KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Mendung di Benteng Otanaha Bab 45

    Mendung di Benteng Otanaha Bab 45

    BY 16 Okt 2024 Dilihat: 97 kali
    Mendung di Benteng Otanaha Bab 45_alineaku

    HARAPAN YANG MENGHIBA

    Kedatangan keluarga Williams disambut dengan begitu antusias oleh Keluarga Lasantu. Kenzie memandu mereka menuju mobil-mobil yang telah dipersiapkan. Sementara Akram dan Ikram beserta istri-istri mereka berada di mobil lain. Tiga unit mobil meluncur meninggalkan Bandara Jalaludin Gorontalo.

    “Kita akan melintasi jalur alternatif.” ujar Kenzie dengan senyum penuh arti.

    ”Jalur yang biasanya kita lalui?” tanya Syafira kepada Azkiya.

    “Kali ini nggak. Kita akan menyusuri Outer Ring Road Gorontalo.” jawab Kenzie. wanita parobaya yang sering mengenakan batabue itu menatap Kenzie sejenak lalu kembali menatap Azkiya.

    “Tenang saja, Uni. Supaya jarak tempuh lebih cepat, lalu lintasnya juga tidak padat.” Jawab Azkiya dengan senyum.

    Kendaraan melaju mengambil jalan bundaran Habibie dan menuju ke utara. Setelah melewati celah-celah gunung dan simpang jalan Trans yang menuju ke Kwandang, iring-iringan mobil itu membelok ke timur dan menyusuri sebuah jalan lurus yang mirip dengan jalan Tol.

    “Wah, ini mirip jalan Tol Si Cincin di Sumatera Barat…” seru Syafira dengan gembira. Tiba-tiba saja, wanita itu meminta Kenzie mem-berhentikan kendaraannya.

    Iringan mobil itu berhenti di sisi jalanan beberapa meter dari terowongan. Disebelah kanan nampak sebuah gunung yang dipasangi tulisan besar disisi gambar logo Departemen Pekerjaan Umum. Syafira membaca tulisan itu lalu tersenyum.

    Penumpang di mobil kedua dan ketiga ikut-ikutan turun. Akram dan Ikram kagum menatapi belantara dan lembah yang dilewati jemba-tan tersebut. di sisi jalan nampak beberapa hiasan yang diberi gambar makuta, yaitu mahkota pengantin pria.

    “Seperti sebuah reuni, ya?” ungkap Syafira lalu tertawa, mem-buat Kevin menoleh menatap istrinya.

    “Jadi, Umi sudah pernah kesini?” tukas Kevin.

    “Menjemput Akram yang sedang mabuk cinta.” jawab Syafira kembali tertawa kecil. Kevin menggelengkan kepala berkali-kali sambil menampakkan wajah masamnya.

    “Umi itu, ya? Dilepas sedikit saja sudah langsung keluyuran kemana-mana…” gerutu Kevin mengomeli istrinya. 

    “Kita kan bisa jalan sama-sama kesini. Kenapa harus jalan sendirian? Kalau ada yang mau nyulik Umi? Gimana dong?” omelnya.

    Mendengar ucapan Kevin yang menyiratkan kecemburuan, sontak membuat seisi mobil tertawa. Hussein al-Katiri mendapat celah untuk merundungi menantu keluarga al-Katiri tersebut.

    “Alaaah, paling kau diceraikan saja… gampang, kan?” olok Hussein al-Katiri.

    “Kok mamak segitu sadisnya ke saya?!” protes Kevin kepada Hussein al-Katiri. Kakek itu hanya senyum-senyum saja. Kevin kembali menatap istrinya.

    “Pokoknya, mulai hari ini Umi kalau jalan harus sama Abi!” tandas Kevin. “Nggak boleh jalan sendiri lagi!”

    Azkiya menatap sahabatnya dan menggodanya, membuat Syafira tertawa tersipu-sipu sambil memukul lengan Azkiya dengan lembut. Kevin menyuruh iringan-iringan mobil itu bergerak dan berhenti di ujung terowongan, sementara mereka berjalan berombongan menikmati pemandangan di sekitar jalan bebas hambatan tersebut.

