KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mencari pulang ( prolog- bab 1- bab 2 )

    Mencari pulang ( prolog- bab 1- bab 2 )

    BY 29 Des 2024 Dilihat: 298 kali
    Mencari pulang_alineaku

    Outline

    Judul Sementara:

    Mencari Pulang

    Tagline:

    “Ketika rumah bukan lagi tempat, tetapi perjalanan untuk menemukan diri.”

    Genre:

    Fiksi Realisme Sosial

    Tema Utama:

    Pencarian makna hidup di tengah tekanan ekonomi, konflik pekerjaan, dan dampak pandemi.

    Premis:

    Empat individu dengan latar belakang berbeda—Hana, Raka, Bima, dan Karin—berjuang melawan tekanan hidup pasca-pandemi. Dalam perjalanan mereka menghadiri program refleksi diri, mereka menemukan bahwa “pulang” adalah tentang menciptakan kedamaian di dalam diri, bukan hanya tempat fisik atau pencapaian.

    Tokoh Utama dan Karakteristiknya:

    1. Hana Andini (28 tahun)
      • Lulusan SMA, Sempat kuliah tapi tidak selesai, bekerja sebagai admin di perusahaan kontraktor.
      • Berjiwa lembut, pekerja keras, tetapi sering merasa rendah diri karena tidak bisa melanjutkan kuliah.
    2. Raka Aditya (29 tahun)
      • Mantan musisi yang kini menjadi kurir aplikasi online.
      • Optimis, kreatif, tetapi terkadang tidak percaya diri akibat masa lalunya yang gagal.
    3. Bima Setyawan (32 tahun)
      • Manajer proyek konstruksi.
      • Bertanggung jawab, bijaksana, tetapi terlalu menekan diri hingga mengorbankan kesehatan.
    4. Karin Aryasatya (35 tahun)
      • Manajer pemasaran di perusahaan multinasional.
      • Mandiri, ambisius, tetapi sering merasa kesepian dan terisolasi.
    5. Adit Pradana (38 tahun)
      • Mentor program refleksi diri.
      • Bijak, penuh empati, menjadi katalisator dalam perjalanan perubahan keempat tokoh.

    Latar:

    1. Waktu: Pasca-pandemi COVID-19 (2024).
    2. Tempat:
      • Kota tempat tinggal tokoh utama: Surabaya, Jakarta, Balikpapan.
      • Villa sederhana di Bogor, tempat program refleksi berlangsung.

    Plot Structure (Alur Cerita):

    1. Prolog:

    Narator memperkenalkan dunia yang berubah setelah pandemi COVID-19. Dampak ekonomi, perubahan gaya hidup, dan tekanan psikologis menjadi latar awal. Keempat tokoh digambarkan secara singkat, dengan fokus pada keterasingan mereka dari “rumah” yang sebenarnya.

    Bagian 1: Hidup yang Tersesat

    1. Bab 1: Hana – Impian yang Tertunda
    • Hana bekerja keras untuk membantu keluarganya setelah pandemi menghancurkan bisnis kecil mereka.
    • Ia menghadapi tekanan dari atasan yang toxic dan rekan kerja bermuka dua.
    1. Bab 2: Raka – Kehilangan Panggung
    • Raka kehilangan karier musiknya akibat pandemi dan menjadi kurir online.
    • Ia malu bertemu teman lamanya yang telah sukses, merasa gagal sebagai individu.
    1. Bab 3: Bima – Harga Sebuah Tanggung Jawab
    • Bima berjuang menjaga pekerjaannya di tengah ancaman PHK.
    • Ia mulai merasakan efek kesehatan mental yang memburuk akibat stres pekerjaan.
    1. Bab 4: Karin – Sendiri di Tengah Kesuksesan
    • Karin merasa terisolasi setelah bercerai.
    • Ia menghadapi persaingan di tempat kerja dengan generasi muda yang lebih inovatif.

    Bagian 2: Titik Temu

    1. Bab 5: Sebuah Undangan
    • Keempat tokoh menerima undangan mengikuti program refleksi diri di Bogor.
    • Masing-masing memiliki alasan pribadi untuk menghadirinya.
    1. Bab 6: Awal yang Canggung
    • Saat tiba di villa, mereka merasa asing satu sama lain.
    • Sesi awal dimulai dengan diskusi tentang makna “rumah”.
    1. Bab 7: Luka yang Terungkap
    • Dalam sesi mendalam, keempat tokoh membuka diri tentang beban hidup mereka.

    Bagian 3: Mencari Jalan

    1. Bab 8: Hana – Berani Bermimpi Lagi
    • Hana memutuskan untuk mencari peluang kuliah online sambil tetap bekerja.
    1. Bab 9: Raka – Menemukan Nada Baru
    • Raka menciptakan lagu tentang pengalamannya dan mendapat respons positif di media sosial.
    1. Bab 10: Bima – Langkah Menuju Sehat
    • Bima mulai menjaga kesehatannya dan belajar mendelegasikan pekerjaan.
    1. Bab 11: Karin – Memperbaiki Hubungan
    • Karin menghabiskan waktu dengan anaknya dan mulai mempertimbangkan langkah karier baru.

    Bagian 4: Rumah yang Baru

    1. Bab 12: Ujian Akhir
    • Tantangan baru muncul dalam kehidupan keempat tokoh, tetapi mereka kini lebih siap menghadapinya.
    1. Bab 13: Dukungan yang Tak Terduga
    • Mereka saling mendukung melalui grup obrolan yang mereka buat setelah retret.
    1. Bab 14: Melangkah ke Depan
    • Setiap tokoh menemukan keberanian untuk membuat pilihan yang sesuai dengan hati mereka.

    Bagian 5: Pulang

    1. Bab 15: Rumah yang Berbeda
    • Narasi tentang makna “rumah” yang mereka temukan: bukan sekadar tempat, tetapi kedamaian di dalam diri.
    1. Bab 16: Akhir yang Baru
    • Keempat tokoh kembali ke kehidupan masing-masing dengan perspektif baru.
    1. Epilog:
    • Refleksi dari Adit tentang perjalanan manusia untuk mencari pulang ke dirinya sendiri.

