KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung Di Benteng Otanaha Bab 34

    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 34

    BY 22 Sep 2024 Dilihat: 222 kali
    Mendung di Benteng Otanaha Bab 34_alineaku

    PIALA KEMENANGAN

    Rosemary terbangun oleh silaunya cahaya yang menerobos lewat kisi-kisi jendela ruangan tersebut. Sejenak dia memicingkan mata, membiasakan dria pandangnya dengan keadaan sekitar. Wanita itu bangun karena menyadari bahwa keadaan telah terang. Rosemary menoleh ke samping dan menyadari bahwa Saburo Koga tidak berada di sisinya.

    “Eh? Kemana lagi suamiku itu?” tukasnya menggumam.

    Rosemary bangun lalu membereskan futon dan bantal-bantal yang bertebaran di tatami, melipat dan menyimpannya dalam lemari. Setelah itu, Rosemary kemudian beranjak meninggalkan bilik tersebut dan tiba di lorong. 

    Beberapa wanita berpakaian tradisional sempat hilir mudik. Mereka membungkuk sejenak kepada Rosemary lalu melanjutkan kembali perjalanannya. Salah satu pelayan itu ditahan sebentar oleh Rosemary.

    “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya pelayan tersebut dengan santun.

    “Aku hanya mau menanyakan, apakah kalian melihat suamiku?” tanya Rosemary dengan santun pula.

    “Oh, Tuan Saburo Sandaime, sedang berada di menara kastil.” jawab gadis tersebut. “Sedang bercakap-cakap dengan Tuanku Shigeno …” sambungnya kemudian membungkuk takzim.

    Rosemary mengangguk. Gadis pelayan itu pergi. Dengan canggung, disusurinya lorong tersebut hingga akhirnya dia tiba di sebuah ruangan yang lapang. Rosemary menyeberangi ruangan lapang itu dan tiba diserambi pavilyun. 

    Di bawah genkan tergeletak sepasang sandal kayu. Rosemary turun, memakai sandal itu dan menyusuri halaman menuju kastil. Di depan pintu kastil, seorang pria yang mengenakan pakaian tradisional menyapanya.

    “Nyonya, mau kemana?” tanya lelaki itu.

    “Aku mau menemui suamiku. Katanya, dia berada di puncak menara kastil…” jawab Rosemary. “Apakah dirinya masih di sana bersama-sama Pak Tatsuya?” tanya wanita itu.

    “Tuanku Shigeno baru saja beranjak pulang.” jawab lelaki tersebut. “Biar saya antarkan Nyonya kesana.”

    “Kalau begitu, tolonglah saya.” sahut Rosemary sambil membungkuk sopan. Lelaki itu membungkuk takzim lalu melangkah mendahului Rosemary.

    Diantar oleh lelaki berpakaian tradisional itu, Rosemary menjejaki lantai demi lantai hingga akhirnya tiba di depan bilik puncak menara kastil. Lelaki itu mendorong pintu ke samping dan menatap Rosemary.

    “Silahkan masuk, Nyonya…” ujar lelaki itu membungkuk dengan santun. Biar bagaimana pun statusnya sebagai istri seorang warga biasa, tetap saja Rosemary adalah putri dari Yang Terhormat Perdana Menteri Jepang yang berkuasa penuh menjalankan pemerintahan negara.

    Rosemary memasuki bilik itu. diujung ruangan nampak sebuah sajadah tergelar dan seuntai tasbih gaya juzu tergeletak di atasnya. Sosok orang yang diinginkannya tiada berada disana. Rosemary meneruskan langkah menuju balkon.

    Di sanalah dia menemukan orang yang dicarinya. Sandiaga memunggunginya, menghadapkan dirinya menatap hamparan kota Matsumoto ditemani semilir angin musim dingin yang sedikit lagi akan berganti. Salju-salju sudah mulai nampak mencair. Lelaki itu terlihat mengenakan kemeja hitam ketat yang bagian lengannya dilingkari secarik kain yang disulam dengan lambang kyoumon. Celana jogger hyperbeast-nya berkibar-kibar ditiup angin, selaras dengan sebagian rambut panjangnya yang menjuntai ke bahu.

    “Disini kau rupanya…” celetuk Rosemary.

    Sandiaga menghela napas panjang dan menghembuskannya, sebentuk uap napas nampak mengepul panjang. Lelaki itu membalikkan tubuhnya. Rosemary dapat dengan jelas melihat mata kiri suaminya yang ditempel perban dari kasa. Luka akibat tebasan pedang dari Chikaraishi itu belum sembuh sepenuhnya.

    “Kenapa kau kemari?” tanya lelaki itu dengan datar.

    “Aku sendirian di kamar!” sergah Rosemary setengah ketus. “Kemana saja kamu di pagi buta ini?”

