Sandiaga sejak pagi buta sudah keluar dari Kediaman Ali. Dia tak mau mendapati wajah keruh Saripah demi menjaga kehormatan mertua yang sangat dihormatinya itu. Wajar jika sang mertua membencinya sebab tiada ibu yang akan rela melihat anaknya dimadu. Namun Sandiaga tidak ingin kebencian Saripah terhadap dirinya terus larut. Lebih baik dia tidak bertemu muka, setidaknya untuk memendam rasa marah Saripah terhadapnya.
Trias sedang duduk di beranda samping menikmati segelas besar kopi. Hari ini dia tidak bertugas, sebab hari itu adalah hari Sabtu. Disisinya duduk Saripah yang sibuk membaca artikel pada majalah Tribrata.
“Pagi tadi, Kenzie menghubungiku. Yuki akan berada disini besok nanti. Mereka akan menggelar pesta ngunduh mantu.” ujar lelaki parobaya itu membuka percakapan.
“Terus?” pancing Saripah acuh tak acuh.
“Kita diundang secara pribadi untuk bergabung dalam hajatan itu…” jawab Trias.
“Dan melihat perempuan Jepang yang mencuri suami anak kita? Uhm, tidak! Terima kasih.” jawab Saripah menolak.
“Ipah, masalah ini sudah selesai! Apalagi yang kau pendam?” tukas Trias dengan alis bertaut.
“Aku mau, perempuan penjajah itu hengkang dari sana.” ujar Saripah dengan dingin. “Kalau perlu, pelakor itu dideportasi pulang ke negara asalnya!” cerocos wanita itu dengan ketus.
“Hati-hati dengan lidahmu, Ipah!” tegur Trias. “Azkiya itu juga orang Jepang!”
“Azkiya beda dengan perempuan itu.” tangkis Saripah lalu menatap suaminya.
“Dimana sih Sandiaga menemukannya? Apa perempuan-perempuan Indonesia nggak cukup cantik, sehingga dia harus mencari produk luar yang entah dari mana asalnya itu?!” omelnya.
“Perempuan itu, anak bungsu Perdana Menteri Jepang!” ujar Trias lagi.
“Oooo… ternyata demi kekuasaan.” sindir Saripah mengulas senyum ejekan. “Pintar juga ya, Sandiaga?”
“Bagaimanapun, Sandiaga itu menantu kita. Jangan pernah membedakan siapapun, Ipah. aku sejak kecil hidup bersama keluarga Lasantu. Aku dan Kenzie adalah sahabat yang lebih layak disebut saudara. Kamu jangan memperkeruh hubunganku dengan mereka!” tegur Trias lagi.
Saripah hanya mendengus. Trias menghela napas. “Kamu tahu, kenapa pagi buta Sandiaga sudah keluar entah kemana?”
“Mana kutahu?” ujar Saripah acuh tak acuh lagi.
“Anak itu nggak mau bersirobok pandang denganmu karena kau selalu menampakkan wajah jutekmu! Sandiaga sangat menghormatimu, sama seperti dia menghormati ibunya. Coba hilangkan rasa marahmu itu… sudah cukup!” tegur Trias lagi.
“Ooo… berarti dia menantu yang tahu diri.” sahut Saripah lagi. “Tapi itu semua terlambat! Mengapa dia menyembunyikan hal itu dari kita?”
“Siapa bilang dia menyembunyikannya? Jauh sebelumnya dia sudah menceritakan semuanya padaku, dan memohon pengamunanku! Aku sengaja nggak bilang karena Sandiaga sendiri berjanji akan menceritakannya pada waktu yang tepat!” tutur Trias.
“Tapi Iyun berhasil melangkahinya. Aku bangga pada anakku.” ujar Saripah dengan senyum bangga.
“Aku hanya meluruskan saja persepsi kalian berdua. Sebaiknya hilangkan kemarahanmu. Mau sampai kapan kau memendamnya?!” tukas Trias mengerutkan keningnya.
“Ya sudah! Aku akan bersikap biasa sama menantu kesayangan kamu itu!” pungkas Saripah dengan ketus. “Tapi jangan harap aku akan bersikap sama kepada perempuan pelakor itu!”
Saripah langsung bangkit dan meninggalkan Trias yang hanya bisa mendesah dan menggelengkan kepalanya berkali-kali.
