Dalam beberapa hari ini, Airina kerap ditemani Akram. Pemuda itu menginap di suite pribadi dalam ruang kerja gadis itu, sedangkan Airina sendiri tetap tinggal di Kediamannya.
Airina begitu energik menjawab segala pertanyaan yang ditanyakan oleh dosen-dosen penguji melalui konferensi jarak jauh perihal isi tesis-nya. Keberadaan Akram di sisinya, menambah semangat gadis itu menuju kadar tertinggi.
Saat ini, Akram duduk santai di sofa sementara Airina duduk mesra di pangkuan pemuda itu. Sambil menyuapi Akram dengan cemilan yang diberikan sekretarisnya, Airina sibuk membahas hasil ujiannya.
“Kamu mau ikut aku ke Padang, nggak?” cetus Akram tiba-tiba. Airina terdiam sejenak lalu menatap kekasihnya.
“Kapan?” tanya Airina.
“Setelah ujian tesis-mu selesai.” jawab Akram.
“Lha? Itu memang sudah selesai.” ujar Airina. “Tinggal tunggu yudisium.”
“Kalau begitu, kita ke Padang sekarang, yuk.” ajak Akram.
“Aku belum minta izin sama orang tua.” tangkis Airina mencolek pelipis kekasihnya.
“Kamu mau menculikku, ya?!” tukasnya dengan nada ketus.
“Kalau soal kamu menculik, aku sih nggak takut diomelin Mama dan Papamu.” komentar Akram.
“Dasar, mesum!!” umpat Airina dengan ketus.
“Kalau mesum sama kekasih kan nggak apa-apa.” tangkis Akram diselingi cengiran khasnya.
“Lagian kamu kan sudah jadi istriku. Resminya saja yang belum.” sambungnya lalu tersenyum nakal.
“Hah? Istri?!” tukas Airina lalu mencubit pipi Akram. “Woy! Sadar! Kita berdua belum di akad!” tegurnya.
“Tapi kan kita sudah pernah … Berarti, kita sudah kawin, dong. Nikahnya saja yang belum.” tangkis Akram kembali memamerkan senyum nakalnya.
“Kok kamu doyan sekali mengungkit-ungkit hal itu?” tukas Airina melipat tangannya di dada. “Memang enak ya, merkosa aku saat mabuk? Kesannya menikmati benar!”
Akram hanya tertawa mendengar tuduhan itu. “Aku hanya ingin kamu, menjadi wanitaku satu-satunya…” pemuda itu mencondongkan wajahnya ke depan. “Kamu… mau, kan?”
Airina akhirnya malah tersenyum dan mengangguk dengan mantap.
* * *
Di suite pribadi itu, Akram menghubungi orang tuanya. Nampak dalam layar gawai tersebut terlihat Syafira al-Katiri dan Kevin Williams yang duduk berdampingan.
“Kamu lagi di mana?” tanya Kevin dengan gusar. “Sudah dua hari kau bolos kerja!”
“Kamu di Gorontalo, ya?” tebak Syafira.
“Tepat!” seru Akram mengacungkan dua jempol. “Umi memang hebat, deh…” pujinya.
“Beberapa hari lalu, kau baru saja dari sana. Sekarang sudah di sana lagi!” tegur Kevin. “Kamu ngapain saja?! Apa kamu sengaja supaya bisa bermain-main seperti ini?!”
“Wah, wah, wahhhh… Abi kalau menuduh, segitunya ya?!” tukas Akram mengerutkan alisnya. “Siapa bilang saya main-main?”
“Buktinya, kamu di sana sekarang ini!” tukas Kevin. “Kau pikir kau tak punya tanggung jawab besar di sini, hah?!”
“Mas…” tegur Syafira dengan keras.
Sejenak Kevin menatap istrinya. Lelaki paruh baya itu kembali menatap layar.
“Kamu harus pulang hari ini!” titahnya.
“Pasti!” sahut Akram.
“Bagus!” timpal Kevin.
“Sekalian saya datang membawa hadiah untuk Umi.” sambung Akram dengan senyum dikulum.
“Jangan bilang kalau kau…” tebak Kevin dengan gusar.
“Yup! Calon istri!” tandas Akram.
Syafira membekap mulutnya sedang kedua matanya berkaca-kaca. Kevin terlihat mengulas senyum masam.
