Griya Wiraloka, Kemenham. IKN-Nusantara…
Akram Williams al-Katiri tersenyum lebar saat menjabat tangan Wijaya Kusuma Wardhani, Menteri Pertahanan disaksikan oleh Presiden RI. Proyek Wijayawarman miliknya, tembus dan bersedia didanai pemerintah di bawah pengawasan Menhankam. Setelah acara tersebut usai, Akram melenggang santai meninggalkan kompleks kantor pemerintahan menuju Hotel Swiss Borneo yang berada di bagian ujung timur ibukota negara tersebut.
Ketika memasuki ruang lobi, pemuda itu menghubungi saudara-nya, Ikram di Jepang. Tak lama kemudian terdengar nada sambung. Pembicaraan itu terselenggara dengan fitur video call.
“Moshi-moshi…” sapa Ikram Williams al-Katiri yang muncul dilayar.
“Hei Sableng! Ngapain pakai bahasa asing di depanku?!” sembur Akram. “Kayak nggak punya nasionalisme saja…”
Terdengar suara tawa di sana.
“Sorry kentut, kebiasaan lama memang sulit hilang.” kilah Ikram tertawa. “Kamu tahu? Aku baru saja berhasil mengembangkan genom virus baru.” ujar pemuda itu dengan semangat.
“Eh, Kantong Kuman! Ngapain kamu main-main dengan begitu-an? Kamu bisa dijadikan wadahnya, baru tahu rasa!” balas Akram lagi sembari duduk di sofa. “Kamu nggak tobat apa dengan pandemi corona yang menimpa negara kita dua puluh tahun silam? Nah, kamu bikin yang baru lagi, mau kiamat satu dunia, ya?!”
“Eh, Kentut! Jangan asal menuduh dong!” sahut Ikram. “Kamu lihat saja, jika proyekku sukses… kutanam genomnya dibadanmu!”
“Eh, apa kau bilang?!” tantang Akram.
“Sudahlah, tak usah lagi bahas…” sela Ikram, “Apa sih yang mau kau bicarakan?” tukasnya.
“Bagaimana sih caramu bisa meyakinkan Hayati supaya mau dijodohkan denganmu?” pancing Akram.
“Tunggu, tunggu, tunggu…” sela Ikram. “Ini kamu lagi bicara apa sih? Lagi kesambar kentutmu sendirikah kamu, sampai bicara ngawur begini?” oloknya.
“Bisakah kamu bicara lebih serius?” tukas Akram dengan ketus.
Ikram tertawa. “Baiklah, aku serius…” ujarnya. “Katakan, mengapa kamu sampai menyinggung tentang Hayati?”
Akram menghela napas sejenak lalu menguatkan hatinya.
“Bro, aku lagi jatuh cinta…” ungkap Akram dengan mimik serius.
Ikram tertawa mendengar pernyataan saudara kembarnya. Ilmuwan muda itu tidak benar-benar yakin. Akram mendengus kesal.
“Mendengar nada tertawamu, aku langsung menyadari satu hal.” komentar Akram dengan jengkel. “Kau tak percaya…”
“Tentu saja aku nggak percaya!” sahut Ikram, “Bayangkan, playboy cap kecoa macam kamu ini, akhirnya menemukan tambatan hati? Wah, that’s a miracle… really a miracle.. or.. a bullshit!!! You not make a prank, don’t you?!”
“Jangan samakan aku dengan Abi.” sanggah Akram. “Aku lagi serius, Kuman!!”
“Hei, lalu si Durga mau kau kemanakan?” pancing Ikram.
“Durga itu bukan kekasihku.” sanggah Akram.
“Itulah mengapa aku mengataimu Bullshit, Kentut! Dulu kamu membuat beberapa kecerobohan, memberikan akses kepada Alena Maharajasa sehingga perempuan itu berhasil menipumu dan mencuri cetak biru beberapa produksi MLT. Group. Bagaimana sekarang? Keluarga Maharajasa berhasil mendirikan Rajasa Inc. yang saat ini jadi sandungan MLT. Group di Indonesia.” tutur Ikram langsung membuat Akram mendesah penuh rasa masygul.
“Ya, aku akui itu kebodohanku!” sahut Akram.
“Sekarang Durga, mau kau kemanakan? Kamu mau dijadikan papan target senapannya jika dia tahu kamu punya gebetan baru?” tukas Ikram. “Nggak usah main api, bro! cukuplah sekali saja kau bodoh! Jangan keterusan!”