    Pesan Moral:

    1. Kesulitan adalah Guru: Pandemi mengajarkan bahwa ketahanan berasal dari dalam diri.
    2. Makna Hidup: Hidup bukan soal mencapai tujuan tertentu, tetapi menemukan kedamaian di setiap perjalanan.
    3. Dukungan Antar Sesama: Terkadang, bantuan datang dari orang-orang yang baru kita temui.

    Target Pembaca:

    • Usia 18-35 tahun, terutama mereka yang sedang menghadapi ketidakpastian hidup, pekerjaan, atau tekanan sosial pasca-pandemi.

    Gaya Bahasa:

    Mengalir, emosional, dan reflektif dengan dialog yang kuat untuk membangun hubungan antara pembaca dan tokoh.

    Prolog
    Mencari Pulang

     

    Dunia berubah dalam sekejap.

     

    Tidak ada yang pernah siap menghadapi keheningan jalanan yang mendadak sepi, suara pintu toko yang tertutup selamanya, atau meja makan yang kehilangan satu kursi karena pemiliknya tak pernah kembali. Pandemi datang tanpa permisi, menggulung impian dan rencana, lalu menyisakan ruang hampa di hati banyak orang. Bukan sekadar soal virus, tetapi luka yang ditinggalkannya; kehilangan, ketakutan, dan ketidakpastian.

     

    Di luar sana, kota kembali sibuk. Lalu lintas kembali padat, mal-mal dipenuhi tawa palsu, dan kafe-kafe berbaris dengan antrian. Orang-orang terlihat sama, tetapi tidak ada yang benar-benar kembali menjadi seperti dulu. Ada yang kehilangan pekerjaan, yang lainnya kehilangan keberanian untuk bermimpi. Rumah-rumah yang dulunya penuh tawa kini terasa seperti ruang asing, lebih sunyi dari biasanya. Mungkin kamu lebih tahu rasanya, rasa yang juga dimiliki orang lain.

     

    Seperti Hana yang memandangi kalender di mejanya, menghitung berapa lama ia harus bertahan di pekerjaan yang ia benci. Seperti Raka yang kemudian harus terus mengantar paket demi paket dari rumah ke rumah, sambil berpikir apakah ia harus berhenti mengejar mimpinya sebagai musisi. Dan seperti Bima yang saat menyalakan komputernya di kantor, berharap proyek ini tidak menjadi alasan ia kehilangan pekerjaan lagi. Sementara seseorang lain bernama Karin, dengan blazer mahalnya, berjalan memasuki ruang rapat, mencoba menutupi luka yang tak terlihat di balik senyumnya.

     

    Mereka adalah kita. Kita adalah mereka.

     

    Mungkin kehidupan akan membawa mereka ke persimpangan yang sama, sebuah perjalanan yang tak pernah direncanakan.

     

    Di sebuah villa kecil di dataran tinggi, mereka akan belajar bahwa pulang bukan berarti kembali ke tempat asal, melainkan menemukan kedamaian di dalam diri sendiri. Namun, sebelum sampai ke sana, mereka harus menghadapi apa yang selama ini mereka hindari: rasa takut, kecewa, dan keterasingan yang tak pernah benar-benar hilang.

    Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang paling kuat bertahan, tetapi siapa yang berani mencari pulang.

     

    Di sebuah kamar kos yang sempit, dengan dinding yang mulai memudar warnanya, seorang lelaki duduk dengan ragu. Ponselnya bergetar beberapa kali, tapi ia tak juga mengangkatnya. Meja kecil di depannya penuh dengan tumpukan kertas dan beberapa cangkir kopi yang sudah lama kosong, sementara kipas angin di sudut ruangan berdengung malas, berusaha mendinginkan udara yang tak juga bisa dingin.

    Ia membuka jendela. Angin malam yang segar masuk, membawa aroma basah aspal dan suara kendaraan yang melintas jauh di kejauhan. Langit malam itu gelap, tanpa bintang, hanya seberkas awan tipis yang menggantung rendah, seperti beban yang tak kunjung hilang.

    Di luar sana, suara tawa anak-anak terdengar samar. Mereka sedang bermain, tak peduli tentang waktu, tentang dunia, tentang masalah yang seringkali datang menghantui. Sedangkan di dalam kamar ini, lelaki itu memandang kosong ke luar jendela, berusaha mengingat kapan terakhir kali ia merasakan kebahagiaan sederhana itu—tertawa lepas, tanpa beban, tanpa harus memikirkan besok.

    “Hidup ini bukan tentang kemana kamu pergi, tapi tentang kemana kamu ingin pulang,” kata seseorang beberapa waktu lalu, ketika mereka berbicara tentang hidup dan tujuan. 

    Tapi entah mengapa, kini kata-kata itu terasa seperti sebuah teka-teki yang tak bisa ia pecahkan.

    Di meja, secangkir teh hangat mengepulkan uap, tapi rasanya tak kunjung menenangkan. Ia merenung, membiarkan pikirannya melayang. Sering kali ia bertanya-tanya, apakah ia bekerja hanya untuk bertahan hidup? Apakah ini yang sebenarnya ia inginkan? Mengapa meskipun hidupnya tampak penuh, ada ruang kosong yang terus membayanginya?

    Lelaki itu mengangkat cangkir teh yang mulai dingin, meneguknya perlahan, berusaha menemukan sedikit ketenangan di antara pikiran-pikirannya yang berlarian tak menentu. Tapi ketenangan itu tak kunjung datang. Yang ia temui justru semakin banyak pertanyaan—tentang dirinya, tentang kehidupannya yang mulai terasa seperti rutinitas tanpa akhir.

