku belajar dari ketangguhan pohon yang mereka coba musnahkan sejak 1968. Zaitun selalu melawan, tak pernah punah. Akarnya mungkin tercerabut dari tanah, tapi tak pernah meninggalkan lubuk hati kami. Pohon berbuah lebat itu menjerit manakala buldozer bak tangan besi tak ada belas kasihan melukai tiap uratnya. Buah menjadi ranum sia-sia, bertebaran terpaksa di sekujur bumi padahal biasanya ditadahi untuk menopang kehidupan. Mengapa rela menghancurkan hasil bumi dari tanah yang katanya “dijanjikan” untuk mereka. Pemilik sejati tak sanggup menyakiti sekedar sebatang zaitun, sedangkan mereka mencerabut ratusan lebih apa yang telah kami upayakan untuk tanah ini. 

    Sejak tangan-tangan suruhan mencabut satu pohon, aku tak gentar untuk kembali menanam lebih banyak lagi. Waktu telah mengasah keahlian anak negeri untuk bercocok tanam. Bertahun-tahun berulang tanpa rasa bosan karena pohon baru mengasilkan limpahan zaitun lebih banyak lagi dibanding sebelumnya. Aku tak memiliki senjata untuk mereka. Aku hanya punya waktu yang menggaungkan kekuatan suara dari puluhan tahun lalu. Gaung ini semakin keras gemanya kian hari. Untuk terus menanam, menanam, dan menanam. Kalian tak akan pernah mampu mengambil tanah dan zaitunku. 

    Pedih rasanya, belum mampu menyelamatkan zaitun-zaitun negeri ini. Di musim dingin 2023, sekali lagi zaitun menyelamatkan kami. Kakak tertua mengambil keputusan tersulit. Berhari-hari tak ada listrik untuk menyalakan mesin penghangat. Aku memperhatikan Abbas sejak pagi termenung di pekarangan. Seperti ada yang mengusik pikirannya. Seharian ia tak banyak bicara. Sore hari tanpa banyak berkata-kata ia berjalan menuju kebun dengan sebilah kampak di tangan kanan. Cintanya kepada pohon-pohon zaitun tak diragukan lagi.  

    Mata kami hanya bisa menatap nanar ketika kedua tangannya mulai menebang dahan zaitun. Tak ada air mata yang mengalir. Rasa sedih pun tak terasa di dalam hati. Dadaku hanya dipenuhi kehampaan. Dalam kebisuannya zaitun telah mengajarkan sebuah pengorbanan. Dahan-dahan keringnya mampu memberi kami kehangatan sepanjang malam. Kayunya menebar aroma harum penuh ketenangan membuat anak-anak kami tertidur nyenyak dalam dekapan bidadari surgawi. 

    Esoknya Abbas harus melakukan hal yang sama, karena para tetangga pun memerlukan kehangatan sepanjang malam. Mulai ada rasa perih saat tak hanya menebas dahan, kini Abbas menebang pohonnya untuk dijadikan kayu api. Mematahkan sekedar rantingnya tak dapat dipungkiri adalah hal tersedih setelah kehilangan sanak saudara. Tapi keyakinan bahwa kehadirannya adalah untuk menjamin dan memenuhi penghidupan, membawa nalar kembali sadar diri dan ikhlas. 

    Sesaat setelah upaya pelenyapan zaitun terjadi, reporter televisi mengajakku bercakap-cakap untuk kepentingan reportase. Aku katakan padanya, “Zaitun tak pernah berubah. Kamilah yang telah berubah dalam asuhannya. Secara kasat mata yang terlihat adalah kami merawat mereka. Menyirami, memupuki dan menyiangi daun rimbunnya. Tapi sejatinya selama puluhan tahun pohon ini berdiri kokoh untuk menyelamatkan kami. Merubah sedih menjadi syukur. Mengganti gundah menjadi ketenangan. Meski tercabut satu, pasti akan tumbuh seribu zaitun untuk membawa pesan yang sama: ketangguhan. Seperti yang kalian lihat aku telah terdesak oleh usia, 72 tahun. Tapi yang dikatakan Hertzel bahwa orang tua akan mati dan anak-anak akan lupa tidak akan pernah terjadi di tanah ini.  Kunjungi kami di sini, tak usah kalian membawa buah tangan, cukup dengungkan kisah tentang kami di manapun ia dapat terpatri. Mungkin kalian tidak akan bertemu denganku ketika datang berkungjung. Tapi Maryam dan anak-anaknya dengan suka cita dan kerelaan hati tidak akan pergi meninggalkan tanah kami. Kunjungilah ia. Temukan kedamaian bersamanya. Kami tak pernah menyakiti yang telah ditanam, tak pernah sudi menghancurkan dan menodai tanah ini. Kadang mereka membakarnya, kadang menebang, kadang mencabut paksa. Memusnahkan sebatang pohon sama dengan membunuh manusia. Apalagi ini adalah pohon yang menarik perhatian dan pandangan Rasulullah ke Baitul Maqdis. Ia telah menjadi identitas kami sejak zaman kenabian. Pemilik tak akan pernah menghancurkan identitasnya sendiri.”

    Reporter itu menyimak, mencatat, merekam lalu pergi. Kepalanya tertunduk, tangannya sibuk menyeka air mata setelah mendengar kisahku. Sedangkan ia baru beberapa jam saja menyaksikan ini semua. Sementara kami telah tergores luka puluhan tahun mungkin jauh sebelum sang reporter lahir. Biarlah ia membawa kisahku pada kalian. Jika pun aku syahid, Allah akan mengganti kedua tanganku ini dengan ribuan tangan lain yang akan terus menanam berhektar-hektar zaitun.

     

     

    Kreator : Dini Masitah

    Bagikan ke

    Comment Closed: MEMBERSAMAI ZAITUN

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021