KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung Di Benteng Otanaha Bab 38

    Mendung Di Benteng Otanaha Bab 38

    BY 24 Sep 2024 Dilihat: 185 kali
    Mendung di Benteng Otanaha Bab 38_alineaku

    TANTANGAN CINTA

    Laporan yang disampaikan putrinya benar-benar membuat Kenzie menjadi masygul. Lelaki paruh baya itu hanya bisa menghela nafas saat Airina menceritakan saat Tadashi mempermalukannya dengan mengungkit-ungkit masa lalu Azkiya di hadapan para tamu undangan pesta itu. lelaki itu bangkit dan melangkah gontai ke kamarnya. Azkiya kemudian menyusul suaminya dan Airina juga langsung masuk ke dalam kamarnya.

    Di Kediaman al-Katiri, Akram menghubungi Airina melalui panggilan seluler. Setelah basa-basi menanyakan kabarnya, Akram lalu memutuskan niatnya hendak menemui lagi kedua orang tua dari Airina untuk meminta restu.

    “Jangan, Akram…” cegah Airina. “Papa terlanjur kecewa dan saat ini mungkin Papa nggak ingin melihatmu di sini… Lupakan saja hubungan kita. Aku sudah merelakannya, termasuk…” sejenak gadis itu terdiam.

    “Termasuk apa?” cecar Akram dengan alis bertaut, gusar.

    “Termasuk apa yang terjadi di hotel itu…” pungkas Airina pada akhirnya. Akram terdiam sejenak lalu memejamkan mata, setelah itu dia membukanya dan mendengus keras.

    “Aku tak peduli!” tandas Akram. “Aku akan ke sana! Tunggu aku! Tunggulah!”

    Percakapan seluler itu berakhir. Akram mendesah panjang lalu memejamkan mata, mengistirahatkan pikirannya yang sedang mumet.

    * * *

     

    “Sudah bulat tekadmu, Nak?” tanya Syafira yang saat itu menyandarkan punggungnya di tiang pintu, menatap Akram yang sedang mengemasi pakaiannya. Akram hanya tersenyum tipis setelah meletakkan kopornya di lantai. Ditatapnya Sang Ibu.

    Ambo sudah cukup bersabar, Umi…” ujar Akram.

    “Kau akan meninggalkan MLT. Group dan Korporasi Dagang Al-Katiri?” pancing  Syafira lagi.

    “Abi harus disadarkan atas sifat arogansinya, Umi. Banyak orang-orang berkompeten dan memiliki dedikasi yang tinggi di sekelilingnya. Abi tidak menghargai itu…” tutur Akram.

    “Berarti, kau memang akan meninggalkan MLT. Group dan Korporasi Dagang Al-Katiri…” tukas Syafira dengan nada pelan. Akram tersenyum lagi dan menggeleng.

    “Aku tidak benar-benar meninggalkan keduanya, Umi.” tangkis Akram. “Aku hanya mengawasinya dari luar pagar saja. Selebihnya, itu menjadi tanggung jawab Abi karena dia yang memiliki perusahaan itu.”

    Syafira hanya menghela napas. Akram sekali lagi melanjutkan. “Dan Inyiak masih bisa mengendalikan al-Katiri Corporation meskipun usianya sudah serenta itu.” ujar Akram. “Kurasa, niatku untuk mendirikan Ark Industries, sudah tepat!”

    “Dan, keberangkatanmu ini, juga untuk mewujudkan berdirinya Ark Industries?” pancing Syafira. Pemuda itu mengangguk mantap.

    “Umi, aku harus menyelesaikan dulu urusanku dengan Airina.” tandas Akram. “Aku sudah terlanjur menuang janji untuk menjadikannya sebagai istriku. Dan, Abi benar-benar mengacaukan semua rencanaku!”

    “Bagaimana jika mereka menolakmu?” pancing Syafira.

    “Aku akan membuat mereka menjilat ludahnya sendiri!” pungkas Akram dengan lugas.

    “Perlukah Umi menemanimu?” pancing Syafira lagi.

    Akram mendekati ibunya. “Restui ambo, Umi… Ambo akan membawa pulang anak perempuan Umi itu…” ujarnya kemudian berlutut dan mencium kaki ibunya.