    Malam semakin larut, dan ia duduk diam, menulis di layar laptop yang sudah mulai redup. Kata-kata yang ia ketikkan mungkin tak akan dibaca oleh siapapun, tapi entah kenapa ia merasa perlu menulisnya. Mungkin untuk dirinya sendiri. Mungkin sebagai cara untuk mencari jawaban atas kebingungannya. Mungkin, justru dengan menulis, ia bisa menemukan jalan pulang yang selama ini ia cari.

    Karena pulang, di matanya, bukan tentang tempat. Pulang adalah menemukan dirinya kembali, di tengah dunia yang terus berputar. Pulang adalah ketika hati bisa berkata cukup, ketika jiwa merasa tenang. Pulang adalah ketika kita akhirnya bisa berdamai dengan diri kita yang sejati.

    Dan, di ruang kecil ini, meskipun semuanya terasa hampa dan sunyi, lelaki itu tahu satu hal: pulang—di suatu titik—akan ditemukan. Ia hanya perlu terus mencari.

    Dan, ini semua bukan tentang “aku” tapi tentang mereka dan mungkin kamu. Beginilah cerita akan dimulai.

    Bagian 1: Hidup yang Tersesat

    Cerita Tentang Hana dan Mimpi yang Tertunda

     

    Hana menatap layar komputernya, matanya tak benar-benar fokus pada data dan angka yang berserakan di depannya. Jari-jarinya bergerak otomatis, mengetik kata-kata yang tak memiliki arti, seolah menulis hanya untuk memenuhi waktu. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia merasa seperti sedang terjebak dalam ruang waktu yang tak bergerak. Setiap detik terasa berat, setiap tarikan nafasnya seperti mengingatkannya pada kenyataan yang semakin jauh dari apa yang ia impikan.

    Setelah pandemi menghancurkan bisnis kecil keluarga mereka, Hana tahu, hidupnya tidak akan pernah kembali seperti semula. Semua yang pernah mereka bangun dengan penuh harapan—kedai kecil yang mereka kelola, tempat di mana mereka bisa tersenyum dan berbagi cerita—sekarang hanya tinggal kenangan. Pandemi datang tanpa permisi, menghentikan semuanya dalam sekejap, seperti angin yang merobohkan pohon-pohon tua yang sebelumnya tampak tak tergoyahkan. Kini, Hana harus bertahan di pekerjaan yang tak ia sukai, pekerjaan yang membebani pikirannya setiap hari, pekerjaan yang tidak memberinya ruang untuk bermimpi.

    Tapi ia tak punya pilihan, atau belum ada pilihan lain yang bisa ditukar dengan waktu yang telah ia lalui cukup lama ini. Di luar sana, ekonomi sedang bergerak perlahan menuju pemulihan, dan keluarganya masih mengandalkannya untuk bertahan hidup. Setiap bulan, ada tagihan yang harus dibayar, ada kebutuhan yang tak pernah berhenti datang. Ia tidak bisa berhenti, meskipun hatinya sering kali merasa kosong dan lelah. Ia harus terus melangkah, meskipun itu berarti terus berjuang dalam ketidakpastian yang semakin membebani.

    Pagi ini, seperti biasa, Hana sudah bangun lebih awal. Rumahnya masih sunyi. Suara jarum jam yang berdetak menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan, tetapi hidupnya terasa tertahan. Ia menyeduh secangkir kopi hitam, duduk sejenak di meja makan dengan mata yang belum sepenuhnya terjaga dari tidur. Aroma kopi yang begitu familiar seolah menenangkan, meskipun tidak cukup untuk menghilangkan kekhawatiran yang terpendam.

    Ia mengingat kembali beberapa tahun yang lalu, saat keluarga mereka masih memiliki kedai. Waktu itu, mereka bisa tersenyum lepas tanpa harus memikirkan besok. Setiap pagi, mereka membuka toko dengan semangat, berharap hari itu akan membawa lebih banyak pelanggan, lebih banyak rezeki. Tapi semuanya berubah begitu cepat. Pandemi datang, dan dengan cepat meruntuhkan impian mereka. Hana masih bisa mengingat dengan jelas, saat ia pertama kali melihat betapa kosongnya kedai mereka, betapa sepinya hari-hari tanpa ada pelanggan yang datang. Ia merasa kehilangan segalanya. Bisnis itu bukan hanya sumber penghasilan, tetapi juga tempat di mana keluarganya merajut kebersamaan. Kini, hanya ada keheningan yang menggantung, seperti bayang-bayang masa lalu yang tak bisa mereka kejar lagi.

    Setelah kedai itu tutup, Hana merasa seperti kehilangan arah. Ia mengambil pekerjaan di kantor yang jaraknya tak jauh dari rumah, berharap bisa membantu keluarganya bertahan. Namun pekerjaan itu lebih berat dari yang ia kira. Setiap hari, ia berhadapan dengan atasan yang tak pernah puas, dengan tuntutan yang tak pernah berhenti. Ia sudah terbiasa dengan ketegangan di kantor. Atasan yang selalu mengkritik, rekan kerja yang bermuka dua, dan ruang rapat yang penuh dengan politik kantor. Hana tahu, tempat ini bukanlah tempat yang ia impikan. Ia tak pernah membayangkan akan menghabiskan waktu di sini, tetapi inilah kenyataannya. Dan kenyataan ini, meskipun tak diinginkan, harus ia jalani.

    Seperti pagi ini, suara ketikan keyboard di sekelilingnya menjadi satu-satunya yang terdengar. Meja di depannya penuh dengan tumpukan laporan dan tugas-tugas yang tak kunjung selesai. Setiap kali ia mencoba menyelesaikan satu tugas, ada dua lagi yang datang menyusul. Ia merasakan beratnya dunia yang ada di atas bahunya, dan kadang ia bertanya-tanya apakah ini akan terus berlangsung.

    Tiba-tiba, suara atasan Hana terdengar dari pintu ruangannya menggema memenuhi seisi ruangan tanpa permisi seperti suara petir yang tiba-tiba meledak di langit. 