“Anak keluarga Lasantu itu?” tanya Kevin.
Akram hanya mengangguk sambil tersenyum lebar. Kevin sejenak mendesah lalu menatap putranya.
“Apa nggak ada alternatif lain?” pancing Kevin.
Akram tersenyum memahami maksud Ayahnya. Pemuda itu mengangkat bahunya.
“Silahkan saja, Abi mengajukan kontestan. Tapi, aku pun berhak menentukan pilihanku…” ujarnya dengan mantap.
“Dasar, anak bandel!” umpat Kevin. “Nggak jera-jera juga kau bermain perempuan!”
“Mas…” tegur Syafira lagi.
“Bagaimana dengan usulku?” tanya Akram lagi.
“Usul yang mana?!” tanya Kevin.
“Mendudukkan Hayati sebagai CEO di MLT. Group!” tandas Akram dengan alis berkerut.
“Belum. Masih banyak yang kupikirkan…” kilah Kevin.
“Okay, asal Abi nggak menyesal di kemudian hari ketika saat yang Abi takutkan itu tiba…” tukas Akram mengancam.
“Kau, mengancamku?!” balas Kevin dengan gusar.
“Terserah Abi mengartikannya.” ujar Akram.
“Kau membuatku dalam posisi terjepit!” tukas Kevin.
“Entrepreneurship adalah medan perang! Bahkan paling sadis dan kejam ketimbang perang militer! Jika Abi tidak jeli dalam melihat situasi, perusahaan itu akan tumbang, bahkan sebelum Abi terjaga dari tidur. Begitu Abi bangun, MLT. Group hanya tinggal sejarah!” ujar Akram panjang lebar mengemukakan pendapatnya.
“Aku nggak seperti Abi… Sains terapan adalah ghirah-ku… aku nggak pantas ada di MLT. Group. Yang pantas berada di sana adalah Hayati, Abi paham?!” sambung Akram dengan wajah tegangnya.
Kevin masih diam menyelami pemikiran anaknya. Wajah lelaki paruh baya itu terlihat keruh. Sejujurnya, dia gusar dengan sikap pembangkangan putranya.
“Kalau Abi bersikeras menolak usul saya, akan saya tarik Hayati ke Korporasi Dagang al-Katiri.” ancam Akram lalu tersenyum sinis. “Saya ingin melihat, bagaimana nantinya Abi menyembah-nyembah kaki Oom Rudi karena hal itu…”
“Kau!” sergah Kevin makin gusar.
“Abi mau menerima usulku, atau nggak?!” todong Akram se-tengah menyergah. “Waktu Abi hanya sepuluh detik!”
Kevin menjadi kelimpungan sementara Akram terus menghitung mundur. Akhirnya lelaki paruh baya itu mengalah.
“Baik! Fine, that your option!” seru Kevin pada akhirnya. “But… jika ada hal-hal yang membuat MLT. Group berada pada ambang mengkuatirkan, That’s all of you!”
“Deal!!!” seru Akram dengan senyum penuh arti.
* * *
“Kamu mau ke Padang?” tukas Azkiya sekali menatapi Airina yang menundukkan wajahnya. “Dengan… Akram?”
Sekali lagi Airina mengangguk.
Azkiya sekali lagi mendesah. “Apa kalian berdua yakin?”
“Benar, Mande…” jawab Akram mewakili kekasihnya. “Tentunya, Ambo meminta restu dari Mande dan Apak pula.”
“Kenapa buru-buru?” tukas Azkiya dengan lirih.
Akram hanya tersenyum sejenak dengan canggung, Azkiya menatap Akram dan Airina bergantian, lalu kembali memandang pemuda di sisi putrinya.
“Apakah… mereka sudah mendesakmu?” pancing wanita berkhimar panjang itu.
“Sedikit…” jawab Akram, “Namun bukan perkara itu, Mande. Ada hal yang lebih penting lagi. Namun untuk hal ini, dapatkah Mande mengizinkan aden memboyong Airina ke Padang?”
“Memboyong?” tukas Azkiya. “Yang benar mana? Membawa atau memboyong?” tohoknya sambil tersenyum.
“Ada bedanya, ya?” tanya Akram.
