KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung Di Benteng Otanaha Bab 20

    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 20

    BY 10 Sep 2024 Dilihat: 131 kali
    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 20_alineaku

    PECAH BULU

    Sandiaga baru saja menuntaskan kewajiban batiniyahnya terhadap Inayah dimalam itu. Lelaki itu duduk disisi ranjang tanpa sehelai benang pun. Dia merokok dengan nikmatnya. Suasana remang-remang kamar membuat asap-asap bekas bakaran tembakau itu tak terlihat.

    Inayah terbangun ketika merasai suaminya tak berada disisinya. Wanita itu menoleh mendapati Sandiaga yang duduk memunggunginya sementara merokok. Inayah beringsut mendekat lalu memeluk Sandiaga dari belakang, mendempetkan tubuh telanjangnya yang semok di-punggung suaminya yang telanjang pula. Inayah menyandarkan dagunya dipundak Sandiaga.

    “Apa yang dilamunkan, Ayank?” tanya Inayah dengan lembut.

    Sandiaga belum merespon pertanyaan istrinya. Lelaki itu justru menatap nakas. Ada sebuah arloji disana. Lelaki itu memungutnya dan mengamati waktu pada arloji itu. Pukul 4 pagi. Dia meletakkannya lagi di nakas.

    “Aku memikirkan Yuki…” jawab Sandiaga pada akhirnya.

    “Perkara adegan ciuman itu?” pancing Inayah.

    “Dimana sih mereka kenalan? Setahuku, selain teman-temanmu, Yuki nggak punya kenalan seorang aparat hukum…” tukas Sandiaga menatap istrinya.

    “Iyun yang comblangi mereka…” jawab Inayah sambil membelai dada Sandiaga yang dibalut rajahan irezumi. Sandiaga tersenyum.

    “Kamu mau Yuki jadi kayak kita? Dijodohin?” pancing Sandiaga. Inayah tersenyum. 

    “Iyun hanya sekedar membuka peluang… siapa tahu mangkus?” jawabnya enteng.

    Sandiaga mengangkat dagunya lalu merokok lagi. Lelaki itu mem-buang asap ke sisi lain agar istrinya tidak menghirup asap laknat itu. Sandiaga kembali menatap istrinya.

    “Kamu percaya dengan perwira itu?” pancing Sandiaga. 

    Inayah mengangguk. Sandiaga terdiam lagi kemudian menyesap rokoknya agak dalam. Sekepul asap tembakau keluar dari mulutnya, kemudian membentuk kepulan-kepulan asap kecil yang memisah dan akhirnya lebur di udara. Lelaki itu kembali menatap Inayah.

    “Kamu masih ingat tafsir mimpi yang kukatakan di dojo waktu itu?” ungkit Sandiaga tiba-tiba. Inayah tak meresponnya.

    “Apakah… kau akan meninggalkanku, ketika prahara menimpa kehidupan rumah tangga kita?” pancing Sandiaga.

    “Kok bicaranya malah kesitu sih?” protes Inayah.

    Sandiaga mengulangi lagi pertanyaannya membuat Inayah meng-hembuskan napas dengan keras.

    “Aku nggak akan meninggalkan Ayank, sedikitpun!” tandasnya. “Paham?!” sambungnya memelototkan mata lentiknya.

    Sandiaga hanya mengangguk-angguk. Tak lama kemudian suara adzan subuh terdengar berkumandang memecah keheningan pagi buta tersebut.

    * * *

     

    Kedua mata Faris memerah saga, bukan karena menahan amarah yang meluap menembusi batok kepalanya. Melainkan diakibatkan oleh terganggunya fungsi syaraf di kelopak matanya sehingga semalaman, lelaki itu tak mampu mengatupkan kedua matanya barang sedetikpun. Sejak menyatakan perasaannya kepada Airina, lelaki itu terkena gang-guan insomnia hingga pagi menjelang dan fajar terbit sudah dari timur. Ritme dan metabolisme tubuhnya kacau hanya gara-gara pernyataan itu.