    “Hana, laporan proyek bunga bangsa kenapa belum selesai juga? Ini deadline-nya sudah lewat! Jangan cuma iya-iya tapi belum beres juga!”

    Suara itu memecah keheningan, dan Hana langsung mengangkat wajahnya, berusaha untuk terlihat tidak terkejut meskipun hatinya sedikit berdebar. Ia sudah terbiasa dengan kritik yang datang begitu mendalam, seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Perasaan berdebar yang sama yang ia rasakan setiap harinya. Sosok atasan itu yang setiap hari harus ia temui menatapnya sekilas, seolah sedang menilai sejauh mana ia bisa bertahan dalam tekanan ini. Hana hanya mengangguk, berusaha untuk tetap tenang, meskipun di dalamnya ia merasa lelah.

    “Beresin hari ini, saya tidak mau tahu!”

    Setelah atasan itu pergi, Hana kembali ke mejanya, menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Ia merasa ada begitu banyak hal yang hilang dari hidupnya, tetapi ia tak bisa berhenti. Ada keluarga yang menunggu di rumah, ada tagihan yang harus dibayar, dan ada impian yang dulu pernah ia genggam, meskipun kini terasa sangat jauh.

    Tiba-tiba pikiran Hana dilemparkan kembali ke masa lalu,

    Hana ingat saat pertama kali ia memutuskan untuk membantu keluarganya membuka kedai. Itu adalah sebuah keputusan besar, dan Hana merasa sangat yakin saat itu. Mereka semua bekerja keras bersama untuk membangun sesuatu yang mereka yakini bisa memberi kebahagiaan bagi keluarga. Tetapi kenyataan itu runtuh begitu cepat. Bisnis itu terpaksa ditutup, dan Hana merasa seperti kehilangan bagian penting dari dirinya. Sejak itu, ia merasa seperti berjalan di jalan yang tak ada ujungnya. Ia bekerja untuk bertahan hidup, tetapi hatinya kosong.

    Hari demi hari, ia kembali ke kantor yang sama, menghadapi orang-orang yang sama, dengan pekerjaan yang sama. Semua terasa seperti rutinitas yang tak berujung. Bahkan, ia sering kali merasa cemas ketika melihat kalender di mejanya. Setiap bulan yang berlalu seperti semakin mendekatkan dirinya pada keputusasaan, dan impian yang pernah ia miliki semakin terlupakan. Tidak ada waktu untuk berpikir tentang masa depan, tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang ingin ia capai dalam hidup. Semua waktunya hanya untuk bertahan.

    Namun, di setiap jeda, ada satu hal yang masih ia ingat. Ia ingat tentang mimpinya. Mimpi untuk memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan ini, mimpi untuk kembali membangun impian keluarga yang pernah ada. Mimpi yang pernah ia genggam dengan penuh harapan, meskipun kini terasa seperti bayangan yang semakin memudar.

    Suatu sore, setelah rapat yang panjang dan melelahkan, Hana berjalan menuju pantry untuk menenangkan pikirannya. Suara langkah kakinya terdengar pelan di lorong yang sepi. Di pantry, ia berdiri di depan cermin, menatap refleksinya. Ada kelelahan di matanya, ada senyum yang hilang dari wajahnya.

    Hana bertanya pada dirinya sendiri, Apakah ini yang aku inginkan?

    Tidak ada jawaban yang datang, hanya keheningan yang semakin dalam. Di luar sana, dunia mungkin sedang berputar, tetapi di dalam hatinya, Hana merasa terperangkap dalam rutinitas yang tak pernah ia pilih. Namun, dalam diamnya, ia tahu, ia tidak bisa berhenti sekarang. Ia tidak bisa menyerah, karena dibalik segala kesulitan ini, ada satu harapan yang masih ia genggam—bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan jalan untuk kembali pada impian yang dulu. Mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan kedua untuknya.

    Di depan cermin itu Hana berdiri tegak memperbaiki pakaiannya, namun sebenarnya bukan pakaiannya yang berantakan, melainkan pikirannya. Sepertinya seseorang dihadapan cermin itu bukan dirinya. Bukan orang yang ia harapkan, seperti seseorang yang lain yang sudah kehilangan senyum sejak lama.

    Hana kembali ke ruangannya, berjalan perlahan dengan badan yang tegak. Badannya ada di kantor itu, tapi pikirannya entah dimana. Ada kosong dalam hatinya yang ia paksa terus bergerak mengikuti aliran waktu.

    Hana memandang layar laptopnya yang buram, bukan karena layarnya kotor, melainkan matanya yang sudah terlalu lelah untuk fokus. Detak jam dinding mengiringi denyut pelipisnya. Di luar, matahari mulai merangkak turun, membias cahaya oranye yang temaram ke dalam ruang kerja yang semakin kosong. Satu per satu rekan kerjanya mulai meninggalkan kantor, membawa pulang kepenatan yang akan bersambung lagi keesokan paginya. Tapi Hana tetap duduk di kursinya, seperti biasa—menjadi orang terakhir yang pergi.

    “Sudah biasa lembur? Atau sekadar menghindar dari dunia di luar sini?” bisiknya dalam hati.

    Jam kerja Hana seringkali melampaui batas, bukan karena ia ingin, tetapi karena ia tak punya pilihan. Laporan proyek Bunga Bangsa yang baru saja selesai ia susun seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Atasannya, Pak Adam, terkenal tidak pernah puas. Bahkan saat pekerjaan selesai tepat waktu, selalu ada kritik yang menghujam tanpa ampun.

    Pagi tadi, ia sudah disemprot habis-habisan.

    “Jangan hanya pintar ngomong iya, Hana! Kalau begini terus, perusahaan ini bisa hancur karena kamu,” ucap Pak Adam dengan nada dingin, di hadapan semua rekan kerja.

