Pernikahan antara Sandiaga yang menggunakan nama Saburo Koga, dengan Rosemary Hasegawa berlangsung di Asakusa-jinja di Taito, Tokyo. Kuil ini sering dijadikan pusat perayaan Sanja Matsuri di bulan Mei. Pernikahan hanya dihadiri oleh keluarga Hasegawa dan seluruh anggota Klan Shigeno. Namun, dalam acara itu, hadir pula Pangeran Fumihito sebagai perwakilan Kaisar Heiwa yang tak bisa hadir.
Setelah pernikahan diselesaikan, rombongan keluarga itu bergerak menuju Chiyoda, sesuai permintaan Sandiaga. Naikaku Shorin Daijin, Ryoma Hasegawa akan mendampingi menantunya, bersama-sama Tatsuya Shigeno, hendak menghadap langsung kepada Kaisar Heiwa di Ruang Seruni demi sebuah permintaan misterius yang hendak diajukan Sang Ogashira dari kelompok 53 klan Koga tersebut.
* * *
Sandiaga mengenakan pakaian resmi, melangkah didampingi oleh Ryoma Hasegawa dan Tatsuya Shigeno menyusuri lorong-lorong bagian dalam kastil kekaisaran. Ketiganya tiba di Omote Gozaisho, yaitu ruang kerja Sang Putra Amaterasu yang dijaga dua orang pengawal.
Kaisar Heiwa, Kazuhito Yang Agung duduk di kursi kerjanya. Di kursi-kursi di sisi ruangan duduklah para menteri dan penasehat pemerintahan. Kaisar Kazuhito tidak mengenakan pakaian sokutai lengkap dengan kanmuri yang memahkotai kepalanya, melainkan pakaian resmi umumnya. Di sisi meja kerjanya, duduklah Pangeran Fumihito sebagai perwalian pamannya.
Di depan pintu ruangan, ketiga lelaki itu melakukan seikerei. Kaisar Kazuhito mengangguk. Pangeran Fumihito mempersilahkan Nai-kaku Shorin Daijin, Ryoma Hasegawa duduk di kursinya, sementara Sandiaga yang ditemani Tatsuya Shigeno tetap berdiri di depan.
“Paduka Mulia… hamba menghadapkan pengikut setia hamba yang bernama Saburo Koga.” ujar Tatsuya Shigeno mengarahkan tangannya kepada Sandiaga.
Pangeran Fumihito kemudian mencondongkan tubuh dan berdiskusi dengan kepala negara itu dengan lirih, nyaris berbisik. Setelah itu, putra mahkota menatap Sandiaga.
“Sampaikan keinginanmu…” pinta Pangeran Fumihito. Sandiaga lalu bersimpuh dengan gaya seiza lalu membungkuk hormat. Sementara Tatsuya Shigeno hanya mengawasinya.
“Saya berharap, Paduka Yang Mulia, Heiwa Yang Agung mengabulkan permohonan hamba…” pinta Sandiaga dengan suara yang terdengar gemetar. Pangeran Fumihito mengangguk-angguk.
“Hamba memohon perkenan Paduka Mulia Heiwa Yang Agung untuk menggelar kontes yaitu pertandingan antara saya, mewakili Klan Shigeno dengan putra tertua dari Naikaku Shorin Daijin, Laksamana Madya Chikaraishi Hidenaga Hasegawa, dengan ketentuan… kemenangan mutlak!” pinta Sandiaga dengan tegas meski terdengar tetap gemetar.
Ryoma Hasegawa terkejut mendengar permintaan menantunya tersebut. Kemarahan terpancar jelas dimatanya saat memelototi Tatsuya Shigeno yang tak berlagak acuh, kemudian menatap lagi Sandiaga yang masih dalam sikap takzimnya.
“Bukankah keluarga Hasegawa sekarang telah resmi menjadi bagian dari keluarga besarmu?” pancing Pangeran Fumihito dengan gusar. “Untuk apa menggelar pertandingan itu?”
“Saya hanya menjalankan kewajiban saya, sesuai aturan baku di dalam Bushido! Untuk menegakkan keadilan!” tandas Sandiaga dengan tegas.
“Bagaimana jika pihak kekaisaran tidak mengizinkanmu?!” pancing Pangeran Fumihito memicingkan matanya kepada Tatsuya Shigeno yang berdiri tegap dan Sandiaga yang masih duduk dalam pola za-zen.
