INAI CANTIK DI JARI LENTIK
Airina duduk di taman menikmati suguhan teh dan panganan ringan sembari mengedarkan pandangan menghampari luasnya pekarangan kediaman itu. Ini adalah hari terakhirnya di kediaman ini, sebab esoknya Airina akan bertolak ke Gorontalo.
Tak lama kemudian Syafira muncul menghampiri gadis itu. “Anaknya Umi kok duduk disini? Sudah lama?” sapa Syafira.
Airina menoleh lalu tersenyum. “Lumayan lama, Umi.”
Wanita paruh baya itu duduk di sisi gadis itu. “Tak terasa tiga hari telah berlalu. Umi akan sangat kesepian nantinya…” ujar Syafira dengan nada merajuk.
Airina tersenyum lagi. “Kan ada Kak Hayati, Umi…”
“Ikram sering nggak memberi izin istrinya karena harus mengurus keperluannya.” ujar Syafira. “Ikram, nggak seperti Akram yang terlalu mandiri. Anak itu sangat manja dengan istrinya.”
“Umi yang sabar, ya?” sahut Airina kemudian menggelayuti lengan wanita paruh baya itu. “Sedikit lagi kok…”
Syafira hanya tersenyum lalu mengangguk-angguk. Terdengar deheman halus di belakang. Airina menoleh menatap Akram yang berdiri cengar-cengir disana.
“Ngapain kamu di sini?” tukas Airina.
“Nggak, cuma senang saja melihat dua perempuan begitu akurnya…” kilah Akram tersenyum-senyum.
“Pulang sana kamu ke laboratorium-mu…” usir Airina.
“Ya, kamu jangan gitu dong, sayang…” rajuk Akram.
“Jangan panggil-panggil sayang! Kita belum halal, tahu?!” sergah Aririna dengan ketus.
Akram sejenak terdiam. Lama kemudian cengirannya muncul lagi. “Ya, kalau begitu, boleh dong kamu kupanggil istriku?”
“Akraaaammm…” tegur kedua wanita itu. Akram tertawa dan mengangkat tangannya.
“Baiklah, jangan terlalu sensi, Yuki…” oloknya.
Akram kemudian duduk di sisi ibunya. Syafira serta merta me-rengkuh keduanya dan mendekatkan wajah keduanya menempel di pipi wanita paruh baya itu.
“Kediaman ini, kelak akan diramaikan oleh canda tawa kalian berdua…” ujar Syafira dengan lembut. Akram dan Airina hanya tersenyum mendengar perkataan wanita itu.
* * *
Hari keempat, Airina telah berada di Gorontalo. Sementara seluruh anggota percabangan keluarga dari Laiya, Soleman dan Balu berkumpul, bermusyawarah di kediaman Lasantu, membahas tentang acara lamaran itu. disepakati, Airina akan mengenakan pakaian bili’u untuk menegaskan status kedaerahannya sebagai putri dari Gorontalo, meskipun sebenarnya, secara hereditas, marga Lasantu termasuk dalam marga-marga keturunan Bugis Bone yang telah lama hidup di Gorontalo.
Gadis itu mulai menjalani prosesi pingitan. Namun, entah kenapa, malam itu Akram menghubunginya via video call.
“Kamu ngapain?” tanya Airina.
“Ya, lagi video call sama kamu, kan?” jawab Akram sambil senyum. Airina memutar bola matanya sejenak dan mendengus.
“Aku serius. Kamu lagi ngapain?” tanya Airina lagi.
“Lho? Memangnya aku nggak serius? Ini kan lagi video call. Gimana sih?” tukas Akram lalu tertawa pelan.
“Nggak lucu!” dengus Airina dengan kesal.
“Kalau istriku, lagi ngapain?” tanya Akram.
“Eh, berani benar kamu ya? Belum halal sudah berani bilang begitu! Mau cari mati, ya?!” omel Airina memelototkan matanya.
“Kan sedikit lagi kita sudah halal.” kilah Akram. “Membiasakan saja supaya ke depannya nggak canggung…”
Airina melengos, sebenarnya menyembunyikan senyumnya. Akram memanggilnya lagi.
“Kamu tahu nggak keinginanku?” celetuk Akram tiba-tiba.
“Apa, sih?” tukas Airina.
“Aku mau kamu mengenakan pakaian adat Gorontalo, lalu dikawal juga sama ninik-mamak yang juga mengenakan pakaian tradisional. Itu pasti terlihat sempurna.” ujar Akram.
Airina terdiam mendengar ungkapan kekasihnya. Rupanya keinginan itu sama dengan keinginan mongutata-mongodula’a yang menginginkan Airina mengenakan pakaian tradisional.
“Kamu mau, nggak? Aku penasaran mau lihat kamu pakai baju adat.” usul Akram.