    Hana menahan napas kala itu, berusaha meredam kemarahan yang menggumpal. Jika ia membalas, segalanya akan semakin buruk. Namun di saat yang sama, air matanya nyaris tumpah. Kritik itu sudah terlalu sering datang. Bukan hanya menyentuh profesionalismenya, tetapi juga membuat ia merasa seperti manusia paling gagal di ruangan itu.

    “Maaf, Pak. Saya akan perbaiki,” katanya singkat waktu itu, menunduk tanpa berani menatap langsung ke mata atasannya.

    Sekarang, di ruang kantor yang mulai sunyi, ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia cari di sini?

    Kilasan Masa Lalu

    Dulu, hidup Hana penuh warna. Kedai keluarga yang kecil tapi hangat menjadi pusat kehidupannya. Ia bekerja bersama ayah, ibu, dan adiknya, Adi. Setiap pagi, aroma kopi segar dan roti panggang buatan ibu menjadi pengiring tawa para pelanggan. Mereka tidak kaya raya, tetapi bahagia. Hingga pandemi meluluhlantakkan semuanya. Pelanggan hilang, tabungan habis, dan kedai itu terpaksa tutup selamanya.

    Hana ingat malam terakhir mereka di kedai. Ayahnya duduk di kursi tua sambil menatap meja kasir yang kini kosong.

    “Maafkan Ayah, Hana. Ayah nggak bisa pertahankan tempat ini,” katanya dengan suara yang parau.

    Hana mencoba tersenyum. 

    “Ini bukan salah Ayah. Kita akan baik-baik saja.” Tapi dalam hatinya, ia tahu, hidup mereka akan berubah selamanya.

    Kembali ke Kantor

    “Na, belum pulang?” 

    Sheila, rekan kerjanya, muncul dari balik partisi dengan senyum kecil. Ia sudah rapi, siap untuk pergi berkencan dengan pacarnya.

    “Belum. Laporan ini harus selesai malam ini,” jawab Hana, mencoba terdengar santai.

    Sheila mendekat, duduk di tepi meja Hana. 

    “Kamu harus lebih sering istirahat, Na. Aku tahu kamu kerja keras, tapi jangan sampai lupa hidup.”

    Hana tertawa kecil. 

    “Kamu enak, She. Punya orang yang bisa diajak ngobrol soal hidup. Aku? Hidupku cuma kerja dan tagihan.”

    Sheila menghela napas, mengusap punggung tangan Hana.

    “Semua orang punya masalahnya masing-masing, Na. Jangan lupa, kamu nggak sendiri.”

    Setelah Sheila pergi, Hana kembali terbenam dalam pekerjaannya. Tapi pikirannya mengembara. Kata-kata Sheila seperti menggugah sesuatu yang sudah lama ia kubur—perasaan kesepian yang perlahan-lahan menumpuk, menjadi dinding tinggi yang memisahkannya dari dunia luar.

    Konflik di Kantor

    Sore itu, Hana menemukan sesuatu yang tak ia duga di email pribadinya. Sebuah pesan anonim masuk, berisi rekaman suara Pak Adam yang sedang membicarakan dirinya dengan salah satu manajer lain.

    “Dia itu terlalu lembek untuk posisi ini. Aku nggak yakin Hana bakal lama di sini, Hana itu seperti beban di perusahaan ini” suara Pak Adam terdengar jelas, diiringi tawa kecil dari lawan bicaranya.

    Tangan Hana gemetar. Ia merasa marah, sedih, dan terhina sekaligus. Selama ini, ia sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi tetap dianggap tidak cukup baik.

    Rekaman itu menjadi beban baru yang ia simpan sendiri. Ia tahu, kalau ia mengungkapkan hal ini, suasana di kantor akan semakin memburuk. Tapi jika ia diam, rasa tidak adil ini akan terus menghantui pikirannya.

    Langkah Kecil Menuju Perubahan

    Malam itu, saat berjalan pulang dengan lagu favorit di telinganya, Hana memutuskan untuk menulis sesuatu. Ia membuka laptopnya di kamar, menuliskan semua perasaannya. Tulisan itu bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk dirinya sendiri. Tapi semakin ia mengetik, semakin ia merasa ringan.

    “Aku ingin pulang,” tulisnya di akhir paragraf.

    Bukan pulang secara fisik, tetapi pulang ke dirinya sendiri. Ke tempat di mana ia merasa utuh, merasa bahagia, dan merasa berarti.

    Hana menatap layar laptopnya. Tulisan itu mungkin belum sempurna, tetapi itu adalah langkah pertama. Ia tahu, hidupnya tidak akan berubah secepat itu. Tapi setidaknya, malam ini ia menemukan sedikit harapan—bahwa suatu hari, ia akan menemukan jalannya.

    Hana berjalan perlahan menyusuri trotoar menuju stasiun, langkah kakinya disertai dengan alunan musik di telinganya. Meski ia terlihat tenang dari luar, pikirannya sibuk bergulat dengan kenangan dan harapan yang tak pernah benar-benar padam.

    Ia teringat pada mimpinya dahulu—bukan hanya sekadar mimpi tentang kedai keluarganya, tapi juga keinginan untuk menjadi seorang desainer interior. Hana selalu membayangkan dirinya mendesain ruang-ruang yang indah dan hangat, tempat di mana orang-orang bisa merasa nyaman dan bahagia. Sejak kecil, ia suka menggambar denah rumah dan mendekorasi ulang kamar tidurnya dengan barang-barang sederhana yang ia buat sendiri.

    “Suatu hari nanti, aku ingin punya studio sendiri,” ia pernah berkata pada ibunya. 

    “Aku ingin membantu orang-orang menciptakan rumah yang penuh cinta.”

    Namun kini, impian itu terasa seperti milik orang lain, seseorang yang lebih muda, lebih optimis, dan belum dihancurkan oleh kerasnya realitas. Setiap kali ia melihat furnitur cantik di etalase toko atau mendapati brosur pameran desain di kantor, hatinya terasa berat. Mimpi itu tidak pernah benar-benar mati, tapi seolah terkubur di bawah tumpukan pekerjaan dan tanggung jawab yang tak pernah berhenti datang.