    Faris mendesah gelisah. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Dengan menggerutu, dia keluar dari kamar dan hanya mencuci wajah dan sebagian anggota tubuhnya. Ketika keluar dari kamar mandi, Faris berpapasan dengan Winda. Gadis itu mengamati kakaknya.

    “Mata kakak kenapa?” tanya Winda dengan heran.

    “Nggak apa-apa…” kilah Faris. “Nggak usah ngurus mataku! Urus saja matamu.”

    “Apanya?” seru Winda bercakak pinggang.

    “Matamu yang kepo, selalu ingin tahu kehidupan orang lain…” balas Faris menuju ruang tengah. Winda mengejarnya.

    “Mataku nggak kenapa-kenapa.” sanggah Winda. “Nggak perlu dijaga! Yang perlu dijaga tuh, Kakak! Itu habis ciumi anak orang, berita-nya nongol tuh di Go-TV.”

    “Wah, update juga kau ya?’ olok Faris.

    Lelaki itu duduk disofa dan menatap layar televisi. Dia langsung terkejut saat menyaksikan tayangan gosip lokal yang memperlihatkan dirinya yang sedang asyik memagut bibir Airina diacara pernikahan Inayah, diiringi standing applause yang dilakukan rekan-rekan sejawat-nya. Entah siapa yang mengirimkan video amatir itu ke stasiun TV lokal dan beritanya langsung menyebar luas.

    Viral….

    Pada caption diatas video tertulis: Romantika Pasangan Es.

    Faris langsung menyapu wajahnya dan matanya semakin merah dan makin nyalang membuka. Dia menjambak rambutnya.

    “Aduh! Celaka! Bisa-bisa aku disidang Pak Kapolda nih!” pekik lelaki itu. Winda yang duduk disisi Faris justru terpingkal mendengar pekikan ketergelisahan lelaki itu. 

    “Kakak kenapa sih? Dia itu siapa?” tukas gadis itu.

    “Kamu nggak tahu?!” pekik Faris lirih.

    “Ya, nggak tahu!” jawab Winda dengan santai.

    “Dia itu wakil presdir PT. Buana Asparaga, Tbk… dan… keponakan kesayangan Pak Kapolda…” desis Faris dengan pias.

    “Waduh! Gawat dong!” seru Winda pura-pura takut. “Kakak bisa dimutasi gara-gara macam-macamin anak orang!” gadis itu lalu me-nakut-nakuti kakaknya. “Kakak juga sih, anak Anoa diembat juga! Kenapa nggak cari perempuan lain?”

    Tiba-tiba terdengar bunyi panggilan seluler dari kamar Faris.

    TRIIIING… TRIIING… TRIIING…

    Bergegas Faris bangkit berlari ke kamarnya. Dia meraup gawai itu dan menjawab panggilan. Rekannya, Monang Parlindungan yang meng-hubunginya.

    “Kenapa, Bro?” tanya Faris.

    “Bah! Cilaka dua belas kau! Macam mana pulak kau cecoki bibir anak itu dengan bibir kaaauuu?!” semprot Monang dengan aksen batak kentalnya.

    “Memangnya kenapa?” sanggah Faris, padahal jantungnya ber-detak tak karuan.

    “Lalu? Kenapa sekarang Pak Kepala nyari-nyari kau?!” tukas Monang. Faris hanya bisa menghela napasnya yang terasa tercekik.

    “Kau itu orang alim, sudah bikin kasus unik! Disamperi aku sama Pak Kapolda, beliau nyari kau! Cepatlah kau ngantor! Tak mau aku jadi tumbal ciuman kau itu, bah!” umpat Monang lalu menutup pembicaraan seluler.

    Faris lagi-lagi mendesah gelisah. Alamat apa ini?

    Airina… lama-lama aku bisa gila gara-gara kamu…

    Lelaki itu mengeluh dalam kalbu.

    * * *

     

    Faris berdiri tegap mengistirahatkan lenganya dibelakang. Lelaki itu mengenakan seragam PDH lengkap. Dihadapannya, duduk Trias yang sementara sibuk menandatangani berkas dimeja kerjanya. 