    “Aku lagi sholat tahajud, lalu sholat subuh…” ujar Sandiaga tenang. “Kamu nggak pernah lihat orang Islam beribadah?”

    “Tapi kenapa harus di menara kastil? Kenapa nggak di paviliun saja?” tukas Rosemary memberengut. “Kau sengaja mau meninggalkanku, ya?!”

    “Belum apa-apa sudah menuduh yang bukan-bukan.” tegur Sandiaga dengan datar. “Aku disini menikmati suasana pagi… apa nggak boleh?!”

    Rosemary terdiam ditegur seperti itu. Sandiaga menghela nafas sejenak. Lelaki itu lalu mendekati istrinya dan memperbaiki kerah kimono wanita itu.

    “Besok, kita kembali ke Indonesia… aku sudah merindukan kampungku…” ujar Sandiaga.

    Rosemary tercekat lalu menatap suaminya. “Kita?”

    “Ya, kita!” tandas Sandiaga. “Kenapa?”

    “Aku nggak mau ke Indonesia!” tandas Rosemary.

    “Berarti aku pulang sendiri…” ujar Sandiaga dengan santai. “Kau kembalilah ke Tokyo, ke Kantei… tinggal lagi dengan Bapakmu, sana. Menyusullah pada tetek Kaede yang besarnya seperti buah pepaya itu…” oloknya. Rosemary menatap lelaki itu dengan sinis.

    “Kau!” sergah Rosemary dengan kesal lalu berdecak.

    “Apa?! Apa?! Mau marah?! Silahkan, ayo!!!” balas Sandiaga juga menyergah dan memelototkan matanya.

    “Gara-gara kamu membunuh Chikaraishi, aku langsung dicoret dari daftar keluarga Hasegawa! Tahu, nggak kau?!” sergah Rosemary dengan jengkel menuding-nuding wajah suaminya.

    “Eh, itu bukan urusanku!” tandas Sandiaga mengibaskan telunjuk Rosemary yang dituding ke wajahnya.

    “Itu sekarang urusanmu! Sekarang aku sendirian! Kau harus melindungiku!” seru Rosemary menuntut.

    “Ya, kalau begitu ikut aku ke Indonesia!” tandas Sandiaga.

    “Memang hanya opsi itu yang selalu kau andalkan, ya?!” tukas Rosemary dengan geram sambil bercakak pinggang. Sandiaga tersenyum. 

    “Salahmu sendiri memaksaku untuk menikahimu… kamu tuh istri keduaku. Aku punya istri di sana yang kurindukan…” ujarnya dengan polos membuat Rosemary disergap keterkejutan luar biasa.

    “Apa? Kau sudah beristri sebelumnya?!” seru Rosemary dengan kaget. Wanita itu maju memukuli dada lelakinya dengan kesal. Sandiaga membiarkan saja.

    “Brengsek! Kenapa nggak kau bilang sejak dulu?!” sergah Rosemary lagi dengan kesal sambil terus meninju dada Sandiaga.

    “Memangnya perlu?!” balas Sandiaga menangkap kedua tangan Rosemary dan mencampakkannya.

    “Tapi aku sudah terlanjur…” seru Rosemary yang merasa dipermainkan oleh lelaki itu.

    “Terlanjur apanya?!” tanya Sandiaga sedikit ketus. “Eh, sejak upacara shinzenshiki sampai sekarang, kamu nggak ku sentuh! Lubang perawanmu itu masih utuh! Terlanjur apanya, hah?!”

    Rosemary akhirnya hanya bisa tersedu-sedu lirih. Sandiaga kemudian melanjutkan lagi. 

    “Kamu itu masih perawan, belum sama sekali terjamah.” tandas lelaki itu. “Kalau kau berniat mau cerai, ya, dengan senang hati aku kabulkan…”

    “Aku nggak mau cerai!!!” teriak Rosemary menghentakkan kakinya ke lantai.

    “Ya, sudah. Terima saja kalau kau itu adalah selirku!” sergah Sandiaga kemudian berbalik lagi memandangi pemandangan kota Matsumoto. 

    “Begitu saja kok repot!” omelnya menggerutu.

    “Aku nggak mau kamu pulang ke Indonesia!” jerit Rosemary sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal.

    “Lho? Itu kampung kelahiranku! Itu negaraku! Aku ini sekarang berstatus WNI, bukan seorang affidavit lagi!” tandas Sandiaga berbalik menatap Rosemary sambil memelototkan matanya.

    “Aku takut di sakiti oleh mertuaku!” ungkap Rosemary lagi.

    “Nah, makanya… hati-hati… Ibuku adalah orang yang bengis. Sekali kau buat kesalahan, mampus lah kau di mutilasi.” ujar Sandiaga menakut-nakuti istrinya. Rosemary akhirnya tersedu-sedu lagi. 

