Azkiya terkejut mendengar berita dari putranya perihal sebuah ancaman misterius yang mengatasnamakan keselamatan dirinya dan keluarganya. Sandiaga meminta pendapat ibunya mengenai perihal itu.
“Aku tak ingin Iyun kecewa dengan tertundanya keberangkatanku ke Gorontalo. Bagaimana menurut Mama, baiknya?” tanya Sandiaga.
“Orang itu tidak main-main dengan ancamannya…” ujar Azkiya. “Segeralah ke Jepang! Cari tahu, apa maunya orang itu!”
Pembicaraan seluler itu berakhir. Azkiya meremas-remas pelan gawai tersebut dan memalingkan tatapannya ke arah suaminya. Kenzie hanya bisa menarik napas prihatin dan menganggukkan kepalanya.
“Semoga Saburo bisa menemukan siapa pelaku pengancaman itu. Jika hal ini menyangkut ancaman terhadap keluarga kita, aku terpaksa meminta bantuan Trias untuk ini…” ujar Kenzie menghibur kegundahan istrinya.
“Sampai Saburo menemukan pelaku itu dan apa yang diinginkannya, jangan beritahukan hal ini kepada Trias dulu…” pinta Azkiya.
“Biarkan aku mengontak dulu sahabat-sahabatku di organisasi Kunoichi untuk melakukan penyelidikan pula…” usulnya kemudian.
“Itu ide yang bagus…” ujar Kenzie. “Laksanakan segera!”
* * *
Lounge, Hotel Swiss-Borneo, pukul 8.30 a.m. WIB…
Akram tersenyum-senyum mengingat peristiwa dikolam pagi itu. Sejenak pemuda itu menatap jam dinding di ruangan itu. Ada beberapa pengunjung hotel yang menikmati hidangan mereka. Pemuda itu sudah mengenakan kaos lengan panjang dan celana jins. Rambut faux hawks-nya menyebarkan bau wangi minyak rambut.
Pemuda itu sedang menunggu kedatangan Airina disana, sesuai pesannya kepada sekretaris PT. Buana Asparaga, Tbk tersebut. Hari ini adalah terakhir mereka berada di IKN-Nusantara, pukul 12 tepat, semua peserta kegiatan Indonesian Grand Expo 2051 akan bertolak kembali ke daerah asalnya masing-masing. Kesempatan terakhir ini tak boleh dilewatkan.
Gadis yang dinantinya akhirnya muncul mengenakan kaos soft-ball yang agak kedodoran sehingga tubuh moleknya tersamar. Padanan-nya adalah celana North Face sepanjang lutut. Rambut gadis itu terurai dan ditutup topi softball hitam.
Airina mengedarkan pandang dan menemukan Akram diantara para pengunjung hotel yang asyik sarapan pagi. Deputi Direktur PT. Buana Asparaga, Tbk. itu melangkah mendekati meja prasmanan, mengambil piring dan memasukkan beberapa batang sosis sapi panggang, setangkup nasi goreng lengkap dengan pakcoy tumis, sebotol air mineral di meja minuman lalu bergerak menuju tempat duduk dimana Akram berada.
Pemuda itu duduk sendirian. Di meja bundarnya nampak sepiring roti kotak, sosis dan telur dadar. Segelas susu dan sebotol air mineral tergeletak di samping piring itu. Pemuda itu tersenyum.
“Kupikir, kamu nggak akan datang…” komentar pemuda itu lalu meneruskan makan dengan santai.
Airina duduk di depan Akram, meletakkan piring dan botol minuman lalu ikut makan tanpa suara. Gadis itu belum ingin meladeni kejahilan pemuda itu pagi-pagi. Akram berkomentar lagi.
“Kamu kemari… karena ingin ketemu aku, kan? Ngaku saja.” tukas Akram sembari menggigit sisa sosis terakhir yang tertancap di garpunya. Airina mengangkat wajahnya. Gadis itu menelan makanan-nya lalu menudingkan sendoknya ke arah Akram.
