KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung Di Benteng Otanaha Bab 14

    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 14

    BY 10 Sep 2024 Dilihat: 11 kali
    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 14_alineaku

    SIDANG MENUJU PERNIKAHAN

    Kedua calon pengantin itu duduk berdempetan disofa. Keduanya menunduk. Trias menatapi keduanya dan menghela napas panjang. 

    “Abah sudah putuskan, besok sidang BP4R akan diselenggara-kan. Abah sudah menghubungi staf yang kompoten untuk itu.” tandas-nya dengan tegas.

    Dalam sikap tunduknya, Inayah tersenyum sembunyi-sembunyi, namun kelakuannya tak luput dari pengamatan Azkiya dan Kenzie.  Trias meneruskan lagi. 

    “Abah hanya minta satu permintaan saja….” pintanya. Inayah menegakkan wajahnya, bibirnya hendak mengucap.

    “Jangan dulu disela, ini bukan konseling…” potong Trias dengan ketus. Inayah kembali menekurkan wajahnya dengan bibir manyun. Sandiaga sendiri mencuri pandang sejenak ke arah gadis itu lalu kembali menekur wajahnya lebih dalam.

    “San…” panggil Trias.

    Sandiaga menegakkan kepalanya. “Ya, Abah…” sahutnya.

    “Boleh nggak sehari iniiii saja…” pinta Trias. “Kalian nggak mesra-mesraan?”

    Sandiaga baru saja hendak menjawab ketika Inayah tiba-tiba mendongak dan berseru, “Nggak mau!” tolaknya dengan lantang.

    Trias terperangah dengan jawaban putrinya. Sandiaga sendiri kaget, namun lelaki itu kembali menekurkan wajahnya seperti seorang thaikam yang kedapatan berbuat salah. Kenzie dan Azkiya juga sama terperagahnya. Satu-satunya yang tak kaget, hanyalah Saripah. Inayah menggerataki wajah keempat orang tua itu lalu menatap Sandiaga yang menekur. 

    “Jangan bilang kalau kau juga setuju dengan Abah!” tukas gadis itu dengan wajah keruh. Sandiaga masih saja bungkam. 

    Karena gemas, Inayah mencubit pinggang lelaki itu. Sandiaga mengencangkan rahangnya menahan rasa sakit yang mencucuk dikulit pinggangnya. Inayah makin gemas dan kesal. Cubitannya perlahan makin menguat dan rasa sakit itu juga makin menyucuk dan menyiksa penderitanya.

    “Ayank! Jawab dong!” sergah Inayah.

    “Apa yang harus kujawab? Permintaan Abah itu masuk akal …” bisik Sandiaga masih dengan rahang yang mengencang. Cubitan Inayah masih betah bertengger di pinggangnya, justru makin kuat.

    “Ooo… jadi mau kamu, kita diem-dieman kayak patung batu?! Jangan nyesal kamu, Yank!!” sergah Inayah lagi makin memperkencang cubitannya.

    Sandiaga makin blingsatan. Disamping menahan nyeri di-pinggangnya, lelaki itu didera rasa jengah dan malu. Namun karena tak tahan, lelaki itu langsung berdiri sehingga cubitan Inayah terlepas. Sejenak pemuda itu menggelinjang mengusir sedikit rasa sakit dibagian pinggangnya.

    “Abah… boleh pinjam kamar kecil ya?’ pinta Sandiaga dengan senyum mirip orang sakit gigi.

    “Silahkan, Nak…” jawab Trias.

    Dengan langkah cepat, Sandiaga menuju dapur. Trias kembali menatap putrinya dan mulai menjelaskan, “Maksud Abah bukan begitu… tapi…”

    Tiba-tiba…

    AAAAAAAARRRRRGGGGHHHH….

    Dari arah dapur meledaklah suara keras. Inayah sempat merasa-kan telinganya berdenging. Gadis itu sontak berdiri menatap dapur. Sementara Trias hanya menggaruk-garuk kepalanya, Kenzie dan Azkiya hanya tersenyum datar sedangkan Saripah menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali.

    “Abah! Suara apa itu?! Kayak loudspeaker rusak deh!” seru Inayah. “Atau Abah lagi piara apa sih? Monster ya?!” tukas gadis itu.

    “Duduk Nak. Itu bukan suara monster.” suruh Saripah.