“Beuh! Aku jadi malas ngomong sama kamu.” seru Akram langsung memutus pembicaraan via video call itu. Pemuda berambut faux hawk itu memijat keningnya dan menggerutu pelan.
Hadeeeh… kok malah rumit begini? Yuki…kamu bikin aku makin senewen…
* * *
Akram Williams al-Katiri memang pemuda idaman para gadis di Ranah Minang itu. Seorang polimatis yang kecerdasannya melampaui akademisi manapun. Wajahnya merupakan perpaduan wajah arab dan kaukasia, tanpa sedikitpun menyisihkan gen lokal.
Meskipun Akram maupun Ikram mengaku sebagai orang Minangkabau, tak akan ada satu pun yang percaya karena tampilan fisik mereka yang melanggar pakem umum ras mongoloid. Orang-orang akan lebih percaya jika kedua pemuda itu mengaku saja sebagai orang Padang.
Kakeknya, William O’ Donnell adalah pemilik salah satu kastil yang berada di Irlandia. Aslinya, William O’ Donnell adalah seorang adipati di wilayah Antrim dengan gelar Viscount of Dunluce. Ketika mengembangkan bisnis keluarganya di Indonesia, beliau menikah dengan seorang wanita Padang. William lalu merubah kewarganegaraannya dan tinggal di Padang, membangun keluarga kecilnya hingga akhirnya putrinya, Nadin Williams mewarisi Kastil Dunluce di Irlandia dengan gelar Countess of Antrim. Sementara putranya Kevin, mengambil alih warisannya sebagai presdir MLT Group.
Kevin kemudian menikahi Safira al-Katiri, keponakan dari Husein al-Katiri yang membawahi al-Katiri Foundation. Keluarga al-Katiri sendiri adalah cabang dari kabilah As-Syanafirah yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Dari pernikahan mereka, lahirlah Akram dan Ikram yang merupakan kembar identik.
Akram memang gampang akrab dengan siapapun. Terlebih banyak koleganya dari kaum hawa. Akram juga memiliki koneksi dengan orang-orang birokrasi karena proyek-proyek teknologi yang dihasilkan-nya.
Akram berkenalan dengan Durga Mahisasuramardhini, S.In., lulusan terbaik Sekolah Tinggi Intelijen Negara angkatan 2040 secara tak sengaja saat wanita itu menyelidiki basis terorisme di Sumatera Barat. Hubungan keduanya sepenuhnya artifisial karena berkaitan dengan profesi wanita itu, meskipun di saat-saat tertentu Durga kadang memperlakukan Akram sebagai kekasihnya sehingga siapapun yang tak jeli akan salah paham dengan tindakan manipulatif itu, termasuk keluarganya.
Namun, sekarang Akram menemukan sebuah hasrat baru yang menyemangatinya. Seorang gadis yang berhasil menggugah sanubarinya dan hingga saat ini, pemuda itu terus mencari cara bagaimana mendapatkan perempuan itu.
* * *
Airina duduk di beranda rumahnya, membaca beberapa jurnal dan karya ilmiah sebagai pembanding dalam kebijakannya disaat menjalankan roda ekonomi PT. Buana Asparaga, Tbk. Namun ingatan gadis itu terus bermain, mengenang ciuman ganas dan remasan di payudaranya. Di sisi lain, rasa malu menyergapnya. Namun, gadis itu ternyata menikmatinya.
“Halo, Yuki…” sapa seseorang membuat Airina mendongak ke arah tangga.
“Bang Faris!!!” seru Airina langsung berdiri dan meletakkan jurnal yang dibaca di meja.
Faris mengenakan seragam PDH lengkap. Perwira itu melangkah menaiki tangga dan berdiri tegak dihadapan Airina. Gadis itu tersenyum dan menyapu dada lelaki pujaannya.
“Abang datang nggak kasih tahu dulu.” rajuknya, “Kan Yuki bisa siap-siap menyambutnya.” gadis itu mempermainkan ujung baju dengan jemari lentiknya. Faris menatapi beberapa jurnal yang tergeletak di atas meja.
“Sebanyak ini yang harus kau baca?!” tukas perwira itu dengan takjub. Airina hanya tersenyum, sekilas ia menatap berkas-berkas itu lalu kembali menatap Faris.
“Resiko menjadi seorang Deputi Direktur perusahaan…” jawab Airina dengan enteng. Faris mengangguk-angguk. Airina menarik lengan perwira tersebut.