    Syafira tanpa sadar melinangkan air matanya. Tangannya terjulur dan jemarinya menggapai lalu menarik kedua bahu putranya agar bangkit. Ditatapnya sang anak.

    “Ya, bawa pulang dia kemari, Nak!” tandas Syafira. “Umi akan mendoakanmu dari sini…”

    Akram tersenyum dan mengangguk. “Ambo berangkat Umi.”

    Syafira hanya bisa mengangguk-angguk. Lidahnya menjadi kelu. Untuk yang pertama kalinya, Akram akan berjuang untuk memenangkan cintanya. Itu hal yang sangat sulit sebab telah rusak disebabkan oleh keangkuhan suaminya.

    Akram melangkah tegap meninggalkan Kediaman al-Katiri, membawa harapan ibunya. Misi utamanya sekarang adalah menjemput kembali Airina kembali ke pangkuannya, jika perlu harus bersabung nyawa sekalipun!

    * * *

     

    Airina baru saja menyelesaikan ritual sholat malamnya, ketika bunyi notifikasi terdengar dari gawainya. Airina bangkit dan melangkah menuju nakas, meraih benda itu dan membuka fitur aplikasi chatting. Sejenak kedua matanya melebar membaca isi pesan itu.

    Aku dalam perjalanan menjemputmu. Doakan aku agar percintaan kita direstui. Aku telah berjanji kepada orang tuamu untuk itu. jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku.

    Dari lelaki yang selalu memikirkanmu… 

    Akram W. al-Katiri…

    Airina memejamkan matanya dan setitik airmata kembali jatuh membasahi pipinya. Tanpa sadar bibirnya mengucap, “Ya Allah… Mudahkanlah niatnya…”

    * * *

     

    Pagi itu, Kenzie dan istrinya duduk santai di beranda rumah. Seperti biasa, keduanya menikmati hidangan hasil kerjasama Airina dan Rosemary.

    “Semalam aku bermimpi aneh…” ujar Kenzie sembari menatap istrinya. Azkiya menggigit kue itu sembari menatap suaminya yang menghela napas sejenak seakan menerawang.

    “Aku bermimpi… kembang di taman kediaman kita itu dipetik orang…” tutur Kenzie kemudian menunjuk sebuah tanaman hias yang dipelihara dengan baik oleh Airina. “Dan, aku kenal betul siapa orangnya…”

    “Siapa orangnya, Hubby?” tanya Azkiya penuh minat.

    Kenzie mengerling sejenak kepada Airina yang juga sedang asyik menyeruput teh, ditemani Rosemary. Keduanya asyik bercakap-cakap menggunakan bahasa Jepang.

    “Akram…” ungkap Kenzie menyebut nama si pemetik itu.

    Seketika Airina langsung tersedak dan terbatuk-batuk. Rosemary sontak mengelus punggung adik iparnya itu. Kenzie sejenak tersenyum melihat putrinya, lalu menatap sang istri.

    “Aku punya firasat, kayaknya anak itu akan datang…” ujar Kenzie menatap Azkiya dengan cermat. “Bagaimana menurut Kanai-Chan?”

    “Lakukan persiapan sebagaimana mestinya, Hubby…” jawab Azkiya dengan tenang.

    “Baik. Kita akan melihat, sejauh mana perjuangannya.” sahut Kenzie sembari mengulas senyum.

    * * *

     

    Akram tiba di Bandara Jalaluddin Gorontalo, tepat jam 3 pagi WITA, karena mengambil jam penerbangan malam. Melalui agen travel, dirinya meminta untuk diantar menuju Hotel Damhill, kompleks bagian timur Universitas Negeri Gorontalo. 

    Pemuda itu check ini pukul 3.45 pagi dan beristirahat sejenak menunggu pagi. Saat sarapan di lounge, Akram menghubungi Airina, mengabarkan tentang keberadaannya di Gorontalo.

    “Aku dilarang ngantor saat ini.” ungkap Airina melalui pembicaraan seluler. “Papa punya firasat, kamu akan tiba hari ini.”

    “Beliau benar!” ujar Akram. “Aku akan ke Kediaman Lasantu sebentar sore…”

    “Sebaiknya urungkan niatmu, Akram.” cegah Airina. “Papa sudah menyiapkan penyambutan yang sadis untukmu. Aku nggak mau kamu terluka.”