    “Kau jahat, Saburo! Kau mempermainkanku!” tukas Rosemary di sela-sela sedu sedannya. Sandiaga terkekeh mendengar tuduhan tersebut.

    “Eh, siapa yang mempermainkan? Justru kamu yang mempermainkan aku! Menjebakku dalam siasat kotormu! Kau yang menyebabkan terbunuhnya satu-satunya paman kandungku, beserta keluarganya gara-gara permainanmu! Kau yang memaksakan pernikahan ini!” balas Sandiaga dengan ketus.

    “Aku benci kamu!” jerit Rosemary.

    “Terserah kamu!” balas Sandiaga lalu beranjak meninggalkan tempat itu. Rosemary buru-buru menggelayut di lengan lelaki itu. Sandiaga menatapnya dengan heran.

    “Eh, kau mau apa?!” tukas Sandiaga.

    “Jangan tinggalkan aku!” seru Rosemary memelas. “Kau mau kemana?!” tanya wanita itu.

    “Aku mau membereskan pakaianku, lalu pulang ke Shibuya, menginap semalam di Masjid Camii, lalu ke Haneda…” jawab Sandiaga.

    “Jadi, kau benar-benar mau pulang ke Indonesia?” pekik Rosemary dengan lirih.

    “Lho? Berarti kau nggak mendengarnya dengan baik? Harus ku jelaskan lagi?” tukas Sandiaga.

    “Aku ikut kalau begitu!” ujar Rosemary pada akhirnya sambil menghapus bekas-bekas airmatanya. “Aku mau lihat, seberapa cantiknya dia dibandingkan aku yang dijuluki wanita tercantik di wilayah timur Jepang ini!” dengusnya. Sandiaga tertawa mendengar ucapan kesombongan selirnya tersebut. 

    “Dasar perempuan songong…” umpatnya pelan.

    “Aku jamin, setelah melihat kecantikanku, dia akan segera pergi meninggalkanmu…” ujar Rosemary lagi.

    “Eh, kamu jangan macam-macam, ya. Berani kamu melakukan muslihatmu di sana, aku tak segan memulangkanmu ke sini!” ancam Sandiaga.

    “Kok kamu begitu?!” tukas Rosemary memberenggut.

    “Eh, kamu itu hanyalah hasil pernikahan politik! Jangan macam-macam kamu…” tambah Sandiaga lalu kembali melangkah sambil digelayuti oleh Rosemary, meninggalkan tempat itu.

    * * *

    Airina siuman merasakan seluruh tubuhnya pegal. Dia perlahan bangun dan mengucek mata. Tatapannya mengedar dan perasaan aneh menjalarinya. Ini bukan kamarnya. Tatapan itu turun ke selimut yang menyelimuti tubuhnya. Gadis itu sontak terkejut.

    Apa? Dimana ini? Aduh… kok pakai selimut sih? 

    Airina membuka selimut itu mengintip tubuhnya. Lagi-lagi dia terlonjak. 

    Hah? Aku nggak pakai dalaman?! Siapa yang melepaskan semua pakaianku? Aku di… perkosa?!

    Rasa panik seketika menjalari benaknya, namun gadis itu berupaya bersikap tenang. 

    Tenang…. Tenang….

    Samar-samar Airina mendengar suara air di kamar mandi. Gadis itu menggigit bibirnya. 

    Hmmm… berarti pelaku berada di kamar mandi sekarang…

    Airina baru saja turun dari ranjang ketika pintu kamar mandi terbuka. Akram keluar dari ruangan itu, hanya mengenakan celana bokser dan handuk hotel yang digosokkaN di kepalanya.  Melihat siapa yang muncul dari kamar mandi, membuat Airina merasai seakan dunianya runtuh saat itu. 

    Apakah… dia meniduriku???

    Sementara Akram yang melihat Airina berdiri mematung, langsung tersenyum dan menyapa, “Wah, sudah bangun ya? Salamaik pagi… apo kabar hari ini?”

    Airina gemetar dan perlahan air matanya jatuh. Akram yang heran menjadi bengong sejenak. 

    “Kamu kenapa, kok pagi-pagi sudah nangis? Lapar? Nanti ku-pesankan makanan…” ujar Akram menyeka handuk ke kepalanya dengan acuh tak acuh.

    Airina melangkah cepat ke arah Akram dan…

    PLAKKK!!!!

    Akram terkejut luar biasa. Tamparan itu sungguh diluar dugaannya. Pemuda itu mengelus pipinya yang panas akibat tamparan. Dalam kebingungannya akibat perlakuan sang gadis, pemuda itu menguak.

    “Kamu kenapa sih?!” sergah Akram yang bingung. “Masih pagi, main tampar saja! Memang muka aden ni martabak Kubang?!”

