KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung Di Benteng Otanaha Bab 18

    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 18

    BY 10 Sep 2024 Dilihat: 102 kali
    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 18_alineaku

    AKHIR DARI MASA LAJANG

    Airina mengenakan hem putih lengan panjang yang kerahnya diikat pita dasi hitam. Bawahannya adalah rok pola kilt, terlihat sederhana namun sepadan. Gadis itu melangkah ke beranda dan menemukan kedua orang tuanya yang sementara bercakap-cakap dengan seorang perwira polisi muda.

    “Eh, Putri Salju kita sudah datang, Ma…” celetuk Kenzie saat melihat Airina berdiri disana. Gadis itu sendiri mengenali perwira itu.

    “Ada yang mau ketemu dan ingin menjalin persahabatan dengan-mu…” kata Kenzie dengan senyum dikulum.

    “Ipda Faris…” ungkap Airina.

    Azkiya menatap suaminya. “Kayaknya mereka berdua sudah saling kenal, Pa.”

    “Ya sudah…” pungkas Kenzie. “Mari, kita tinggalkan mereka…” ajak lelaki parobaya itu kepada istrinya. Azkiya mengangguk dan bangkit. Kedua orang tua itu melangkah masuk ke dalam rumah. Kini tinggal Faris dan Airina disana.

    “Duduklah…” pinta Faris.

    “Lho? Ini kan rumahku?” tukas Airina mengerutkan alisnya. Faris tersenyum malu. 

    “Maaf…” ujarnya. Airina lalu duduk berseberangan dengan perwira itu.

    “Apa tujuan Bapak?” tanya Airina langsung pada pokoknya.

    “Kamu tak pernah berbasa-basi ya?” komentar Faris sambil ter-senyum. Airina memutar bola matanya dengan malas lalu hendak bangkit. Faris buru-buru bicara, mencegah gadis itu hendak pergi.

    “Setidaknya, temani aku…” pinta Faris lagi. “Kamu nggak kasihan melihatku sendirian disini seperti penjaga nyamuk, sementara Inayah asyik bercengkrama dengan kakakmu dibelakang rumah?”

    “Nggak! Aku nggak kasihan sama anda…” jawab Airina datar.

    “Kenapa?” tuntut Faris.

    “Setiap tindakan memiliki motif. Tanpa itu, sebuah niat tidak di-hitung sebagai sebuah tindakan. Aku tak punya alasan disini untuk me-nemanimu. Makanya aku menanyakan motifmu kemari…” tutur Airina masih dengan nada datar.

    “Baiklah… aku memang mau menemanimu.” ungkap Faris pada akhirnya. Airina mengangguk-angguk. 

    “Aku hargai itu…” sahutnya mengapresiasi meski dengan sikap yang tetap terkesan dingin.

    “Bisakah kamu tidak memasang tampang dingin itu?” tukas Faris. “Aku seperti berhadapan dengan boneka salju…”

    Airina tersenyum. “Terus? Aku harus bilang… ara-ara, gitu?” lagaknya seperti gadis yang terperangah heran, lalu kembali ke sikapnya semula yang dingin dan datar. Faris menghela napas sejenak. Airina mendengus. 

    “Nah, sekarang pergilah.” Pinta Airina Yuki dengan datar, dingin dan sinis. Faris mengerutkan alisnya.

    “Lho? Kok ngusir?” protes Faris.

    “Lho? Kan keinginanmu bertemu denganku sudah tercapai. Mau apa lagi?” tanya Airina dengan santai.

    “Nggak bisa begitu dong!” protes Faris. “Aku mau mengenalmu lebih dekat!”

    “Apa yang mau anda tahu?” pancing Airina.

    “Semuanya!” tandas Faris dengan tegas.

    Airina tersenyum lagi. “Semuanya?”

    “Ya, semuanya!” tegas Faris.

    “Sampai ke dalam isi cawatku?” pancing Airina lalu menahan tawa. Wajah Faris seketika memerah. 

    “B-bukan itu!” sanggahnya dengan gagap. Airina mengangguk-angguk. 

    “Kukira, anda mau aku telanjang disini…” pancingnya membuat wajah Faris sekali lagi memerah. Airina bangkit. Faris langsung men-cegahnya. 

    “Mau kemana?” tanya perwira polisi itu.