    Di tengah kesunyian malam, Hana berhenti sejenak di jembatan yang menghadap sungai. Air di bawahnya mengalir pelan, mencerminkan lampu-lampu kota yang berkilauan. Ia melepaskan headset-nya, membiarkan suara malam menggantikan musik yang tadi menemani.

    Ia menatap ke kejauhan, memikirkan bagaimana hidupnya telah berubah begitu drastis.

    “Kalau saja waktu itu pandemi tidak datang…”

    Pikiran itu selalu datang menghantui, tapi Hana tahu ia tak bisa terus-terusan menyalahkan keadaan. Ia sadar, ia perlu melakukan sesuatu.

    Langit di atasnya mulai dipenuhi bintang-bintang, mengingatkan Hana pada harapan yang masih ia simpan. 

    “Mungkin aku tak bisa kembali ke titik awal,” pikirnya. 

    “Tapi, aku bisa mulai dari tempatku sekarang.”

    Hana menghela napas panjang, lalu mengeluarkan buku kecil dari tasnya. Buku itu sudah lama ia bawa ke mana-mana, tapi jarang ia buka lagi. Halaman pertama masih memuat sketsa-sketsa kasar desain interior yang dulu ia buat dengan semangat. Melihatnya sekarang, Hana merasa seolah bertemu kembali dengan versi dirinya yang ia rindukan.

    “Aku harus menemukan jalan kembali,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. 

    Entah bagaimana caranya, ia ingin membuktikan bahwa mimpinya masih berharga untuk diperjuangkan.

    Ia menutup buku itu dengan senyum tipis. Langkah berikutnya mungkin belum jelas, tapi Hana tahu ia tak bisa terus berdiam diri. Dunia yang sempat menghentikannya mungkin telah berubah, tapi ia juga harus berubah—lebih kuat, lebih berani, dan lebih siap menghadapi apapun yang ada di depannya.

    Bab 2: Kehilangan Panggung

    Tentang Raka dan Perempuan Berwajah Lesu

     

    Di tempat yang lain, di bawah langit yang sama, dalam transisi senja menuju temaram, seorang pria bernama Raka melaju di atas sepeda motor tuanya. Jaket kurir online yang dikenakannya menghalau angin dingin malam, tetapi tidak mampu melindunginya dari dingin yang menggerogoti hatinya. Raka adalah pria yang dulu pernah bermimpi besar, tetapi kini hanya menyusuri jalanan dengan kotak pengantaran di punggungnya, melawan kepenatan dan rasa malu yang tak kunjung reda.

    Raka pernah menjadi seseorang yang berbeda. Ia pernah berdiri di atas panggung, bermain gitar, dan bernyanyi bersama band kecilnya. Bagi Raka, musik adalah hidupnya, caranya mengekspresikan dunia yang kadang terlalu keras. Di masa itu, ia adalah seorang pemimpi. Mimpinya sederhana tapi penuh gairah—mengisi panggung besar, melihat penonton bersorak, dan mendengar lagu-lagunya dinyanyikan banyak orang.

    Namun, pandemi mengubah segalanya. Bandnya bubar, peluang manggung menguap, dan uang tabungannya habis untuk bertahan hidup. Musik yang dulu menjadi pelarian dan kebanggaannya kini terasa seperti kenangan yang menyakitkan, sebuah pengingat akan mimpi yang tak pernah terwujud.

    Kini, kehidupannya berputar pada rutinitas yang monoton. Menghidupkan aplikasi, menunggu pesanan masuk, mengantar makanan, dan menerima ulasan dari pelanggan yang sering kali hanya berupa emotikon. Sesekali, ia bertemu teman lama yang tanpa sengaja mengenalinya. Tatapan mereka selalu sama—campuran antara iba dan kebingungan.

    Suatu kali, seorang mantan teman bandnya memesan makanan dan tanpa sengaja bertemu dengannya di depan rumah. Percakapan canggung itu berakhir dengan tepukan di bahu Raka dan kalimat klise, “Semangat ya, Bro. Rezeki nggak kemana kok.” 

    Raka hanya tersenyum tipis, lalu melajukan motornya tanpa menoleh ke belakang.

    Tentang Mimpi

    Di malam-malam sepi, saat pekerjaan selesai, Raka sering termenung di kamar kos-nya yang sempit. Ia memandang gitar tuanya yang bersandar di pojok ruangan. Senarnya sudah berkarat, tetapi ia tidak pernah punya hati untuk membuangnya. Setiap kali melihat gitar itu, ia teringat pada hari-hari penuh semangat bersama bandnya.

    Ia teringat bagaimana ia dan teman-temannya berlatih di sebuah garasi kecil, menciptakan lagu-lagu yang mereka yakini akan membawa mereka ke puncak. Ia teringat sore di taman kampus, saat ia menceritakan mimpinya kepada seorang perempuan yang duduk di sebelahnya, menggambar sesuatu di buku sketsanya.

    “Musik itu hidupku,” katanya waktu itu, penuh keyakinan. 

    “Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa musik.”

    Tetapi kini, hidup tanpa musik adalah kenyataan yang harus ia hadapi setiap hari.

     

    Waktu lainnya dan Pertemuan Tak Terduga

    Suatu senja, di tengah hiruk-pikuk kota, Raka berhenti di sebuah perempatan. Lampu merah memaksanya melambatkan laju motor, memberi ruang pada pikirannya untuk melayang entah ke mana. Namun, sebuah sosok di trotoar menarik perhatiannya.

    Seorang perempuan, dengan langkah pelan, memegang buku sketsa di tangannya. Wajahnya terlihat lesu, tetapi ada sesuatu yang menarik di sana—seperti kelelahan yang dipadu dengan kekuatan untuk terus melangkah. Saat matanya menatap ke arah langit, sebuah senyum getir menghiasi wajahnya, seolah ia sedang menertawakan hidup yang tak sesuai harapannya.