“Kamu… jangan pancing aku untuk menusukkan benda ini ke jantungmu…” bisik Airina dengan ketus lalu makan kembali, berlagak lahap. Akram tertawa pelan lalu makan kembali.
“Aku masih ingat wajahmu saat kucumbui di kolam itu…” goda Akram menggigit roti baloknya. Airina kembali menatap Akram memicingkan mata.
“Dasar hydrophilidae! Kamu memang penjahat seksual!” sergah-nya dengan lirih, kali ini menunda makannya.
“Kamu salah paham…” ujar Akram memutar-mutar garpunya. “Aku hanya berupaya menyelamatkanmu. Kulihat kamu nyaris kehabisan nafas.”
Airina kembali melanjutkan makan sambil mengingat-ngingat kejadian itu. Memang banyak buih bekas napas mereka dan Airina merasai paru-parunya diisi udara oleh pemuda itu. Namun, apakah motif Akram itu benar-benar tulus menolong atau hanya dalih saja?
“Aku nggak bohong, kan?” ujar Akram meraih gelas berisi susu dan meneguknya pelan-pelan.
Selera makan gadis itu mendadak hilang. Airina menyorongkan piringnya yang masih penuh ke tengah meja. Gadis itu menatap Akram sambil meraih pisau makan.
“Bagaimana dengan tindakan pelecehan yang kau lakukan di kolam itu?!” tuntutnya. Akram meletakkan gelas dan tertawa.
“Wah, kalau itu sih, nggak sengaja.” kilah pemuda tersebut.
“Meremas payudaraku, kau bilang nggak sengaja?” desis Airina dengan ketus sedang genggamannya pada pisau makan itu makin erat. “Kamu memang sudah rela menyetor nyawa, ya?”
“Kamu akan masuk penjara karena melakukan tindak pembunuhan tak terencana.” sahut Akram melipat tangannya di dada.
“Aku nggak mau calon istriku mendekam sekian lama di sana hanya gara-gara membunuhku…” sambung pemuda itu tersenyum nakal.
“Brengsek! Aku bukan calon istrimu!!!’ sergah Airina tanpa sadar bersuara lantang.
Sejenak gadis itu kaget kemudian setelah menyadari banyak tatapan pengunjung lounge itu terarah kepadanya. Dengan wajah merah menahan malu, gadis itu kembali berkata lirih.
“Itu mulut dicuci dulu supaya nggak seenaknya nge-bacot!” sergahnya lagi dengan ketus.
“Sudah kok…” jawab Akram dengan tenang. “Aku basahi pakai wudhu, lho.” balasnya.
“Aku nggak mau jadi istrimu!” tandas Airina.
“Wah, berarti kamu sudah bohong sama Umi.” protes Akram. “Kamu mau jadi anak durhaka?”
Airina mengencangkan rahangnya lalu menancapkan pisau makan ke meja dan bangkit meninggalkan tempat itu. Panggilan Akram tak lagi diperdulikannya. Sepeninggalnya, Akram hanya menghela napas dan tersenyum.
“Tapi…ambo suka ka adiak…” gumamnya dengan pelan.
* * *
Bandara Haneda, Tokyo…
Sandiaga kaget bukan main ketika menyusuri lapangan sesaat menuruni tangga pesawat, tiba-tiba sebuah limosin hitam yang dipasangi bendera hinomaru dan panji biru bersulamkan lambang Go-Shichi no Kiri warna emas menghadang didepannya. Beberapa lelaki berpakaian diplomat keluar dan langsung menghadang pemuda tersebut.
“Ada apa ini?!” sergah Sandiaga yang kebingungan.
“Anda, Saburo Mochizuki?” tanya pria berseragam itu, menyebut nama jepang dari pemuda tersebut.
“Ya!” jawab Sandiaga dengan tegas.