    “Aku mau menyuguhkan minuman untuk anda.” jawab Airina. “Tadi anda kulihat seperti tercekik kehausan…” oloknya lalu pergi me-ninggalkan Faris sendirian di beranda.

    * * *

     

    “Esok kan kita nikah… apa kamu nggak mampu menahan rindu-mu sehari saja?” tegur Sandiaga. “Abah bisa jantungan lagi kalau dia dengar kamu disini menemuiku.”

    “Alaaah… Abah saja dipikirin…” sahut Inayah dengan santai. Keduanya lalu duduk ditatami. Inayah meneruskan bicaranya. 

    “Besok, beliau nggak akan jantungan lagi. Anaknya sudah sah jadi milik Ayank tercinta.” sambung Inayah dengan senyum genitnya. Sandiaga tertawa kemudian menunduk dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kembali menatap calon istrinya.

    “Tapi kan hari ini belum…” sanggah Sandiaga mengulurkan jemari mencubit lembut dagu Inayah. Jilbaber itu tertawa. 

    “Tahu juga Ayank mencubit daguku.” komentarnya, “Bilang saja kalau mau mencet ini, tapi takut…” goda Inayah menunjuk dada kirinya.

    “Jangan mancing…” tegur Sandiaga. “Kamu paling tahu kalau aku nggak pandai mengekang birahiku…”

    Inayah tertawa lalu mengolok kekasihnya. “Iya… kamu memang paling lemah kalau urusan menahan birahi… jangan-jangan kamu waktu di Jepang, kepeleset sama perempuan disana gara-gara itu…”

    Sandiaga kembali tertawa namun pelan dan menghela napasnya. Inayah menghela napas sejenak lalu menerawang menatap papan-papan mufudakake yang tergantung di dinding dojo pribadi itu.

    “Kalau menuduh aku, pakai adab sedikit dong…” tegur Sandiaga sambil tersenyum datar kemudian menowel dahi Inayah pelan dengan telunjuknya. Polwan itu kembali tersipu sambil mengelus-elus dahinya.

    “Maaf deh… aku mungkin lagi badmood.” ujar Inayah dengan jujur. “Soalnya aku mimpi aneh…”

    “Mimpi aneh?” tukas Sandiaga. Inayah mengangguk-angguk dengan sendu. 

    “Aku mimpi, Ayank dipeluk wanita lain. Dia bilang, aku nggak perlu mengejar Ayank – yang katanya – sudah jadi miliknya.”

    Sandiaga terdiam. Pemuda itu kemudian menghela napas dan mengangguk-angguk pula. Lelaki itu tahu bahwa mimpi jilbaber itu adalah sebuah firasat. Polwan itu beringsut mendekati Sandiaga yang menekurkan wajah. Kedua lengan jilbaber itu menyentuh wajah Sandiaga.

    “Ayank nggak akan meninggalkan aku, kan?”  rengek Inayah dengan sendu. Sandiaga mengangkat wajahnya. 

    “Tidak akan pernah!” tandasnya kemudian tersenyum.

    Inayah tersenyum mendengar jawaban lelaki itu. Namun senyum jilbaber itu perlahan memudar saat Sandiaga menyambung kalimatnya. 

    “Namun ketika takdir yang membentang diantara kita, suatu saat memperlihatkan hal diluar biasanya… aku hanya berharap kau tetap meyakini cintaku, kepadamu.” Sambung pemuda itu. Inayah terdiam sejenak lalu mengernyitkan alisnya.

    “Maksud Ayank?” tanya polwan itu.

    Sandiaga memejamkan matanya. Agak lama pemuda itu berlaku demikian membuat Inayah disergap rasa tak nyaman. Bagian paling misterius tentang pemuda yang sebentar lagi menjadi miliknya adalah, Sandiaga memiliki kepekaan spiritual. Pemuda itu sejak kecil memiliki bakat-bakat sebagai seorang indigo, khususnya prekognisi, yaitu mampu menerawang hal-hal yang akan terjadi di masa depan dari berbagai sudut pandang alternatifnya. Setelah memejamkan mata agak lama, Sandiaga kemudian membuka mata dan menghela napas kemudian melanjutkan lagi kata-katanya.