    “Sudah jelas itu suara monster!” sanggah Inayah. “Umma yang nggak-nggak saja…”

    Tak lama kemudian, Sandiaga muncul lagi dan melangkah dengan tenang. Dia duduk kembali disisi Inayah dan memperlihatkan wajah penuh kepuasan.

    “Silahkan lanjutkan, Abah…” pinta Sandiaga. Inayah menjawil lengan lelaki itu. 

    “Ayank dengar nggak suara keras didapur?” bisik Inayah.

    Sandiaga menatap Inayah dengan heran. “Suara yang mana?”

    “Ayank nggak dengar? Ayank tuli ya?” tukas Inayah lagi.

    Trias tertawa pelan, diikuti oleh istrinya dan dua sahabat karib-nya. Inayah menatap ayahnya. “Kok Abah tenang-tenang saja?! Tadi benar itu suara monster lho!”

    “Iya…” jawab Trias.

    “Monsternya itu disamping kamu!” sambung Saripah dan dua laki-istri itu tertawa lagi.

    “Ayank yang tadi teriak?” tanya Inayah dengan lirih.

    “Maaf… aku nggak sengaja mengerahkan ilmu pemberian Abah…” jawab Sandiaga. “Kurasa aku terlalu mengerahkan Ajian Bahana Penggetar Sukma.”

    Inayah sejenak manggut-manggut lalu kembali menatap ayahnya. Dia kembali membahas persoalan utama. 

    “Pokoknya Iyun nggak mau!” tandasnya. “Abah pikir, enak menahan rindu?! Nggak enak, Abah!”

    “Yun…” tegur Sandiaga.

    “Diam kau!” sergah Inayah membuat Sandiaga terhenyak. “Aku tadi minta dukunganmu, kok malah diam? Ayank takut?” ejek gadis itu.

    “Bukan begitu, Schnucky.” tangkis Sandiaga. “Tapi permintaan Abah itu memang masuk akal…”

    “Siapa bilang permintaan Abah nggak masuk akal?! Aku hanya nggak suka diminta diem-dieman!’ balas Inayah lebih sengit.

    “Aku juga nggak mau. Tapi caranya bukan seperti itu. Kamu nggak kasihan sama Abah?!” sahut Sandiaga lebih sengit. Trias sendiri malah jadi bungkam menyaksikan perdebatan dua orang itu. Inayah mengibaskan tangannya. 

    “Pokoknya aku nggak mau! Tega sekali kamu, Yank!” gadis itu berdiri dan bercakak pinggang. Sandiaga menggeram. 

    “Aku tak menyuruhmu mendiamkan perasaanmu! Aku hanya minta kamu patuhi Abah sehari ini!” lelaki itu juga berdiri me-ngencangkan tinjunya.

    “Aku nggak mau!” tolak Inayah makin sengit.

    Tiba-tiba Sandiaga memajukan wajahnya dan memagut bibir Inayah. Azkiya dan Kenzie langsung terperangah. Trias langsung menepuk keningnya dengan keras sedang Saripah hanya melongo. Sandiaga melepaskan pagutannya. 

    “Patuhi Abah, Yun!” suruh lelaki itu.

    “Nggak mau!” bantah Inayah dengan kukuh.

    Lagi-lagi Sandiaga kembali memagut bibir Inayah, lebih lama dan lebih intim. Setelah itu dia melepaskannya lagi.

    “Patuhi Abah, Yun!!” seru Sandiaga lagi.

    Inayah tersenyum nakal. “Sekali lagi deh…”

    Sandiaga mendengus lalu kembali memagut bibir Inayah lebih intim lagi. Setelah melepaskan ciumannya, Sandiaga memerintah lagi sambil menudingkan telunjuknya ke kamar. 

    “Patuhi Abah dan kembalillah ke kamarmu!” titahnya bagai seorang raja yang memerintah abdinya.

    “Oke deh… makasih ya?” jawab Inayah sambil menepuk pelan pipi Sandiaga lalu berbalik melangkah santai meninggalkan ruang keluarga dan masuk ke kamarnya. Sandiaga hanya berdiri sambil memijiti keningnya dan pura-pura meringis sebab semakin jengah dan malu dihadapan keempat orang tua itu.

    BLUGH…

    “Abah!” seru Saripah kaget.

    Trias pingsan tersandar disofa dan dikipasi oleh istrinya. Sedang-kan Kenzie dan Azkiya hanya melengos sambil menahan tawa. Sandiaga justru hanya bengong melihatnya.