    Sambil menuding-nuding wajah pemuda itu, Airina menumpahkan emosinya. “Tega kamu! Kalau kamu memang menginginkanku, lamar saja aku sama ayahku! Bukan dengan menculikku begini dan…” Airina tersedat-sedat, “Dan… dan… meniduriku seperti ini!!!”

    Akram langsung paham tujuan dari tamparan itu. Namun, sebuah ide langsung muncul di benaknya. 

    Ini kesempatan bagus!!!!

    Sambil menentang mata Airina yang sudah basah, Akram me-nanggap. “Memang kenapa kalau ku tiduri?! Suka-suka Aden dong! Lagian kenapa kamu mabuk?! Lagi patah hati, ya?”

    Airina terdiam ditohok sedemikian rupa. Akram menyambung. “Kamu itu waktu mabuk menarikku ke pelukan dan… terjadilah apa yang semestinya belum boleh terjadi.” ujar Akram dengan nada tinggi. Airina terhuyung jatuh, nyaris saja dipeluk Akram. Namun gadis itu mengibaskannya. 

    “Lepaskan aku!” teriaknya histeris.

    Airina melangkah sempoyongan dan duduk di sisi ranjang, lalu kembali menumpahkan emosinya dengan menangis. Akram mendekat dan duduk disisi gadis itu. Dia mengelus pundak Airina.

    “Sudahlah…” bujuknya. “Relakan yang sudah terjadi…” kata pemuda itu. Airina menghentakkan pundaknya lalu kembali menangis sesenggukan.

    “Apa yang harus kubilang sama Mama? Sama Papa? Kalau beliau tahu?!” gumam Airina membayangkan hal-hal buruk yang bakal menimpanya. Tentu kedua orang tuanya, terutama mamanya, akan menerapkan hukum klan, kepadanya. Gadis itu tak mau membayangkan jenis hukuman macam apa yang akan diterima oleh seorang kunoichi yang melanggar pantangannya.

    “Ya, nggak usah bilang apa-apa…” sahut Akram. Airina menatapnya dengan tajam. Akram tersenyum. 

    “Peristiwa itu insidentil saja… aku melihatmu mabuk dan menaklukkan orang-orang di Bar itu… aku mengawasimu dari jarak aman hingga kamu menundukkan 10 orang di sana. Kamu pingsan, jadi aku membawamu kemari…” tutur pemuda itu.

    “Kenapa nggak dibawa ke rumahku saja?!” semburnya. “Kan nggak jadi begini jadinya?” gadis itu kembali menangis.

    “Eh, ini tindakan pengamanan…” kilah Akram.

    “Pengamanan apa?!” tukas Airina. “Pencabulan! Pemerkosaan, tahu?!”

    Gadis itu kembali menangis penuh penyesalan, sementara Akram langsung melingkarkan tangannya ke bahu Airina dan membawanya ke pelukan.

    “Sudah… nanti aku tanggung jawab…” ujar Akram. “Jangan kuatir…”

    Airina hanya meninju dada pemuda itu lalu kembali menangis tersedu-sedu lirih. Akram tersenyum penuh kemenangan. 

    Kau sudah terperangkap Yuki… kau tak bisa kemana-mana… kau kini milikku!

    Airina melepaskan pelukan Akram lalu berdiri dan melangkah menuju sofa kecil, masih tetap memeluk selimutnya. Akram dapat dengan jelas melihat tubuh bagian belakang Airina yang terpampang polos tanpa penutup apapun. Sekali lagi pemuda itu meneguk ludahnya.

     “Mana pakaianku?!” tanya gadis itu dengan ketus.

    “Sementara diurus jasa laundry hotel…” jawab Akram.

    “Dasar lelaki pemetik bunga!!!” umpat Airina melengos.

    “Biarin! yang penting bunga yang kupetik itu… kamu…” balas Akram.

    “Kamu!!!” sergah Airina dengan pekikan nyaring.

    Airina langsung bangkit menerjang Akram. Keduanya bergumul di ranjang. Gadis itu memukuli Akram dengan kesal.

    “Aku benci! Aku benci kamu! Tukang perkosa! Kumbang air!” umpat Airina. “Pemangsa perempuan! Satiromania! Pedofillis!”

    Mereka bergumul lagi namun kali ini Akram berhasil menindih Airina. Pemuda itu menyumpal bibir Airina dengan bibirnya. Gadis itu meronta berusaha mendorong Akram. Pemuda itu tak hilang akal. Dia menguakkan selimut itu hingga kedua payudara Airina langsung terekspos keluar. Pemuda itu membelai-belai buah dada gadis itu, membuat Airina merengek kegelian.

    “Akraaaam…. Jangan disitu…pleeeeassssee…” rengek Airina dengan lirih menahan sensasi aneh yang menjalari tubuhnya.