    “Misalnya… jika memang kita sempat terpisah… aku hanya ingin kau tahu, paham bahwa cintaku padamu lebih dari segalanya di dunia ini…” tandas pemuda itu.

    Inayah mencerna kalimat-kalimat lelaki itu dan jilbaber itu men-desah. “Ayank, jangan bikin aku kuatir dooong…”

    “Mimpimu itu firasat, Yun…” ungkap Sandiaga. “Ada sesuatu yang akan menguji kesetiaan cinta kita. Kamu akan sempat meragukanku… kesalah pahaman akan membuat jarak diantara kita bagai dinding yang tinggi.” 

    “Kok Ayank menafsirkan mimpiku segitunya?” tukas Inayah mulai merajuk. “Jangan bikin aku takut dan meragukanmu…”

    “Aku hanya ingin kamu paham… ketika sesuatu itu memisahkan kita, kau harus tahu… aku tak pernah punya niat menyingkirkanmu! Aku mencintaimu lebih dari segalanya didunia ini!” tandas Sandiaga dengan wajah yang terlihat begitu serius. Inayah kaget sejenak dan menyadari dari sisi dalam kelopak mata calon suaminya, kini mengalir airmata yang membasahi pipinya. Sandiaga tidak menghela isakan, namun firasat itu membuat hatinya menjadi trenyuh dan gamang.

    “Ayank…” desah Inayah juga mulai terbawa perasaan.  Keduanya tanpa sadar menangis bersamaan dan maju menempelkan kedua dahi mereka. Sandiaga memejamkan mata dan meringis lirih.

    “Aku mencintaimu…” sedu Sandiaga dengan lirih.

    Inayah langsung memeluk lelaki itu dan menumpahkan tangis lirihnya. Lama keduanya berpelukan hingga akhirnya Sandiaga melepas-kannya. Sandiaga kembali menghela napas, menenangkan hatinya, begitu pula yang dilakukan Inayah. Pemuda itu melanjutkan kata-katanya.

    “Ingat satu hal, Yun. Kekuatan cinta lebih kuat dari yang kamu bayangkan. Kekuatan itu yang akan menuntunmu kembali kepadaku, atau menuntunku untuk menemukanmu. Kita tak bisa menolak takdir… tapi kita bisa memperbaikinya… kepercayaan dan keyakinan… itu saja yang harus kau genggam!” ujar Sandiaga.

    Sandiaga telah menitipkan sasmita arti mimpi itu kepada kekasih-nya. Sandiaga sudah berupaya menemukan cara untuk memperbaiki kesalahan yang bukan merupakan kehendaknya. Lelaki itu rela digencet, tertarik ke dua arah. Namun lelaki itu hanya menetapkan satu cinta. dan cinta itu hanya untuk Inayah, bukan perempuan lain.

    * * *

     

    Airina Yuki muncul membawa baki berisi dua gelas sirup rasa buah lecee yang dipadu dengan biji-biji selasih dan sepiring kue biskuit. Gadis itu meletakkannya di meja, menyodorkan segelas kepada Faris.

    “Minumlah…” pinta Airina Yuki.

    Faris menatapi gelas berisi sirup itu. Airina menyambung. “Aku nggak naruh racun disana…” sindirnya. 

    Gadis itu duduk lagi dan mengambil gelas sirup miliknya lalu menyesapnya sedikit. Faris menghela napas dan mengambil gelas itu. gelas itu hanya sampai didepan bibirnya, belum terteguk setetes pun.

    “Aku tahu, kamu nggak bakal naruh racun diminumanku…” komentar Faris.

    “Yakin sekali ya?” balas Airina Yuki. Faris mengangguk, sedikit menjauhkan gelas itu dari bibirnya. 

    “Aku hanya teringat warna sirup ini dengan salah satu khamr lokal…” komentarnya lalu terkekeh pelan. Airina Yuki paham dengan ucapan opsir polisi tersebut.

    “Yang jelas, buah leci nggak bertengger dipohon aren.” sela Airina Yuki sedikit ketus.

    “Kamu cerdas…” puji Faris.

    “Masih mau minum?” pancing Airina Yuki lagi. “Kalau nggak, biar sirup itu kubuang saja.”

    “Jangan terlalu sensitif…” tegur Faris.

    Perwira itu meneguk sirup itu sampai habis dan mendesah sekali lalu meletakkan gelas itu di meja. “Nah, aku sudah minum sirupnya.”