    “Orang lain boleh saja takut dan pergi saat mendengar penyambutan itu. Tapi aku tak akan surut sedikit pun! Persiapkan dirimu, persiapkan baju pengantinmu! Aku akan menjemputmu!” jawab Akram dengan tegas.

    Di kediamannya, Airina tersenyum bahagia mendengar perkataan pemuda itu. tanpa sadar, gadis itu terisak-isak. Air matanya kembali mengalir mewarnai pipinya.

    “Kau menangis? Aku mendengarnya jelas…” olok Akram lalu tertawa. “Cieeeehhhh, segitu bapernya…”

    Bionguma!” sergah Airina dengan lirih.

    “Jangan pakai bahasa negerimu. Memang artinya apa, sih?” tanya Akram dengan senyum khasnya. Airina tersenyum.

    “Dasar gila!” jawab Airina.

    “Eh, aku jadi gila gara-gara kamu ya?! jadi kamu harus bertanggung jawab untuk itu!” tandas Akram.

    “Aku pasti bertanggung jawab, kalau kamu berani datang kesini.” Tantang Airina dengan senyum nakal.

    “Oke! Siapa takut! Tunggu aku! Daaahhh…” seru Akram mengakhiri pembicaraan sore itu.

    Pembicaraan seluler itu berakhir. Airina terbaring bahagia. Akram sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi permainan gila yang ditemukannya nanti.

    * * *

     

    “Ada yang bernama Akram Williams al-Katiri di sini?” tanya Inayah dengan datar kepada salah satu resepsionis hotel TC Damhill. Di belakang opsir itu, berdiri tiga orang berseragam dan menyandang masing-masing senapan serbu SS01V2 buatan Pindad.

    “Ada…” jawab resepsionis itu berupaya bersikap tenang. Baru kali ini, peristiwa semacam ini terjadi di tempat itu. Inayah menanyakan letak kamar dari targetnya. Resepsionis itu memberikannya.

    Tim Buser Resmob Coyote Cobrone bergerak menyusuri lorong dengan langkah tegap namun waskita. Sesampainya di depan kamar, polwan itu mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar suara.

    “Siapa?” tanya Akram.

    “Polisi!!!” seru Inayah.

    Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Benda itu menguak memunculkan sosok Akram. Pemuda itu heran melihat empat personil polisi berdiri di depan kamarnya.

    “Ya? ada yang bisa dibantu?” tanya Akram dengan bingung.

    “Akram Williams al-Katiri?” tanya Inayah.

    “Ya, itu saya…” jawab Akram.

    Seketika Heru maju dan langsung menangkap bahu pemuda itu tanpa sempat Akram mengelak, disusul Anton juga maju menangkap lengan targetnya. 

    “Hei, lepaskan! Kalian kayaknya salah tangkap!” seru Akram.

    “Diam!” sergah Inayah kemudian mengisyaratkan kepada dua temannya untuk memboyong Akram berjalan menyusuri lorong hotel.

    Seperti seorang buronan yang tertangkap, pemuda itu dibawa menyusuri lobi hotel ditatap oleh keseluruhan pengunjung hotel. Pemuda itu malu bukan main, sehingga menundukkan wajahnya setekuk mungkin, menghindari tatapan para pengunjung yang ingin tahu. Di depan hotel telah menanti sebuah mobil taktis Maung. Akram digelandang masuk ke dalam kendaraan itu dan tak lama kemudian, mobil itu melaju meninggalkan hotel TC Damhill.

    “Pak, kayaknya kalian salah tangkap, deh.” Tukas Akram dengan kesal. Inayah menatap pemuda itu.

    “Salah tangkap gimana? Namamu Akram Williams al-Katiri, kan?” tukas Inayah dengan kesal. Tangan kanannya telah memegang gagang revolver Raging Bull 545 Remington miliknya yang tersarung dalam holster.

    “Iya, tapi… salah saya apa? Kok saya digelandang seperti ini? Saya bukan buronan negara lho, Bu!” tukas Akram.

    Seketika Inayah tertawa disusul oleh ketiga kawannya. Akram sendiri jadi heran. Setelah puas mengerjai pemuda itu, Inayah menjelaskan bahwa Keluarga Lasantu meminta dirinya untuk membawa Akram ke kediaman mereka. Mendengar keterangan itu, membuat Akram pada akhirnya hanya bisa tersenyum masam.