“Duduk dong, Bang. Jangan berdiri terus, kayak patung saja.” Guraunya lalu mengundang kekasihnya untuk duduk di sofa. Faris tersenyum lalu duduk di sofa. Airina mengambil tempat di sisinya sambil merapikan berkas-berkas di meja.
“Kurasa, kamu termasuk perempuan paling cerdas yang ku jumpai.” puji Faris duduk dengan tegak menegaskan posturnya yang terlihat keren.
“Gombal!” sahut Airina tertawa kecil sambil merapikan rambutnya yang terurai panjang.
“Ah, kalau yang begitu, aku juga bisa…” ujar suara di beranda. Keduanya menoleh, dan seketika wajah Airina langsung keruh.
“Kamu…” gumamnya dengan pelan.
Akram Williams al-Katiri berdiri melangkah menaiki beranda lalu duduk diseberang, berhadapan dengan Faris, tanpa pamit.
“Aku tak perlu meminta izinmu, kan?” guraunya sambil tersenyum lebar.
Faris menatap cermat pemuda itu dan Airina langsung merasa canggung. Dua lelaki yang mulai memperebutkan rongga sanubarinya kini duduk di hadapannya.
“Kamu siapa?” tanya Faris dengan datar. Akram langsung mengulurkan tangan kepada Faris.
“Perkenalkan… Akram Williams al-Katiri, teman sekolahnya…” pengakuan pemuda itu membuat Airina melebarkan matanya. Berani benar pemuda itu mengaku sebagai teman sekolahnya.
Teman sekolah? Dari hongkong kali!!!!
Faris menjabat tangan pemuda itu. “Ipda Faris Bulotio, S.IK…” ujar perwira itu memperkenalkan dirinya.
“Pacarnya Airina…” tambahnya dengan sikap angkuh.
Akram hanya tersenyum lalu mengangguk-angguk. Keduanya melepaskan jabatan tangannya dan duduk kembali. Airina langsung berdiri.
“Abang, mau minum apa?” tanya Airina sembari menyapu-nyapu ujung bajunya.
“Apa yang kamu sajikan, pasti ku nikmati.” balas Faris sambil tersenyum.
“Kopi Latte, boleh?” usul Airina. Faris mengangguk.
“Kalau aku, Cappuccino saja deh…” sela Akram.
Airina sejenak menatap Akram lalu menghela napas dan melangkah meninggalkan beranda itu. Faris sejenak menatap Airina yang sudah masuk ke dalam rumah lalu mengarahkan tatapan tajam kepada Akram.
“Sejak kapan kamu kenal Airina?” selidik Faris.
“Sejak masuk sekolah…” jawab Akram spontan dan seenaknya. Faris langsung memasang wajah keruh. Alisnya bertaut.
“Kau tak bisa menipuku…” tukas perwira itu.
“Wah, padahal aku sudah jujur, kok malah nggak percaya.” kilah Akram dengan enteng sambil menatap Faris dengan gaya santainya.
“Jangan berani merebutnya dariku!” tukas Faris tiba-tiba. Akram tertawa.
“Anda terlalu dewasa, baginya.” balas Akram.
“Cinta tak memandang usia.” sahut Faris. Akram mengangguk-angguk lalu membalas.
“Benar… tapi perbedaan usia, apalagi yang terpaut jauh akan menentukan sejauh mana hubungan itu akan bertahan.” sanggahnya memberikan sunggingan senyum meremehkan lawannya.
“Apa maksudmu?’ todong Faris dengan gusar.
“Anda orang yang kaku.” jawab Akram langsung.
“Dia akan lebih terlindungi dalam pelukanku!” tandas Faris.
Akram hanya tersenyum dan mengangkat bahu serta lengannya. Senyumnya terlihat menjengkelkan di mata perwira itu. Tak lama kemudian Airina muncul membawa baki berisi tiga gelas minuman dan sepiring nugget ayam.
Gadis itu meletakkan gelas berisi kopi latte dihadapan Faris, lalu tersenyum menatap perwira itu. Kemudian meletakkan gelas berisi cappuccino dihadapan Akram sambil menatap pemuda itu dengan datar, kemudian meletakkan sirup di hadapannya sendiri lalu duduk dan meletakkan sepiring nugget di tengah meja.
“Silahkan…” ujar gadis itu.
Kedua lelaki itu mengangguk dan meraih gelas minumannya. Keduanya meneguk isi gelasnya sambil menatap ke arah lawannya dengan tatapan tajam kemudian meletakkan gelas itu lagi.