    “Bagus…” respon Airina Yuki sambil menyesap sirupnya lagi.

    “Kalau ternyata sirup itu beracun, dan aku mati karenanya, aku akan mengejar kamu kemanapun!” tukasnya bernada mengancam.

    “Alhamdulilaaaah…” balas Airina Yuki dengan spontan.

    “Yakin sekali kamu…” ujar Faris dengan senyum. Airina Yuki menghela napas sejenak dengan malas.

    Maa ne… Minuman itu nggak beracun kok. Jadi Bapak nggak perlu repot-repot mengejar-ngejar aku… kecuali ada maunya.” Sindir-nya.

    “Bagaimana menurutmu jika datang seorang laki-laki yang ter-tarik kepadamu dan menyatakan perasaannya? Apa kamu akan me-nerimanya?” pancing Faris.

    Dou ka na?” gumam Airina Yuki dengan malas lalu menatap Faris dan mendengus pelan.

    “Apakah laki-laki itu… anda?” tebak Airina. Faris tersenyum. 

    “Bisa jadi…” jawabnya mengambang. Airina mengangguk-angguk sejenak lalu menerawang sejenak, memicingkan matanya. 

    “Aku akan menerima… jika itu bukan anda!” jawabnya mantap.

    “Kenapa?” protes Faris tanpa sadar.

    “Aku nggak suka lelaki berseragam!’ tandas Airina. “Mereka adalah lelaki pengecut yang berlindung dibalik arogansi semu seragam tersebut.”

    Faris tertohok, namun dia membela diri. “Bukankah Inayah juga seorang yang berseragam? Apa bedanya?”

    Ara? Memang Tatah Iyun itu lelaki?” sanggah Airina.

    Sekali lagi Faris tertohok. Tak lama kemudian Inayah muncul. Airina berdiri dan melangkah menyambut jilbaber itu. Kening Airina bertaut menatap bekas-bekas airmata dibola netra polwan itu. gadis itu berdiri menyambut calon kakak iparnya.

    “Tatah kenapa? Disakiti kakak ya?” tukas Airina. Polwan itu hanya tersenyum dan menggeleng-geleng lalu membelai punggung gadis itu. 

    “Nggak… cuma melepaskan rasa kangen saja.” kilahnya.

    “Padahal besok sudah nikah, masih saja kayak orang jauhan?” goda Airina. Inayah mencubit hidung gadis itu membuat Airina me-ngerang kesakitan memegangi hidungnya lalu mengomel. 

    “Aaauuuugh… sakit Tatah! Ih, bukan Umma, bukan Tatah, kalian berdua selalu mencubiti hidungku! Lama-lama hidungku bisa panjang…” omelnya.

    Inayah tertawa. “Nggak bakalan…”

    “Aku beda, lho…” tangkis Airina. Inayah sejenak menatap Faris, kemudian Airina Yuki bergantian. 

    “Bagaimana penjajakannya?” goda jilbaber itu. Airina Yuki sejenak memalingkan tatapannya ke arah  Faris, lalu menggelayut manja dilengan Inayah. 

    “Tatah… lain kali kalau mau nawari calon suami buat aku, bawa-kan yang gentle ya?” pesan Airina. “Aku nggak suka badut komidi…” ujarnya dengan lirih. Inayah tertawa. 

    “Ya sudah… nanti Tatah sampaikan sama orangnya.” Sahut Inayah dengan lembut dan mencubit lembut pipi calon adik iparnya itu. Airina Yuki tersenyum dan mengangguk. Faris langsung bangkit dan mendekati gadis itu. 

    “Aku balik ngantor dulu, Yuki…” ujar Faris, namun Airina malah mengacuhkannya, membuat Faris disergap kecanggungan. Inayah me-nahan tawa saja lalu mengajak seniornya meninggalkan tempat itu.

    Roll-Royce itu mundur keluar dari pekarangan dan ketika tiba dijalanan kendaraan itu membelok tajam dan melaju menyusuri jalanan tersebut. Didalam mobil, Faris mengumpat sambil menghantamkan lengannya ke pinggiran kaca mobil. Inayah sejenak mengerling kearah seniornya lalu memusatkan kembali tatapannya ke jalanan.