    Akram menarik Airina bangkit lalu keduanya kembali bergumul di sisi pintu kamar mandi. Kali ini Airina terpancing birahi dan mulai membalas. Tiba-tiba Akram melepaskan pelukannya dan membuka pintu kamar mandi lalu mendorong Airina masuk ke dalamnya.

    BLAM!!!!

    Akram menutup pintu kamar mandi dan terkekeh. Airina menggedor-gedor pintu itu dengan kesal dan tak lupa menendang-nendangnya.

    BRAKK!!! BRAK!!! BLAM!!! BLAM!!!

    “Mandilah, Sayang… Kamu sudah bau…” olok Akram.

    “Akram! Berani sekali kamu mempermainkan aku! Aku sumpah akan membunuhmu!” teriak Airina dari balik ruangan dengan histeris. “Keluarkan aku dari sini! Akraaaam!!!”

    Akram kembali tertawa dan melangkah dengan enteng menuju lemari dan berganti pakaian.

    * * *

     

    Keduanya menikmati sarapan pagi di Lounge hotel. Airina canggung benar sikapnya, sedangkan Akram justru sebaliknya. Sangat tenang. Akram melirik gadis itu sejenak lalu kembali menikmati sarapan paginya. 

    “Aku akan balik hari ini ke Padang…” ujarnya. Mendadak rasa tidak rela menjalari benak gadis itu. Dia menatap Akram. 

    “Kapan kamu kembali ke sini?” tanya Airina tanpa sadar. Sejenak kemudian, gadis itu terhenyak dan menggigit bibirnya sambil memejamkan sejenak merutuki kecerobohannya.

    “Kayaknya masih lama…” jawab Akram dengan senyum jahil.

    “Maksudmu?!” tukas Airina.

    “Aku masih banyak urusan…” kilah Akram.

    “Atau kamu sengaja lari karena sudah mengecap manisnya?!” tukas Airina lagi dengan ketus. Akram tertawa pelan.

    “Seksi benar suaramu kalau menuduhku seperti itu.” goda Akram. Pemuda itu mengurut dagunya sejenak. “Kenapa nggak dari dulu saja ya?”

    Airina hanya melengos kembali menatap sarapan yang sudah tak berminat lagi disentuhnya. Akram kembali menggoda. 

    “Takut ditinggal, ya?” oloknya. Airina makin menunduk menyembunyikan mendung hatinya.

    “Sudah… selesaikan sarapannya.” pinta Akram. “Kita harus pulang dan bersiap-siap menjawab interogasi orang tua kita…”

    Airina langsung pias mendengar kata itu. Dia tak pandai berbohong di depan ibu dan ayahnya. Meskipun gadis itu menguasai juga seni hensojutsu, tetap saja kedua orang tuanya dapat mendeteksinya.

    Haruskah kututup saja kedua mataku?

    “Jangan pernah bilang kita berdua menginap di hotel.” pesan Akram masih mengulas senyum jahilnya.

    “Siapa juga yang mau jujur soal insiden itu?!” timpal Airina menggerutu. Akram hanya tertawa. 

    Kena kau sekarang… es krim…

    Keduanya menyelesaikan sarapan dan langsung check-out dari TC Damhill, menaiki mobil rental. Keduanya tak bicara sedikit pun. Airina menekurkan wajahnya dan Akram juga tak punya niat menjahilinya lagi. Perangkap di hotel semalam itu pasti sukses membuat Airina tak berani memalingkan hatinya ke orang lain. Akram sangat yakin.

    haqqul yaqin

    Kendaraan itu memasuki kawasan properti kediaman Lasantu. Akram sudah melihat kedua wanita paruh baya duduk di beranda. Mobil berhenti di sisi beranda dan Akram keluar duluan.

    “Dari mana saja kalian?!” tegur Syafira dengan datar.

    “Kami mengerjakan proyek mecha di kantornya.” kilah Akram mengangguk ke arah Airina. “Semalaman…”

    Azkiya menatap putrinya. “Apa benar, Nak?”

    Airina menatap ibunya lalu menunduk lagi dan mengangguk. Azkiya menarik napas panjang. Kenzie muncul dari pintu dan mengajak kedua anak muda itu masuk. Keduanya digelandang ke ruang tamu. Kenzie menatap Akram.

    “Jelaskan, padaku… proyek macam apa yang kalian berdua kerjakan?” tanya Kenzie dengan penasaran. Akram tersenyum dan mengeluarkan gawainya lalu meletakkannya di atas meja. 

    “ARKHAM…” serunya. 

    Layar gawai itu menyala dan memancarkan konstelasi-konstelasi holografis. 

    “Selamat pagi, Tuan…” sahut kecerdasan buatan itu.

    “Ada yang tertarik dengan proyek kita…” kata Akram. “Bisa kau proyeksikan desainnya?”

    “Baik, Tuan…” sahut kecerdasan buatan itu.

