Madison Square Garden, 08.00 p.m. E.S.T
Malam itu, keramaian manusia memenuhi jalanan di sekitar 46 Pennsylvania Plaza. Di 8th Avenue dan 33rd Street, nampak kerumunan para pecinta tarung bebas berjubel sejak pukul 6 sore tadi hanya untuk bisa mendapatkan tiket pertandingan live final Kejuaraan UFC Kelas Menengah antara jagoan mereka, Xavier Olliveira, melawan seorang penantang, bintang baru yang terbit dan telah menyumbangkan prestasi dan kini naik di tangga puncak, langsung menghadapi sang raja.
Petarung itu adalah seorang lelaki berkebangsaan Indonesia berdarah Jepang. Para penggila tarung bebas yang dirasuk sentimen rasisme itu ingin melihat petarung mereka menggasak si penantang yang berani mengajukan diri ingin menggeser kedudukannya yang telah bertahan selama 4 tahun. Sejak malam menjelang, antrian penonton penuh sesak memenuhi pintu. Tribun telah penuh dengan orang-orang yang tak sabar ingin menyaksikan gelaran final pertandingan itu.
Xavier Olliveira sendiri adalah petarung andalan dari Xtreme Couture, Nevada. Petarung tersebut dijuluki “The Dynamite” oleh para fans-nya.
Tak lama kemudian, acara tersebut dimulai. Seorang announcer maju memberikan sepatah dua patah kata sambutan dan memberikan apresiasi atas membludaknya jumlah penonton yang memenuhi stadion paling terkenal di kota New York tersebut.
Setelah mengumumkan daftar nama panitia pelaksana beserta wasit yang memimpin pagelaran, pembawa acara itu menyeru, “Tanpa perlu menunggu, mari kita buka Kejuaraan Final Kelas Menengah, Kejuaraan Tarung Raya!!!”
Beberapa perangkat elektronik yang dipersiapkan, kemudian menyemburkan kembang api beberapa kali, disusul dengan ledakan-ledakan memenuhi jalan masuk ke Oktagon. Pertandingan final itu terdiri dari beberapa kelas, termasuk kelas menengah yang dipegang oleh Xavier Ollveira saat ini.
* * *
Di Ruang Ganti
Sandiaga berdiri di tengah memunggungi pintu. Di lantai, terhampar sebuah sajadah. Lelaki itu mengenakan gamis lengkap dengan sorban. Dia sedang melaksanakan sholat Isya. Kedua matanya terpaku khusyu’ ke arah sajadah itu. Suara lirih keluar dari mulutnya, berkolaborasi antara lidah, gigi dan dinding rongga mulut melantunkan ayat-ayat suci dalam Al-Qur’an yang menjadi bacaan sholatnya.
Tak lama kemudian, Sandiaga melakukan ruku’, lalu tegak lagi dan setelah itu menyungkur sujud. Beberapa jarak di tempat lelaki itu melaksanakan sholat, duduklah seorang wanita mengenakan seragam official lengkap dengan kartu nama yang tergantung di lehernya. Wanita itu memangku sebuah mantel hoodie hitam yang punggungnya disulam logo Barracuda Fight Club.
Ketika Sandiaga tiba pada raka’at terakhirnya, pintu suite terbuka dan masuklah seorang pria lagi mengenakan setelan jas formal warna coklat. Dasi yang terkalung di lehernya, terdapat logo sebuah klub berbentuk pin yang dikaitkan pada pakaian itu.
Lelaki berpakaian formal itu menatap si wanita official itu. Dia menggeleng pelan dan memberi isyarat agar lelaki berpakaian formal itu menahan keinginannya sedikit. Lelaki yang sedang sholat itu tiba pada gerakan terakhirnya, yaitu salam ke kanan lalu salam ke kiri. Ketika dia mengusap wajahnya, si lelaki berpakaian setelan jas formal itu bicara.