    “Kan sudah kubilang Bang.” kata Inayah mengingatkan, “Yuki itu temboknya tinggi. Tapi kalau Abang bisa meruntuhkan tembok itu, orangnya itu setiaan. Nggak akan pernah berpindah ke lain hati…”

    “Perempuan itu… dingin dan sinis…” komentar Faris dengan kesal, merasa diremehkan oleh Airina.

    “Cuma luarnya saja, Bang. Aslinya nggak begitu.” sanggah Inayah sambil terus memperhatikan jalanan.

    “Kelihatannya sombong sekali…” tambah Faris.

    “Bukan sombong, Bang. Tapi menantang Abang. Kan sudah di isyaratkan, karena Abang menghadapinya sebagai perwira polisi, bukan laki-laki… jadi Yuki juga bersikap sebagai seorang deputi direktur per-usahaan, bukan perempuan.” jawab Inayah. Faris terhenyak lalu me-natap rekan sejawatnya. 

    “Benarkah? Tapi kan biasanya perempuan suka dengan lelaki ber-seragam.” tukasnya menatap Inayah.

    “Berarti Abang yang salah.” balas Inayah. “Menemui Yuki, lain kali jangan pakai seragam… pakai saja pakaian yang lain…” sarannya. Kendaraan it uterus melaju menyusuri jalan dua arah Andalas.

    “Kamu ngundang aku diresepsi, kan?” tanya Faris tiba-tiba.

    “Ya, tentulah Bang. Orang se-Polda diundang semua, sampai Oom penjaga kantin juga diundang.” jawab Inayah. “Memangnya kenapa?”

    “Aku akan menembaknya di acara itu.” tekad Faris.

    “Ya, persiapkan saja mental… kalau ditolak.” goda Inayah. “Abang, mah memang laku kalau dihadapan polwan-polwan… tapi Abang masih kalah sama Yuki.”

    Faris menatap jilbaber itu. “Kok dibandingin? Memang setinggi apa levelnya?” tantang perwira itu tersinggung.

    “Bang Faris itu adalah lelaki yang ke-99 tuh… kayak Asmaul Husna saja… nambah 1, pecah deh rekornya.” seru Inayah lalu tertawa.

    Faris makin kaget. “Yang benar, kamu?!”

    Inayah hanya menggeleng-gelengkan kepala berkali-kali sambil melirik seniornya yang memijiti keningnya. Roll-Royce itu sudah me-masuki komplek Polda Gorontalo. Inayah membelokkan kendaraan itu ke pintu utama. Dua petugas protokoler langsung menghormat ketika kendaraan mewah itu lewat menuju parkiran.

    Setelah memarkir kendaraan itu, Inayah bersama Faris keluar. Tak lama muncul Briptu Emil Balo. Brigadir itu mendekati Inayah dan Faris lalu bersikap menghormat.

    “Kenapa, Mil?” tanya Inayah.

    Briptu Emil menurunkan tangannya lalu berkata, “Pak Kapolda nyari Bos, tuh.” 

    Inayah menghela napas lalu mengangguk. “Oke deh…” jawabnya.

    Inayah meninggalkan Faris dan dikawal Emil memasuki kantor dan menyusuri koridor, menaiki tangga ke lantai puncak hingga tiba diruangan kerja Kapolda. Emil mempersilahkan Inayah masuk. Lelaki itu mengetuk pintu.

    TOK-TOK-TOK…

    “Masuk!” seru suara baritone dari balik ruangan.

    Emil membuka pintu dan Inayah melangkah masuk lalu me-lakukan sikap penghormatan. Trias mengangguk dan mengisyaratkan Inayah untuk menutup pintu. Sementara itu, pejabat tersebut lalu kembali meneliti beberapa berkas.

    Inayah kemudian duduk disofa dengan sikap tegak. Jilbaber itu bersikap profesional jika dikantor. Trias lalu menutup portofeule itu dan mengangkat wajah lalu tersenyum lebar. Dia meletakkan kacamatanya dan bangkit melangkah menuju sofa, lalu duduk berseberangan dengan jilbaber itu.