* * *
Sandiaga memarkir Honda CB19-V5 miliknya di depan beranda samping rumah dan melangkah santai menaiki tangga dan tiba di ruang keluarga. Lelaki itu mendapati ayahnya yang sedang menonton tayang-an berita di Smart-TV. Kemunculan Sandiaga mengalihkan perhatian Kenzie dari layar televisi itu. dia menatap putranya.
“Halo Boy… tumben datang pagi. Bertengkar lagi?” sapa Kenzie dengan senyum terulas.
“Nggak… aku kangen sama Papa saja…” jawab Sandiaga dengan senyum enteng.
Rosemary yang mendengar suara Sandiaga langsung keluar dari kamarnya. Sandiaga menangguhkan duduknya dan berdiri menatap sang selir. Kenzie hanya tersenyum lalu menatap menantunya.
“Ayo, layani suamimu…” titahnya sembari bangkit dan melangkah keluar menuju beranda depan.
Rosemary melangkah hingga ke hadapan suaminya. Sandiaga refleks merengkuh istrinya dengan lembut membuat Rosemary terisak.
“Aku merindukanmu…” rajuknya dengan manja. Sandiaga ter-senyum geli.
“Aku juga…” balasnya sekedar menyenangkan hati wanita itu. Rosemary melepaskan pelukannya.
“Kamu kenapa kemari? Apakah Iyun bersamamu?” tanya Azkiya yang ternyata muncul dari dapur.
“Aku datang sendiri…” jawab Sandiaga.
“Apakah kalian bertengkar lagi?” pancing Azkiya.
“Nggaaak… isyy Mama… kok nuduhnya nggak beradab benar?” tangkis Sandiaga sembari menukas.
“Mama hanya nggak ingin Inayah salah paham lagi. Nanti hubungan kalian jadi keruh lagi. Pulanglah!” titah Azkiya.
“Kok Mama malah ngusir aku sih? Apa Mama nggak senang aku disini?” tukas lelaki itu merajuk.
“Mama kan hanya nggak mau mereka salah paham lagi dengan kamu. Kau kan lihat bagaimana penilaian Umma terhadap kamu dan Rosemary, kan?” tangkis Azkiya.
“Maaa….” rengek Sandiaga.
“Pulanglah, Saburo! Tidak bagus membuat Keluarga Ali menilai kamu sebagai menantu yang tak pandai membawa perasaan… biar Rosemary sehari ini sendirian… pulanglah!” titah Azkiya lagi.
“Kalau begitu, aku ke Suwawa saja deh, menemui Bapu!” ujar Sandiaga sedikit ketus karena diusir ibunya. Lelaki bermata satu itu berbalik langkah meninggalkan ruangan itu. Sepeninggal lelaki itu, Rose-mar menatapi mertuanya.
“Apakah Ibu tidak terlalu keras?” tuntut Rosemary.
“Biar dia menerima hukumannya karena mempermainkan hati perempuan…” jawab Azkiya dengan tenang.
“Tapi Saburo nggak salah…” protes Rosemary.
Azkiya menatapnya membuat Rosemary seketika tertunduk takut. Wanita parobaya berkhimar itu mendekat dan menyapu pundak menantunya.
“Jangan pikirkan apa-apa… kamu dalam tanggunganku sekarang. Aku tak akan membiarkan siapapun merendahkanmu.” ujar Azkiya.
Rosemary terisak mendengar ucapan mertuanya. Azkiya meng-geleng pelan dan maju memeluk menantunya. Rosemary menumpahkan tangisnya di pundak mertuanya.
“Dasar gadis bodoh… sudah tahu, Saburo itu pria beristri, masih kau embat juga.” tegur Azkiya sambil tersenyum.
“Gomen, Haha… gomen…” sedu Rosemary dengan lirih. Azkiya melepas pelukannya lalu menangkup pipi sang menantu.
“Kamu nekad juga ya?” sindir wanita berkhimar itu sambil ter-senyum. Keduanya melangkah lalu duduk di sofa. “Kamu meng-ingatkanku akan kenakalanku semasa muda…”
Rosemary mengusap air matanya. Azkiya mendesah sambil menatap layar televisi. “Kelebihan papa mertuamu adalah kesetiaannya yang mutlak terhadapku. Saburo tidak mewarisi hal itu. Dia mewarisi gaya hidup flamboyan seperti kakek buyutnya, Torakichi Genkuro.”