    Gawai itu kembali memancarkan konstelasi holografis berbentuk desain armor secara 4 dimensi. Kenzie terbelalak kagum.

    “Luar biasa…” gumamnya. Syafira tersenyum bangga sembari menatap putranya. Kenzie menatap Akram. 

    “Bagaimana kau bisa secerdas ini?” desisnya.

    “Om perlu juga memuji Yuki.” sela Akram. “Dia juga membantu saya mendesain armor ini…” tambahnya. Airina tertunduk malu. Kenzie menatap putrinya. 

    “Benarkah, Nak?” desisnya tak percaya. Airina hanya mengangguk pelan saja.

    “Dan, karena bantuan Yuki, saya berhasil menyelesaikan proyek WM 01 dan pihak Kemenhan bersedia mengucurkan dana pembuatan 100 unit armor WM 01… ke depannya, alutsista kita tak memerlukan lagi kendaraan-kendaraan berat. Armor WM 01 sudah memenuhinya.” tutur Akram dengan wajah yang tenang penuh senyuman.

    Kenzie menganggukkan kepala ke prototype solid armor yang ditampilkan dalam layar holografis ponsel itu. 

    “Lalu…desain ini… Apakah kau akan mengkomersilkannya?” pancingnya.

    “Nggak…” jawab Akram. Pemuda itu lalu menatap Airina. “Ini milik kami berdua…”

    Kenzie mengangkat alisnya dan menatap putrinya. Akram menjelaskan kembali. 

    “Desain ini, saya namakan YUKI… dari akronim… Yunda Kidang…” ujarnya pelan.

    “Kidang?” tukas Airina. “Kau sebut aku Kidang?”

    “Memang artinya apa, Nak?” tanya Azkiya.

    Airina menatap ibunya dan mendehem. “Kijang, Ma…”

    Seketika Kenzie dan Azkiya tertawa membuat Airina menundukkan wajahnya dengan kikuk dan menatap Akram dengan geram.

    “Tentu ada alasannya, ya?” pancing Kenzie membuat Akram tersipu. Lelaki paruh baya itu lalu menatap putrinya. “Papa bangga… ternyata kamu ada bakat juga di bidang robotika…”

    Akram menatap ponselnya. “ARKHAM… presentasi selesai…” ujarnya.

    Saving data and accepted…” balas kecerdasan buatan itu dan tak lama pendar-pendar holografis yang menampilkan desain armor lenyap. Akram memungut kembali ponselnya dan menyimpannya.

    Syafirah tersenyum, “Karena presentasinya sudah selesai, izinkan kami dari pihak MLT. Group pamit undur diri.” ujarnya kembali memancing tawa Kenzie.

    “Kok bawa-bawa nama perusahaan sih?” tukasnya. “Nggak bisa menginap sehari lagi?” pancingnya.

    “Jangan, Uda…” tolak Syafira dengan halus. “Nantilah kapan-kapan…”

    Kenzie mengangguk. “Baiklah…” Lelaki itu bangkit. “Mari, kami akan mengantarkan kalian.” ajaknya.

    Mereka bangkit bersama-sama dan meninggalkan kediaman Lasantu. Dengan Volkswagen 255NT milik Kenzie, ibu dan anak itu diantar menuju bandara internasional Djalaluddin.

    Akram duduk di depan di sisi Kenzie, sementara Airina duduk di sisi jendela bersama ibunya dan Syafira. Dalam perjalanan itu, Akram banyak menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Kenzie, sambil sesekali mencuri pandang menatap Airina. Sementara Azkiya dan Syafira entah tenggelam dalam diskusi serius membahas sesuatu yang kelihatannya penting.

    Sejam kemudian, kendaraan itu tiba di Bandara. Kenzie sendiri telah mengontak pihak Buana Asparaga untuk mempersiapkan penerbangan bagi Syafira dan putranya. Di hanggar pesawat, Syafira menyalami Kenzie.

    Denai senang bisa melihat adiek berdua. Semoga kita bertemu lagi dengan agenda yang lebih baik.” ujarnya dengan senyum terurai dan menggoyangkan tangan Kenzie dengan pelan. setelahnya, Syafira kembali menatap Azkiya.

    “Jangan lupa dengan kesepakatan kita…” bisiknya pelan. Azkiya hanya tersenyum. 

    Insya Allah…” jawabnya pula.

    Kedua wanita itu berpelukan erat lalu Syafira melepaskan pelukannya dan menatap Airina.

    Mande akan merindukanmu…” ujarnya seraya maju memeluk Airina dengan hangat. 

    Mande tunggu kamu di Kediaman Al-Katiri…” bisiknya membuat wajah Airina bersemu merah. Gadis itu hanya mengangguk saja.