“Yang jelas, saya telah menyampaikan maksud permintaan ini secara terang untuk mencegah ketidakadilan.” jawab Sandiaga. “Apabila pihak kekaisaran tidak mengabulkan permintaan hamba, maka dengan sendirinya, pihak kekaisaran juga mendukung ketidakadilan dan tentunya bertentangan dengan keinginan para dewa.”
“Maksudmu?” tukas Pangeran Fumihito memicingkan kedua matanya yang memang sudah sangat sipit. Kali ini, giliran Tatsuya Shigeno yang berbicara mewakili abdi setianya.
“Tentunya Yang Mulia Pangeran sudah memahami latar belakang peristiwa 47 Ronin dari Akō di jaman Genroku.” ungkit Tatsuya Shigeno tentang insiden yang digelar Yoshitaka Kuranosuke kepada pejabat bernama Kira Kōzuke no suke Yoshihisa sebagai bentuk balas dendam atas peristiwa seppuku yang dilakukan oleh Takumi no Kami dari keluarga Asano.
Pangeran Fumihito terdiam, lalu menatap Sandiaga dan Tatsuya Shigeno bergantian. Lelaki paruh baya itu sejenak menghela nafas.
“Jadi, kau akan mengerahkan seluruh anggota keluarga Shigeno, jika permintaan kontes itu tidak kukabulkan?” tukas Pangeran Fumihito dengan ketus. Sandiaga hanya diam sambil tetap menunduk takzim.
“Ini bukan lagi jaman kuno, dimana segalanya harus ditebus dengan darah! Kita telah memasuki zaman teknologi society 6.0. semestinya, hal semacam itu tidak lagi dipertandingkan!” sambungnya menandaskan.
“Tapi, mendiang Meiji Tenno pernah bilang, kita boleh saja punya segalanya. Kita boleh saja memiliki segala teknologi mutakhir. Tapi, kita tidak boleh kehilangan harga diri kita!” sahut Sandiaga kemudian mengangkat kembali wajahnya menatapi Pangeran Fumihito.
“Sebagai penguasa Shinano… Saya, Saburo Koga dari keluarga Mochizuki, menuntut agar kehormatan Keluarga Shigeno dipulihkan dengan kontes! Adat itu sudah berlaku sejak era Nanbokuchō. Jika Yang Mulia Pangeran tidak mengabulkan, saya terpaksa meminta keluarga saya dari Genji Nimyo untuk…” sambung Sandiaga.
“Kau berani memaksaku?!” sergah Pangeran Fumihito dengan wajah yang berang, sementara Naikaku Shorin Daijin Ryoma Hasegawa hanya terpaku diam, mengencangkan rahangnya.
“Saya tidak punya pilihan lain, Paduka. Bantulah saya untuk memenuhi bakti!” seru Sandiaga langsung bersujud kembali.
Pangeran Fumihito mengencangkan rahangnya. Bagaimanapun, pemuda dihadapannya juga bukan orang sembarangan. Sandiaga juga masuk dalam keluarga kerabat kekaisaran secara tidak langsung dari galur keluarga kuno Genji Nimyo. Sejenak putra mahkota tersebut mendengus pelan.
“Jika aku mengabulkan permohonanmu… apa jaminannya jika kamu kalah melawan Laksamana Chikaraishi di kontes itu?!” tukas Pangeran Fumihito dengan jengkel.
“Saya akan melakukan bakti seppuku!” tandas Sandiaga.
Pangeran Fumihito kemudian menatap Tatsuya Shigeno. “Dan kau, apa jaminan yang kau berikan untuk penyelenggaraan kontes ini?!”
Tatsuya Shigeno lalu berlutut dan berkata dengan takzim. “Saya akan melakukan bakti seppuku bersama seluruh aras utama maupun cabang dari Keluarga Shigeno!”
“Gila! Kalian semua memang sudah gila!” sergah Pangeran Fumihito makin berang. Setelah menenangkan hatinya, sang putra mahkota lalu menatap sang perdana menteri. Tak lama kemudian, Kaisar Heiwa menyela.
“Bagaimana denganmu, Ryoma?” tanya penguasa itu dengan suara lirih. Kaisar itu sudah sangat tua sehingga mengeluarkan suara lantang, beliau sudah mulai kesulitan. Ryoma menghadapkan duduknya ke arah Kaisar Kazuhito yang menduduki Tahta Seruni yang dilindungi tirai ungu bergambar bunga krisan emas.
“Saya menyerahkan keputusan kepada Tenno Heika Heiwa no Igen…” jawabnya dengan tunduk sambil membungkuk dalam duduknya.