    “Darimana anaknya Abah ini? Abah dengar kamu lagi jalan-jalan dengan Ipda Faris ya?” kata Trias lalu mengingatkan. “Esok, kamu nikah lho. Jangan bikin Sandiaga cemburu…”

    “Yeee… Abah. Jangan langsung nuduh dong.” tangkis Inayah, “Saya kan lagi bawa Bang Faris ketemu Mama sama Papa… mau comb-langi Airina…” ujarnya lalu tersenyum jenaka.

    “Ooo… jadi Faris yang naksir Airina?” tebak Trias.

    Inayah mengangguk-angguk. Trias tertawa. “Lalu tanggapannya Yuki?” pancing lelaki parobaya itu.

    “Abah macam nggak tahu gimana sifat adikku itu.” jawab Inayah.

    Trias tertawa dan membayangkan bagaimana Faris dibuat malu oleh sikap Airina Yuki. “Tapi ingatkan adikmu itu… kalau kelakuannya begitu terus, lama-lama jadi perawan tua…”

    “Tapi sifatnya Yuki pasti menurun dari Mama atau Papa…” tukas Inayah sejenak menerawang. Trias tertawa pelan lalu menggeleng.

    “Nggak…Papamu dan Mamamu nggak begitu. Mamamu kalau bersikap dingin memang iya, tapi dia orang yang supel dan gampang bergaul. Tapi kalau Yuki… kayaknya menurun dari sifat Oom Kameie, kakeknya… orangnya terkesan dingin, dan bengis.” komentar Trias.

    Inayah menatap ayahnya. Trias menghela napas lalu menutur. “Oom Kameie itu adalah salah satu pentolan yakuza Tokyo yang ditakuti. Selain itu, dia juga seorang ogashira kelompok Koga. Pembawaannya dingin, sinis dan menampakkan kesan yang angker jika didekati. Tapi sejak Abah menjadi bagian keluarganya, beliau sangat respek dengan Abah.”

    Inayah mengangguk-angguk. “Terus, Bapu Kameie sekarang dimana, Abah?” tanya polwan itu.

    “Sudah wafat. Beliau melakukan seppuku karena tidak tahan menanggung duka sepeninggal Oma Fitri yang stres karena kematian Bunda Aisyah dan Kak Bakri.” Jawab Trias sambil menghela napas prihatin. Lama keduanya terdiam hingga akhirnya Trias tersenyum lagi dan menatap putrinya.

    “Mau tahu cerita seru?” pancing Trias. Inayah mengangguk-angguk jenaka.

    Trias mulai berkisah. “Azkiya dulu siswi program pertukaran pelajar yang ditempatkan dikelas kami waktu itu. Tiba-tiba, dia datangi kami dan langsung ngajak kenalan. Kenzie waktu itu gugup bukan main, sampai salah kata menyebut Mamamu dengan sebutan ‘Nona Sipit’.”

    Inayah tertawa. “Iyakah? Seru juga ya?” komentarnya.

    “Tentu saja, Mamamu tersinggung dikatai begitu, tapi Abah langsung bertindak mencairkan suasana. Jadinya kita bertiga temenan akrab mulai saat itu. Nah, ternyata Mamamu itu sudah naksir Oom Kenzie saat itu, hanya saja malu. Ternyata Papamu begitu juga….” tutur Trias.

    “Wah, sama-sama memendam perasaan dong…” celetuk Inayah lalu tertawa. Trias tertawa dan mengangguk kemudian melanjutkan tuturnya.

    “Nah, Abah semangati Papamu untuk nembak Mamamu. Mereka akhirnya jadian di Cofee Tofee. Sebenarnya sih, gara-gara Mamamu, Mimi Iyun sempat cemburu sama Abah. Dikiranya Abah selingkuh.” ujar Trias. Inayah tertawa lagi. Trias kembali menghela napas dan wajahnya terpancar raut sendu.

    “Sehari sebelum kematiannya, ternyata Mimi Iyun sudah nge-jodohin Abah sama Umma, tanpa sepengetahuan Abah. Mungkin dia sudah tahu firasatnya kalau mau pergi…” kenang Trias, tanpa sadar lelaki itu mengalirkan airmata.

    “Abaahhh…” desah Inayah mulai baper.

    Trias tersenyum. “Waktu Mimi Iyunmu terbunuh, Abah sempat stres. Mama dan Papamu tanpa lelah terus memotivasi Abah untuk move-on, dan akhirnya Abah nikahi Umma….”