    Syafira melepaskan pelukannya dan mengangguk santun kepada Kenzie dan Azkiya lalu berbalik melangkah meninggalkan mereka menuju pesawat milik perusahaan Buana Asparaga Tbk yang dipersiapkan untuk mengantar sang direktur Al-Katiri Incorporation dan wakil direktur MLT. Group itu. Akram menatap dua laki-istri itu. 

    Aden pamit dulu, mamak…” ujarnya pamit. “Insya Allah…saya akan kembali dalam waktu yang tak begitu lama…”

    Kenzie mengangguk. “Jaga dirimu baik-baik…”

    Akram mengangguk lalu menatap Airina. Pemuda itu tersenyum sejenak dan berbalik meninggalkan tiga orang tersebut. Sesaat ketika pesawat jet itu mengangkasa, Airina merasakan sebagian dari hatinya tercabik lepas. Dia merasai sakit yang tak bisa dijelaskannya, karena itu bukan rasa sakit fisik… 

    * * *

     

    “Yuki nggak makan malam lagi?” tegur Kenzie saat keduanya duduk bersama menikmati sajian makan malam yang dimasak istrinya. Azkiya hanya menghela napas.

    “Mungkin Yuki punya masalah yang sulit diungkapkan sama kita.” jawab Azkiya dengan senyum.

    “Kalau begitu… antarkan saja makan malam ke kamarnya.” pinta Kenzie.

    Azkiya mengangguk. Keduanya kembali menikmati makan malam. Tak berapa lama, Kenzie kembali bicara. Lelaki itu meneguk sedikit air dan menatap istrinya.

    “Saburo… sudah melaksanakan kewajiban keluarga kita…” ungkap Kenzie. “Keluarga Hasegawa sudah mendapatkan karmanya.” 

    Lelaki itu lalu meraih jemari tangan istrinya dan sedikit meremas-nya. “Kuharap setelah ini, Kanai-Chan mengikhlaskan kematian Takagi sekeluarga…”

    Azkiya sejenak menunduk lalu mengangkat wajahnya menatap Kenzie. wanita berkhimar itu lalu mengangguk dan menyunggingkan senyum gingsulnya. Kenzie balas tersenyum dan mengangguk.

    Kanai, boleh tahu nggak…” pancing Kenzie. Alis Azkiya terangkat.

    “Apa sih yang Kanai bicarakan sama Uni Fira?” tukas Kenzie. “Serius benar…”

    Azkiya hanya tersenyum lalu menyorongkan piringnya yang kosong ke tengah meja. Wanita itu meneguk sedikit air lalu menggoda suaminya.

    “Ih, karlota benar jadi laki-laki…” oloknya.

    Azkiya bangkit mengangkat piring-piring bekas makanan dan meletakkannya di wastafel lalu mencucinya.

    “Aku curiga deh, kayaknya kalian berdua mau menjodohkan Yuki sama anak itu….” tebak Kenzie. 

    “Iya, kan? Ngakulaaaaah….” selidiknya lalu terkekeh.

    “Insting entrepreneur jangan dibawa-bawa…” kilah Azkiya. 

    “Curigaan saja sama pembicaraan perempuan…” sahut Azkiya memelototkan mata namun senyumnya tetap tersungging.

    Tebakanmu memang benar, Hubby. tapi maaf ya, belum saatnya…

    “Tapi instingku nggak pernah meleset kok.” ujar Kenzie. Azkiya lalu menyendokkan makanan untuk Yuki ke piring. 

    “Kalau iya, kenapa?” tantangnya.

    “Berarti benar, kan?!” tebak Kenzie dengan seringai senang.

    “Lho? Aku kan hanya bertanya… bagaimana seandainya jika keduanya cocok…” kilah Azkiya sambil tersenyum.

    “Ya, syukur sih…” sahut Kenzie pula.

    “Kenapa syukur?” pancing Azkiya.

    “Aku senang sama anak bengal itu. Dia mirip aku waktu muda.” jawab Kenzie lalu tertawa membuat Azkiya hanya menggelengkan kepala.

    “Berarti, Hubby setuju?’ pancing Azkiya.

    “Itu bukan wewenangku…” tangkis Kenzie. “Yang akan menjalaninya adalah Yuki. Semua keputusan ada di tangannya…”

    Azkiya tersenyum. “Aku antar makanan dulu untuk Yuki, ya.”

    “Aku tunggu di kamar, ya?” balas Kenzie dengan senyum nakal. 

    Azkiya hanya tersenyum dan mengangguk. Wanita itu lalu pergi membawa baki berisi makanan untuk Airina. Di depan kamar, dia mengetuk pintu kamar putrinya.

    “Ini Mama, sayang…” seru Azkiya dengan pelan.

    “Masuk saja, Ma. Nggak dikunci…” jawab Airina dari dalam.