Lelaki berseragam lainnya langsung membuka pintu kedua mobil. Lelaki berseragam yang menghadangnya langsung menyingkir ke samping dan mengembangkan tangannya ke arah pintu mobil yang membuka.
“Silahkan masuk…” suruh lelaki itu.
“Tunggu, ini ada apa?!” tanya Sandiaga lagi.
“Masuk dulu… Nanti kami jelaskan di dalam.” seru lelaki itu agak meninggikan suaranya.
Sandiaga terpaksa masuk kedalam limosin itu dan kendaraan mewah itu meluncur meninggalkan bandara. Salah satu laki-laki yang duduk mengapit Sandiaga berujar.
“Anda diundang Laksamana Muda Chikaraishi Hasegawa.” ujar lelaki itu.
“Untuk apa?” tanya Sandiaga, namun dia sudah dapat menerka.
Pasti Rosemary!!!
“Untuk menemui Nona Kedua!” jawab laki-laki itu dengan datar dan dingin. Saburo menarik napas panjang.
Sudah kuduga!
* * *
Ruang Direksi Utama PT. Buana Asparaga, Tbk…
Airina berdiri menyembunyikan kedua lengannya di belakang, memandang sebagian besar lanskap Kota Gorontalo yang terpampang dari balik kaca jendela ruangannya. Sesekali gadis itu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan.
Indonesia Grand Expo baru saja berakhir kemarin, namun entah kenapa wajah jahil Akram William al-Katiri tak hendak menyingkir dari benak dikepalanya. Wajah itu senantiasa terngiang, menari dalam memori otaknya, seakan ingin menetap dan tak mau disingkirkan.
Ya Allah, pertanda ini? Mengapa aku tak bisa menyingkirkan si jahil itu dari otakku yang kacau ini? Aku sudah punya Bang Faris…. Si kumbang air itu selalu saja berenang dalam lautan memoriku… bahkan… mimpiku…
Dewinta Basumbul muncul di ruangan itu. Airina tak menyadari keberadaan sekretarisnya. Dewinta berhenti sejenak menatap sang atasan yang memunggunginya dan biasanya, gadis itu tak begitu.
EHM…
Dewinta mendehem, berhasil membuyarkan lamunan Airina. Gadis itu menoleh mendapati Dewinta berdiri mengulas senyum di-kulum.
“Ada apa, Bu?” tanya Airina kembali menuju meja kerja dan duduk di kursinya. Dewinta maju dan mengangsurkan sebuah map portofeule.
“Mohon di a-ce-ce, Bu.” pinta sekretaris itu.
Airina membuka lembar demi lembar dokumen yang diletakkan di mejanya. Setelah memeriksa kelengkapannya, Airina kemudian menandatanganinya. Setelah itu Airina menatap Dewinta.
“Bagaimana dengan proyek revitalisasi tembusan jalan Tolinggula-Taluditi? Sudah rampung atau masih menemui kendala?” selidik Airina.
“Nanti saya konfirmasi langsung ke kontraktornya ya, Bu….” jawab Dewinta, “Semoga saja tidak menemui kendala apapun…”
“Bukankah yang memegang proyek itu adalah PT. Atma Jaya?” tebak Airina Yuki. Dewinta Basumbul mengangguk santun. Deputi direktur itu terdiam dan termenung.
Rupanya Om Romin yang memegang kendali. Haruskah aku berkeras padanya? Bagaimanapun hal ini juga akan mempengaruhi prestise Buana Asparaga dimata pemerintahan daerah…. Ah, pusing juga… dia kan papanya Bang Faris… huuffff…
Dewinta Basumbul menatap atasannya. Airina Yuki masih termenung dalam diamnya. Sekretaris itu tersenyum.
“Nanti saya hubungi direkturnya untuk memastikan tiada kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan proyek tersebut. Untuk sementara ini, Nona jangan dulu melakukan tindakan.” Pinta Dewinta.