Azkiya kemudian menatap Rosemary. “Camkan ini Rose. Apakah anakmu nantinya menyandang marga Hasegawa, anak itu tetaplah putra dari Saburo Koga, ogashira klan Koga dan Tiga Pilar Klan Shigeno. Anak-mu adalah cucuku juga. Jadi, hilangkan kekuatiranmu. Sebagai nenek-nya, aku akan menjaganya sesuai prinsipku sendiri…” tandas wanita parobaya berkhimar panjang itu.
* * *
Keluarga Ali datang berkunjung. Kenzie sendiri yang menyambut mereka. Lelaki itu melakukan toss gaya mereka lalu memeluk Trias dengan hangat.
“Aku senang kau datang, Bro.” ujar lelaki parobaya itu.
Trias hanya tersenyum dan menepuk-nepuk lembut punggung besannya. Setelah melepaskan pelukan, Kenzie menatap Saripah.
“Azkiya ada di dapur. Temuilah dia…” pinta Kenzie.
Saripah menghela napas dan mengulas senyum lalu mengangguk dan meninggalkan dua sahabat itu bercengkrama di beranda depan.
“Sudah dua puluh lima tahun berlalu, sejak wafatnya Kak Ais. Aku merasa baru kemarin dan tiba-tiba kita sudah beruban…” ujar Trias lalu tertawa.
“Waktu memang terasa singkat bagi orang-orang sibuk macam kita.” sahut Kenzie sembari tersenyum.
“Yuki akan tiba jam berapa?” tanya Trias.
“Kayaknya sore… atau malam…” jawab Kenzie. “Aku sendiri sudah menghubungi dan membooking beberapa kamar di Hotel Grand-Q jika pihak keluarga Williams datang…”
“Berapa orang?” tanya Trias.
“Nggak tahu…” ujar Kenzie mengangkat bahu.
“Kayaknya borongan, ya?” tukas Trias lalu tertawa.
Kenzie menyunggingkan senyum misteriusnya. “Kelak kau akan ketemu dengan seorang pakar Silek Kumango. Kurasa lapar hausmu akan ilmu silat bisa kau perdalam kepada orang itu.”
“Siapa sih orangnya?” tanya Trias penasaran.
“Rahasia, doooong…” ujar Kenzie sambil tertawa lagi. Trias hanya tersenyum masam dibuatnya.
Sementara Saripah menemukan Azkiya sedang memasak di-temani oleh Rosemary membuatnya berdiri mematung saja di gerbang dapur. Ketika Azkiya berbalik, tahulah dia bahwa sahabatnya berdiri disana. Tatapan Saripah begitu tajam menghujam wajah Rosemary.
Azkiya langsung mengisyaratkan menantunya agar segera me-ninggalkan dapur. Dengan patuh, Rosemary beranjak pergi dengan wajah yang tertekuk ketakutan. Sangat jelas didengarnya dengusan kebencian yang diperdengarkan wanita itu saat dia melewatinya. Azkiya kemudian mendekati Saripah.
“Sudah lama?” sapanya.
Saripah sejenak menghela napas. “Maafkan sikapku waktu itu. bagaimana kabarmu?”
Azkiya hanya tersenyum lalu menarik sahabatnya dan keduanya duduk di kursi makan.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Dan kau?” balas Azkiya.
“Alhamdulillah…” balas Saripah dengan singkat.
“Kau nggak baikan, Ipah…” tukas Azkiya dengan lembut.
“Maksudmu?” pancing Saripah mengerutkan alisnya.
“Kemarahanmu masih nampak, Ipah. Sirkulasi energi yang me-ngaliri tubuhmu nggak stabil. Aku merasakannya.” jawab Azkiya. Saripah kembali menghela napas.
“Yah, begitulah… aku belum sepenuhnya ikhlas… dia berani me-rampas anakmu dariku. Aku memang membencinya…” ungkap wanita itu dengan jujur.
Azkiya tersenyum saja lalu mengangguk-angguk. Wanita ber-khimar itu meletakkan dua cangkir dan menyeduh teh melati dalam poci ke dalam dua cangkir itu.
“Aku paham apa yang kau rasakan…” ujar Azkiya menyorong cangkir itu ke hadapan Saripah. “Bolehkah aku meminta sebagai seorang sahabat?”
“Tentang apa?” tanya Saripah sembari meraih cangkir dan menyeruput isinya.
“Jika kau tak mampu memandang Rosemary sebagai bagian dari keluarga kita, maka pandanglah dia sebagai manusia….” Pinta Azkiya dengan lembut. Saripah meletakkan cangkir itu di meja.