    * * *

     

    Sidang BP4R di aula kantor Kepolisian Daerah Propinsi Gorontalo telah selesai digelar. Ada empat pasangan calon pengantin yang dibina oleh petinggi lembaga tersebut. Sandiaga mengenakan pakaian formal hitam-hitam sedangkan Inayah mengenakan pakaian dinas harian lengkap dengan balet pangkat dan bintang penghargaan tersemat didadanya.

    Sidang itu intinya membahas tentang tugas dan peran seorang lelaki atau perempuan yang memilih pasangan polisi sebagai teman hidupnya. Selebihnya lebih kepada nasihat dan arahan agar mereka mampu memahami bagaimana tugas pokok seorang penegak hukum.

    Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Para calon pengantin bersama keluarganya berada di tempat-tempat khusus, terpisah dari para tamu yang kesemuanya merupakan anggota kepolisi-an dari jenjang pangkat yang berbeda-beda.

    Trias memilih duduk bersama keluarganya. Selagi makan, Trias mengemukakan pernikahan kedua anak mereka agar segera dilaksana-kan. Paling cepat seminggu setelah sidang BP4R selesai digelar.

    “Nggak masalah… mereka juga sudah siap.” Sahut Kenzie.

    “Iya, sudah kebelet benar, ingin diikat…” sindir Trias.

    UHUK-UHUK-UHUK-UHUK…

    Spontan Sandiaga dan Inayah tersedak dan batuk bersama-sama, membuat kedua lelaki parobaya itu terperangah sejenak, lalu tertawa sambil menudingkan jari ke arah lawan bicaranya. Azkiya hanya ter-senyum sedangkan Saripah kembali menggeleng-gelengkan kepala.

    “Keduanya benar-benar belahan jiwa ya?” komentar Kenzie lagi, menggoda sepasang calon pengantin itu.

    “Setidaknya keduanya mestinya berterima kasih padaku.” sahut Airina Yuki sembari sibuk mengiris daging dan menusuknya dengan garpu lalu memakannya. 

    Kedua pasang orang tua itu menatapinya. Airina Yuki menatap mereka dan mengangkat alis. Kenzie mengangkat alis menuntut pen-jelasan. Airina Yuki sejenak mendehem lalu menyambung. 

    “Kalau bukan kuhasut Tatah Iyun untuk memasukkan lima batang cabe ke dalam makanan Kakak, nggak mungkin secepat itu Abah mem-percepat pernikahan mereka…”

    “Jadi itu perbuatan kamu?!” pekik Sandiaga dengan geram. Airina hanya mengangguk saja seolah tanpa beban.

    Kedua orang tua itu tertawa. Saripah langsung mencubit hidung Airina Yuki membuat gadis itu sontak melepaskan alat makannya dan memegang hidungnya.

    “Auuugh… sakit Umma!” ringis Airina. 

    “Kenapa sih Umma doyan mencubit hidungku?” tukasnya me-natap Saripah yang hanya senyam-senyum saja.

    “Hum… kamu segitu saja meringis kalau dicubit.” olok wanita parobaya itu lalu mengangguk kearah Azkiya. 

    “Tuh, tanya mamamu, gimana dia dulu sering dicubit hidungnya oleh Oma Ana? Umma juga pernah lho dapat cubitan di hidung oleh keluarganya Papa kamu itu.” tangkis Saripah.

    Airina menatap ibunya. “Iyakah, Ma?”

    Azkiya hanya menatap Kenzie dan mengulas seringai ginsulnya. Kenzie tersenyum dan mengangguk. 

    “Kelihatannya, kamu akan mengikuti jejak mamamu. Kalau mamamu dijaili nene Ana, ya…kamu dijaili Umma Ipah.” jawabnya lalu meraih gelas dan meneguk isinya sekali.

    “Dan kamu belum menerima hukuman!” geram Inayah mendelik-kan matanya. Airina justru tersenyum lebih sinis. 

    “Kenapa nggak kuhasut sekalian tambah sepuluh batang cabe ya?” oloknya. “Akan bakal seru jadinya, melihat seorang ogashira dari 53 keluarga klan Koga terguling-guling dilantai menahan derita sakit lambungnya…”

    “Kutunggu kamu di dojo!” geram Sandiaga.

    “Huh, siapa takut?!” tantang Airina balas mendelikkan mata.

    “Bukan kakakmu yang meladenimu, tapi aku! Persiapkan dirimu!” sahut Inayah makin geram. Airina hanya tersenyum-senyum saja.