“Saya berharap demikian.” tandas Airina. “Jika tidak, kita terpaksa harus mengganti partner kerja. Kita membutuhkan kontraktor yang bisa menyelesaikan proyeknya tepat waktu. Itu saja!” gadis itu mendengus, “Saya tak mau lagi nama Buana Asparaga dipertaruhkan! Saya sudah cukup menahan diri…”
“Semoga harapannya sesuai dengan keinginan Ibu.” sambung Dewinta lagi.
Airina mengangguk. Dewinta pamit berbalik langkah. Namun, panggilan gadis itu kembali menahan langkah sekretaris tersebut. Dewinta berbalik lagi dan menatap atasannya.
‘”Iya, Bu?” tanya Dewinta dengan lembut.
“Apakah Akram…” sejenak kemudian Airina terdiam lalu meralat kalimatnya. “Maksudku, pemuda itu tidak lagi menghubungi ibu, kan?” selidik Airina.
Dewinta Basumbul tersenyum. “Nggak, Bu. Saya sudah bilang padanya, kalau perlu, langsung saja hubungi Ibu.” jawabnya, “Saya sudah kasih nomor ponsel Ibu ke dia…”
Airina terkejut. “Lho? Kok dikasih Bu?” tegur gadis itu. “Gimana sih? Saya benci bicara sama dia!”
Dewinta tersenyum lagi lalu mendekati Airina yang masih duduk di kursinya. “Bu… bagaimanapun, MLT. Group dan PT. Buana Asparaga, Tbk. masih terikat kontrak kerjasama di bidang ekstraktif.” kilah sekretaris itu. Airina langsung memberengut.
“Tapi, Bu…” protesnya lagi.
“Dia menghubungi Ibu dalam kapasitasnya sebagai perwakilan dari MLT. Group, bukan karena pribadinya sebagai Akram William al-Katiri…” tangkis Dewinta dengan senyum bijak.
“Alaaah… ini pasti akal-akalan Ibu saja, kan? Mau jodoh-jodohin saya sama kumbang air itu, kan?!” tukas Airina membuat Dewinta tertawa geli.
“Wah, saya nggak punya motif sejelek itu sih, Bu…” sanggah Dewinta Basumbul tetap menyunggingkan senyumnya.
Gadis itu sedang berada dalam ketidakstabilan perasaan. Airina lalu menakut-nakuti sekretarisnya. “Kalau Bang Faris tahu, habislah Ibu!”
“Kalau Pak Faris tahu, berarti Ibu yang melapor kepadanya.” balas Dewinta mengolok sifat kekanak-kanakan atasannya yang sedang galau itu. Airina terdiam lama lalu mendengus kesal dan melengos ke jendela. Dewinta sendiri lalu pamit meninggalkan ruangan.
* * *
Rosemary berdandan secantik mungkin untuk menyambut pujaan hatinya. Sandiaga akan mengunjunginya secara pribadi, meski terpaksa meminta bantuan kakaknya yang bertugas di kemiliteran. Gadis itu tak mau gagal dan mempersiapkan segalanya. Semuanya harus berhasil, tanpa cela!
Sebatang test pack yang menunjukkan dua garis merah dan sepucuk surat palsu dari laboratorium forensik sebagai trik murahan untuk memaksa lelaki itu memenuhi keinginannya. Trik itu sepenuhnya manipulatif yang ditirunya berdasar penuturan para bintang film yang diwawancarainya. Gadis itu sebenarnya masih perawan.
Rosemary tak peduli dengan perasaan lelaki itu. Rosemary sebenarnya hanya ingin membalas budi atas pertolongan Sandiaga sewaktu dirinya diselamatkan dari terkaman harimau di Hutan Aokigahara, saat dia diculik sebagai jaminan sebuah perundingan. Hanya saja caranya salah dan lebih bersifat syahwaniyah.