“Sedikit lagi namamu akan segera dipanggil….” kata lelaki itu, “Bersiap-siaplah…”
Sandiaga yang baru saja menyelesaikan ritual shalat Isya’ nya dan menoleh menatap si lelaki parlente itu. Dia hanya mengangguk lalu bangkit. Sementara suara si pembawa acara mengaung jelas agak samar di kamar itu. Mereka bertiga menengadah ke langit-langit ruangan.
“Inilah dia juara kita. Memenangkan sabuk kemenangan kelas menengah sudah empat kali dengan total pertandingan, 1 kali TKO, 2 seri dan 8 menang… kita sambut, The Dynamit – Xavier Olliveira!!!!” seru pembawa acara itu dibarengi sorak-sorai para audiensn fanatik.
Lelaki berpakaian resmi itu adalah Suryono Walangantu, pemilik kelompok Baracuda Fighting Club. Sedangkan official itu adalah Sabrina, rekrutan baru klub tersebut yang menjabat sebagai pengurus dari kontestan saat itu. dia adalah kerabat Sandiaga dari keluarga Laiya.
Sandiaga kemudian melepaskan gamis dan pakaiannya, menyisakan sebuah celana legging hitam yang menjulur hingga menutupi paha, dibalut dengan celana bokser besar berwarna sama. Logo Baracuda Fighting Club tersulam pada bagian kanan depan celana itu. Sebuah obi hitam melingkar di celana itu dan ujungnya menjuntai hingga paha. Dibagian kanan ujung sabuk itu tersulam tulisan kanji yang memuat nama petarung itu. Bagian betis hingga pergelangan kakinya dilapisi bantalan kain tipis.
Tubuh ectomorph Sandiaga dipenuhi otot-otot yang berlapis-lapis, makin terlihat sangar sebab dihiasi rajahan irezumi bergambarkan wajah setan yang menggigit sekuntum bunga krisan putih. Bagian lengan kanan dirajahi pedang vajura milik Fudo Myo-O, sedang di lengan kiri dirajahi lambang Kuyoumon, yaitu delapan lingkaran kecil yang mengepung sebuah lingkaran besar, merupakan lambang resmi dari sebuah keluarga kuno di zaman Heian.
“Rina… pasangkan mantelku…” pinta Sandiaga.
Gadis itu kemudian bangkit lalu memasangkan mantel hoodie itu ke tubuh Sandiaga. Dia menutup kepalanya dengan tudung mantel itu, membiarkan bagian depannya membuka begitu saja, mempertontonkan jalinan serat sepir-sepir mirip roti sobek diperut dan sebagian dada bidang yang dihiasi bagian cetak blok dari rajahan irezumi tersebut. Suryono menatap lelaki itu.
“Kau siap?!” serunya dengan semangat. Sandiaga hanya meng-angguk mantap. Suryono menatap Sabrina.
“Bawa dia ke arena!” suruhnya.
Sabrina langsung melangkah mendahului menuju pintu, disusul oleh Sandiaga, sedangkan Suryono melangkah santai dibelakangnya. Mereka bertiga menyusuri lorong tanpa bicara. Tepat ketika mereka tiba di ujung lorong yang dipasangi tirai, sayup-sayup terdengar suara si pem-bawa acara.
“Dan penantangnya, seorang petarung dari Baracuda Fighting Club dengan total rekor 6 kali menang tanpa kalah dan pemegang sabuk Intercontinental Pro-Champion tak terkalahkan. Kita sambut, Setan dari Gunung Tilongkabila, Sandiaga Hermawan Lasantu!” seru pembawa acara itu dengan lantang.
“Ayo!” seru Suryono.
Sabrina menyibak tirai dan Sandiaga melangkah santai menuruni panggung lalu mengitari sisi oktagon didampingi oleh Sabrina. Suryono sendiri telah menuju ke deretan kursi para pemilik klub tarung.