    “Nah, begitu ceritanya…” ujar Inayah.

    “Saya akan menuntut kalian nanti! Kalian telah mencemarkan nama keluarga kami!” seru Akram tidak terima.

    “Yah, kalau begitu…” gumam Inayah dengan senyum mencebik lalu menatap ketiga temannya yang tersenyum mengejek ke arah Akram. “… batal deh jadi calon adik ipar, kau…”

    “Hah? Adik ipar? Maksudnya apa, nih?” tanya Akram lagi.

    “Eh Arab ta dampar… Yuki itu, adik iparku!!! Kakaknya, ya… suamiku! Ngerti nggak kau?!” seru Inayah membuat Akram terdiam. Hal ini dimanfaatkan Inayah untuk menakut-nakuti pemuda itu.

    “Aku akan bilang sama Yuki untuk menolakmu hanya gara-gara ini… ya, sedikit bumbu, akan membuatnya…” ujar Inayah.

    “Ya, ya, aku tak akan menuntut uniang!” seru Akram dengan jengkel kemudian menggerutu panjang pendek menggunakan bahasa arab dialek Hadramaut. Inayah tertawa lagi.

    “Eh, kau itu lagi baca mantra apa?!” olok Inayah.

    Akram hanya mendengus kesal dan melengos. Inayah tertawa lagi dan berkata, “Sudah, jangan marah. Itu, kita sudah tiba…”

    Di depan Kediaman Lasantu, kendaraan taktis itu berhenti. Inayah keluar dari mobil dan menyeret paksa Akram yang dalam keadaan terborgol memasuki kawasan kediaman itu.

    Uniang, lepas borgolnya, gih! Kayak tersangka pembunuhan saja aden layaknyo!” sergah Akram. Namun, Inayah justru tertawa dan menggeleng.

    “Nanti, di dalam saja… Nikmat benar aku lihat kau dalam mode terborgol macam ini…” olok Inayah lagi membuat Akram kembali mendengus dan melengos.

    Di depan gerbang, keduanya disambut Rosemary. Wanita itu membawanya ke Dojo, dimana Sandiaga sudah menunggu. Akram disuruh masuk ke dalam setelah Inayah membuka borgol yang membelit kedua lengan pemuda itu.

    Di dalam Dojo itu, nampak Kenzie duduk bersila diapit oleh Azkiya dan Airina. Sementara Sandiaga telah duduk di tengah ruangan, membiarkan bagian torso-nya terbuka, menampilkan rajahan irezumi yang menghiasi tubuhnya. Bagian bawahnya hanya dilapisi celana legging ketat panjang membalut hingga ke tumit. Sebuah obi hitam melingkar di pinggang lelaki itu dan ujungnya menjuntai hingga ke lutut.

    Inayah dan Rosemary sendiri masuk dan duduk di sisi pintu masuk Dojo. Sandiaga menatap tajam pemuda yang berdiri di hadapannya.

    “Bukankah sudah kukatakan, jangan berani melukai hati adikku?” pancing Sandiaga mengungkit pertemuan perdananya dengan pemuda itu. Dengan senyum hambar sambil menggosok-gosok pergola-ngan tangannya yang bekas terborgol, Akram menyahut.

    “Maka aku datang untuk memenuhi perjanjianku…” ungkap Akram dengan tenang.

    Sandiaga perlahan bangkit dari sikap duduknya dan berdiri tegak memamerkan sepir-sepir ektomorfi-nya, yang mirip dengan otot-otot milik legenda beladiri, Bruce Lee. Lelaki itu tersenyum.

    “Berarti… kau telah siap menyetorkan nyawamu.” ujar Sandiaga kemudian menggeram. Akram dengan jelas bisa melihat mata kanan lelaki itu memendarkan larik cahaya biru keabu-abuan. Akram menghela nafas sejenak, lalu mengangguk. Sandiaga kembali tersenyum. 

    “Silahkan jemput pengantinmu…” ujar lelaki itu mempersilahkan, menunjuk ke arah Airina yang duduk di sisi Kenzie.