    “Jangan terlalu posesif, bro.” tegur Kenzie. “Nantinya, Syafira malah makin jauh darimu.”

    Kevin menatap besannya dengan wajah sengit. Kenzie ter-senyum lalu menyambung. “Kepercayaan terhadap pasangan akan mampu menjaga kepercayaan diri, bahwa kita selalu ada dihatinya.”

    “Sejak kapan kau sebijak ini?” olok Kevin.

    “Sejak aku jatuh cinta pada seorang wanita yang selalu sedia menjagaku…” jawab Kenzie mengerling penuh arti ke arah Azkiya. “Dia mencintaiku, memahami betapa rapuhnya aku tanpa dirinya.”

    Azkiya tersipu dilirik oleh suaminya. Wanita itu mengalihkan tatapannya memandang ke beberapa panorama yang terpampang di sekitar tempat itu, menyembunyikan semu merah di wajahnya.

    “Kau kalah telak dengan Kenzie, Tuan Kevin yang terhormat.” olok Hussein al-Katiri lagi dengan senyum mencemooh. 

    Kevin hanya bisa menggerutu panjang-pendek menggunakan bahasa celtic untuk mengumpat orang tua itu. mereka tiba di terowong-an. Hussein al-Katiri yang memandangi beberapa figura yang terpam-pang disana, memberikan beberapa komentarnya dan direspon oleh Kenzie dengan menjabarkan makna-makna figura-figura tersebut.

    Di belakang rombongan orang-orang tua itu, agak terpisah Akram dan Ikram berjalan masing-masing ditemani oleh pasangannya. Setelah mengamati beberapa lembah dan belantara yang membentang disana, Ikram memberikan komentarnya.

    “Ternyata Gorontalo tak jauh beda dengan Bukittinggi atau tempat lainnya di tanah Minangkabau.” Komentar Ikram. “Aku jadi teringat Padang…”

    “Ah, kau… baru enam jam kita meninggalkan Padang, kau sudah rindu kampung halaman. Payah, dasar anak rumahan…” olok Akram dengan wajah masam.

    “Tapi, kampung halamanku, ada disini kok…” tangkis Ikram sembari melirik Hayati. Yang dilirik membalasnya dengan senyum penuh arti.

    “Oh, jadi kau mau tinggal di Gorontalo?” tebak Akram.

    Ikram hanya tersenyum lalu memalingkan wajahnya kembali menatap beberapa figura yang terpampang di dinding terowongan. Airina sendiri tersenyum saat menyadari tatapan penuh arti iparnya kepada istrinya.

    DRRRRTTTT…DRRRRTTTT…

    Gawai milik Airina bergetar. Akram sejenak menatap istrinya yang mengamati layar ponselnya dengan alis bertaut.

    “Dari siapa?” tanya Akram lirih.

    “Nggak tahu.” jawab Airina juga dengan lirih. “Nomor baru.”

    “Faris, mungkin?” tebak Akram yang mulai diselimuti kecem-buruan.

    “Nggak usah sebut nama orang itu, Hubby…” tegur Airina mem-buat Akram tersenyum penuh kelegaan. Airina menolak panggilan seluler itu. tak lama kemudian getaran gawai terdengar lagi, membuat Airina jengkel.

    “Apaan ini sih?!” omelnya.

    “Terima saja…” usul Akram.

    “Dengan izinmu, Hubby…” pinta Airina. “Aku nggak akan me-lakukannya tanpa persetujuanmu!”

    Akram tertawa senang lalu mengangguk. Airina kemudian me-nerima panggilan itu. Dikeraskannya loudspeaker agar suaminya bisa ikut mendengarkan pembicaraan tersebut.

    “Halo…” sapa Airina.

    “Bisa kita ketemuan?” terdengar suara wanita.

    “Maaf, ini dengan siapa, ya?” tanya Airina dengan lembut.

    “Sudahlah, munafik! Jangan sok polos kamu!” sergah suara wanita itu membuat Airina langsung menampakkan wajah juteknya. Sementara wanita itu memaksa mengadakan pertemuan dan mem-berikan alamat pertemuannya. Percakapan seluler itu berakhir.