    Raka terpaku. Ada sesuatu yang familiar dari perempuan itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya kebetulan, tetapi pikirannya terus bergumam. 

    “Dia???”

    Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara klakson dari kendaraan di belakangnya membuyarkan lamunannya. Lampu sudah berubah hijau, dan ia harus melaju. Namun, bayangan perempuan itu tetap melekat, seperti potongan teka-teki yang tak lengkap.

    Di kamar kosnya malam itu, Raka tidak bisa berhenti memikirkan perempuan yang ia lihat di perempatan. Ingatannya kembali pada masa-masa saat ia sering berbincang dengan seorang teman tentang mimpi dan masa depan. Apakah itu orang yang sama? Dan jika iya, kenapa ia tampak begitu berbeda?

    Pertanyaan itu terus mengusik. Dalam hati, Raka merasa bahwa pertemuan itu bukan kebetulan. Ada sesuatu yang belum selesai antara dirinya dan perempuan itu, sesuatu yang mungkin bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia hindari.

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Raka berbaring di tempat tidurnya yang sempit, menatap langit-langit kamar yang kusam. Bayangan perempuan yang ia lihat di perempatan terus menghantui pikirannya. Apakah benar itu dia? Gadis dengan buku sketsa yang dulu sering mendengarkan cerita-cerita gilanya tentang masa depan? Atau hanya seseorang yang kebetulan mirip?

    Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa itu hanya ilusi—bahwa hidup yang ia jalani sekarang tak perlu dihubungkan lagi dengan masa lalunya. Tapi perasaan di dadanya berkata lain. Ada sesuatu yang tertinggal di sana, sesuatu yang belum selesai.

     

    Pertemuan Kedua

    Beberapa hari kemudian, tanpa sengaja, Raka kembali melihat sosok perempuan itu. Kali ini, ia sedang duduk di sebuah taman kecil di tengah kota, dikelilingi kertas-kertas berserakan. Rambutnya diikat sembarangan, dan wajahnya tampak kusut. Buku sketsanya terbuka di pangkuannya, tetapi ia tidak menggambar. Tangannya hanya memainkan pensil, mencoret-coret tanpa arah.

    Raka tidak tahu apa yang mendorongnya, tetapi kakinya bergerak sendiri, mendekati perempuan itu. Langkahnya berat, seakan setiap meter yang ia tempuh adalah perjuangan melawan keraguannya. Namun, saat ia semakin dekat, perempuan itu mengangkat wajah dan menatapnya. Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti.

    “Aku kenal kamu?” suara perempuan itu terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

    Raka tergagap. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Apakah ia seharusnya mengaku, atau berpura-pura tidak tahu? Tetapi sebelum ia sempat memutuskan, perempuan itu tersenyum tipis, lalu kembali menunduk, memandangi sketsanya.

    “Maaf. Mungkin aku salah orang,” katanya sambil merapikan kertas-kertas di sekitarnya. Namun, suaranya terdengar getir, seolah ia tahu bahwa ia tidak salah.

    Pertemuan itu memicu lebih banyak pertanyaan di benak Raka. Siapa sebenarnya perempuan itu sekarang? Kenapa ia terlihat begitu berbeda dari gadis yang dulu penuh semangat? Dan kenapa ia merasa begitu terganggu dengan pertemuan itu?

    Ketika hari-hari berlalu, Raka mulai mencari tahu. Ia bertanya pada teman-teman lama, menggali cerita-cerita masa lalu yang sudah hampir ia lupakan. Dari potongan-potongan informasi yang ia dapatkan, ia mulai menyadari bahwa perempuan itu mengalami kejatuhannya sendiri.

    Ternyata, ia pernah mencoba peruntungannya di dunia seni, tetapi kegagalan dan tekanan hidup membuatnya menyerah. Karya-karyanya pernah dipamerkan di sebuah galeri kecil, tetapi kritik yang menghancurkan membuatnya kehilangan percaya diri. Sejak saat itu, ia berhenti menggambar untuk orang lain, hanya melakukannya sebagai pelarian dari hidup yang tidak berjalan sesuai rencana.

    Namun, pencarian Raka juga membawa konflik baru dalam dirinya. Ia mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya ia cari. Apakah ini tentang perempuan itu? Atau tentang dirinya sendiri, yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia juga telah gagal?

    Malam berikutnya, Raka kembali ke taman kecil itu. Ia melihat perempuan itu lagi, kali ini sedang menggambar dengan serius. Ia berdiri di kejauhan, ragu untuk mendekat. Tetapi kemudian, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ia tidak bisa terus menghindar.

    “Hei,” katanya, memecah keheningan.

    Perempuan itu menoleh, tampak sedikit terkejut. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Raka dengan mata yang penuh pertanyaan.

    “Aku… aku tahu kamu. Maksudku, dulu kita pernah kenal,” kata Raka akhirnya.

    Ia menggaruk belakang kepalanya, merasa canggung dengan cara ia memulai pembicaraan.

    Perempuan itu tidak langsung merespons. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, lalu berkata, “Kalau aku memang kenal kamu, kenapa aku nggak ingat?”

    Kata-kata itu menusuk Raka lebih dalam dari yang ia bayangkan. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, perempuan itu menambahkan, “Atau mungkin aku memilih untuk lupa.”

    Ucapan itu membuat Raka terdiam. 

    Ia tidak tahu harus berkata apa. Tetapi ia juga tahu, di balik kata-kata tajam itu, ada luka yang sama dengan yang ia rasakan.

    Pertemuan itu meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Raka merasa seperti seseorang yang mencoba membaca buku dengan halaman-halaman yang hilang. Ia tahu ada cerita yang lebih besar di balik sikap dingin perempuan itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengetahuinya tanpa membuat segalanya menjadi lebih buruk.

    Di sisi lain, perempuan itu—meski terlihat acuh—juga merasakan sesuatu yang aneh setiap kali melihat Raka. Ia merasa bahwa pria itu membawa kenangan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam.