“Tentu beda…” jawab Azkiya. “Kalau membawa, berarti posisi Yuki hanya sebagai partner. Kalau itu, saya akan mengijinkannya. Tapi kalau memboyong… kesannya kamu mau menculiknya…” wanita paruh baya itu kembali tersenyum.
“Begitu ya?’ gumam Akram menggaruk kepalanya sambil sesekali menatap wanita berkhimar tersebut. Akhirnya pemuda itu memberanikan dirinya.
“Bolehkah, saya memboyong Airina ke Padang?” tanya Akram dengan sikap tegak.
“Sudah bulat tekadnya?” pancing Azkiya tersenyum.
“Saya minta restunya, Mande!” tandas Akram.
Di sisi pemuda itu, terdengar Airina terisak pelan. Akram menatap kekasihnya.
“Kamu kenapa? Nangis ya? Kok nangis?” tanya Akram.
“Siapa yang nangis?” tangkis Airina buru-buru menyusut air matanya masih tetap menundukkan wajah. Azkiya sendiri hanya tersenyum menatap putrinya.
“Eh, nggak usah lebay begitu.” tegur Akram. “Aku lagi berunding nih, jangan main drama dong…”
Airina hanya mendecak kesal lalu buru-buru bangkit melangkah cepat menuju kamarnya. Azkiya tersenyum lalu bangkit.
“Kalau begitu, Ibu akan memanggil Ayah dulu.” ujar wanita berkhimar panjang itu. “Nak Akram bersabarlah sedikit.”
“Baik, Mande…” jawab Akram.
Azkiya melangkah meninggalkan ruangan itu, menyeberangi ruangan demi ruangan hingga tiba di Dojo pribadi. Di sana, nampak Kenzie yang sibuk berlatih silat Langga. Wanita itu menunggu suaminya menyelesaikan gerakan-gerakan silatnya, hingga akhirnya Kenzie berdiri tegap dan menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.
Setelah menurunkan tangannya, lelaki paruh baya berpakaian tradisional serba hitam yang dibalut sarung batik di pinggangnya itu menoleh menatap Azkiya. Selangkah wanita itu maju lalu menebar senyum teduhnya.
“Akram hendak memboyong Yuki ke Padang…” lapornya. Kenzie sejenak memperbaiki letak destar di kepalanya, lalu tersenyum.
“Memboyong? Nggak salah? Sudah bulat tekadnya?” tukas lelaki paruh baya tersebut. Anggukan mantap Azkiya membuat lelaki parobaya itu menghela napas.
“Undang keduanya ke Dojo!” titahnya.
Azkiya mengangguk lagi lalu meninggalkan Dojo melalui dapur dan menemui Airina di kamarnya, memberitahu bahwa dia dipanggil ayahnya ke Dojo. Setelah itu, Azkiya menemui Akram di ruang tamu.
“Maaf, sudah membuat Nak Akram menunggu…” ujar Azkiya. “Sekarang, anak ditunggu di Dojo. Mari saya antar…”
Akram tersenyum lalu bangkit mengikuti Azkiya keluar dari rumah dan melangkah memutari kediaman itu hingga tiba di sebuah bangunan kuno mirip kuil-kuil jinja. Azkiya mengisyaratkan agar Akram menaiki tangga Dojo dan menggeser pintu shoji ke samping.
Pemuda itu melakukan apa yang diinstruksikan wanita paruh baya berkhimar panjang tersebut. Akram melepaskan sepatu di sisi pintu. Di dalam dojo, Kenzie duduk bersila di tatami dengan pakaian tradisional pelanggan. Di sisinya, duduk Airina dengan gaya za-zen.
Akram benar-benar merasakan aura penuh intimidasi saat menatap wajah Kenzie yang begitu serius. Pemuda itu dipersilahkan oleh lelaki paruh baya itu duduk di depannya, sedang Azkiya duduk bersimpuh di belakang pemuda tersebut.
“Sudah bulat kah tekadmu untuk memboyong putriku menemui mereka?” tanya Kenzie dengan datar dan dingin.
“Saya sudah bulat tekad, Apak!” jawab Akram dengan tegas. “Saya mohon restu…”
“Apabila, ada penolakan dari salah satu orang tuamu, maka kembalikan dia, dan jangan pernah menginjak kediaman ini lagi!” sambung Kenzie setengah menggertak dan mengancam.