“Kau menyuruhku berbelas kasih terhadap orang yang me-nyebabkan kekacauan dalam kehidupan rumah tangga anak-anak kita?” tukas Saripah.
“Apakah dihatimu tak ada sedikitpun rasa?” pancing Azkiya.
“Kau mau aku mengasihi perempuan yang menyebabkan ter-bunuhnya Takagi sekeluarga?” ungkit Saripah.
“Saburo sudah membalaskan kematian mereka.” Tandas Azkiya. “Chikaraishi Hasegawa telah mendapatkan ganjarannya, lewat per-tarungan yang adil, dihadapan Kaisar Heiwa yang Agung.”
“Lalu? Kenapa kamu menerimanya?” tukas Saripah. “Apakah karena dia sebangsa denganmu?”
Azkiya tersenyum lagi. “Pikiranmu picik sekali, Ipah.” tegurnya sekaligus menohok.
“Terus?” cecar Saripah.
“Pernikahan politik itu, menyebabkan Rosemary dibuang dari lingkar keluarganya. Hakikatnya, dia sebatang kara. Kau tak kasihan?” desis Azkiya membujuk. Saripah melengos dan melipat tangannya didada.
“Itu kesalahannya karena berani memasuki lingkar dalam keluarga kita…” tangkis Saripah lalu menatap Azkiya.
“Aku memang tak seperti kamu dalam memandangnya. Aku hanya meminta satu hal. Jangan suruh aku mengakuinya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah mengakuinya!” tandas Saripah.
Azkiya sejenak menatap langit-langit ruangan. “Baiklah, Ipah. ternyata kita memang tak sepaham dalam satu hal.” Wanita berkhimar itu kembali menatap Saripah.
“Namun aku berharap, ke depannya kau akan merubah cara pandangmu…” ujar Azkiya. Mendengar itu, Saripah hanya mengangkat bahunya dan menjebikan bibir.
“Sampai Allah memberkatiku…” jawabnya seenaknya.
Azkiya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. Saripah lalu menghela napas.
“Sudahlah. Aku nggak mau kita berdua bertengkar lagi gara-gara anak itu.” rajuknya seraya memegang lengan Azkiya.
“Katakan padaku, kapan anak perempuanku dan menantunya itu akan tiba di Gorontalo?’ tanya Saripah.
“Mungkin sore… atau malam…” jawab Azkiya sekenanya. Wanita berkhimar itu balas menepuk bahu sahabatnya.
“Bantu aku mempersiapkan pestanya ya?” pinta Azkiya dengan wajah jenaka. Saripah tertawa.
“Apa sih yang nggak boleh untukmu? Kamu itu sahabatku, besanku… bahkan perlu, nyawa ku setorkan untukmu!” ujarnya sambil tertawa. Azkiya tersenyum saja.
“Terima kasih…” ujar Azkiya dengan tulus.
“Sudah siap bahan-bahannya?” ujar Saripah sembari bangkit dan menyingsingkan lengan bajunya.
“Apa kita berdua saja yang berjibaku di dapur ini?” tukas Azkiya dengan wajah polosnya.
“Hei, kau sudah lupa ya? Kita berdua ini kan pendekar! Tubuh kita masih kuat, kan?!” seru Saripah dengan semangat. Keduanya lalu tertawa bersama-sama.
Azkiya tiba-tiba menatap ke arah gerbang. Saripah mengikut arah tatapan sahabatnya. Seketika rahangnya mengencang saat melihat Rosemary mematung disisi pintu dapur sambil menunduk.
“Mau apa kau disini?!” sergah Saripah menghardik.
Azkiya lekas menggenggam pergelangan tangan Saripah. Sejenak wanita itu menatap Azkiya lalu memalingkan lagi tatapan bencinya kepada Rosemary. Perlahan Rosemary berlutut.
“Umma…” panggilnya dengan lirih.
“Jangan sebut namaku! Kau bukan anakku!” hardik Saripah makin muntab.
Cengkraman Azkiya pada pergelangan tangan Saripah me-ngencang. Wanita itu tersadar lalu menghela napas untuk memperbaiki emosinya.
“Rosemary…” panggil Saripah dengan datar.