    “Abah yang kuat, ya?” sahut Inayah lirih sambil menyentuh lengan ayahnya. Trias meringis lirih dan melanjutkan lagi dengan nada suara yang tercekat.

    “Sampai saat ini… Abah masih ingat sama Mimi Iyun?” pancing Inayah. Trias sejenak terdiam, namun senyum teduhnya terbit kemudi-an. Ditatapnya putri semata wayangnya itu dengan tatapan dalam penuh makna.

    “Kamu… adalah ujud cinta kami berdua kepadanya… Umma sengaja memberikan namanya untukmu sebagai penghargaan atas perannya dikehidupan kami…” jawab Trias dengan senyum sayu.

    Inayah terharu dan menggenggam jemari ayahnya lalu meremas-nya dengan pelan. Trias tersenyum namun air matanya terus mengalir jatuh.

    “Kami berdua, mencintainya… lewat kamu, Nak…” desis Trias dengan lirih.

    Inayah langsung memeluk ayahnya dan keduanya bertangisan. Dibalik pintu, Briptu Emil sempat menyusutkan airmatanya yang ter-lanjur jatuh lalu cepat berbalik meninggalkan ruangan itu untuk me-redakan emosinya.

    * * *

     

    Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Kesibukan dikediaman Ali-Hamid sudah nampak sejak pagi buta. Para perias yang didatangkan untuk menata wajah Inayah kini sibuk dengan tugasnya. Saripah sendiri mengundang secara langsung Ustadz Murad, ayah dari mendiang istri pertama Trias, Inayah Azura. Trias menyambut kedatangan lelaki renta itu dengan penuh haru dan sikap sangat hormat. Dia mencium tangan-nya penuh takzim.

    “Abah…” desah Trias dengan lirih.

    “Selamat ya, Nak.” ujar ustadz tua itu. “Semoga makin bahagia…”

    “Cucu Abah… sementara dirias.” kata  Trias disela tangis bahagia-nya. Saripah datang menyambut pula. 

    “Abah jangan sakit-sakit ya? Masa di pernikahan cucunya, kok malah sakit?” tukasnya setengah menggoda. Ustadz Murad Jalaluddin Gobel tertawa memperlihatkan beberapa giginya yang tanggal. 

    “Insya Allah… kalau untuk Iyun, Abah nggak akan sakit.” jamin lelaki renta itu.

    Trias lalu menyuruh Briptu Emil yang berpakaian kasual itu untuk menemani dan melayani ustadz renta itu. Trias sudah mengundang penghulu dan petugas KUA ke kediamannya.

    Ditenda luar yang lapang, nampak rekan-rekan seangkatan Inayah. Paling mencolok adalah kelompok Coyote Cobrone. Alih-alih mengenakan pakaian biasa, mereka justru berseragam lengkap PDUP.

    Kegiatan itu diselenggarakan di taman yang luas. Sebuah pang-gung pendek terletak ditengah-tengah dikepung oleh deretan kursi yang dipadati undangan. Meja prasmanan berjejer tiga baris di sela-sela barisan kursi.

    Kenzie dan Azkiya duduk dideretan kursi kaum keluarga mem-pelai. Kurotomesode yang dikenakan Azkiya terlihat mencolok sedang-kan Kenzie mengenakan beskap lengkap dengan destar dan sarung bate. Airina Yuki mengenakan bili’u sederhana tanpa hiasan lengkap, ter-kecuali buohu walu-walu dehu yang melingkar dilehernya. Juga lotidu yang menghiasi dada, pateda yang membalut pergelangan tangan dan etango yang melingkari pinggang. Rambutnya disanggul dan dipasangi sundi. Disamping gadis itu duduk Saripah yang juga mengenakan bili’u sederhana. Disisi Saripah, duduklah ayahnya, Fahruriza Hamid dan Ustadz Murad Gobel.

    Di atas panggung pendek yang dihampar permadani, diletakkan meja pendek yang diatasnya tergeletak mahar dan beberapa syarat adat. Trias didampingi penghulu dan pejabat Pembuat Akta Nikah (PPAN) dari KUA menaiki panggung. Tak lama kemudian, Sandiaga muncul mengenakan pakaian adat warna putih. Mahkota laapia bantali sibii terpasang dikepalanya. Bako dan pasimeni menghiasi pakaian adat itu. Ikat pinggang dari logam melingkar dipinggang dan menekan keris yang tersisip disana.