“Papa…” desis Airina lirih menatap ayahnya. Akram tersenyum penuh keyakinan.
“Tak ‘kan sesikit pun ambo hendak melepaskan dia.” pungkasnya dengan nada yang mantap. Kenzie sejenak menarik napas panjang dan mengangguk.
“Baiklah, saya pegang janjimu!” ujarnya sembari mengulurkan tangan. Akram langsung mengangguk.
“Deal!!!” seru Akram langsung menyalami tangan lelaki paruh baya itu dan mengguncangkan dengan semangat.
* * *
Di Kediaman Williams telah banyak orang berkerumun di taman yang luas itu. Kevin sengaja menggelar pesta besar untuk menunggu kedatangan Akram dan Airina. Beberapa kerabat dan orang terdekat MLT. Group juga berkumpul di sana. Selain itu terdapat juga kolega-kolega bisnis dari Kevin maupun Syafira di sana.
Ternyata Kevin telah memesan beberapa koleganya yang memiliki anak perempuan untuk mendandani mereka secantik mungkin. Ide itu sebenarnya tidak disukai oleh Syafira, namun dia mendiamkan saja keinginan suaminya.
Tak lama kemudian muncul sebuah limosin, memasuki kediaman Williams. Kendaraan itu berhenti didepan beranda rumah yang besarnya mirip dengan mansion. Dari kendaraan itu, keluarlah Akram Williams al-Katiri mengenakan pakaian kasual.
Di tengah tatapan kagum putri-putri relasi bisnis dari Kevin, Akram melangkah santai memutari mobil dan membuka pintu. Airina keluar mengenakan gaun putih keperakan yang menjuntai hingga ke tumitnya. Kulitnya yang putih bagai warna bengkoang dipadu dengan rambut yang mengurai panjang disanggul seadanya membuat penampilannya begitu modis.
Kedua insan itu melangkah memasuki taman ditatap penuh kagum oleh para pengunjung pesta tersebut. Keduanya tiba di hadapan Kevin dan Syafira.
“Abi… Umi… perkenalkan, Airina Yuki Lasantu…” ujar Akram dengan senyum terkembang.
“Calon istri saya!” sambungnya dengan mantap.
Airina membungkuk santun di hadapan keduanya. Sementara itu para tamu terkejut mendengar penuturan putra pertama keluarga Williams tersebut. Ikram, saudara kembar Akram, hanya tersenyum dan menatap Hayati, istrinya.
“Itulah kembaranku…” ujarnya lirih membuat Hayati mengulas senyum lebar. Syafira maju memeluk Airina dengan mesra dan hangat.
“Selamat datang di Kediaman Williams…” bisiknya dengan lirih memeluk Airina dengan hangat.
Airina tersenyum dan balas memeluk. Sementara itu, Akram melangkah ke tengah kerumunan. Pemuda itu mengambil sebuah gelas kosong dan mengetuk meminta perhatian.
“Assalam alaikum warahmatullahi wa barakatuh…” sapa Akram melantunkan salam.
Beberapa tamu yang beragama islam menjawab salam pemuda itu, sementara yang lainnya hanya mengangguk datar saja. Akram kembali melanjutkan perkataannya.
“Kita berkumpul di sini… untuk mendengarkan beberapa berita penting sehubungan dengan bisnis dan urusan pribadi…” ungkap Akram mengamati wajah-wajah para pengunjung.
“Pengumuman pertama…” ujar Akram, “Mulai malam ini, terhitung tanggal 12 Februari 2053, pukul delapan malam ini, Saya… Akram Williams al-Katiri menyatakan mengundurkan diri dari jabatan CEO MLT. Group dan posisi saya ini akan digantikan oleh ipar saya… Hayati Rudianto!”
Pernyataan itu mengagetkan Rudi dan Diva. Pemuda itu tidak memberitahukan hal itu sebelumnya. Hayati sendiri terhenyak kaget dan menatap saudara iparnya, menuntut penjelasan. Akram tersenyum lagi dan menyambung.
“Keputusan ini saya buat dengan penuh pertimbangan strategis dalam rangka pengembangan bisnis kita ke depannya…” ungkapnya.