    Azkiya membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan langsung menuju nakas di sisi ranjang Airina. Baki berisi makanan itu diletakkan di sana. Wanita berkhimar itu lalu menatap putrinya yang berdiri di depan jendela yang terbuka lebar tirainya. Cahaya rembulan masuk menyinari ruangan kamar yang tanpa cahaya lampu itu.

    “Makanlah, Nak.” pinta Azkiya.

    “Yuki nggak lapar, Ma…” tolak Airina. Azkiya mendekati putrinya lalu duduk di sisi ranjang.

    “Yuki…” panggil Azkiya. Yuki memutar tubuhnya menatap sang ibu yang duduk di sisi ranjang.

    “Duduklah…” pinta Azkiya menepuk kasur. “Mama mau bicara.”

    Airina lalu duduk di sisi ranjang dekat ibunya.

    “Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri…” tegur Azkiya.

    Airina akhirnya menunduk dan tak lama kemudian terisak pelan. dengan sigap Azkiya beringsut ke depan dan memeluk hangat putrinya.

    “Ada apa dengan putri salju-nya Mama?” tanya Azkiya membelai-belai rambut putrinya yang sesenggukan.

    “Yuki…Yuki… tidak direstui sama keluarganya Faris.” ungkap Airina pada akhirnya. Azkiya menghela napas dan tersenyum.

    “Mama sudah menduganya.” ujarnya dengan pelan. Airina menatap ibunya. Azkiya membelai pelan rambut putrinya.

    “Faris ternyata sudah dijodohkan…” ungkap Airina lagi sambil menyeka airmatanya. Azkiya mengangguk pelan.

    “Atau karena reputasi Mama?” pancing Azkiya.

    Airina terdiam lama lalu melengoskan wajahnya ke lantai, malu menatap wajah sang Ibu. Azkiya kembali memancing.

    “Kamu malu… punya Ibu… seorang mantan genyosha???” pancingnya lagi. “Kamu malu punya ibu yang pernah melakukan pembantaian dua kali dan masuk penjara selama lima tahun untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya?”

    “Nggak, bukan itu…” jawab Airina lalu mengangkat lagi wajah-nya.

    “Terus?” pancing Azkiya.

    “Pak Romin itu, dia menghina Mama di depanku… aku jelas tak terima!” jawab Airina. 

    “Dan, kau memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu?” tanya Azkiya lagi.

    “Sebelum kuputuskan, Pak Romin membuka tabir tentang perjodohan Faris dengan teman sejawatnya…” ungkap Airina.

    “Lupakan Faris.” ujar Azkiya.

    “Aku sudah melupakannya.” jawab Airina dengan datar.

    “Bagaimana dengan…. Akram?” pancing Azkiya.

    “Mama…” dengus Airina kesal melepas pelukan. “Kenapa sih dengan Akram?”

    “Mama kan hanya nanya…” goda Azkiya.

    “Mama mau Yuki nikahan sama kumbang air itu?!” tukas Airina mengamati wajah ibunya yang tersorot cahaya rembulan yang menerjang dari balik kaca jendela. Azkiya tertawa pelan.

    “Kamu menyebutnya Kumbang Air?” tukas Azkiya. Airina Yuki hanya melengos mendengar godaan ibunya. Azkiya menyentuh dagu putrinya, menghadapkan wajah Airina ke hadapannya.

    “Berarti kamu mau?” balas Azkiya dengan senyum.

    “Au ah, Ma…” ujar Airina melengos lagi. Azkiya tersenyum.

    “Ya, sudahlah…” ujar wanita itu lagi. 

    Azkiya lalu bangkit dan melangkah meninggalkan ruangan, mem-biarkan Airina tenggelam dalam ruang khayalnya sendiri. Sepeninggal sang Ibu, tanpa sadar Airina memejamkan matanya.

    “Akram….” desisnya dengan pelan…

    * * *

     

    Sandiaga saat itu tenggelam dalam sholat Isya bersama-sama para jamaah lain yang dipimpin Ustadz Taki Takazawa. Ulama lokal yang berusia renta itu mengimami sholat tersebut dengan khusyu. Setelah menunaikan sholat Isya, Ustadz Taki Takazawa mengajak Sandiaga bicara. Keduanya duduk bersila di serambi masjid Cammi.

    “Mulai sekarang, tanggung jawabmu sudah berat.” Nasihat Ustadz tua itu. 

    “Hidup dengan beristrikan dua perempuan yang sangat berbeda karakternya, juga latar belakang budaya yang berbeda dituntut cara mengaturnya yang baik. Jangan sampai menimbulkan perselisihan dalam rumah tangga.”

    Sandiaga menundukkan kepalanya dengan takzim saat mendengar petuah-petuah ulama tua itu. Sementara dari balik pintu bilik mihrab, Rosemary mengamati percakapan kedua lelaki beda usia itu tentang bagaimana cara mengatur rumah tangga yang baik dan bahagia.[]

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 34

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021