    Akram melangkah mendekati gadis itu. tiba-tiba dirasainya serangkum energi dahsyat datang. Pemuda itu menoleh dan terkejut melihat Sandiaga maju sambil mengayunkan tendangannya.

    SYUT!!!

    Akram buru-buru menunduk hingga tendangan mawashi yang dilancarkan Sandiaga hanya mengenai udara kosong. Lelaki itu kembali mengayunkan kakinya dari atas, menghujamkan tumitnya mengincar kepala Akram.

    SYUT!!!

    Kembali Akram buru-buru melompat ke samping. Namun tiba-tiba Sandiaga merubah serangannya dan mengayunkan mae tobi geri.

    PLAK!!!   UH…

    Tendangan itu berhasil menyepak dagu Akram membuat pemuda itu terpelanting ke belakang beberapa jarak. Sandiaga berhenti dan kembali ke sikap shizentai sambil mengawasi lawannya. Akram cepat bangkit lalu meringis kesakitan meraba rahangnya yang terkena sepakan. Sandiaga sendiri kembali memasang sikap waspada.

    “Jemput pengantinmu, Dek!” ujar Sandiaga dengan lantang.

    “Tentu saja!” seru Akram tiba-tiba memencet gesper ikat pinggangnya.

    Seketika larik cahaya menyelimuti tubuhnya, menyilaukan sejenak dan begitu cahaya itu sirna, di hadapan mereka berdiri sosok Akram yang sudah dilapisi cybernetic armor mirip kamen rider. Inayah dan Rosemary sontak memekik kagum.

    “Bagus…” puji Sandiaga yang takjub.

    Akram yang sejak kecil diajari Hussein al-Katiri dengan Silek Kumango, kemudian mempraktekkan seni silat tersebut dihadapan Sandiaga. Dengan penuh semangat, lelaki bermata satu itu maju menyerang lawannya.

    Azkiya tanpa sadar tersenyum saat melihat putranya bertanding mempergunakan seni beladiri Perguruan Koga, menghadapi Akram yang meladeninya dengan Silek Kumango. Wanita paruh baya itu terkenang kembali pertemuannya dengan Syafira saat suami-istri itu mengunjungi Padang untuk mengaudit cabang perusahaan mereka di Sumatera Barat.

    Sandiaga makin merasa tertantang ketika menyadari semua gerakannya mampu diantisipasi oleh Akram. Lelaki itu kini balik mem-pergunakan seni silat Langga. Sekarang dua seni beladiri kuno yang merupakan hasil tradisi lokal nusantara dari daerah masing-masing saling beradu.

    Kedua petarung sama kuat. Namun, stamina lah yang menentukan. Bagaimana pun Akram melapisi tubuhnya dengan armor buatannya, pemuda itu bukanlah petarung sejati. Pemuda itu harus rela menerima beberapa serangan yang dilayangkan Sandiaga yang berhasil bersarang di tubuhnya.

    Pemuda itu terjengkang ke belakang dan bergulingan. Sandiaga kini kembali lagi ke sikap shizentai, tetap mengawasi lawannya. Akram susah payah bangkit dan berdiri dengan gontai. Ditatapnya Sandiaga yang berdiri tegak menantang.

    “Beladiri apa yang angku pakai? Apakah seni aliran Koga?” tukas Akram sejenak menegakkan tubuhnya mengusir rasa ngilu yang menyelimuti tubuhnya.

    “Bukan… Aku juga menggunakan seni beladiri lokal sepertimu.” Jawab Sandiaga dengan tenang.

    “Silat?” tebak Akram.

    Sandiaga mengangguk, “Ya… Langga Linula Suwawa…”

    Akram mengangguk-angguk. Pemuda itu kembali memasang sikap bertarungnya. Sandiaga mengangguk lagi lalu mulai memasang salah satu sikap dalam duduta’o.

    Diiringi teriakan keras, Akram maju menyerang. Sandiaga dengan senyum sinis menghadapi serangan lawannya. Rasa percaya diri lelaki itu tinggi sekali. Segala jenis pukulan dalam teknik-teknik hunggo diayun-kannya, dan dikombinasikan dengan berbagai teknik tetedu’o.

    Akram sendiri sebisa mungkin menangkis serangan dan sesekali balas menyerang dan berupaya menyudutkan Sandiaga. Dalam satu gerakan, Sandiaga berhasil mengunci pukulan Akram dan membanting pemuda itu di tatami.