Ikram kembali menatap istrinya. “Itulah kembaranku…”
Akram kemudian menatapi para tamu. “Pengumuman kedua… Saya mendapatkan tender alutsista dengan pihak Menhankam. Maka mulai malam ini, saya umumkan pada kalian, perusahaan baru telah berdiri! Ark Industries, datang untuk memenuhi keinginan anda!”
Para tamu yang kebanyakan penanam modal, langsung menyambut baik pengumuman itu. sebagian besar dari mereka langsung mengajukan diri sebagai investor perusahaan tersebut. Mereka mengetahui kredibilitas Akram di bidang sains terapan. Mereka tak ragu untuk itu. Akram makin tersenyum lebar lalu menatap ayahnya.
“Abi, kayaknya anda harus bekerja keras mencari investor baru….” oloknya menerbitkan tawa di masing-masing wajah para tamu, berserta senyum masam yang terbit di wajah Kevin.
Akram kembali menatap para hadirin. “Dan, ini yang paling penting! Karena ayahku, sudah ingin menimang cucu…”
Syafira sendiri makin menggamit lengan Airina dengan erat. Akram sejenak mengerling kepada Airina dan mengulurkan tangannya.
“Maka ku perkenalkan pada kalian, calon Nyonya Williams.” serunya membuat Airina hanya bisa menatap canggung.
Syafira melepaskan gamitannya dan menyuruh Airina melangkah mendekati Akram. Setelah gadis itu tiba di sisi pemuda itu, Akram menyeru.
“Calon menantu keluarga Williams al-Katiri! Airina Yuki Lasantu!” serunya dengan lantang.
Airina kembali membungkuk santun di hadapan para hadirin pesta tersebut. Tak lama kemudian, dari kerumunan para tamu, menyeruak seorang laki-laki tambun beserta putrinya.
“Boleh aku tahu, anda dari mana?” tanya lelaki itu dengan datar, memicingkan matanya yang makin sipit.
“Saya dari Gorontalo, putri dari Kenzie Lasantu, pemilik PT. Buana Asparaga, Tbk yang…” tutur Airina.
“Tunggu…” sela lelaki itu. “Kau anaknya Kenzie Lasantu?”
Airina hanya mengangguk santun. Laki-laki itu tersenyum lagi. “Berarti nama Ibumu… Chiyome Mochizuki, kan?” tebaknya.
“Beliau sekarang sudah menaturalisasi diri. Nama beliau sekarang adalah Azkiya Zahra Fatriyanti Lasantu…” jawab Airina dengan santun.
Tiba-tiba lelaki itu tertawa lantang ditatapi penuh rasa heran oleh para tamu. Makin heran mereka saat lelaki itu menyeletuk.
“Omoi mo yoranakatta… Shi no Hana no musume ga koko ni ta… (sebuah kejutan yang tak terkira, bisa berjumpa dengan putrinya Si Kembang Maut…)” komentarnya bernada sinis, ditanggapi tawa oleh putrinya. Hayati yang tertarik kemudian menatap suaminya.
“Apa katanya tadi?” bisiknya lirih.
“Orang itu bilang, dia tak menyangka jika bertemu putrinya Si Kembang Maut di sini…” jawab Ikram. Lelaki itu memang pernah tinggal di Jepang selama delapan belas tahun, sehingga memahami benar bahasa dan sebagian dialek di sana.
“Siapa Si Kembang Maut?” tukas Hayati, namun pertanyaan itu tak dijawab oleh Ikram.
Airina terdiam dan menatap lelaki itu dengan tajam. Gadis itu menghela napas sejenak lalu bertanya dengan santun meskipun hatinya bergemuruh.
“Yoroshikereba… onamae o oshiete itada-kemasu ka? (kalau boleh tahu, siapakah anda?)” tanya Airina, masih memperlihatkan kesantunannya. Semua orang menjadi kagum dengan pengendalian emosi gadis ini.
“Tadashi Yazaemon…” jawab lelaki itu memperkenalkan namanya lalu menatap keseluruhan tamu di pesta itu.
“Kalian kenal perempuan ini?” tukas Tadashi sembari menudingkan telunjuknya ke arah Airina. Gadis itu benar-benar tersinggung dituding seperti itu. dia hanya menahan perasaannya demi menghormati keluarga Williams al-Katiri.