    Malam-malam berikutnya, baik Raka maupun perempuan itu terus memikirkan pertemuan mereka. Masing-masing berjuang melawan konflik di dalam diri mereka, bertanya-tanya apakah ini adalah kesempatan untuk menutup luka lama, atau justru membuka luka yang lebih besar.

     

    Di hari yang lainnya. Matahari sudah tinggi saat Raka meluncur di atas motornya, mengantarkan pesanan makanan ke sebuah gedung perkantoran. Jalanan Jakarta masih setia dengan hiruk-pikuknya, klakson bersahutan dan panas yang meresap hingga ke tulang. Namun, pikiran Raka melayang entah ke mana. Sosok perempuan itu tak lagi menjadi fokusnya hari ini, tetapi percakapan dengan dirinya sendiri justru semakin gaduh.

    Di sela-sela mengantarkan pesanan, Raka mampir ke sebuah kafe kecil. Ia memilih tempat di sudut, membuka ponselnya, dan mulai scroll media sosial. Feed-nya penuh dengan konten musik. Musisi-musisi muda dengan gitar akustik mereka, menyanyikan lagu-lagu populer, bahkan beberapa di antaranya mengaransemen ulang lagu lawas. Raka hanya bisa mendesah.

    “Dulu gue bisa kayak mereka,” gumamnya pelan sambil menatap video seorang penyanyi dengan suara merdu yang viral. 

    Komentar-komentar pujian mengalir deras di bawah video itu.

    Ia mencoba menepis rasa iri yang mulai menyeruak. Namun, sesuatu dalam dirinya—keinginan yang sudah lama ia kubur—kembali mengetuk-ngetuk.

    Saat kembali bekerja, Raka mendapatkan pesanan yang harus diantar ke sebuah studio musik kecil. Tempat itu tampak biasa saja dari luar, tetapi begitu pintu kaca terbuka, suara alat musik dan canda tawa musisi muda menyeruak, memenuhi udara.

    Raka berdiri canggung di depan meja resepsionis, menunggu pelanggan yang memesan makanannya. Sesekali ia melirik ke dalam studio yang dindingnya dipenuhi poster musisi terkenal. Salah satu poster itu menampilkan penyanyi solo yang pernah ia kagumi, seseorang yang dulu menjadi inspirasinya untuk bermusik.

    Ia tersenyum kecil, tapi senyuman itu tidak bertahan lama. Suara nyanyian dari dalam studio—seorang penyanyi muda yang sedang melakukan sesi latihan—mengingatkannya pada mimpi-mimpinya yang telah lama terkubur. Dadanya terasa sesak.

    Saat pelanggan datang dan mengambil pesanannya, Raka segera pergi. Namun, suara musik dari studio itu terus terngiang di telinganya, seperti gema yang sulit dihilangkan.

    Malam itu, setelah pekerjaannya selesai, Raka duduk di kamar kecilnya dengan gitar yang sudah lama tak ia sentuh. Jemarinya perlahan memetik senar, menciptakan melodi sederhana. Rasanya canggung, seperti bertemu dengan teman lama yang sudah lama tak ditemui. Namun, ada kehangatan di sana, meskipun samar.

    Ia teringat video-video yang ia lihat di media sosial tadi siang. Apa mungkin ia mencoba peruntungannya dengan cara itu? Bermain musik di platform seperti YouTube atau Instagram, menyanyikan lagu-lagu populer atau bahkan lagu ciptaannya sendiri?

    Ide itu terdengar sederhana, tetapi bagi Raka, itu adalah keputusan besar. Ia tahu, jika ia memulai, artinya ia harus menghadapi semua keraguan dan ketakutannya. Tetapi mungkin, ini adalah cara untuk setidaknya mencoba.

    Setelah beberapa jam berpikir, ia memutuskan untuk mencoba merekam video pertamanya. Dengan modal kamera ponsel yang seadanya dan pencahayaan lampu kamar, ia menyanyikan sebuah lagu akustik yang dulu sering ia bawakan di panggung kecil bersama band-nya.

    Harapan yang Patah

    Namun, perjalanan menjadi seorang kreator musik ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Video pertama Raka diunggah ke YouTube dengan harapan kecil, tetapi hari berganti hari, videonya hanya mendapatkan sedikit sekali perhatian. Jumlah penonton yang stagnan, komentar yang minim, dan suara batinnya sendiri yang terus mengkritik membuatnya semakin terpuruk.

    Ia mencoba lagi dengan merekam beberapa lagu lain, bahkan mencoba mengaransemen ulang lagu-lagu populer. Tetapi hasilnya tetap sama. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran, berusaha keras tetapi tidak bergerak ke mana-mana.

    “Kenapa rasanya kayak nggak ada yang peduli?” keluhnya pada dirinya sendiri suatu malam.

    Ia memandangi layar laptopnya yang memperlihatkan statistik video yang tak kunjung naik.

    Meski begitu, ia tidak menyerah sepenuhnya. Ia mencoba mencari tahu apa yang salah. Ia menonton video-video musisi lain, membaca tips-tips tentang konten kreatif, tetapi semua itu hanya membuatnya semakin frustrasi.

    “Formula yang tepat… apa sih itu sebenarnya?” pikirnya sambil menatap gitarnya yang bersandar di dinding.

    Raka merasa berada di persimpangan. Di satu sisi, ia tahu bahwa bermusik adalah bagian dari dirinya, sesuatu yang membuatnya hidup. Tetapi di sisi lain, rasa takut akan kegagalan dan ketidakpastian terus membayanginya.

    Setiap malam, ia berjuang melawan pikiran-pikiran negatif yang berbisik bahwa ia seharusnya menyerah saja. Namun, ada suara kecil di dalam dirinya yang terus mendorongnya untuk mencoba, untuk menemukan jalan lain jika jalan yang ini tidak berhasil.

     

     

    Kreator : Khajasa Julian

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mencari pulang ( prolog- bab 1- bab 2 )

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021