Limosin hitam itu tiba di apartemen mewah. Dikawal oleh beberapa orang, Sandiaga menaiki tangga menuju flat milik Rosemary. Di Depan pintu sudah berdiri dua orang berpakaian militer lengkap dengan senjatanya. Salah satu lelaki berseragam maju membuka pintu dan menyuruh Sandiaga masuk.
Lelaki itu melangkahkan kakinya memasuki ruangan tersebut. Di tengah ruangan, dia menemukan sebuah sofa panjang. Disana duduk seorang gadis berpenampilan cantik bagai bidadari.
“Halo… Saburo-Kun…” sambut gadis itu dengan senyum memikat, berusaha menarik perhatian.
“Sudah kubilang, aku bukan siapa-siapamu, Rose!” sanggah Sandiaga dengan ketus. Rosemary menjentikkan jemarinya.
“Sedikit lagi, kau akan menjadi temanku… atau mungkin… suamiku?” ujarnya lalu berdiri. Gaun yang dikenakan begitu berkelas dan mahal. Dia mendekat dan kini berhadapan dengan Sandiaga.
“Kamu nggak merindukanku?” pancingnya.
“Ngapain aku merindukanmu? Diantara kita nggak ada hubungan apa-apa!” tandas Sandiaga dengan wajah keruh. Pemuda itu menatap segala isi ruangan lalu kembali menatap gadis di hadapannya.
“Kau mau menculikku, ya?” ejek Sandiaga dengan senyum sinis. “Ternyata kamu termasuk tipe perempuan pendendam ya?”
“Ya, aku menculikmu…” jawab Rosemary. “Saat ini, kau harus mengikuti semua keinginanku…”
“Kalau aku menolak?” pancing Sandiaga dengan tatapan angkuh sambil bercakak pinggang. Rosemary memperlihatkan semua bukti palsu yang sengaja dibuatnya.
“Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadapku di hutan itu…” ujarnya sambil menyodorkan lembaran surat dan hasil test pack kehamilan itu ke tangan Sandiaga. Pemuda itu sejenak membaca dan terkejut melihat isinya, terlebih lagi melihat dua batang merah di test pack tersebut.
“Eh, aku nggak pernah ngapa-ngapain kamu!” tukas Sandiaga membantah. “Kau sengaja mau menjebakku dengan bukti yang nggak benar itu?!”
“Benar atau tidak, kau harus bersedia menjadi suamiku!” tandas Rosemary dengan tegas. Sandiaga dengan kesal mencampakkan surat-surat dan test pack tersebut ke lantai.
“Hentikan permainanmu… Aku nggak punya waktu meladenimu.” ujar Sandiaga langsung berbalik dan hendak melangkah ketika Rosemary memanggilnya lagi.
“Jangan berani langkahi pintu itu!” seru Rosemary dengan bengis. Sandiaga hanya menoleh sedikit dari bahunya.
“Kamu nggak punya hak mengaturku…” dengusnya lalu kembali melangkah.
“Kalau begitu, ucapkan selamat tinggal kepada semua orang-orang terdekatmu!” ancam Rosemary lebih keras. Langkah Sandiaga tertahan dan dia berbalik. Dia menatap wajah bengis Rosemary yang tetap terlihat cantik.
“Kau mau menakutiku?!” ejek Sandiaga.
“Terserah…” ujar Rosemary yang jengkel.
Gadis itu mengambil remote dan mengarahkannya ke sebuah televisi. Tak lama kemudian layar itu menampilkan empat orang yang duduk berlutut dengan todongan pistol pada pelipisnya. Sandiaga terkejut dan berlari ke tengah ruangan.
“Paman!!!” serunya dengan panik.
Di ruangan entah dimana, nampak Takagi dan istrinya, serta dua putri mereka yang paling nampak ketakutan. Dengan geram Sandiaga menatap Rosemary.
“Lepaskan mereka Rose!” teriak Sandiaga dengan marah.