“Dia adalah anak seorang perempuan yang pernah menggemparkan Tokyo, dua puluh tahun silam. Si Kembang Maut adalah gelar dari Chiyome Mochizuki yang menggelar perang terbuka di Shinjuku, melawan seluruh anggota Yamaguchi cabang Tohoku dan membunuh pimpinan Yamaguchi ranting kota Ichinoseki, Nobuo Mishima dengan sangat keji!” tutur Tadashi berapi-api di hadapan para tamu undangan pesta.
Airina tak bisa apapun selain mendengarkan segala tutur lelaki itu dengan wajah yang memerah dan tubuh yang gemetar. Dirinya telah dipenuhi rasa malu luar biasa saat menatap para hadirin yang berbisik-bisik sambil mengerling ke arahnya. Tadashi kembali menatap Airina.
“Inikah calon keluarga Williams yang terpandang di kota Padang?” tukasnya dengan nada menghina.
Tanpa menoleh, Airina berkata pelan. “Akram…”
Pemuda itu menatap kekasihnya. Tanpa menoleh, gadis itu bertanya. “Untuk inikah aku datang?”
Akram mengencangkan rahangnya dan menatap Tadashi. “Kurasa keberadaan anda di sini menciptakan suasana yang tidak lagi kondusif. Saya lebih senang jika anda bersedia meninggalkan tempat ini…” ujarnya dengan datar.
“Tidak ada yang boleh mengusir tamuku!” sela Kevin dengan gusar seraya menatap Akram.
“Dan, tak ada yang boleh mengusik Keluarga Lasantu!” balas Syafira dengan datar. Kevin terkejut dan menatap istrinya. Syafira balas menatap suaminya.
“Mas, diamlah dan tak usah banyak bicara!” sergahnya dengan lirih. Airina kemudian menatap Akram.
“Kurasa prediksi ayahku benar… Sebaiknya hubungan kita dihentikan saja, Akram.” Ujarnya dengan lembut namun tegas.
“Aku tak mau! Aku telah berjanji pada Ayahmu!” tolak Akram dengan teguh.
“Kabarnya… orang-orang Mochizuki punya bela diri khas yang tangguh…” sela Reiko, putri dari Tadashi tiba-tiba kembali menohok Airina. “Aku ingin tahu, sejauh mana dia bisa menaklukkan seni bela diri gaya Kantori Shinden milikku.”
“Kau menantang?” desis Airina dengan suara yang sedikit bergetar. Gadis itu berada di puncak kemarahannya.
“Silahkan tafsirkan saja…” tantang Reiko sembari mengamati gaun terusan mirip Cinderella yang dikenakan gadis itu.
“Tapi, kayaknya kamu nggak bisa bergerak bebas dengan pakaian model begitu.” ejeknya dibarengi tawa Ayahnya.
“Kamu boleh membuktikannya.” ujar Airina dengan lirih. Kedua mata gadis itu sudah memendarkan cahaya biru pucat ke abu-abuan. Jurus karasu tengu no shisen.
Tiba-tiba Reiko maju melayangkan tendangan. Dengan kecakapan hayagane jutsu-nya, Airina melesat ke samping dan memutar lalu berdiri di belakang Reiko.
“Nak, di belakangmu!” seru Tadashi mengingatkan.
Reiko menyodokkan tendangan ushiro. Dengan sigap, Airina melayangkan uchi uke sehingga tendangan lawannya tergeser keluar. Airina maju menghujamkan tinju nakadaka mengincar belikat Reiko.
Reiko menyapu lengan Airina dan maju menyerang mengincar dada lawannya. Airina sigap bergerak ke samping dan memukul tumit Reiko membuat gadis itu memekik kesakitan dan menarik kakinya.
Airina mundur selangkah dan kembali ke sikap shizentai. Tiba-tiba Tadashi meraup sebotol minuman yang tergeletak di meja prasmanan dan mengayunkan botol itu mengincar kepala Airina.
Namun, gerakan itu diketahui Airina sehingga gadis itu menghujamkan tendangan ushiro yang berhasil menusuk perut lelaki tambun itu. tadashi tersentak dan botol dalam genggamannya terlepas.
Dengan tangkas, Airina menangkap botol itu dan melempar dengan keras ke arah Reiko yang tak sempat menghindar. Gadis itu terpaksa menyilangkan tangannya menutupi wajah.