“Kapan kamu tiba?” tanya Airina kepada Akram.
“Baru saja…” jawab pemuda itu dengan enteng.
“Dari mana kau tahu rumahku?” selidik gadis itu.
“Apa susahnya, sih? Tinggal buka fitur world map, ketik nama perusahaanmu, lalu alamat rumahmu… kelar…” tutur Akram sambil tersenyum lebar.
“Apa benar dia teman sekolahmu?” tanya Faris kepada Airina, namun tatapannya tetap terarah kepada Akram yang tetap menyungging senyum lebar.
“Nggak!” sanggah Airina membuat Faris mengencangkan rahang-nya menatap Akram.
Airina Yuki menjelaskan bahwa keduanya bertemu di acara Indonesia Grand Expo yang diselenggarakan di IKN Nusantara sebulan lalu.
“Kami sama-sama undangan dalam acara resmi itu.” pungkasnya mengakhiri penjelasannya.
“Oke, aku ngaku…” ujar Akram.
“Kamu…” gumam Faris menahan kegeramannya.
“Memang kami sama-sama undangan di sana.” Jawab pemuda itu menatap Faris. “Lalu kami jadi sahabat dan sempat…”
Airina batuk sejenak membuat Akram tak melanjutkan kalimatnya, malah tersenyum mengejek ke arah Faris. Airina menatap pemuda itu.
“Rupanya kamu suka menjadi sasaran lemparan berkas di meja itu, ya?” tukas Airina menatap Akram dengan sinis.
Akram mengangkat tangannya lalu mengangguk saja dan diam kembali. Faris sendiri merasai tangannya gatal hendak menggasak wajah pemuda itu, namun berupaya ditahannya. Faris menghela nafas panjang dan menatap arloji di pergelangan tangannya dan menatap Airina dengan senyum kaku.
“Aku harus pergi Yuki… Maaf…” ujar Faris. “Nanti, kapan-kapan aku kemari lagi.” Perwira itu bangkit. Airina ikut bangkit dan mengantar lelaki itu ke beranda.
“HADIJA, Bang.” pesan Airina.
Akram seketika tertawa cekikikan membuat keduanya menoleh menatap pemuda itu. Akram kembali mengangkat tangan dan diam namun menahan tawa. Faris menatap kekasihnya.
“Sebenarnya, ada yang ingin kuyakinkan…” ujar Faris seperti menahan beban, seakan ada yang dipikirkannya.
“Tapi, biarlah… nanti di pertemuan kita yang berikutnya.” sambung perwira itu tiba-tiba maju mengecup pipi Airina. Akram yang melihat adegan itu hanya melengos sambil menahan tawa lagi. Faris pergi sambil melambai. Airina membalasnya. Sepeninggal kekasihnya, Airina bergegas naik ke beranda dan berdiri di depan Akram.
“Eh, mau apa kau kemari? Aku lagi sibuk!” ujar Airina dengan ketus.
“Kamu kalau marah, jadi kelihatan lebih seksi, deh.” goda Akram dengan senyum nakal.
Airina mendengus kesal dan maju hendak menampar Akram. Namun pemuda itu dengan sigap menangkap lengan gadis itu dan menarik Airina hingga jatuh di pangkuannya. Airina kaget dan meronta, namun Akram justru menahannya dengan kuat membuat Airina berseru marah.
“Turunkan aku! Dasar, kumbang air!” seru Airina dengan marah.
“Eh, tenang dulu…” kata Akram. “Aku cuma mau ngucapin terima kasih sama kamu karena proyek Wijayawarman sukses.” tutur pemuda itu membuat Airina terdiam. “Kemenham bersedia mendanai proyek itu sampai selesai…”
“Oke, bagus…” respon Airina mengangguk.
“Hah? Hanya itu responmu?” tukas Akram dengan heran. Airina langsung berdecak kesal.
“Lalu? Aku harus bilang ara-ara, begitu? Sekarang turunkan aku!” sahutnya kemudian meronta. Gerakan liar gadis itu malah makin mengencangkan pelukan Akram.
“Aku masih ingin seperti ini dengan calon istriku.” goda Akram. Airina hanya mendengus kesal.
“Aku bukan calon istrimu!” tolak Airina. “Tak tahu malu!”
“Sejak aku menitipkan ciuman di kolam itu… Kuanggap kita sudah nikah lho!” tandas Akram berupaya menenangkan rontaan gadis itu.