    “Silahkan duduk!” suruh pejabat itu.

    “Siap! Terima kasih!” jawab Faris lalu melangkah menuju sofa dan duduk disana. 

    Trias merapikan berkas-berkas lalu bangkit meninggalkan meja-nya dan melangkah ke sofa dan duduk disana. Faris terlihat me-nyembunyikan gugupnya. Trias mengamati perwira itu dan mendehem sejenak. 

    “Sejak kapan kau mengenal Yuki?” tanya lelaki parobaya itu.

    Faris menjelaskan latar belakangnya dengan jelas dan akurat. Trias hanya mengangguk-angguk saja.

    “Kamu tentu sudah tahu, siapa keluarganya… dan apa yang telah tersebar di luaran sana…” ungkit Trias memicingkan matanya.

    “Siap! Tahu!” jawab Faris dengan lugas. Trias kembali meng-angguk-angguk lalu menghela napas dan merubah gaya duduknya menjadi lebih santai. 

    “Dan kau tahu, bagaimana riwayat keluargamu dengan mereka?” pancing Trias lagi dengan datar.

    “Siap! Tahu Pak!” jawab Faris dengan lugas. Trias mengangkat alis lalu mengangguk-angguk pelan kemudian mendehem dan menatap anak buahnya tersebut.

    “Aku hanya akan memberimu nasihat…” ungkapnya.

    “Siap!” sahut Faris.

    “Aku hanya menuntut kedewasaan berpikirmu. Meskipun Yuki terlihat seperti wanita bertipe alpha, namun dia sebenarnya hanyalah anak kecil yang baru menjajaki kedewasaan… jika kamu nggak sanggup, sebaiknya mundur saja… itu lebih baik dan lebih mudah, sebab kalian masih belum lama menjalin hubungan…” tekan Trias.

    “Siap! Saya minta restu Bapak untuk menjadikan Airina sebagai kekasih saya!” sambut Faris dengan luapan kegembiraan yang tak sadar dinampakkannya.

    Trias langsung menyergah. “Te Uwola ti, ja mo mikirangi mo bisala! (dasar, kamu nggak pernah mikir kalau bicara, ya?)” setelah itu dia tertawa. 

    Wonu mohile restu, Ja pohiya to la’u! pohiya mota to li mongutata wawu mongodula’a liyo! (kalau minta restu jangan sama saya! Mintalah kepada kaum keluarganya!)” sambungnya sembari me-melototi opsir berpangkat perwira pertama tersebut.

    “Siap!” sahut Faris lagi.

    “Yakin?” pancing Trias.

    “Siap! Yakin!” seru Faris lagi.

    Trias mengangguk lalu mempersilahkan Faris meninggalkan ruangan itu. Faris mendesah lega lalu bangkit dengan tegap dan me-lakukan gerakan penghormatan lalu meninggalkan ruangan tersebut.

    * * *

     

    “Eh, congek! Lain kali kalau mau cari sensasi, tak usahlah kau dekati anak perempuan orang! Kau tempeleng saja preman-preman di Simpang Lima Telaga sana! Sudah viral kau itu…” gerutu Monang Parlindungan saat mereka sedang duduk-duduk dikantin.

    “Aku tak berniat cari-cari sensasi…” sanggah Faris.

    “Lalu, kenapa pulak kau sumpal mulut anak itu dengan bibir kau, Getek?!” sembur Monang, “Kau pikir aku tak kaget setengah tiang di-pesta itu?!” 

    lelaki itu kemudian mencondongkan wajahnya dan berkata sinis. “Jangan bilang kau terhanyut sihir lagu itu, Bengak!”

    “Kok seharian ini selalu kena sial ya?!” balas Faris meninggikan suaranya. “Salahnya aku apa?!”

    Monang Parlindungan melengos. “Sudahlah! Aku tak mau ngomong lagi sama kau. Payah sangat kalau bicara sama orang yang lagi kena panah bucin…”

    Keduanya diam lagi menikmati hidangan. Tak lama lagi, Monang bertanya. “Bagaimana pertemuan kamu dengan Pak Kapolda?”

