Klasika memulai perjalanannya dari Malang dengan hati yang berat. Usia 50 tahun bukanlah pencapaian yang ia sambut dengan suka cita. Di balik setiap senyum yang pernah ia tunjukkan, tersimpan keletihan hidup. Kebosanan dalam pernikahan yang telah kehilangan api, penghinaan di kantor yang selalu mengikis harga dirinya, dan sifatnya yang penyendiri, semua itu menggumpal menjadi satu dalam dirinya. Perjalanan ini, menuju Mahameru, adalah caranya untuk menemukan kembali jati dirinya, atau setidaknya untuk merenung, apakah semua ini masih berarti.
Di tengah perjalanan menuju Bantengan, Klasika terdiam, hanya suara langkah kaki yang menemani. Ia berbicara kepada dirinya sendiri, mencari makna dalam setiap langkah yang diambil.
Klasika: “Apakah ini caraku melarikan diri? Atau mungkin ini caraku untuk mencari kedamaian yang selama ini tak pernah kutemukan? Seumur hidup, aku selalu berusaha untuk menjadi kuat, untuk bertahan, tapi semakin hari, aku merasa hanya bertahan hidup, bukan benar-benar hidup.”
Melewati Ranu Regulo dan Ranu Pani, dua danau yang tenang, Klasika berhenti sejenak. Air yang begitu jernih, memantulkan bayangannya yang mulai menua.
Dia memutuskan untuk menginap semalam dalam tenda yang dia dirikan disamping rumah peneliti di Ranu Regulo yang indah namun mencekam karena sepinya. Dalam senyap paripurna dia sholat Tahajud dan merefleksikan kesenyapan itu ke dalam dirinya. Sebuah proses meditasi yang menenggelamkan ego ke titik nol.
Klasika: “Seperti air ini, aku juga telah berusaha untuk tetap jernih di tengah segala kekacauan. Tapi lihatlah, ada riak-riak kecil yang tak pernah bisa dihindari. Mungkin itulah hidup—tak pernah benar-benar tenang. Aku telah melalui begitu banyak, tetapi apa yang tersisa dariku sekarang? Sebuah cerminan dari siapa aku dulu, atau hanya bayangan dari apa yang aku inginkan?”
Ia melanjutkan perjalanannya, kali ini menuju Ranu Kumbolo, sebuah danau yang dianggap sakral oleh banyak pendaki. Klasika tahu, di sanalah ia akan menghadapi sebagian dari dirinya yang selama ini ia hindari. Ranu yang tenang namun terasa roh gaib menggentayangi di atasnya seperti sebuah oase semesta yang mengejawantah di bumi.
Klasika: “Kumbolo, kau bukan hanya sekadar danau, bukan? Kau adalah tempat di mana mimpi-mimpi tertidur, dan di situlah aku berharap bisa membangunkannya kembali. Di sini, di tempat yang jauh dari hiruk pikuk dunia, aku bisa mendengarkan diriku sendiri, tanpa gangguan dari luar. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Hidup yang penuh makna, atau setidaknya, hidup yang membuatku merasa hidup?”
Klasika memejamkan mata, mencoba merasakan kehadiran alam di sekitarnya. Di tempat inilah, ia mulai merasa ada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Klasika: “Semeru, aku datang untuk mencari kekuatanmu. Kau adalah gunung yang penuh dengan mistik, dengan cerita-cerita yang tak terjangkau oleh nalar manusia. Aku ingin menemukan kekuatan itu di dalam diriku sendiri, kekuatan untuk menerima, untuk berdamai dengan segala yang telah terjadi dalam hidupku.”
Perjalanan menuju Kalimati semakin menantang. Semakin dekat dengan puncak, semakin sulit medan yang harus ia tempuh. Namun, setiap langkah membawa Klasika lebih dekat kepada sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—sebuah perasaan tenang di tengah kerasnya kehidupan.
Klasika: “Aku pernah berpikir bahwa hidup ini hanya soal bertahan, soal melawan arus. Tapi semakin aku mendaki, semakin aku sadar bahwa mungkin hidup ini adalah tentang bagaimana kita menyerahkan diri kepada arus itu, bagaimana kita bisa mengalir bersama alam, bukan melawannya. Seperti bagaimana Semeru ini berdiri tegak, tidak dengan melawan angin, tapi dengan membiarkan dirinya menjadi bagian dari alam.”
Akhirnya, Klasika tiba di puncak Mahameru. Pemandangan dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini sungguh menakjubkan, tetapi yang lebih menakjubkan adalah perasaan yang membanjiri hatinya. Perasaan bebas, perasaan bahwa segala beban yang ia bawa selama ini telah terangkat, setidaknya untuk sesaat.
Klasika: “Di sinilah semuanya terasa begitu kecil, begitu tidak berarti. Semua masalah yang selama ini membebani pikiranku, tiba-tiba hilang tertiup angin. Mungkin inilah yang disebut kebebasan sejati—ketika kita menyadari bahwa kita adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar, dan bahwa segala yang kita alami hanyalah bagian dari perjalanan itu.”
Klasika menatap cakrawala, merasakan angin dingin yang menerpa wajahnya. Di tempat ini, di puncak Mahameru, ia menemukan sesuatu yang selama ini ia cari—kedamaian dalam dirinya sendiri.
Klasika: “Semeru, kau telah memberiku lebih dari yang aku harapkan. Kau mengajarkanku tentang kekuatan, tentang cinta yang sejati, bukan hanya pada orang lain, tapi pada diri sendiri dan pada Sang Pencipta. Cinta yang tak menuntut, tak menguasai, tapi memberi ruang untuk kita menjadi diri kita sendiri, dan itulah yang paling penting.”
Perjalanan turun via jalur Kalimati menuju Ranu Kumbolo melewati Oro-oro Ombo dan menuruni Tanjakan Cinta, terasa lebih ringan. Klasika tahu bahwa hidupnya mungkin tidak akan berubah secara drastis setelah ini, tetapi ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga—pemahaman bahwa dirinya bukanlah korban dari hidup ini, melainkan bagian dari keindahan yang lebih besar.
Klasika: “Aku akan kembali ke dunia, ke kehidupan yang mungkin tidak sempurna. Tapi kali ini, aku membawa serta kekuatan dari Semeru, kekuatan untuk menerima diriku apa adanya, untuk mencintai diriku, dan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna.”
Klasika melangkah dengan mantap, meninggalkan jejak yang tidak akan terlupakan di puncak Mahameru, dan membawa pulang bukan hanya kenangan, tetapi juga sebuah pemahaman baru tentang cinta dan kehidupan. Kepada dirinya dia berkata: “Jangan merenung hai diriku. Lanjutkan saja hidupmu dan penuhi dengan cinta versimu sendiri. Tidak ada yang abadi dan selamanya di alam fana ini. Kebahagiaan itu merupakan usaha sendiri, bukan jatuh langit…”
Kreator : Mariza
Comment Closed: Menapak Jejak Sendiri di Semeru
Sorry, comment are closed for this post.