“Aku sudah punya Bang Faris!” tukas Airina.
“Nggak akan jadian…” balas Akram dengan yakin.
“Enak saja bacot-mu kalau ngomong!” sergah Airina sambil terus meronta.
“Ada apa ini?!” hardik suara wanita.
Keduanya menoleh ke arah pintu yang membuka. Akram sejenak terlihat bengong, sedang Airina langsung pucat pasi, ketakutan.
“Mama…” desisnya dengan lirih.
Azkiya Zahra Fatriyanti Lasantu menatap kedua anak muda yang saling pangku itu. Kontan Akram langsung mendorong Airina hingga terjatuh kembali di sofa sedang wajahnya memerah dan senyum cengiran kudanya disebabkan gugup muncul begitu saja, seperti kuda jantan yang tertangkap basah mencumbu betinanya.
Airina sendiri sejenak mengaduh kesakitan lalu balas memukul lengan Akram dengan kuat, meski pemuda itu tak merasakan sebab dikuasai rasa gugup. Gadis itu lalu menatap ibunya dan menyapa dengan lirih.
“Mama…”
Azkiya mendengus. “Kalian berdua, masuk!” perintahnya sambil masuk ke dalam.
Keduanya berdiri dan melangkah mengikuti wanita paruh baya berkhimar itu. Azkiya menunjuk sofa dan keduanya duduk dengan patuh. Airina duduk di sisi ibunya, sedang Akram duduk di seberang.
“Siapa kamu, anak muda?” tanya Azkiya dengan datar.
Sekali lagi Akram menyaksikan perubahan warna kornea mata yang tadinya coklat tua menjadi biru pucat keabu-abuan.
Apakah ini penyakit genetika?
“Siapa kamu, anak muda?” ulang Azkiya lagi. Akram langsung tanggap.
“Saya, Akram Williams al-Katiri, Deputy Direktur MLT. Group…” jawabnya memperkenalkan diri.
“MLT. Group…” gumam Azkiya. “Kevin Williams dan Syafira al-Katiri?” tebaknya dengan datar.
“Benar sekali, Etek…” jawab Akram sekenanya, karena tak mengetahui usia wanita paruh baya dihadapannya. “Saya putranya…”
Azkiya mengangguk-angguk. “Bagaimana kabar ibumu?”
“Alhamdulillah, baik…” jawab Akram dengan senyum sopan.
“Apakah beliau yang menyuruhmu ke sini?” selidik Azkiya memicingkan matanya yang sipit semakin sipit. Akram menggeleng lalu menghela napas.
“Inisiatif saya sendiri, Etek…” jawab Akram.
“Bisa hubungi ibumu?” pinta Azkiya.
“Ya, Etek?” tanya Akram kurang paham.
“Hubungi ibumu!” tandas Azkiya lagi.
Akram sejenak kikuk dan terpaksa mengambil gawainya dan berseru kepada gawai tersebut.
“ARKHAM, sambungkan ke Kediaman al-Katiri… Aku mau bicara dengan Umi…” perintahnya.
“Akses diberikan…” sahut kecerdasan buatan dalam gawai itu. Nampak kemudian layar memancarkan gambar hologram kepala se-orang wanita yang mengenakan kerudung.
“Ya. kenapa, Nak?” tanya hologram dari Syafira al-Katiri.
“Ibunya Airina mau bicara dengan Umi…” ujar Akram dengan canggung.
“Apa? Ibunya Airina?” seru hologram itu. “Kamu di Gorontalo ya?!” tukasnya dengan ketus.
Akram hanya mengangguk lesu. Hologram itu menoleh ke samping menatap Azkiya lalu tersenyum dan menyapa.
“Assalam alaikum, Chiyome… bagaimana kabarmu?” sapa holo-gram berwujud wajah Syafira al-Katiri itu.
“Alhamdulillah baik… denai rindu pai ka sinan…” jawab Azkiya lagi mengulas senyum teduhnya.
“Kamu terlihat cantik dengan khimar itu, Chiyome.” puji hologram tersebut.
Azkiya tersenyum. “Nama saya sekarang, Azkiya Zahra. Bukan lagi Chiyome.”
“Oh ya? Rupanya awak ketinggalan informasi ya?” seru hologram itu tertawa.
“Panjang ceritanya, Uni… nantilah kalau Uni kemari jemput anaknya Uni, kita bincang-bincang lagi…” tutur Azkiya. “Tapi untuk sementara ini, anak Uni saya tawan di sini dulu selama dua hari…”
“Boleh, indak apa-apa, tapi apa nggak merepotkan adiek?” tanya hologram itu.