    BUAGGH!!!   UHHH…

    “Akram!!!” seru Airina tanpa sadar memekik membuat Kenzie dan Azkiya menatapnya dengan alis berkerut. Gadis itu tersadar dan kembali duduk dengan sikap canggung bercampur cemas. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Akram.

    BUAGGGHHH!!!

    Sekali lagi tubuh Akram terbanting ditatami. Sifat buas seorang shinobi benar-benar ditunjukkan Sandiaga di ruangan itu. sebagai ogashira pasukan Koga dibawah aliansi Tiga Pilar Klan Shigeno, Sandiaga ingin membuktikan prestisenya sebagai petarung yang mumpuni sesuai nilai-nilai bushido.

    Akram benar-benar tak berdaya. Pengalaman bertarungnya memang cetek, tak mampu mengalahkan jam terbang lawannya yang sudah puluhan kali malang melintang di dunia pertarungan. Hanya armor yang melapisi tubuhnya sedikit mengurangi rasa sakit yang diderita akibat menerima hujaman pukulan, tendangan dan bantingan lawannya.

    “Papa! Hentikanlah, Nii-Chan!” pinta Airina memelas. “Akram bukan petarung, Pa! Nii-Chan bisa membunuhnya dengan mudah di sini!” pinta gadis itu mulai diselingi sedu sedan.

    Namun, nampaknya Kenzie tak terpengaruh oleh desakan putrinya. Tatapannya tetap tajam terhujam ke depan, menyaksikan Akram dibantai berkali-kali oleh Sandiaga. Gadis itu kembali menatap lokasi pertarungan dimana Akram terbaring tak berdaya.

    “Akraam…” teriak Airina dengan histeris. Gadis itu hendak meng-hambur, namun urung sebab tangannya dicekal keras oleh ayahnya. Wajah Kenzie terlihat membesi.

    “Papa, demi Allah, demi Rasulullah! Hentikan pertarungan ini…” pekik Airina histeris disela tangisnya. “Aku tak mau melihat mayat terbujur, Pa!!!”

    Sandiaga berhenti sejenak dan menatap Airina. Lelaki itu meninggalkan tubuh Akram yang terbaring diam di tengah ruangan. Pemuda itu berdiri di hadapan Airina.

    “Kalau begitu, tinggalkan pemuda itu!” pinta Sandiaga ditengah napasnya yang mulai memburu. “Aku akan menikahkan kau dengan pemuda yang lebih kuat dari dia!”

    “Jangan dengarkan dia!” seru Akram yang sudah bangkit dan berdiri dengan gontai, doyong ke samping.

    Sandiaga menoleh menatap Akram yang kini justru menekan gesper ikat pinggangnya hingga armor yang melindungi tubuhnya lenyap. Wajah Akram yang meringis sejenak menampakkan senyum teduh membuat Airina justru makin tersedu-sedan.

    “Akraaammm!!” sedu Airina di tengah emosinya yang tak mampu dilampiaskan.

    “Jika aku harus mati di sini, setidaknya aku mati memperjuangkan cintaku. Aku bukan laki-laki pengecut!” tandas Akram.

    Sandiaga membalikkan tubuhnya menghadap ke arah pemuda tersebut. Senyum buasnya tersungging.

    “Masih bisa bicara kau, ya?” tukasnya lalu menggeram.

    “Mari kita selesaikan pertarungan ini, angku… menanti atau mendatang?” sahut Akram berdiri dengan sikap siaga.

    EEEIIIIYAAAAHHHH…

    Diiringi teriakan ki-ai, Sandiaga maju melayangkan tinjunya. Kali ini bukan main-main, lelaki itu mengerahkan teknik-teknik pukulan dari seni beladiri Langga linula Suwawa!

    Sejenak Akram menutup mata menghimpun prana ke titik pusat tubuhnya. Setelah itu, pemuda tersebut membuka mata dan maju menyerang sambil mengayunkan tinjunya.

    BAM!!!!

    UGH…

    Dua tinju terayun dan sama-sama bersarang di tubuh lawannya. Akram terhempas jauh hingga membentur dinding Dojo dan jatuh perlahan ke lantai. Pemuda itu pingsan. Sementara Sandiaga tiba-tiba tersurut langkah tiga kali ke belakang lalu muntah.