PRANGGGG!!!!
Botol itu pecah menghantam lengan Reiko yang tersilang. Dengan cepat Airina maju sambil berputar dan melayangkan tendangan ushiro menyodok ulu hati lawannya. Reiko terdorong keras ke belakang dan meluncur deras hingga akhirnya terjengkang di hamparan rumput taman. Susah payah gadis itu bangun hingga akhirnya terbaring pingsan.
Naira dan Titin yang berprofesi sebagai pengawal pribadi keluarga Williams terhenyak kagum dengan kemampuan bela diri Airina yang kini kembali ke sikap shizentai seraya menatap penuh keangkuhan kepada Reiko yang terbaring pingsan.
PROK! PROK! PROK!
Syafira yang tersenyum, kemudian bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu undangan lainnya, terkecuali Kevin yang menatap dengan wajah keruh. Tadashi buru-buru memapah bangkit putrinya yang pingsan. Investor itu langsung pamit tanpa permisi.
Sementara Airina tak lagi mengacuhkan Akram. Gadis itu beranjak menemui Syafira lalu membungkuk santun di hadapan wanita paruh baya itu.
“Mande… Denai minta maaf telah mengacaukan pesta yang semestinya dimeriahkan dengan ramai.” ujar gadis itu dengan lirih. Syafira tersenyum saja dan mengulurkan tangannya membelai rambut gadis tersebut.
“Untuk itu, izinkan denai permisi meninggalkan kediaman ini.” ujar Airina kemudian.
Syafira hanya bisa menghela napas dan mengangguk dengan enggan. Airina menegakkan tubuhnya lalu melangkah cepat meninggalkan taman itu.
Seruan Akram tak lagi dipedulikan. Sambil menyusut air mata yang membanjir, Airina memasuki kembali limosin dan kendaraan itu bergerak kembali meninggalkan Kediaman Williams. Akram menarik napas panjang lalu melangkah meninggalkan kerumunan itu.
“Mau kemana, kau?!” tanya Kevin. “Pesta belum berakhir.”
“Aku akan pergi dan tak akan kembali ke kediaman ini lagi.” ujar Akram dengan tegas.
“Akram! Kau telah menyingkirkan baktimu hanya karena perempuan itu?!” tukas Kevin dengan berang.
“Aku sudah cukup berbakti, Abi!” balas Akram tak kalah garang memelototi ayahnya, membuat Kevin dan Syafira terhenyak dengan sikap putra mereka.
“Anda lah yang tidak memahamiku… Untuk apa keberadaan Akram di sini, jika Kevin Williams saja tak memahaminya?!” tukas pemuda itu lalu kembali mengayunkan langkahnya beranjak pergi.
“Masih banyak perempuan lain, Akram!” tegur Kevin dengan gusar dan geram.
“Aku telah menetapkan pilihanku!” tandas Akram tanpa menoleh. Pemuda itu telah meninggalkan kediaman tersebut. Sepeninggal pemuda itu, Syafira pun bergegas meninggalkan tempat tersebut. Kevin sempat menghadangnya.
“Kau juga, sayang?” tanya Kevin dengan memelas.
“Tindakan Mas tadi, sudah sangat keterlaluan… kurasa aku akan tinggal dulu di Kediaman al-Katiri…” ujar Syafira hendak melangkah. Baru saja Kevin hendak melangkah menghadangnya, Syafira langsung mengancamnya.
“Jangan halangi langkahku, Mas!” ancamnya.
Satu persatu anggota direksi MLT. Group, mulai dari Rudi dan istrinya, Diva, disusul Heru dan Santi hingga Aldo dan Naira, meninggalkan kerumunan itu. sementara Titin telah lebih dulu mengawal Syafira bersama Hussein al-Katiri meninggalkan tempat itu.
“Mengapa kalian semua meninggalkanku?!” seru Kevin dengan perasaan masygul.
“Pikir sendiri kesalahanmu, Nak.” ujar William kepada putranya, lalu mengajak istrinya pergi memasuki kediaman. Disusul Ikram dan Hayati yang menemani kakek-neneknya memasuki rumah tersebut. Tinggal Kevin bersama kolega-kolega bisnisnya yang terjebak dalam suasana canggung dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. []
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 37
Sorry, comment are closed for this post.