    Dari sekian pengunjung sidang itu, ada beberapa pasang mata yang mengamati Airina. Sebagian lain mengomentari betapa beruntung-nya keluarga Lasantu bisa berbesanan dengan pejabat atasan mereka.

    “Dengar-dengar, mereka memang sudah dijodohkan sejak bayi…” cetus salah satu polisi.

    “Kok bisa ya?’ sahut yang lainnya.

    “Aku sih dengarnya dari Briptu Emil…” jawab orang itu.

    Perwira berpangkat inspektur itu mencari-cari keberadaan nara-sumbernya. Lelaki itu sedang ikut makan bersama-sama anggota Tim Buser Coyote Cobrone. Sang inspektur melangkah mendekati kawanan Coyote Cobrone yang sedang asyik bersantap itu. Dia duduk dekat Bripda Anton.

    “Kenapa Bang?” tanya Anton.

    “Ada yang membuatku penasaran…” ujar inspektur itu.

    “Apa?” tanya  Anton.

    “Apa benar Iyun sudah dijodohkan sejak kecil?” tanya inspektur itu. Anton justru menatap Heri, Usman, Hadi dan Emil.  Briptu Emil Balo menatapi seniornya. 

    “Kenapa? penasaran, Bang?” tukas Emil sambil senyum.

    “Tapi, memang benar mereka dijodohkan?’ tanya inspektur itu dengan wajah sangsi.

    “Bos Iyun sendiri yang bilang.” jawab Emil.

    Inspektur itu lalu menatap Airina yang sementara bercengkrama dengan keluarganya. 

    “Kalau yang itu, siapa?” tanya inspektur itu menganggukkan kepala ke arah gadis yang diapit oleh sepasang orang tua itu. Emil menoleh mengikuti tatapan seniornya, lalu menjawab. 

    “Oh, itu calon adik iparnya Bos Iyun…” ujarnya.

    “Cantik ya?” komentar inspektur itu tanpa sadar. Sejenak kemudian dia terhenyak sendiri dan menatapi kawanan Coyote Cobrone yang susah payah menahan tawa.

    “Bang…tuh anak masih umur 18 tahun…” olok Emil diikuti tawa teman-temannya. Inspektur itu mengerutkan alisnya.

    “Masa iya?” desisnya sangsi.

    “Begitu-begitu, dia juga sudah selesai kuliah dan sekarang sudah semester akhir program magister.” tambah Emil membuat inspektur itu kaget.

    “Abang naksir ya?’ sela Anton tiba-tiba. Seketika wajah inspektur itu memerah. 

    “Sembarangan kamu!” sergahnya lirih lalu tertawa.

    “Ya, nggak apa-apa kalau suka…” ujar Anton.

    Tanpa setahu perwira itu, Heri menghubungi Inayah melalui aplikasi chatting. Gawai polwan itu bergetar. Inayah mengambilnya dan memperhatikan layar.

    PING…

    Bos, Bang Faris kayaknya naksir sama Nona Yuki. Nih, dia lagi wawancarai Emil sama Anton…

     

    Inayah tertawa melihat isi percakapan itu membuat keempat orang tua itu menatapnya dengan heran.

    “Kenapa Yun?’ tanya Trias. Inayah menatap Airina. 

    “Yuki, kayaknya kamu perlu membuat grup chat penggemar deh.” goda polwan itu. Airina pura-pura tuli dan tetap sibuk menikmati makanannya. Kenzie menautkan alis.

    “Kenapa?” tanya Kenzie.

    “Papa baca saja…” sodor Inayah memberikan gawainya.

    Kenzie dan Azkiya membaca percakapan di layar itu lalu menggeleng-gelengkan kepala dan memberikan gawai itu kembali ke tangan Inayah. 

    “Hubby… kedua anak kita rupanya sudah dewasa.” Komentar Azkiya. Wanita berkhimar itu menatap putrinya. 

    “Salah satu opsir disini naksir sama kamu.” ungkapnya kepada Airina. Trias langsung celigukan kesana-kemari. 

    “Aku harus tahu, siapa yang naksir anakku…” ujar Trias.

    Saripah langsung menepuk pundak suaminya. “Abah, sudah dong. Nggak usah ikut campur…. Kamu nggak mau kan Yuki ketularan gayanya Inayah?”

    “Lho? Kok saya diungkit lagi?” tukas Inayah dengan wajah jutek. Sandiaga hanya menahan senyumnya yang nyaris terulas.