    Mempelai pria melangkah diiringi seorang pendamping yang memandunya menaiki panggung pendek. Mempelai pria kemudian diminta duduk berlutut dihadapan kedua penghulu dan Trias. PPAN menyorongkan pelantang kepada penghulu.

    Penghulu itu menyapa dan dibalas oleh para undangan. Pejabat itu berkata, “Alhamdulillah… hari ini kita menjadi saksi dari sebuah pertemuan sakral yang diikat oleh syari’at agama, bersediakah para hadirin menjadi saksi?” seru penghulu. 

    Para undangan menyatakan kesediaannya secara koor. Penghulu itu mengangguk-angguk. 

    “Kalau begitu, mari kita mulai saja…” ujarnya.

    Penghulu membacakan khutbah nikah setelah itu menanyakan apakah Trias bersedia menikahkan atau diwakilkan kepada penghulu.

    “Saya akan menikahkan mereka. Bapak, jadilah saksi saya.” jawab Trias dengan tegas. 

    Penghulu itu mengangguk beberapa kali lalu menyuruh meng-ulurkan tangan. Trias menyambut uluran tangan calon menantunya. Tatapan Trias yang biasanya teduh kini berubah tajam dan terlihat bengis. Ini adalah ujian bagi Sandiaga. Lelaki itu tanpa takut menantang tatapan ayah mertuanya dengan pancaran kekuatan Karasu Tengu no Shisen.

    Trias menyeru nama Sandiaga tiga kali, lalu berseru, “Aku nikahkan dan kawinkan kamu dengan anakku, Inayah Amalia binti Trias Ali, dengan mahar seperangkat alat sholat dan dua batang emas 22 karat seberat masing-masing 1 kilogram! Dengan ini telah nyata kamu menjadi suami dari anakku secara syari’at dan hukum negara. Apakah kau terima nikahnya?!”

    Trias menggoncang dan meremas jemari menantunya. Sandiaga sigap menjawab. “Saya terima nikah dan kawinnya Inayah Amalia binti Trias Ali dengan mahar tersebut diatas, TUNAI!!!” serunya dengan lantang.

    Penghulu mengedarkan tatapannya. “Bagaimana hadirin? Sah?!”

    Seketika para hadirin menyerukan pengesahan itu.

    “Alhamdulillah…” desis Trias dengan lega.

    Penghulu kemudian membacakan doa dan diaminkan oleh para undangan dan keluarga besar kedua mempelai. Tak lama kemudian Inayah muncul diiringi dua anak kecil yang mengenakan pakaian adat bili’u warna biru.

    Inayah mengenakan bili’u yang warnanya sama dengan kekasih-nya. Ikat kepala baya lo boute yang disandingkan dengan lai-lai diubun-ubunnya, gafah tuhi-tuhi berjumlah tujuh, terpasang disanggulnya. Perhiasan buohu walu-walu dehu terpasang apik membalut bagian leher dan pundak pakaian, dihiasi pula dengan kecubu. Gelang pateda me-lingkar disepasang lengannya, dan etango yang melilit pinggangnya yang ramping. Pada kuku jari manis dan kelingking, terpasang luobu dari logam.

    Mempelai wanita melangkah pelan menyusuri taman. Kenzie, Azkiya, Saripah dan Trias tak kuasa membendung airmata mereka. Tanggung jawab mereka telah berakhir. Inayah menaiki panggung pendek lalu duduk menghadap kearah suaminya. Keduanya tersenyum saling memandang, masing-masing menyelami pelangi di kornea netra kekasihnya.

    Sandiaga kemudian membacakan sighat taklik yang memang telah dihafalnya sebelumnya dengan lantang. Setelah membacakan sumpah itu, Inayah lalu mencium tangan Sandiaga yang kini resmi menjadi suaminya. Mereka lalu dituntun menuju pu’ade dan duduk disana sebagai raja dan ratu sehari. Hari itu, selain menggelar per-nikahan, kedua keluarga itu menyumbangkan hidangan dalam kotak istimewa ke semua panti asuhan diseluruh Kota Gorontalo, sebagai ujud syukur bersatunya pertemanan menjadi hubungan perbesanan yang solid. []

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 18

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021