    “Perempuan gila!” umpat Airina dengan emosi lalu menyimpan ponselnya.

    “Kenapa Sweetie?” tanya Akram. “Kayaknya orang dendam, ya?” tukasnya sambil tertawa.

    “Apa iya?” tukas Airina pula. “Perasaan aku nggak pernah bikin orang dendam?!”

    “Ya sudahlah… ditemui saja.” usul Akram lagi.

    “Nggak mau, ah!” tolak Airina dengan ketus.

    “Kamu temui dia, nanti Akram mengawasi dari jauh.” usul Ikram. “Kalau ada sesuatu yang beres, kan Akram langsung bisa nyamperin kamu…”

    “… ini sekedar memastikan i’tikad perempuan itu…” sambung Hayati.

    “Nah, iparmu sendiri tahu…” timpal Ikram. “Dimana sih ke-pekaanmu? Katanya praktisi ninjutsu? Ini nih, gara-gara bucin sama Kentut Intelek, jadinya begini nih…” olok lelaki berkacamata itu.

    “Diam kau, Kantung Ingusan!” sergah Akram menudingkan telunjuknya ke wajah Ikram. “Kamu berani keluar karena ada Hayati disampingmu. Coba kalau sendirian? Nggak berani, toh?”

    “Aku bukannya nggak berani. Tapi aku menghargai perasaan Hayati.” kilah Ikram, “Meskipun Hayati tak mengungkungiku, justru itu yang membuatku makin menghargainya…”

    “Alaaah, dasar bekicot rumahan! Akal bulus kura-kuramu itu memang paling gampang bikin istrimu tersanjung.” ejek Akram lalu menatap Hayati. 

    “Kau percaya bualannya?” tukas Akram dengan jengkel.

    Hayati hanya tersenyum meladeni kegemasan Akram. Sementara Ikram balas mengolok kembarannya.

    “Aku malah kuatir dengan Yuki…” komentar Ikram dengan senyum jahilnya, “Kamu kan punya banyak kisah dengan perempuan…”

    Akram hanya bisa mengencangkan rahang, mengisyaratkan kembarannya untuk tidak mengungkit-ungkit masa lalunya dengan Durga dan perempuan lainnya. Lelaki itu langsung menampakkan wajah kuatir saat melihat Airina yang tetap menunduk mengutak-atik aplikasi pada ponselnya. Ikram hanya tertawa lalu mengangkat tangan. Hayati lalu menyentuh lengan Airina. 

    “Kamu nggak usah dengar perkataan Ikram. Keduanya memang biasa saling mengolok…” ujar Hayati membesarkan hati saudara iparnya.

    Airina sejenak menatap wajah Hayati lalu melempar senyum datar dan mengangguk-angguk saja. Mereka kembali menyusuri sisi jalan di terowongan itu, menyusul rombongan orang-orang tua yang telah lebih dulu tiba di ujung terowongan dan mulai memasuki mobil-mobil yang berderet tiga.

    * * *

     

    Priscila Bilondatu sesekali menatap arloji di pergelangan tangan-nya, lalu menghamparkan tatapannya mengamati satu persatu pe-ngunjung restoran yang memasuki pintu. Malam ini, dia akan bertemu dengan perempuan yang paling dibencinya.

    Semenjak Faris menikahinya, lelaki itu tak sedikitpun meng-hiraukannya. Perwira polisi itu lebih menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya. Yang bisa membuat Faris bergeming darinya hanyalah benih kehidupan yang kini bersemayam selama tiga minggu di rahim perempuan itu.

    Priscilla berupaya sekuat tenaga menjaga kandungannya agar tidak mengalami keguguran. Hal ini akan berimbas pada kehidupan rumah tangganya jika anak dalam kandungan itu gugur.

    Namun yang paling menyakitkan hati wanita itu adalah igauan Faris disetiap tidurnya yang selalu saja menyebut nama Airina. Mengapa lelaki itu tidak melupakannya saja? Bukankah dia sekarang menjalani kehidupan yang baru dengan pendampingnya?