Rosemary langsung mengangkat wajahnya. Tatapan wanita itu masih sama terhadapnya. Penuh rasa benci, muak dan jijik. Namun Rosemary akan berupaya semampu dirinya menahan diri. Semuanya demi Azkiya, demi Kenzie dan demi Sandiaga. Yang penting baginya, Saripah akan memaafkannya. Jika maaf itu belum terlontar dari mulutnya, biarlah dia dibenci, jika kebencian itu merupakan sisi lain dari bentuk perhatian Saripah terhadapnya.
“Aku tak punya hak terhadapmu dirumah ini. Kau adalah tang-gungannya Azkiya! Aku menghormatimu karena Azkiya.” ujar Saripah dengan datar dan dingin. “Tapi, jangan harap hal itu jika di kediamanku. Kau faham?!” hardiknya.
Rosemary tetap menatap wanita itu membuat sebersit rasa iba akhirnya menelusup di sanubari Saripah. Wanita itu mendesah sambil memijat keningnya lalu mengibas-ngibaskan tangannya.
“Sudahlah… mau sampai kapan kau bersimpuh disitu? Bangkitlah dan bantu kami di dapur…” ujar Saripah merendahkan suaranya. Azkiya yang lega langsung membisiki telinga sahabatnya.
“Terima kasih… kau memang sahabatku yang terbaik.” Puji Azkiya dengan lirih. Saripah seketika tersenyum lalu menatap Rosemary.
“Ayo, bangkit kutu kupret! Bantu kami bekerja!” hardiknya lagi meski dengan nada lirih membuat Rosemary langsung berdiri dan membantu kedua wanita itu berjibaku mempersiapkan hidangan.
* * *
Sandiaga duduk bersila dengan takzim, menatap dua gundukan makam dihadapannya. Salah satunya adalah makam Aisyah dan Bakri. Keduanya memang dimakamkan dalam satu liang. Kedua orang itu adalah orang tua angkatnya dan sangat disayanginya. Kematian mereka yang terlalu sadis selalu menerbitkan trauma dalam benak Sandiaga. Adapun disebelahnya adalah makam Bapu Ridhwan.
Disisinya tergeletak sepoci saguer (minuman keras terbuat dari air Nira) dan pemuda itu meraihnya lalu meneguk isinya sedikit. Lelaki itu berupaya mendamaikan hatinya yang rusuh karena permasalahan semalam. Sejenak kemudian Sandiaga meletakkan poci berisi minuman keras lokal itu lalu kembali me-mandangi makam tersebut.
* * *
“Bagaimana? Bagus, kan?” tanya Hussein al-Katiri saat me-mamerkan pesawat jet terbarunya dengan bangga. “Ini prototipe hasil kerjasama antara Korporasi Al-Katiri dengan Northrop Grumman…” ujarnya.
“Bagus desainnya, datuk.” Komentar Airina membuat perasaan bangga kakek itu makin meluap.
“Aku menamainya Suluah, merujuk pada nama sejenis makhluk halus yang melayang…” tutur Hussein al-Katiri.
“Datuk kalau namai pesawatnya, jangan yang aneh-aneh dong.” sela Ikram menggerutu. “Nggak bisa cari nama lain?”
“Terserah aku! Ini kan punyaku!” hardik Hussein al-Katiri.
“Sudah, nggak usah bertengkar. Kayak anak-anak saja.” Lerai Kevin menengahi. Hussein al-Katiri justru menguak.
“Apa kau bilang? Aku kayak anak kecil?!” sergahnya sambil memelototkan mata.
“Nggak, maksudnya…” Kevin berkilah dan balik mengomentari pesawat itu disertai pujian-pujian untuk mengambil hati lelaki renta itu agar tidak ngambek.
Akram menatap Ikram lalu keduanya mengangguk dan me-langkah meninggalkan Kevin yang sementara beradu argumen dengan Hussein al-Katiri. Keduanya bersama pasangan masing-masing me-masuki pesawat, membiarkan ibunya yang ikut melerai pertengkaran dua lelaki beda usia itu.
“Kita masih punya banyak waktu beristirahat sambil menunggu Umi yang sibuk menenangkan Abi dan datuk.” ujar Akram dengan senyum nakal, dan diamini kembarannya. Keduanya lalu melakukan toss gaya mereka sambil tertawa.
Airina langsung menjawil lengan iparnya. “Apakah keduanya sering begini kalau ketemu?” bisik wanita itu, dan hanya dijawab dengan bahu yang mengangkat dari Hayati. []
Kreator : Kartono
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mendung di Benteng Otanaha Bab 44
Sorry, comment are closed for this post.