    “Biasa saja.” jawab Faris. “Justru beliau nasihati aku beberapa hal. Itu saja.”

    Monang terperangah, “Bah, jangan bohong pulak kaaauuuu… tadi aku disamperiii, ditatap macam orang bikin kesalahan segudang! Nyaris aku ngompol dicelana!”

    Faris hanya tertawa dan keduanya melanjutkan kegiatan santai-nya dikantin

    * * *

     

    Faris menyempatkan diri mengunjungi kantor PT. Buana Asparaga, Tbk. Dia menghubungi resepsionis di ruang lobi, petugas itu mengangguk dan menghubungi Dewinta Basumbul, Sekretaris perusahaan tersebut. Tak lama kemudian petugas itu meletakkan gagang telpon dan menatap Faris dengan santun.

    “Bapak ditunggu… silahkan…” ucap petugas itu.

    “Terima kasih…” jawab Faris lalu melangkah menuju lift.

    Beberapa karyawan keluar dari lift saat pintunya membuka. Faris kemudian masuk dan menekan nomor. Lift itu meluncur ke atas menuju kantor direksi. Dia tiba disana dan menemukan sebuah ruangan ber-pintu kaca. Dari sana nampak Airina yang sedang sibuk bekerja. Di-depannya nampak seorang wanita dan keduanya terlibat diskusi serius. Lelaki itu memilih menunggu diluar.

    Wanita itu terlihat pamit dan meninggalkan Airina. Ketika pintu kaca membuka, Dewinta Basumbul, sekretaris itu sempat terhenyak kaget menemukan seorang lelaki berpakaian kasual berdiri didepan pintu.

    “Maaf, sudah mengagetkan anda…” ujar Faris.

    “Pak Faris Bulotio, kan?” tebak Dewi lalu tersenyum. “Bapak sudah ditunggu tuh. Silahkan…”

    Dewinta pamit dan Faris membuka pintu lalu melangkah masuk. Airina menatap Faris dan segera bangkit meninggalkan meja kerjanya. Dia mempersilahkan Faris duduk disofa, sedangkan Airina duduk disana pula menumpangkan kaki kanannya pada kaki kirinya.

    “Abang, kenapa datang kemari?’ tanya Airina menyambut dengan lembut.

    Abang? Dia menyematkan sandangan Abang kepadaku… apakah dia telah menerimaku???

    Faris tersenyum. “Aku diinterogasi Pak Kapolda gara insiden ciuman semalam.” jawab lelaki itu dengan jujur. Airina tertawa mem-bekap mulutnya lalu memperbaiki cara duduknya. 

    “Memangnya, Abah nanya-nanya soal cium-cium itu?’ pancing Airina dengan senyum lebar. Faris melirik cincin akik yang melingkar dijari manis kiri gadis itu.

    “Setelah itu aku dinasihatinya untuk menjaga hati kepadamu.” sambung Faris membuat Airina mengangguk-angguk sambil senyum. “Tapi aku mau menegaskan sesuatu…”

    “Tentang apa?” tanya Airina.

    “Apakah… kita sudah resmi jadian?” tanya Faris.

    “Apakah pernyataan Abang ditaman itu… hanya sekedar gurau-an?” balas Airina dengan senyum. 

    “Aku serius, Yuki.” Tuntut Faris.

    Gadis itu lalu bangkit dan mendekati Faris. Lelaki itu terhenyak kaget saat Airina tiba-tiba duduk dipangkuannya dan menggamitkan kedua lengannya dileher lelaki itu. Airina tanpa malu mengecup pelan bibir lelaki itu. Setelahnya dia menarik wajahnya dan menatap Faris.

    “Sekarang, Abang yakin?” desahnya lirih.

    Faris langsung tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih.”

    Keduanya sempat bertatapan lama. Tiba-tiba Faris menukas. “Bisakah kita duduk sebagaimana biasa? Aku takut, posisi duduk kita saat ini akan menimbulkan kisah lain dimulut-mulut karyawanmu…”

    Airina tersenyum lalu bangkit dan mengulurkan tangannya. “Bawa aku pergi dari sini, Bang…” pintanya.