Kaisar Kazuhito lalu menatap Pangeran Fumihito. Lelaki tua itu mengangguk pelan. Pangeran Fumihito paham apa yang dianggukkan pamannya itu. Lelaki berusia 35 tahun itu berbalik menatap Tatsuya yang berdiri tegak. Bangsawan itu kemudian berseru sembari menatap Sandiaga yang duduk dalam pola za-zen.
“Saburo Mochizuki! Aku, Pangeran Fumihito, atas restu kaisar, memperkenankan gelaran tanding antara kamu dengan Laksamana Madya Chikaraishi berlokasi di halaman kastil Edo, disaksikan oleh Tatsuya Shigeno sebagai junjunganmu dan pihak keluarga Hasegawa! Waktu pertandingan akan dilaksanakan pada hari ketiga setelah hari ini! Ketentuan yang berlaku adalah kemenangan mutlak! Jika dalam waktu yang ditentukan, kamu tidak hadir atau mungkir, atau melarikan diri, maka negara menjatuhkan hukuman mati kepada seluruh anggota Klan Shigeno tanpa pertimbangan banding!”
Ruangan Seruni itu lengang oleh suara Pangeran Fumihito yang menggelegar.
* * *
Akram terus menginstruksikan Airina memasukkan beberapa program melalui bahasa-bahasa informatika tingkat tinggi. Lengan-lengan robotik yang digerakkan ARKHAM mengutak-atik beberapa piranti lunak dalam bagian dalam armor.
Akhirnya proses reaching rampung. Akram tersenyum puas dan menatap Airina. Gadis itu mendadak tersipu sendiri, lupa akan ke-benciannya kepada pemuda itu. Akram meninggalkan meja thermoglass itu dan mendekati Airina.
“Terima kasih telah membantuku menyelesaikan proyek ini.” ujar Akram dengan tulus. “Tanpamu, aku tak bisa menyelesaikannya secepat ini.”
“Apakah…” tebak Airina.
“Okay, aku mengaku…” sahut Akram menyela.
“Undangan itu hanya trik. Aku minta kamu kesini untuk menemaniku menyelesaikan proyek ini. Kamu nggak marah, kan?” tanya pemuda itu memelas.
Airina kembali mendengus. “Kenapa nggak bilang langsung?!”
“Kamu selalu memblokir panggilanku!” balas Akram memelototkan matanya lalu tersenyum. “Terpaksa deh, aku cari akal…”
Airina terdiam. Akram lalu mengangguk dan menatap ke satu titik ruangan. “Protokol 33!” serunya.
“Protokol 33… proses rematching dimulai…” sahut ARKHAM.
Akram berlari menuju panggung pendek dan berdiri merentangkan tangan. Seketika lengan-lengan mecha memecah armor itu dan memasangkannya ke tubuh Akram. Pemuda itu kembali berseru.
“Protokol 41!” serunya.
Seketika lantai di sekitar panggung pendek memunculkan kaca tebal, mengurung Akram. Airina seketika berlari dan menempelkan jemarinya ke kaca itu.
“Akram!!!” pekik Airina dengan panik.
Akram justru melambaikan tangan dan kembali menyerukan, “Manualdriv…”
Armor itu menutup sempurna dan Akram mendongak ke atas. Langit-langit laboratorium membuka. Seketika meluncurlah pemuda itu ke angkasa dengan cepat. Gadis itu mengamati sekelilingnya. Tatapannya tertuju pada headset mobile dan sebuah tablet. Airina meraih dua benda itu. Perangkat headset mobile ditempelkan di telinganya.
Airina berlari keluar dari laboratorium itu dan melesat menggunakan kecakapan hayagake jutsu-nya melintasi ruangan demi ruangan itu hingga tiba di luar kediaman al-Katiri. Gadis itu melihat Akram yang dibalut armor WM 01 sementara berseliweran di angkasa di atas ketinggian 10 ribu meter.
“Bagus ARKHAM… sekarang mari kita uji coba senjata!” seru Akram dengan gembira. “Protokol 42!!!”
“Protokol 42… aktifkan railgun plasma pulse…” sahut ARKHAM. Akram melesat lagi mencari sasaran tembak. Pemuda itu menghubungi Airina.
“Airina… kamu di dalam lab, kan?” panggil Akram mengaktifkan pelantang mini di helmnya. Suara pemuda itu tertangkap oleh headset mobile yang terpasang ditelinga Airina.