    Priscilla sadar bahwa pernikahan yang dijalaninya semata-mata hasil dari sebuah kesepakatan bisnis antara Romin Bulotio dengan ayah-nya. Namun jika biduk rumah tangga berlayar tanpa adanya kemudi cinta, apa yang bisa diharapkan darinya?

    Airina muncul mengenakan kaos softball kedodoran dipadu dengan celana jins ketat dan sepatu kets. Penampilannya benar-benar paradoks dengan statusnya sebagai orang terkaya nomor dua, setelah keluarga Habibie yang memiliki aset di Gorontalo dan Munich sebesar 50 milyar dolar.

    Airina melayangkan pandang dan menemukan Priscilla yang duduk dengan tatapan penuh benci. Wanita itu melangkah santai dan duduk didepan Priscilla.

    “Rupanya kau yang menghubungiku tadi…” ujar Airina.

    “Memangnya kenapa?!” tantang Priscilla.

    Airina mendengus sejenak lalu menghela napas panjang. “Nah, katakan apa maumu?”

    Tak lama kemudian, seorang pelayan muncul menyerahkan lembar menu. Kedua wanita itu memesan menu yang mereka inginkan. Setelah pelayan itu pergi, Airina menuangkan air dalam teko ke gelas-nya, kemudian meneguknya sedikit.

    “Aku memintamu untuk merelakan Faris.” tuntut Prscilla saat Airina meletakkan gelas di meja.

    “Kamu pikir yang kulakukan saat ini apa?” tukas Airina menatap lawannya. “Aku sudah merelakannya sejak ayahnya menghinaku secara frontal. Apa kau pikir nama laki-laki itu masih bertengger di otakku?”

    “Tapi dia belum bisa melepaskanmu!” tukas Priscilla dengan kalut. “Setiap tidur dia selalu mengigaukan namamu! Jangan-jangan kau masih mengingatnya!” wanita itu menuding-nudingkan telunjuknya ke wajah Airina.

    PLAK!!!

    Airina menampar tangan Priscilla. “Kalau menuduh itu pakai logika!” tegurnya dengan ketus. Wanita itu lalu memamerkan cincin platina yang melingkar dijemari manisnya.

    “Aku sekarang sama sepertimu. Wanita bersuami. Jangan langsung mengambil kesimpulan picik hanya untuk menenangkan kekuatiranmu…” tegur Airina dengan ketus.

    “Intropeksi diri lah, Priscilla. Jangan-jangan kamu yang tak mampu memikatnya sehingga dia masih rela membenamkan diri dimasa lalunya …” balas Airina membuat Priscilla hanya bisa mengencangkan rahang-nya.

    “Mestinya, kau bisa memastikan bahwa kau mampu men-condongkan hatinya padamu! Itu tugasmu! Jangan persalahkan aku ketika kamu tak cakap menjalankan tugasmu!” tohok Airina lagi.

    “Kau bilang sama Faris, supaya dia menjauhimu!” tuntut Priscilla menggebrak meja.

    “Mau kubilang atau nggak, itu nggak ada pengaruhnya kalau dia sendiri masih senang berkubang dalam telaga masa lalunya.” jawab Airina dengan ketus.

    “Aku tak mau tahu! Jika dia masih terus mengigaukan namamu, tunggulah! Aku akan menghancurkanmu!” ancam Priscilla dengan geram.

    “Kau mengancamku? Kau mengancamku?” tukas Airina men-condongkan dirinya ke depan lalu tertawa mengejek. “Sadar dirilah Priscilla. Kamu siapa?” wanita itu lalu menyandarkan punggungnya kembali.

    “Kau pikir aku akan diam? Aku bahkan bisa menghancurkan kamu hanya dengan satu jentikan jari saja!” balas Airina.

    “Kau berani?!” tantang Priscilla.

    “Kau yang memulai! Aku hanya menjawab tantanganmu!” sahut Airina dengan tenang.

    “Ternyata benar apa yang dibilang ayah mertuaku.” ujar Priscilla dengan senyum mengejek. “Kalian semua adalah penjahat! Apalagi ibumu…”

    Airina memicing tajam saat Priscilla mulai berkomentar secara provokatif tentang masa lalu Azkiya.