    * * *

     

    Keduanya duduk berhadapan hanya dipisahkan oleh meja yang dihampar hidangan, sebotol anggur merah dengan dua gelas gaya burgundy sebagai padanannya. Faris menuangkan isi botol itu sedikit ke dalam dua gelas itu. Airina mengambil satunya.

    “Toast…” ujar Faris dengan senyum sambil mengangkat gelas. Airina balas mengangkat lalu menyeruput anggur itu sedikit dan meletakkannya kembali di meja.

    “Kamu terkesan kan? Jawablah dengan jujur.” pancing Faris.

    “Sebenarnya nggak.” jawab Airina. Faris tersenyum mendengar jawaban polos gadis itu. 

    “Maafkan aku. Inilah jeleknya sebuah penjajakan pertama. Kesannya bisa baik, bisa juga buruk…” ujar lelaki itu dengan senyum sedikit canggung. Airina mengamati beberapa tamu yang mengunjungi restoran itu. Gadis itu tersenyum dan menatap lagi ke arah Faris. 

    “Tapi, aku senang… Abang membawaku disini…” ujarnya kemudian.

    “Kamu tak menyentuh hidanganmu…” tegur Faris mengisyarat-kan dengan matanya. Airina kembali tersenyum.

    “Mungkin aku kehilangan selera… karena bersama-sama Abang.” ujarnya  dengan lirih. Alis Faris bertaut.

    “Maksudnya?” tanya lelaki itu.

    “Wajah Abang lebih sedap nan enak dibanding hidangan di-depanku.” jawab Airina. 

    Seketika Faris tersedak dan buru-buru meraih gelas berisi air dan meneguknya dengan cepat. Airina hanya menahan tawanya melihat kecanggungan lelaki itu.

    “Kok tersedak?” tukas Airina.

    “Aku tak menyangka… wajahku bisa mewakili semua aroma dan rasa segala menu restoran ini…” sahut Faris. “Kelihatannya… aku bisa jadi mangsa nih…”

    Airina mengangguk. “Ya… mangsa yang tampan. Aku rela jadi karnivora, asalkan mangsanya Abang…” balas Airina. Faris tertawa rikuh menatapi para pengunjung restoran lalu kembali menatap Airina. 

    “Aku bukan mangsa…” sanggah lelaki itu membuat Airina tertawa pelan lagi. “Jangan menatapku seperti itu.”

    “Kenapa? Canggung ya?” goda Airina. “Semestinya nggak kan? Abang kan tiap hari ketemuan dengan orang-orang…”

    “Beda, Yuki… sangat beda!” sanggah Faris sembali memasukkan steak ke mulutnya. 

    “Lagipula, aku bukan seorang perayu… aku tak pandai merayu… mendapatkan cintamu, itu sebuah keajaiban… sebuah ma’unah bagiku.” sambungnya.

    Airina kembali menggoda Faris. Gadis itu meraih gelas dan memutar-mutarnya membuat isinya sedikit bergerak-gerak. 

    “Abang seperti anggur ini…” ungkapnya memetaforakan lelaki tersebut. lelaki itu mengerutkan alisnya.

    “Anggur?” tukas Faris masih tetap mengunyah steak.

    Airina mengangguk. “Tua… tapi sedap!”

    Faris lagi-lagi meringis karena lidahnya tergigit gara-gara men-dengar ucapan gadis itu. Lelai itu mengambil tisu dan mengelap bibirnya. Airina kembali tertawa pelan.

    “Abang nggak pernah mendengar kata-kata indah seorang cewek?’ pancing Airina. Faris menggeleng.

    “Satu-satunya suara cewek yang paling banyak kudengar adalah kalimat-kalimat adikku…” ujar Faris. 

    “Dan dia tidak romantis…” tambahnya.

    Airina hanya tersenyum saja mendengar ucapan lelaki itu. Dengan lembut digenggamnya jemari lelaki itu. []

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 20

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021