Airina mengangguk, lalu tersenyum. Akram mengangguk lalu sedikit mencondongkan kepalanya ke depan.
“Kamu sebenarnya lagi ngapain, sih?” tanya Akram.
“Lagi pakai inai…” jawab Airina memperlihatkan lukisan pacar yang menghias tangan dan jemarinya.
Akram mengangguk-angguk. Airina menatap penanda waktu pada layar gawainya. “Udah jam sepuluh, nih. Aku mau tidur, ya.”
“Lho, Ini masih jam sembilan.” bantah Akram.
“Ya, iyalah, Akram. Perbedaan waktu di sini dan di sana kan satu jam. Kamu mulai kumat lagi, ya?” tukas Airina mengerutkan alisnya.
“Pengaruh kasmaran, mungkin.” jawab Akram.
“Ngegombal lagi? Nggak laku ye? Sudah, aku mau tidur…” ujar Airina berlagak beres-beres hendak tidur.
“Oke deh, istriku… Assalam alaikum, Muaaachhh.” jawab Akram mencium layar gawai lalu pembicaraan lewat video call itu berakhir.
Dasar calon suami genit! Kalau sudah nikah, gimana lagi tuh?
Wajah keruh Airina sejenak kemudian berganti ceria.
Ah, biarin… yang penting dia genit padaku, bukan sama perempuan lain…
Gadis itu membaringkan dirinya sambil memeluk gawainya sendiri. Akhirnya, Airina terkulai sendiri, tidur dengan nyenyak disertai senyuman tipis terulas di bibirnya.
* * *
Di atap puncak bangunan kantor PT. Buana Asparaga. Tbk, nampak Sandiaga berdiri menatap lanskap kota Gorontalo. Lelaki itu sedang menenangkan pikirannya yang mumet. Mengingat status Rosemary sebagai istri keduanya yang belum dibeberkan kepada Inayah membuat pikirannya benar-benar kalut.
Nasihat Trias kembali terngiang di telinganya. Lelaki paruh baya itu berulang kali mengingatkannya.
Jangan pernah menyimpan kebohongan. Kamu akan terus berbohong untuk menutupi kebohonganmu yang lain, hingga akhirnya kau tak akan bisa lagi berbohong…
Sandiaga menghela napas lagi.
Tatsuya Shigeno… Ryoma Hasegawa… dalam beberapa waktu saja, kalian berhasil menjadikanku tumbal kebijakan kalian… kalian enak-enakan duduk dikursi, menikmati fasilitas dari hasil perundingan, sementara aku disini terjebak dalam perasaan di antara dua orang wanita…
Sandiaga justru merasa dirinya menjadi pengecut, takut menghadapi kenyataan yang terburuk. Inayah pasti akan bersikap tegas atas pengkhianatan yang tak disengajakannya ini. Lelaki itu kembali menarik napas panjang dan mendecakkan lidahnya, membiarkan suasana hatinya dibawa lari oleh angin musim kemarau yang bertiup sedikit kencang.
* * *
Seperti apa yang dibayangkan Akram. Wanita pujaannya me-ngenakan pakaian bili’u warna hijau pastel yang gemerlapan dibalut kalung wulu wawu dehu yang menjuntai menutupi dada. Jemarinya dihias cincin kula, dan rambutnya disanggul serta dihiasi dengan galah pangge, hiasan tutuhi, dan ranting daun bitila.
Gadis itu dikawal oleh sekelompok warga berpakaian tradisional Gorontalo. Sementara Azkiya tetap mengenakan kurotomesode dan Kenzie serta kaum lelaki mengenakan pakaian bate lengkap dengan destar-nya.
Rombongan dari Gorontalo disambut di Kediaman Williams. Hussein al-Katiri sendiri mengenakan pakaian penghulu hitam dengan lengan berhias benang makau dan sasampiang merah hati tersampir di pakaian itu. Kepala lelaki renta itu dipasangi saluki. Tangannya menggenggam tongkat tungkek dan tangan kirinya menyangga keris yang terselip pada sabuk cawek yang melingkar di pinggangnya.
Syafira sendiri mengenakan pakaian batabue yang mewah, dilengkapi kerudung serta hiasan minsie dan lambak yang menjulur panjang hingga ke tumit. Kevin hanya mengenakan pakaian formal biasa.
Akhirnya, acara seserahan, uang nikah dan persyaratan adat telah ditunaikan. Acara selanjutnya adalah ramah tamah dan makan bersama. Untuk dua hari ke depan, rombongan keluarga Lasantu akan menginap di hotel. []
Kreator : Kartono
Comment Closed: Mendung Di Benteng Otanaha Bab 40
Sorry, comment are closed for this post.