Sandiaga berhenti didepan pintu oktagon yang dikuakkan. Dia melepaskan mantel hoodie dan memberikannya kepada Sabrina. Para penonton yang menyaksikan tubuh petarung itu merinding melihat gambar kepala setan yang mengigiti sekuntum bunga krisan putih.
Sandiaga menaiki panggung oktagon dan masuk kedalam. Di sisi lainnya, sudah berdiri Xavier Olliveira yang sedang duduk di kursi lipat, berdiskusi dengan official-nya. Sabrina hanya berdiri di belakang Sandiaga, terhalang oleh jeruji pembatas arena.
“Ini pertarunganmu! Persembahkan yang terbaik bagi kami!” seru Sabrina.
Seorang wasit muncul dan maju memanggil kedua petarung itu. Baik Xavier maupun Sandiaga kemudian maju ke tengah arena, dipisahkan oleh wasit itu. Keduanya berhadapan. Wasit sementara memberikan beberapa penjelasan dan aturan main. Namun perhatian Xavier tidak tertuju kepada sang wasit. Raut wajah petarung itu berubah-ubah saat menatap kedua bola mata lawannya yang tiba-tiba beralih warna dari coklat tua menjadi biru pucat keabu-abuan dan memendar.
Mengapa saat menatap wajahnya, aku seperti terserap oleh sesuatu yang tak kupahami??? Kekuatan apa ini???
“Paham?! Paham?!” seru wasit menekankan.
Sandiaga mengangguk dan disusul oleh Xavier yang tergagap. Kedua petarung itu kembali ke sisinya masing-masing dan berdiri di-sudutnya. Wasit menatap keduanya bergantian.
“Are you ready?! Are you ready?!” serunya dengan lantang. Kedua petarung itu langsung memasang sikap bertarung. Wasit mengayunkan tangannya ke depan.
“Let’s Fight!!!!” serunya dengan keras dan meloncat mundur.
Kedua petarung itu maju. Mereka mengayunkan tinjunya masing-masing. Xavier menghantamkan tinjunya sekuat tenaga ke depan namun kemudian berhasil dielakkan oleh Sandiaga dan lelaki itu balas mengayunkan teknik ura-tsuki mengincar dagu lawannya.
Xavier terkejut, langsung menengadahkan dagunya sekuat tenaga ke atas sambil membuang diri ke belakang. Tinju Sandiaga melayang menghantam udara kosong. Tiba-tiba Sandiaga merubah tinjunya menjadi tetsui-uchi, mengincar wajah Xavier yang tepat menengadah ke atas.
Xavier kembali terkejut dan refleks menyilangkan kedua lengannya membentengi wajahnya. Tinju Sandiaga terayun keras menghantam sepasang lengan yang tersilang itu. Daya hantaman pukulan itu membuat Xavier jatuh terlentang ke lantai kanvas. Sandiaga tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengangkat kakinya melakukan teknik injakan fumikomi mengincar perut lawannya.
Xavier langsung bergulingan menjauh dan bangkit beberapa meter dari situ tepat ketika Sandiaga menghantamkan tapak kakinya mengenai lantai kosong. Petarung berdarah latina itu memasang kembali gaya bertarung. Sorak-sorai penonton kembali terdengar nyaring.
Sandiaga menatap lawannya. Kedua mata lelaki itu tetap memendarkan cahaya biru pucat keabu-abuan membuatnya mirip seekor hewan di malam hari. Lelaki itu menyeringai membuat Xavier bergidik.
Aku harus memikirkan cara menaklukkan setan ini… jika tidak…
Sandiaga kembali maju menerjang mengayunkan yoko tobi geri. Namun Xavier sudah sigap dan cepat menghindar sedikit ke sisi kiri lalu menangkap dengan cepat pinggang Sandiaga. Dengan kuat, Xavier mengayunkan tubuhnya membanting Sandiaga ke belakang menggunakan teknik supplex.
