Sebagai muslim kita boleh bersyukur bila melihat pemandangan penuhnya masjid dan musala oleh aktivitas ummat Islam dalam bulan Ramadan. Siangnya berpuasa menahan lapar dan dahaga dan dari semua yang dapat membatalkan puasa. Malamnya bermunajat kepada Tuhannya dengan sangat panjang, mulai dari salat isya berjamaah dilanjutkan dengan sunah tarawih yang ditutup dengan salat witir. Itu pun masih ditambah salat subuh berjamaah dilanjutkan dengan kuliah subuh. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan kondisi umat yang masih melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk keuntungan pribadi, korupsi uang negara, penyalahgunaan narkoba serta tawuran antar warga yang masih kerap terjadi. Di tempat yang lain, masih tingginya angka kemiskinan dan masalah pendidikan serta kesehatan juga makin menambah deretan panjang permasalahan umat Islam di negeri ini. Lagi-lagi pembandingnya tentu aktivitas ibadah mereka yang selalu tergambar semarak terutama pada hari besar Islam. Namun di lapangan yang terjadi masih ada gap yang menganga antara praktik ibadah yang mencerminkan kesalehan pribadi atau individu dengan kesalehan sosial yang ditandai dengan adanya imbas kebaikan dari perilaku seseorang yang taat beribadah.
Dari gambaran di atas, muncul stereotip negatif tentang ibadah ritual umat Islam selama ini. Sehingga sering kita mendengar ungkapan:”STMJ, Salat Tapi Maksiat Jalan.” Ini memang tidak nyaman di telinga kita. Tetapi ini sudah menjadi fenomena di masyarakat. Saya mengkhwatirkan adanya penyikapan yang salah yang berujung pada kesimpulan sesat, mending tidak udah salat sekalian atau jargon percuma salat. Sesungguhnya persoalanya terletak pada kesadaran memaknai ibadah yang masih keliru. Ibadah ritual dalam Islam sesungguhnya bukan beban bagi seorang mukmin. Karena sesungguhnya ibadah, meminjam istilah K.H Husein Muhammad, adalah jalan agar manusia mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah Swt, membersihkan hati dan membebaskan diri dari ketergantungan kepada selain Allah. Tetapi pada saat yang sama ibadah juga menuntut manusia untuk melakukan tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Ini sejalan dengan maksud diutusnya Rasulullah Saw dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia. Maka dalam setiap perintah ibadah ritual, selain manfaatnya untuk pelakunya, menjadi makin dekat kepada Tuhannya, meningkatnya ketakwaan, juga berdampak kepada meningkatnya kepekaan terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang ada di sekitarnya.
Sebagai contoh, perintah salat wajib maupun sunah, Alquran menyebutkan: “Dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.”(Q.S. Thaa ha (20):14). Pada saat yang sama Allah juga menekankan tentang manfaat salat melalui ayat: …Sesungguhnya salat itu (dapat) mencegah perbuatan keji dan mungkar. (Q.S. Al Ankabut(29):45). Dua ayat di atas menggambarkan betapa salat yang awalnya perintah personal yang bersifat transenden (mahdoh)-langsung kepada Allah- ternyata manfatnya berdampak sosial. Ini terjadi hampir di semua ritual ibadah lainnya dalam Islam. Singkatnya, semua ibadah dalam Islam sesungguhnya mempunyai pesan moral demi kemaslahatan umat manusia lainya bahkan alam semesta. Maka tepatlah bahwa ajaran Islam memiliki misi rahmatal lil ‘aalamiin. Sayangnya, pesan moral di setiap ritual ibadah jarang tertangkap oleh umatnya. Pelaksanaan ibadah sejauh ini masih berada di level permukaan, sementara mutiara terdalamnya masih terpendam jauh yang untuk menjangkaunya harus berani menyelam ke dasar samudra makna.
Perintah puasa, terkesan hanya ibadah ritual yang penuh kekhusyukan dengan menahan lapar dan dahaga serta semua perbuatan yang berpotensi membatalkan ibadah puasa. Namun di sisi lain, Nabi juga memberikan motivasi kepada orang yang berpuasa untuk saling berbagi kepada sesama dengan cara memberikan makanan untuk berbuka puasa kepada orang yang berpuasa maupun kepada orang yang membutuhkannya. Bahkan nabi memberikan penguatan perbuatan baik ini dengan menyebutkan reward yang akan diterima bagi mereka yang mau berbagi, seperti mendapat pahala sebanyak orang yang berpuasa. Pesan moral yang ingin disampaikan bagi orang yang berpuasa adalah mereka ikut merasakan bagaimana penderitaan orang yang lapar, yang duafa, yang hidup dalam kesusahan berhari-hari lamanya, sehingga timbul kesadaran untuk saling berbagi. Demikian juga ibadah zakat dan infak atau sedekah yang merupakan rangkaian tak terpisahkan dari ibadah puasa. Maka tidak heran kalau banyak orang yang memberikan sebagian harta yang dimilikinya dalam bentuk zakat, infak dan sedekah pada akhir bulan Ramadan. Ini sebuah pelaksanaan ibadah yang sunggung indah. Harapannya, selain pemberi mendapatkan pahala berlipat ganda karena dilaksanakan pada bulan Ramadan, pada hari Lebaran nanti setiap orang bisa merayakan dengan penuh suka cita, penuh rasa syukur karena secara batin telah menyelesaikan puasanya selama sebulan dan secara lahir, mereka mampu memakai pakaian baru dan bisa menikmati makanan khas Lebaran.
Haji, sebagai puncak rukun Islam juga tidak luput dari pesan moral. Diletakkan di akhir rukun Islam bukan tanpa alasan. Ini karena ritual ibadah haji meliputi ibadah salat, baik wajib maupun sunah. Ada juga pemberian sedekah dan juga unsur puasa yaitu menahan diri dari melakukan perbuatan yang dilarang selama pelaksanaan ibadah haji. Ketika seseorang mengenakan pakaian ihram, sebagai pengganti pakaian berjahit, dimaknai seseorang berniat meninggalkan pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan pakaian ketaatan. Ketika berjalan menuju ke kota Mekah, di sana ada Baitullah, adalah simbol perjalanan menuju kepada Allah Swt. Artinya hidup kita sudah seharusnya hanya perjalanan dalam rangka ibadah kepada-Nya.
Dari uraian di atas, penulis berharap bahwa kita punya sudut pandang baru dalam memaknai pelaksanaan ibadah, dari sekadar menggugurkan kewajiban, menjadi sesuatu yang kita beri makna agar pesan moral-yang Tuhan inginkan-sampai kepada para pelaku ibadah. Dengannya mereka menjadi orang saleh secara pribadi dan pada saat yang sama menjadi saleh secara sosial. Inilah yang sesungguhnya Allah kehendaki dari hamba-Nya, menjadi khalifah di bumi untuk memakmurkan bumi dan isinya. Bukan tidak mungkin, suasana bangsa pun akan terwarnai secara positif dengan makin membaiknya kualitas keberagamaan umat Islam.
***
Hidayat Adi Firmanto, pengajar di sebuah SMP di Tegal. Tahun 2021, penulis banyak belajar di berbagai Komunitas Menulis dan belajar mandiri. Darinya telah terbit beberapa buku antologi. Penulis bisa dihubungi lewat FB Hidayat Adi Firmanto, IG @hidayataf_70 dan email hidayatadifirmanto@gmail.com.
Comment Closed: Menangkap Pesan Moral dalam Setiap Ibadah Dalam Islam
Sorry, comment are closed for this post.