“Aku di pekarangan, lihat kamu lagi terbang.” jawab gadis itu. “Kenapa?”
“Aku mau menguji alutsista di armor WM 01. Kamu bisa carikan aku lokasi kosong tak berpenghuni?” pinta Akram.
Airina serentak membuka tablet dan mengaktifkan layarnya. Jemari kanannya menari lincah di keyboard tablet itu. Tak lama kemudian layar menampilkan peta kepulauan Indonesia. Airina mendeteksi beberapa kemungkinan.
“Ada sebuah pulau kosong di sebelah timur laut Kepulauan Lingga…” jawab Airina. Akram mengerutkan alis.
“Dimana itu?” tanya pemuda itu. Airina menjelaskan koordinatnya. Akram mengangguk.
“Aku akan ke sana.” tandas Akram.
“HADIJA!!!” seru Airina.
“Hadijah?” seru Akram. “Eh, aku bukan mau ketemu Hadijah! Hadijah siapa? Aku nggak kenal!” seketika pemuda itu mendengar tawa renyah Airina.
“Maksudku… hati-hati di jalan!!” pekik Airina lalu tertawa lagi.
“Kau mengerjaiku, ya?!” tukas Akram lalu tertawa.
“Asyik, ada kemenangan…” balas Airina mengolok pemuda itu. Akram tersenyum.
Akhirnya aku bisa mendengar tawamu… Alhamdulillah…
Akram akhirnya tiba di lokasi yang dikoordinatkan itu. Dia menemukan kepulauan itu, Akram memicingkan matanya lagi.
Lho? Ini kan Pulau Batuan? Sarangnya Dayang Kaw dan para Lanun Selat Malaka?!
Senyumnya terkembang dan Akram meluncur deras menuju pulau kosong itu. Untungnya Akram sudah mempelajari dan menguasai teknik HALO dan HAHO serta BASE dalam metode terjun payung. Akram mendarat dengan baik di pasir pulau itu. Mungkin karena mendengar hiruk-pikuk, para penghuni pulau itu keluar.
Benar saja! Beberapa orang bersenjata tradisional maupun modern maju menyerang. Para penembak memberondongkan peluru-peluru dari senapan AK-47 yang mereka miliki.
“Akram! Mereka menyerang!!” pekik Airina panik.
“Jangan khawatir…” ujar Akram.
Purwarupa armor WM 01 itu memang terbukti tahan peluru. Akram hanya merasakan dorongan ke belakang akibat daya hantam peluru-peluru itu. Akram langsung mengarahkan kedua tangannya ke depan dan membuka tapaknya. Seketika telapak tangan armor itu bersinar. Akram langsung mengambil kuda-kuda.
BLARRRR!!!!!
DUAR! DUAR! DUAR!
Tembakan plasma keluar beruntun dari telapak tangan armor yang membuka itu, disusul oleh ledakan beruntun dan kepulan debu bersama dengan robohnya beberapa orang bajak laut. Akram menurunkan lengannya.
“Kurasa sudah cukup uji cobanya.” seru Akram dan kembali melesat ke angkasa, mengaktifkan roket anti gravitasinya.
WM 01 yang dikemudian Akram kembali melesat ke arah barat. Dalam waktu yang tak begitu lama, pemuda itu sudah tiba di kawasan Sumatra Barat dan tiba di Padang. Dia langsung melesat ke kediaman al-Katiri. Di taman, terlihat Airina yang berdiri dengan perasaan cemas. Akram sekali lagi bertindak jahil. Dia sengaja tidak menjalankan protokol manual hingga armor itu meluncur deras tak terkendali dan…
BRUAK!!! BUK!!! BUK! BUK!…
WM 01 jatuh berdebam ditanah taman itu dan terbanting-banting lalu tergeletak telentang. Airina berlari mendekatinya.
“Akraaaam….” teriak Airina dengan panik. Setibanya di tempat itu gadis itu langsung menghambur dan memeluk baju zirah tersebut.
“Akram!!! Akram!!!” teriak Airina lagi sambil duduk bersimpuh disisi WM 01 itu. Tak lama kemudian terdengar suara ARKHAM.
“Protokol 41b… rejecting…”
Perlahan klep helm itu membuka, menampakkan wajah Akram. Berikut bagian-bagian fiber pada WM 01 membuka menampilkan tubuh Akram yang sepenuhnya terbaring dalam cangkang baja yang menguak itu.
“Akram!” seru Airina lantang menepuk-nepuk pipi pemuda itu.