BUAGH…
Tubuh Sandiaga terlentang di lantai. Xavier langsung merayap cepat dan menggumuli lawannya. Lelaki latin itu melakukan cekikan triangle choke roar, membelitkan keempat tungkai tubuhnya melilit tubuh Sandiaga bagai ular yang melilit tubuh mangsanya. Kedua lengan kekar Xavier melingkar leher lawannya dan mencekiknya sementara kedua tungkai kakinya melingkari pinggang Sandiaga.
Si lelaki terjebak dan terkunci. Xavier benar-benar ingin menyudahi permainan dan mempersembahkan kemenangan bagi Xtreme Couture. Sandiaga mendelik merasai lehernya tercekik. Lengannya menggapai-gapai. Tubuhnya meronta dengan susah payah. Dia memang paling lemah dalam teknik melepaskan diri. Untuk mengantisipasi cekikan lawan, Sandiaga mengandalkan Iki o tojiru no jutsu untuk membuat saluran tenggorokannya menyempit dan membuat pori-pori kulitnya membuka menarik udara cadangan yang disalurkan ke paru-parunya.
Setelah merasakan paru-parunya tersuplai oleh udara baru, Sandiaga mulai kembali meronta, menekukkan torsonya dan tiba-tiba merenggangkannya kembali. Tak berapa lama terdengar bel.
TENG-TENG-TENG-TENG…
Ronde pertama telah selesai. Xavier terpaksa melepaskan lilitannya lalu mendorong tubuh lawannya ke samping. Sandiaga sendiri kemudian bangkit dan melangkah menuju sudutnya sambil memegangi lehernya yang terasa sakit akibat dicekik. Di sudut sana, telah berdiri Sabrina yang kemudian meletakkan bangku lipat yang kemudian diduduki Sandiaga. Perlahan warna biru pudar keabu-abuan itu menghilang dari bola matanya.
“Kamu tak apa-apa, kan?” tanya Sabrina sembari memeriksa lelaki itu. Sandiaga hanya menggeleng. Sabrina memperhatikannya.
“Jangan sampai kau tertangkap lagi…” pesan Sabrina. “Ingat, kau selalu lemah dalam teknik meloloskan diri dari kuncian.”
Sandiaga hanya mengangguk lagi. Sabrina memberikan sebotol air mineral kepada Sandiaga dan pemuda itu meneguknya sekali saja lalu memulangkan botol itu kepada official-nya.
TENG-TENG-TENG-TENG…
Bunyi bel pertanda ronde kedua dimulai. Sabrina dan beberapa official dari Xavier bergegas meninggalkan kanvas oktagon. Kedua petarung itu kembali maju saat wasit meneriakkan seruan untuk memulai pertarungan.
Sandiaga kembali mengaktifkan jurus karasu tengo no shisen miliknya. Kedua mata lelaki itu berubah warna menjadi biru pucat keabu-abuan. Jurus itu merupakan salah satu teknik genjutsu yang dipancarkan melalui indera penglihatan yang selain mempertajam pandangan juga melemahkan semangat bertarung lawan.
Xavier kembali maju menerjang mengayunkan tinjunya. Namun kali ini Sandiaga lebih sigap. Dia menangkis tinju lawannya dan maju mengayunkan teknik teisho–tsuki menghantam rusuk Xavier.
Petarung itu meraung kesakitan dan berjejer ke belakang. Namun, Xavier bukanlah petarung kacangan. Lelaki itu menjejak kuat lantai kanvas dan maju melayangkan tendangan dari samping mengincar wajah Sandiaga.
Dengan cepat Sandiaga merunduk. Lawannya memunggungi pemuda itu karena tendangannya hanya mengenai tempat kosong. Sandiaga menggereng dan tiba-tiba melesat membentangkan kedua cakarnya ke depan, mencaplok kedua belikat lawannya.
PROKKKK!!!!