    “Kalau kau nggak tahu keseluruhan kisahnya, sebaiknya bungkam mulut becekmu itu!” sela Airina menegur lalu mulai mengintimidasi lawannya. 

    Priscilla benar-benar dibuat terkejut saat menatap mata Airina yang memendarkan cahaya biru keabu-abuan. Jurus karasu tengu no shisen sudah dipamerkan.

    “Kau pikir Keluarga Lasantu akan berdiam diri? Kau berani mem-bangunkan Anoa yang diam, Priscilla.” ujar Airina mengancam. “Aku janjikan satu hal padamu. Keluargamu akan merasakan dampak dari lidah tajammu itu!”

    Airina lalu bangkit dan melangkah meninggalkan Priscilla yang hanya bisa menggebrak meja dengan kesal. Tak lama kemudian, pelayan muncul membawa menu yang dipesan oleh kedua wanita itu.

    “Bawa pulang satunya! Yang memesan sudah pergi!” sergah Priscilla dengan kesal.

    Wanita itu makan namun tak nikmat merasakan lezatnya hidangan sebab memikirkan ucapan-ucapan bernada intimidasi dan ancaman yang dilontarkan lawannya. Nafsu makannya hilang. Priscilla memanggil pelayan.

    “Hitung harga makanan ini.” Pinta Priscilla.

    Pelayan itu mengangguk dan melangkah menemui kasir me-nanyakan harga hidangan di meja nomor delapan. Tak lama kemudian pelayan itu datang lagi.

    “Maaf Nyonya. Pesanan anda sudah dibayar oleh teman anda yang duduk bersama anda tadi…” jawab pelayan itu. Seketika Priscilla menyergah marah. 

    “Aku nggak butuh dikasihani! Berapa harga hidangan ini?! Kalian kira aku nggak bisa melunasinya?!” serunya histeris sembari memamer-kan kartu kreditnya. Pelayan didepannya hanya berdiri dengan wajah kebingungan.

    * * *

     

    Romin Bulotio, Direktur Utama PT. Atma Jaya, dikunjungi seseorang yang sama sekali tak disangkanya. Seorang lelaki bermata satu bertubuh kekar ectomorfis. Rajahan irezumi nampak benar dari balik kemeja transparannya.

    Bulu kuduk lelaki parobaya itu merinding. Semula dia diberitahu resepsionis akan adanya tamu yang menunggu diruang kerjanya. Ia tak mengetahui bahwa tamu itu justru adalah orang yang paling dia hindari. Kenzie, memang diseganinya, namun juga dibencinya. Akan tetap Sandiaga… lelaki ini bisa jadi jauh lebih buas dari ayahnya, bahkan dari ibunya!

    Romin hanya tahu bahwa lelaki yang termasuk keponakan jauh-nya itu adalah seorang atlit MMA. Dia tidak tahu bahwa Sandiaga juga seorang ketua klan ninja yang menjadi salah satu pendukung Klan Shigeno yang menguasai wilayah Chubu.

    “Bagaimana kabar anda, Oom?” sapa Sandiaga dengan datar dan dingin. Lelaki itu duduk santai di sofa, menyilangkan kaki dan me-nyangga kedua jemarinya pada lutut.

    “B-baik…” jawab Romin tergagap gugup. “B-bagaimana k-kabarmu, nak?” 

    “Alhamdulillah, baik.” Jawab Sandiaga dengan datar. Romin kemudian duduk di sofa, berseberangan dengan ponakan jauhnya itu. 

    “Apa yang membawamu kesini?” tanya Romin.

    Sandiaga sejenak menarik napas panjang lalu memperbaiki gaya duduknya lebih tegak, sangat layak bagai seorang jenderal.

    “Sebenarnya aku bisa menemui anda dirumah. Namun kurasa, disini lebih baik.” ujar Sandiaga kemudian perlahan mencondongkan tubuhnya ke depan. Telunjuknya mulai menuding.

    “Mantu perempuanmu sudah berani menghina adikku, dengan mengungkit-ungkit masa lalu ibuku…” ujar Sandiaga. “Untuk apa dia mengata-ngatai ibuku? Apa motifnya? Jika menginginkan agar Faris menjauhi adikku, mengapa harus menyinggung-nyinggung ibuku?!”