    HOEKKKK…

    Darah membuncah kental di tatami. Rupanya tinju yang dilayangkan Akram mengandung tenaga dalam yang berhasil membuat tubuhnya mengalami disorientasi. Dengan nanar, ditatapnya Akram yang tergolek diam di sisi dinding dojo.

    Dengan langkah sempoyongan, Sandiaga mendatangi Akram yang tergolek pingsan, sembari mementangkan cakarnya. Airina terhenyak. Itu jurus Cakar Peremuk Tulang! Sandiaga akan membunuhnya! Dia pasti akan membunuhnya! 

    Diiringi teriakan keras, Sandiaga melesat mengayunkan kedua cakarnya, tepat disaat Airina berteriak keras.

    Yamero, Nii-Chaaaan!!!” teriak Airina sekeras mungkin.

    Tiba-tiba serangkum energi dahsyat menyerbu. Sandiaga yang kaget tanpa sadar mengendurkan tenaganya dan menoleh ke arah munculnya serangkum hawa tenaga dalam itu.

    TAP!!!

    Sesosok tangan kekar mencengkram pergelangan tangan Sandiaga yang mementangkan cakar. Lelaki itu terkejut dan memandang si pemilik tenaga dalam itu. dia makin terkejut.

    “Bapu…” desisnya di tengah perasaan kagetnya.

    Di sisi Sandiaga, tegak seorang lelaki renta berusia 70-an, namun tubuhnya masih terlihat kekar dan tegap. Ditatapnya sang cucu dengan sorot mata tajam dan melotot.

    “Mau membunuh orang, Nak?!” sergah lelaki renta itu. Sandiaga tak mampu mengucap kata sebab syok oleh kemunculan lelaki berusia sandyakala itu. 

    “Bukankah Langga yang diajarkan Ayahmu bukan digunakan untuk membunuh lawan yang tak berdaya?” sambungnya lagi menukas.

    Sandiaga sejenak menarik napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Kakek itu menyentakkan tangannya membuat Sandiaga terdorong selangkah ke belakang. Kenzie dan Azkiya terperanjat kaget dan langsung berdiri. Kedua menghambur.

    “Papa…” seru Kenzie.

    Lelaki renta itu adalah Adnan Mardo Suleman. Lelaki renta itu menatap Kenzie dan Azkiya yang mendatanginya. Kedua orang paruh baya itu mencium tangan sang kakek bergantian. Adnan kembali menatap Akram yang tergolek pingsan.

    “Siapa anak ini?” tukas Adnan.

    “Anak yang mencintai cucu Papa…” jawab Azkiya dengan lembut. Adnan menatapi menantu perempuannya.

    “Lalu, kenapa harus seperti ini?” tukas Adnan memicingkan mata-nya. Akhirnya Kenzie menceritakan latar belakangnya membuat Adnan sejenak mengangguk-angguk. Kakek itu kemudian menatapi Inayah yang sudah berdiri disamping pintu.

    No’u… Bawa anak ini ke Aloei Saboe…” titah kakek itu. “Dia sudah melakukan hal yang semestinya.”

    “Ya, Bapu…” jawab Inayah dengan patuh.

    Tak lama kemudian, tiga orang anak buah Inayah muncul dan membopong Akram yang pingsan keluar dari dojo. Mereka akan membawanya ke RSUD Aloei Saboe untuk dirawat sampai sembuh. Kakek itu menatap Airina. Lengan kekarnya terjulur.

    “Kemarilah, wombu’u…” panggil Adnan dengan suara teduh.

    Diiringi isak tangis, Airina bangkit dan berlari menghambur memeluk kakeknya. Adnan tersenyum dan mengelus lembut punggung cucunya.

    “Tenanglah… Pemuda itu telah menang…” ujar Adnan menenangkan perasaan Airina. “Tidak akan ada lagi pertarungan. Kalian berdua sudah menang!”

    Sandiaga menarik napas panjang. Rasa lega muncul di hatinya. Kenzie dan Azkiya akhirnya mengangguk, menyatakan persetujuannya.

    Akram telah memenangkan cintanya![]

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 38

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021