“Itu di luar kuasaku, Saburo.” kata Rosemary. “Itu kehendak ayahku. Bahkan sekarang klan Shigeno tidak bisa membelamu saat ini.”
“Lepaskan mereka, Rose!” teriak Sandiaga lebih kalap. Lelaki itu lalu menatapi layar televisi. “Oji-San… aku mau bicara dengan Oji-San! Lepaskan dia!”
Takagi justru langsung berseru. “Sandiaga! Jangan gadaikan harga dirimu! Aku rela mati asalkan martabat keluarga kita tidak dicoreng!”
Pukulan pegangan pistol membuat Takagi terjengkang. Tiba-tiba terdengar suara seruan keras dan beberapa saat kemudian terdengar suara pistol menyalak.
DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
Sesaat kemudian nampak keempat orang itu limbung dengan kepala tertembus peluru. Mereka tewas seketika. Sandiaga berdiri gemetar. Pemuda itu perlahan jatuh berlutut menatap keempat mayat yang ditampilkan oleh layar televisi itu. Lengan Sandiaga perlahan terulur gemetar seakan hendak meraih layar televisi itu.
Bayangan kematian Aisyah dan Bakrie muncul kembali dan menari-nari dalam benaknya. Kembali membentuk efek traumatis yang memaksa sisi gelap menguasainya. Tiba-tiba Sandiaga mendongak dan meraungkan kemarahannya yang telah terpadu dengan ajian Bahana Penggetar Sukma.
AAAAAAAAAAAAAAARRRRRGGGGHHHHHHH….
PRANG!!! PRANG!!!
Semua bahan porselen dan kaca yang berada di ruangan itu seketika pecah berhamburan diakibatkan oleh getaran resonansi tinggi 177 Desibel dalam rambatan 8 KHz yang dipancarkan ajian Bahana Penggetar Sukma. Rosemary sendiri berteriak nyaring dan terduduk. Tubuhnya kini merasai lemas sekujurnya.
Pintu langsung menguak dan muncul beberapa lelaki berseragam termasuk dua orang tentara. Mereka mengarahkan laras senjata dan pistol kepada Sandiaga yang sementara berlutut.
“Kalian ingin membunuhku?’ ujar Sandiaga dengan pelan.
Namun tiba-tiba saja tubuh lelaki itu telah lenyap. Mereka kaget dan langsung menoleh kesana-kemari mencari sosok buruannya.
“Dimana dia?!” seru yang lainnya.
“Di belakangmu!” sahut yang lain.
CRASSSHHH!!! AAAKHHH…
Lelaki berseragam itu tak sempat membalik. Dari pakaiannya yang robek menyembul cakar jemari manusia yang menggenggam jantung yang masih sementara berdetak. Mereka semua kaget melihatnya. Tubuh lelaki berseragam itu jatuh ke lantai. Mereka langsung menodongkan senjata, namun lagi-lagi ujud Sandiaga tak ada lagi disana.
Dengan pengerahan tenaga sakti Kyu In no Ki yang didasarkan pada metode Jiu Yin Shen Kung, Sandiaga melesat tanpa bisa dideteksi keberadaannya. Ruangan itu dipenuhi kabut dan aura dingin yang menusuk.
CRASHHH!!! CRASSHHH!!! CRASSSHHH!!!
AAKHHH… AAAKHHH… AAAKHHH…
Sekali lagi, Sandiaga melesat dengan sekali ayunan Cakar Peremuk Tulang, merampas nyawa korban dengan tubuh terkoyak bagai dicakar brutal oleh hewan buas.
Lelaki itu sudah lebih mirip yaksha karena pakaian, tubuh dan wajahnya telah belepotan darah korbannya. Ditambah kedua matanya yang memendarkan cahaya biru pudar keabu-abuan, jurus Karasu Tengu no Shisen semakin menambah surut nyali para lelaki berseragam itu. Mereka ketakutan, semangat mereka telah tersedot habis.
DOR!!! DOR!!!