Xavier tidak sempat mengantisipasi serangan itu. Sandiaga mengerahkan jurus Cakar Peremuk Tulang yang dipadukannya dengan Kyu In no Ki lalu merobek belikat Xavier ke arah berlawanan.
CRASSSHHH…
AAAAKKKHHH….
Xavier Olliveira meraung kesakitan merasai kedua belikatnya terlepas dari tendon rangka membuat kedua tangannya lumpuh disebabkan oleh luka dalam pada wilayah scapula inferior hingga acromion. Tanpa membuang kesempatan, Sandiaga menangkap pinggang Xavier dari belakang lalu mengayunkan punggungnya membanting petarung itu ke belakang dengan teknik Germany-plex.
BUAGH!!!!
Xavier terhempas di lantai kanvas dan terkapar disana. Petarung itu hanya bisa berbaring telentang dan tak mampu bangkit lagi. Nafasnya terengah-engah. Sandiaga bangkit lalu berdiri sambil menggoyangkan kedua bahunya dengan posisi memutar lalu berdiri menatapi Xavier.
Wasit maju memeriksa Xavier. Setelah itu dia mengibaskan tangannya beberapa kali lalu mengundang tim medis agar segera melarikan petarung dari X-treme Couture tersebut keluar arena untuk menjalani perawatan kritis. Wasit kemudian mengambil sabuk kejuaraan kelas menengah dan menyerahkannya kepada Sandiaga.
Sorak sorai para penonton menyambut juara baru, berbaur dengan para pendukung fanatik lawan yang berteriak-teriak memaki dan menghujat. Di tengah arena, Sandiaga mengangkat sabuk kejuaraan itu ke atas. Suryono bertepuk tangan, sedangkan Sabrina berlompatan gembira.
Keduanya keluar dari tempatnya dan memasuki oktagon. Dengan tangis haru, Sabrina memeluk sepupunya itu, sedang lelaki itu merangkul Suryono dalam pelukannya. Mereka bertiga berpelukan sambil tertawa gembira. Baracuda Fighting Club, sekali lagi meraih prestasi membanggakan di kontes akbar internasional.
* * *
Suite Room Nomor 21, Pennsylvania Plaza, 07.43 a.m. E.S.T.
Sandiaga menatap belantara gedung pencakar langit yang memenuhi horizon alam Manhattan. Lelaki itu hanya bertelanjang dada. Terasa benar angin musim panas di pagi itu menyentuh seluruh permukaan kulitnya yang dirajahi irezumi itu. Sandiaga tak perlu menyalakan mesin penghangat ruangan.
Lelaki itu kemudian memindahkan tatapannya ke bawah, menghamparkan pandang dari netranya ke urat-urat jalanan yang membentang di bawah petak-petak gedung-gedung pencakar langit itu. Jalanan itu tak pernah sepi. Hingga sekarang, wilayah ini tidak pernah tidur sedikitpun. New York sedang memacu diri menuju era nekropolis.
“Semoga tanah airku tidak akan mengalami kebobrokan moral separah kota ini. Kurasa, sedikit lagi, hukuman Allah atas kota ini akan turun dengan segera…”
Sandiaga menghela nafas lalu menghembuskannya kembali. Tak lama kemudian, pintu terdengar diketuk. Sandiaga mengacuhkannya. Pintu itu membuka dan masuklah sepupunya dari galur kerabat sebelah ayahnya.
Sabrina membawa nampan berisi dua gelas tinggi kopi cappuccino dan sepiring cheese cake, semangkuk sup krim Clam Chowder, juga dua bungkus berisi hamburger.
Sabrina menutup pintu dan melangkah ke tengah ruangan. Gadis itu meletakkan nampan berisi hidangan itu di meja. Setelah itu, gadis tersebut menegakkan tubuhnya menatap sepupunya tersebut.