    “Santai, Yas. Biarkan saja. Nggak usah seprotektif itu.” tegur Kenzie menyentuh lengan sahabatnya.

    “Eh, Logong! Yuki itu anakku juga!” balas Trias mendelikkan mata membuat Kenzie mendesah dan mengangkat tangannya tak mau berdebat.

    Airina menoleh ke arah rekan-rekan sejawat Inayah yang memang sudah dikenalnya. Emil mengangguk santun, sedang Heri dan Anton melambaikan tangan. Anton sendiri lalu menggoyangkan jempol-nya kepada seorang perwira yang juga sementara menatap Airina.

    Faris, nama perwira itu, terpesona dengan tatapan Airina. Sementara keempat anggota Coyote Cobrone tertawa lirih melihat seniornya diam mematung. Anton akhirnya berinisiatif menepuk paha Ipda Faris.

    “Bang? Kenapa? Terpesona ya?” goda Anton. Ipda Faris gelagap-an menjawab. 

    “Ng-nggak!” kilahnya dan segera bangkit meninggalkan kelompok Coyote Cobrone yang tertawa-tawa lagi melihat betapa canggungnya gaya langkah lelaki itu. Airina balik menatap Inayah. 

    “Tatah, siapa perwira itu? Kok menatapku kayak mau mangsa saja?” gerutu gadis itu. Inayah tertawa lalu menggoda calon adik iparnya. 

    “Mau tahu saja? Atau mau tahu banget?” tukasnya menggoda.

    Airina tertawa sejenak lalu menjawab, “Mau tahu banget.”

    “Nggak usah dikasih tahu.” sela Sandiaga.

    “Kenapa?” tantang Airina Yuki menautkan alisnya.

    “Aku nggak suka orang itu…” jawab Sandiaga lalu menatap tajam adiknya. Kedua mata lelaki itu langsung berubah warna dari coklat tua menjadi biru pucat keabu-abuan. 

    Karasu Tengu no Shisen…

    Airina Yuki tak mau kalah. Gadis itu juga mengaktifkan jurus itu dan menohok. “Kalau Tatah Iyun nggak merayumu, apakah kamu masih sedekat ini dengannya?!”

    Bunyi getar dawai mengganggu konsentrasi lelaki itu.

    DRRRRT….DRRRRRTTT….DRRRRRTTT

    Sandiaga mendengus saja dan merubah kembali warna matanya kembali ke coklat tua. Lelaki itu meraih gawai disaku kemejanya dan menatap layarnya. Alisnya berkerut. Segera disambungkan panggilan itu.

    Moshi-moshi, ada apa Oom Takagi” sapa Sandiaga. Mereka mengamati lelaki itu berbicara.

    “Hei, kamu harus kembali ke Jepang. Kikuchiyo lagi dapat sedikit masalah.” ujar Takagi di kantornya. 

    Lelaki itu kemudian menjabarkan permasalahannya. Setelah diakhir kata, lelaki itu kembali meminta Sandiaga untuk kembali ke Jepang, secepatnya. Sandiaga sejenak menatap semua anggota keluarganya lalu dengan nada ragu, lelaki itu bertanya lagi. 

    “Sekarang?” tukasnya.

    “Kalau bisa besok, berangkatlah…” pinta Takagi. Sandiaga meng-hela napas. Azkiya memperhatikan putranya. 

    “Ada apa, Saburo?” tanya wanita berkhimar panjang itu.

    “Oom Takagi ngabari, Kikuchiyo mendapat sedikit masalah. Ada beberapa pesaing bisnis yang mencoba melakukan hal-hal yang me-rugikan perusahaan kita… Paman Takagi, tak bisa menyelesaikan masalahnya. Makanya, aku disuruhnya segera ke Tokyo untuk me-nyelesaikan masalah itu…” tutur Sandiaga.

    Inayah langsung menyapu pundak Sandiaga. “Pergilah Ayank… tunaikan tugasmu.”

    “Tapi, kita seminggu lagi akan menikah Yun…” ujar Sandiaga dengan gusar.

     “Anggap saja ini masa pingitan kita.” bujuk Inayah lagi. Sandiaga menautkan alisnya menimbang-nimbang. Trias langsung menegaskan lagi. 

    “Yang jelas, minggu depan, keduanya sudah menikah. Aku nggak mau keterusan pingsan gara-gara mendengar dan melihat adegan kemesraan mereka yang belum halal itu!” gerutu pejabat nomor satu di Kepolisian Daerah Gorontalo tersebut. []

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 14

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021