“Dia tamu di sini… Kewajiban saya memuliakannya.” jawab Azkiya. Hologram itu mengangguk lalu kembali menatap Akram dan berseru keras.
“Akram! Sudah Umi bilang, jangan berbuat hal yang memalukan! Apa sih yang sudah kamu buat sampai kau ditahan di sana?! Awas!!! Pokoknya Umi harus mendapatkan informasi paling valid darimu! Jangan berani berbohong!” ancam perwujudan holografis dari Syafira
Hologram itu langsung lenyap dan Airina mati-matian menahan tawa melihat wajah Akram yang tertekuk dalam sebab dimarahi habis-habisan oleh hologram pengejawantahan rupa wajah ibunya tersebut. Pemuda itu lalu menyimpan lagi gawainya. Azkiya menatap putrinya.
“Rapihkan kamar Saburo! Dua malam ini dia akan menginap di rumah kita.” perintah Azkiya kepada putrinya.
“Tapi Ma…” protes Airina.
Tatapan tajam Azkiya yang sudah dirasuki jurus Karasu Tengu no Shisen meruntuhkan semangat Airina membuat gadis itu akhirnya meng-angguk lalu bangkit dan melangkah meninggalkan ruang tamu. Warna kornea mata wanita paruh baya itu kembali ke warna coklat tua. Sepeninggal Airina, Azkiya menatap Akram.
“Kamu tahu, dalam ajaran agama kita dilarang memangku gadis yang bukan mahram?” pancingnya.
“Saya ngaku salah, Etek.” jawab Akram dengan jujur dan mem-bungkuk takzim dalam sikap duduknya.
“Tapi itu insiden yang tak disengaja.” Pemuda itu kemudian men-jelaskan latar belakang peristiwa itu.
“Dan, kamu sudah tahu kalau Yuki sudah punya pacar?” tambah Azkiya.
Akram hanya tersenyum dan langsung berujar, “Saya yakin lelaki itu belum meng-khitbah-nya…” jawabnya penuh keyakinan.
Azkiya tersenyum datar. “Tahu dari mana?” pancing Azkiya dengan senyum.
“Ya… tahu saja Etek…” jawab Akram. “Hati saya yang memberi tahu.” sambungnya dengan enteng. Azkiya tertawa.
“Kamu lucu juga, ya?” komentarnya. “Untungnya, ibunya yang memergoki… Kalau ayahnya, sudah pasti kamu dibunuh!”
“Syukur deh, kalau Etek yang memergoki kami…” balas Akram dengan enteng. Azkiya hanya tersenyum lalu bangkit.
“Kamu duduklah di sini. Saya akan memastikan apakah Yuki sudah merapikan kamarnya. Kamu nggak bawa barang, kan?” tanya wanita berkhimar panjang itu.
“Sebatas sepinggang saja, Etek…” jawab Akram lalu tersenyum. Azkiya mengangkat alisnya sejenak lalu tersenyum.
“Nikmati hari-harimu di sini…” kata Azkiya, setelah itu pamit meninggalkan ruangan tersebut. Sepeninggal Azkiya, muncullah Airina yang langsung bercakak pinggang. Gadis itu mengomel panjang-pendek.
“Kamu itu memang biangnya masalah! Gara-gara kamu, aku disuruh Mama beli pakaian lelaki! Berapa sih ukuran badanmu?!” ujar Airina dengan ketus.
“Periksa saja sendiri…” balas Akram dengan senyum nakal.
Airina mendengus dan duduk dihadapan Akram. “Apa sih yang dibicarakan Mama sama kamu?!”
“Aku jujur tentang hubungan kita…” jawab Akram dengan enteng. Airina terhenyak mendengar jawaban pemuda itu.
“Kamu jujur tentang ciuman itu?!” pekik Airina dengan lirih lalu menatap ke arah ruang keluarga, takut kedengaran ibunya.
“Kamu nggak cerita ke beliau?” goda Akram.
Airina yang pucat langsung maju memukul lengan Akram dengan gemas campur kesal. Akram tertawa pendek.
“Kamu itu sedikit lagi jadi istriku… ngaku saja sama mamamu.” goda pemuda itu lagi membuat Airina mendengus kesal.
“Ih, amit-amit…” gerutu Airina lagi. []
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 31
Sorry, comment are closed for this post.