    Romin terdiam dan keringat dingin membasahi wajahnya. Sandiaga melanjutkan. “Jika Oom nggak tahu cerita sebenarnya, bungkam sajalah!”

    Romin sejenak mendehem menghilangkan kegugupannya. Lelaki parobaya itu lalu membantah. “Jika Priscilla kelepasan bicara, itu mungkin pembawaan adikmu yang keterlaluan.”

    “Sebaiknya, bilang sama anak lelakimu untuk melupakan adikku. Dia sudah menikah!” tukas Sandiaga.

    “Faris sudah melupakannya. Untuk apa kau bicara seperti itu?” balas Romin yang tersinggung.

    “Tanyai mantu perempuanmu! Mengapa dia menemui adikku tadi malam? Dan satu lagi. Awasi anak-anakmu!” tandas Sandiaga dengan ketus.

    “Kau berani mengancamku?!” tantang Romin langsung berdiri dan bercakak pinggang memasang tampang wajah keruh. Sandiaga kemudian bangkit lalu berdiri menatap Romin. 

    “Jangan kira keluargaku akan mendiamkan penghinaan ini!” ujarnya lalu melangkah meninggalkan ruangan. Romin lekas-lekas menyeka keringat dingin yang membasahi wajahnya.

    * * *

     

    Trias sedang mempelajari sebuah dokumen ketika terdengar ketukan dipintu ruang kerjanya. 

    “Masuk!” seru Trias tanpa menoleh.

    Pintu membuka, masuklah Briptu Emil yang mengabarkan akan kedatangan Airina. Kapolda itu dengan tanggap langsung berdiri dan menyuruh masuk tamunya. Lelaki parobaya itu lalu duduk di sofa ketika Airina muncul diruangan itu.

    “Abaahhh…” seru Airina melangkah mendapati lelaki parobaya itu lalu mencium tangannya.

    “Anaknya Abah ini datang nggak kasih tahu…” balasnya lalu berlagak merajuk. Airina tertawa.

    “Abah, Yuki masih kangen nih.” rengek Airina manja. “Jangan rusak suasana dooong…”

    Trias tertawa lalu mempersilahkan Airina duduk disisinya. “Sudah ketemu Iyun?” pancing lelaki parobaya itu.

    “Oh, Tata Iyun lagi ngantor? Kok Yuki nggak lihat ya?” tukas Airina mengangkat alisnya.

    “Ya, kamu macam nggak tahu saja gaya kakakmu itu? dia pasti lagi ger-geran dengan rekan se-timnya.” ujar Trias lalu menggerutu pelan. “Padahal lagi hamil muda…”

    Airina tersenyum dan mengangguk-angguk.

    “Yuki kenapa ketemunya disini? Kan bisa datangi Abah di-rumah…” tukas Trias. “Pasti ada maunya nih. Bilang dong…”

    Airina sejenak menarik napas lalu menatap lelaki parobaya itu. “Ini kalau Abah berkenan…”

    “Apa coba? Ayo bilang…” pinta Trias.

    “Bisakah saya… ketemu Faris?” tanya Airina dengan lirih.

    Sejenak Trias terdiam. Lelaki parobaya itu menghela napas sesaat lalu menatap tajam ponakannya.

    “Kamu itu sudah bersuami, Yuki…” tegur Trias. “Kenapa nyari-nyari suami orang?” 

    “Untuk menuntaskan masalah yang belum selesai…” jawab Airina membuat alis Trias terangkat.

    “Masalah yang belum selesai? Apa sih?” cecar Trias.

    “Ih, Abah… kepo ah…” olok Airina kembali membuat Trias ter-tawa. Lelaki itu lalu bangkit menuju meja kerjanya dan menekan sebuah tombol pada pesawat telpon.

    “Siap! Ada apa, Pak?” tanya petugas piket.

    “Iptu Faris Bulotio ada disana?!” tanya Trias.

    “Siap! Ada Pak!” jawab petugas piket.

    “Panggil dia kemari!” titah lelaki parobaya itu.

    “Siap!” tanggap petugas piket itu.