Sebagian dari mereka yang ketakutan akhirnya menjadi gila dan melakukan tindakan nekat bunuh diri dengan cara menembaki kepala mereka sendiri. Yang lainnya pontang-panting melarikan diri dengan pakaian yang basah belepotan keringat bercampur air kencing.
Kini tinggallah Rosemary di ruangan itu, ditemani beberapa mayat lelaki berseragam diplomat. Sandiaga menatap gadis itu. Rosemary memejamkan matanya tak sanggup melihat wajah buas Sandiaga yang menyeringai bagaikan sesosok yaksha yang siap mencincang mangsa dengan cakar-cakar panjangnya.
“Kau penyebab semuanya…” geram Sandiaga lalu tertawa panjang. Kesadarannya sudah direbut oleh keberingasannya. Sisi gelap lelaki itu muncul. Dia melangkah menunjukkan cakarnya.
“Bersiaplah untuk mati, Rosemary…” ujar Sandiaga lagi.
Rosemary memalingkan wajahnya dengan mata yang terpejam kuat. Dia tak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. Sandiaga kini berada di hadapannya. Lelaki itu mulai mengangkat cakar kanannya.
Tiba-tiba Sandiaga merasakan serangkum energi dari belakang. Lelaki itu berbalik menyamping dan mengarahkan cakarnya ke arah energi tersebut.
KREK!!!
JLEBB!!!
UGH…
Cakar Sandiaga menempel di leher seorang lelaki berpakaian perwira militer. Tatapan matanya menghujam tajam menantang tatapan penuh energi yang dipancarkan Sandiaga melalui Karasu Tengu no Shisen.
Namun, di saat yang bersamaan, Sandiaga tersentak pula. Sebilah pedang model cutlass berjumbai di ujung gagangnya, menembusi tubuh lelaki itu dari rusuk kanan tembus ke kiri. Rosemary membuka mata dan menatap Laksamana Chikaraishi Hasegawa yang menikamkan pedangnya ke tubuh Sandiaga.
“Onii-Chan!!!” serunya.
Meski lehernya tercengkeram cakar Sandiaga, perwira itu hanya menggerakkan kornea matanya menatap adik bungsunya yang terduduk di lantai itu.
“Kamu nggak apa-apa, Dik?” tanya Chikaraishi dengan tenang, tetap mempertahankan sikapnya.
Rosemary hanya menggeleng, namun rasa takutnya masih belum sirna sepenuhnya. Chikaraishi memejamkan matanya sejenak lalu kembali menatap Sandiaga yang mempertontonkan seringai buasnya.
“Menyerahlah. Setidaknya, kau tidak menderita terlalu lama.” ujar Chikaraishi dengan tenang dan tiba-tiba memutar bilah pedangnya.
JLEBB!!!
UGH…
Sekali lagi Sandiaga tersentak. Tindakan yang dilakukan Laksamana Madya itu membuatnya kehilangan sebagian besar Ki sehingga jurus Karasu Tengu no Shisen dan Cakar Peremuk Tulangnya langsung musnah. Warna kornea mata Sandiaga kembali menjadi coklat tua dan ruas cakarnya melemah lalu lunglai.
“Terima kasih…” ujar Chikaraishi langsung mencabut pedangnya.
CRASHHH!!!
UGH…
Sandiaga tersentak lagi dan akhirnya jatuh menggeloyor ke lantai dan terlentang disana. Darah membanjir dari luka tusukan itu dan memenuhi sebagian lantai. Dengan sigap Rosemary langsung merobek-robek kemeja Sandiaga.
BRET! BRET! BRET!
Gadis itu menampal dan melilit luka tusukan tersebut dan menghubungi pihak Rumah Sakit Hanzomon untuk memindahkan Sandiaga keluar apartemen dan mendapatkan fasilitas perawatan terbaik langsung dari pihak Naikaku Shorin Daijin.[]
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 25
Sorry, comment are closed for this post.