“Pak Suryono sedang bersama-sama dengan pihak shareholders UFC, berdiskusi dengan Presdir Larry White tentang jadwal kegiatan ke depan. Kelihatannya, akan makan waktu… kita mungkin akan bertolak dari Bandara JFK, siang, atau sore nanti…” kata Sabrina kemudian mendekati Sandiaga. Gadis itu berdiri disamping lelaki itu, ikut menatap jalanan dari jendela kaca.
“Maskapai apa yang kita pakai?” tanya Sandiaga menatap sepupunya tersebut.
“Lions Airlines…” jawab Sabrina dengan datar.
Deringan pesawat telepon di nakas dekat ranjang membuat keheningan itu membuyar. Sandiaga mengisyaratkan sepupunya untuk mengambilkan gawai tersebut.
Sabrina mengambil gawai telepon nirkabel itu dan memberikannya kepada Sandiaga. Pemuda itu mendekatkan gagang gawai itu ke telinganya.
“Halo, Ayang…” seru suara di seberang sana yang langsung menerbitkan rindu di sanubari pemuda tersebut. “Kamu pergi nggak bilang-bilang, ya?!” ujarnya terdengar merajuk.
“Aduh, maaf Schnucky. Pemberitahuannya tiba-tiba, pas aku baru saja mengantar kamu ke POLDA tadi…” jawab Sandiaga. “Tapi aku sudah bilang sama Umma, kok. Apa beliau nggak ngasih tahu kamu?”
“Justru dikasih tahu begitu, aku jadi begini nih!” rajuk Inayah lagi. “Kalau ku tahu begitu, mendingan aku minta cuti tambahan deh untuk menemani kamu di sana.”
“Oh, jangan, sweetie…” tolak Sandiaga dengan nada yang memelas. “Nanti kamu kena tegur lagi… Nih, aku sebentar lagi pulang lho…”
“Beneran?” tukas Inayah dengan nada yang terlonjak gembira.
“Iya…” ujar Sandiaga. “Mau oleh-oleh apa?”
“Oleh-oleh apa, ya?” gumam Inayah lalu kemudian tersenyum lagi. “Oleh-olehnya ya kamu saja deh. Keberadaanmu di sini merupakan oleh-oleh yang terindah buatku…”
Sandiaga langsung tertawa mendengar perkataan istrinya. “Oke kalau begitu! Aku mau pulang saja, mengeloni kamu!”
Pembicaraan lewat SLJJ itu akhirnya berakhir. Sandiaga meletakkan kembali gagang telepon itu dan menatap Sabrina.
“Kamu hubungi maskapai… Aku mau segera pulang…” ujar Sandiaga tak sabar.
Sabrina hanya mengangkat bahu dan pergi meninggalkan Sandiaga yang kembali menatap hamparan belantara gedung pencakar langit di bentangan arunika kota New York.
KRIIIINGGGG…. KRIIINGGG… KRIIINGGG…
Terdengar lagi deringan telepon. Sandiaga kembali mengayunkan langkahnya ke nakas dan meraih gagang telepon itu dan menempelkannya di telinga.
“Ya, Hallo…” sapa Sandiaga.
“Saburo…” seru suara bariton diseberang yang terdengar tegas. Alis Sandiaga langsung berkerut. Penelpon itu mengetahui nama jepang-nya.
“Ya, siapa ini???…” tanya Sandiaga dengan curiga.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku… “ ujar suara bariton tersebut. “Yang jelas,untuk saat ini sebaiknya kau kembali ke Jepang…”
“Maaf, tapi aku bicara dengan siapa?!” tanya Sandiaga setengah menyergah.
“Sudah kubilang! Kau tak perlu tahu siapa aku!” tandas suara bariton tersebut. “Pulanglah ke Jepang! Jika tidak, kujamin kau akan menyesal selamanya! Aku tidak main-main!”
TIT!!!
Pembicaraan itu tiba-tiba terputus membuat Sandiaga menggeram marah dan membanting gagang telepon itu dengan jengkel. []
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 24
Sorry, comment are closed for this post.