“Ah…” desah Akram membuka mata. “Rasanya badanku pegal semua…”
“Kamu baik-baik saja?” tanya Airina lirih nan cemas.
“Wah, mendengar suaramu ini… aku betah sakit-sakitan, deh…” goda Akram.
“Aku serius, Akram!” tegur Airina. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Akram hanya menatapnya dengan sorot teduh. Airina terdiam dan entah siapa yang memulai, wajah keduanya perlahan mendekat dan akhirnya bibir mereka akhirnya mulai memagut satu sama lain.
Apa yang terjadi pada diriku? Bagaimana aku harus menyikapinya? Mengapa aku terjebak diantara dua laki-laki???
Keduanya larut dalam aktivitas saling memagut itu hingga pada akhirnya Akram melepaskan ciumannya dan kembali menatap Airina.
“Ambo suka ka adiak…” desahnya lirih. Jantung Airina langsung berdegup kencang mendengar pernyataan itu.
Tapi… aku sudah punya Bang Faris…
Airina akhirnya menegakkan duduknya sementara Akram duduk bersila diatas cangkang WM 01.
“Aku tak memintamu untuk menjawabnya sekarang, Airina. Kau punya banyak waktu memikirkannya.” Pemuda itu lalu berdiri dan mengulurkan tangan.
“Kuantar kau pulang sekarang…” ajaknya.
Airina menyambut uluran tangan Akram dan bangkit berdiri. Gadis itu menatap purwarupa WM 01 yang tergeletak di sana.
Akram menyeru. “Protokol 02a…”
“Protokol 02a… autorematching…” sahut ARKHAM.
Armor WM 01 satu menutup kembali lalu ARKHAM mengaktifkan sistem auto robot hingga armor humanoid itu bangkit dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian mobil perusahaan MLT. Group tiba didepan beranda kediaman membuat Akram kembali mengajak Airina meninggalkan taman itu menuju mobil yang telah menunggu. Keduanya masuk ke dalam mobil dan dalam sekejap kendaraan tersebut membawa keduanya menuju bandara.
Dalam mobil, keduanya terjebak dalam keheningan yang canggung. Airina menunduk mempermainkan jemarinya yang melilit tali tas, sedangkan Akram menyandarkan lengannya, menyangga jendela mobil yang kacanya diturunkan. Sesekali pemuda itu mencuri pandang ke arah Airina yang menunduk.
“Kamu langsung ke Gorontalo?” tanya Akram memecah kecanggungan. Airina menegakkan wajahnya menatap Akram.
“Hah? Ah… uhm… ya…” jawab Airina tergagap. Akram meng-angguk-angguk. Keduanya kembali larut dalam keheningan yang canggung. Airina Yuki menghela napas menghilangkan gugupnya lalu mencoba lagi membuka pembicaraan.
“Kalau proyekmu tembus, apakah pihak Kemenham…” tanya Airina dengan tersedat-sedat.
“Semoga saja…” sela Akram.
Tak lama kemudian, mobil perusahaan itu tiba di Bandara Minangkabau. Airina hendak membuka pintu, namun ditahan oleh Akram. Gadis itu menatap sang pemuda dengan sorot teduh namun ragu dan malu.
“Airina…” panggil Akram.
“Panggil saja, Yuki…” pinta Airina.
“Yuki, tidak bisakah kamu… tinggal sehari lagi di sini?” tanya Akram dengan gugup. Airina tersenyum dan menggeleng.
“Maaf, Akram.” tolaknya. “Tugasku sebagai seorang wakil direktur sangat menumpuk. Selain itu aku harus mempersiapkan ujian tesis-ku.”
Akram tersenyum. “Aku paham…”
“Semoga proyekmu bisa tembus…” ujar Airina.
Airina kembali membuka pintu ketika Akram kembali menahannya dan langsung menyambar bibir gadis itu lalu memagutnya dengan ganas. Keduanya terlibat dalam pergulatan bibir yang makin panas.
Sopir yang sempat memergoki tak sengaja, buru-buru membuang pandang. Airina sendiri kembali hanyut tak melawan bahkan ketika jemari pemuda itu menelusup ke balik pakaiannya dan menggerilya di kedua payudara bulatnya.
Akhirnya keduanya melepaskan diri. Dengan jengah, Airina memperbaiki pakaiannya dan membuka pintu lalu berlari memasuki terminal, meninggalkan Akram yang duduk termangu menyaksikan punggung kekasihnya menghilang di kerumunan orang-orang di sana.[]
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 29
Sorry, comment are closed for this post.