    Trias kembali duduk di sofa. Airina lalu bicara. “Abah, kudengar Abah mau nantang tanding datuk Hussein, ya?”

    Datuk Hussein? Siapa tuh?” tanya Trias dengan bingung.

    “Itu, Pakar Silek Kumango dari Padang…” jawab Airina. “Papa bilang, Abah mau nantangin dia…”

    “Oooo… Datuk Hussein namanya?” seru Trias.

    Airina mengangguk. Trias hendak bertanya lagi, namun urung sebab terdengar lagi ketukan di pintu.

    “Masuk!” serunya menatap pintu.

    Pintu membuka dan masuklah Iptu Faris yang berseragam lengkap. Sejenak lelaki itu tertegun menyadari keberadaan Airina disana. Sejenak kemudian Faris memasang sikap tegap.

    “Lapor! Iptu Faris Bulotio menghadap!” seru perwira itu dengan lantang.

    Trias bangkit dan mendekati Faris. Lelaki parobaya itu menepuk pelan pundak perwira itu.

    “Selesaikan masalahmu, nak!” ujarnya lalu melangkah me-ninggalkan ruangan.

    Sepeninggal sang kapolda, Faris lalu mendekat dan duduk di sofa. Airina duduk menyilangkan kakinya. Dimata Faris, gaya wanita itu tetaplah sama. Angkuh namun begitu anggun. Sejenak perwira itu meneguk salivanya sendiri.

    “Bagaimana kabarmu?” sapa Faris dengan lembut.

    “Baik…” jawab Airina dengan datar.

    “Kau… kau sudah berubah.” Tukas Faris.

    “Kamunya yang nggak mau berubah…” balas Airina tetap dengan nada yang sama. Dingin, arogan dan mengintimidasi.

    “Aku… aku masih mencintai kamu…” ungkap Faris dengan suara serak. Napasnya terasa sesak. Airina memamerkan cincin platina di jari manisnya. 

    “Aku sudah menikah…” ujarnya dengan datar.

    “Aku tak perduli… rasaku terhadapmu belum berubah.” elak Faris sedikit meninggikan suaranya.

    “Kau harus perduli Faris!” tegur Airina. “Ingat Priscilla!”

    “Aku tak mencintainya. Itu hanya pernikahan palsu!” tukas Faris dengan mata yang berkaca-kaca. “Kami diikat perjanjian!”

    “Apa bedanya? Apa bedanya?” tantang Airina.

    “Beda! Aku hanya ingin bersamamu, tapi…” seru Faris.

    “Aku dididik patuh kepada orang tua.” sela Airina.

    “Apa kau rela dijodohkan?” tukas Faris dengan ketus.

    “Aku akan menerimanya…” jawab Airina.

    “Meskipun dijodohkan dengan lelaki yang tak kau sukai?” cecar Faris setengah menyergah.

    “Ayahku nggak sepicik ayahmu!” bantah Airina. “Dia memahami penuh hak aku!”

    “Kembalilah padaku Airina.” rengek Faris memelas. Hilang sudah wibawa lelaki itu dimata Airina. “Kita akan merajut lagi cinta kita…”

    “Percuma…” jawab Airina.

    “Tapi aku mencintaimu…” tandas Faris. “Aku yakin, kau masih mencintaiku. Iya, kan? Iya, kan Yuki?!”

    Airina menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak. “Kau itu masih waras nggak? Mencintai istri orang lain, sudah konslet otakmu, hah?! Kurasa Priscilla pasti malu jika tahu gayamu seperti ini…” cemoohnya.

    “Jangan bawa-bawa Priscilla dalam hubungan kita.” Tukas Faris sedikit menyergah.

    “Dia ada hubungannya dengan kita berdua, Faris!” seru Airina dengan lantang. “Ingatlah! Dia itu istrimu!”

    Faris mendengus. Airina melanjutkan bicaranya. “Mengapa tak sedikitpun kau mencintainya?! Dia bahkan rela menghinakan diri demi kamu! Semestinya kamu tersanjung, Faris!” tohoknya.

    “Sudah kubilang! Aku nggak mencintainya!” sergah Faris meng-hardik. Airina diam sejenak lalu menghela napas dan bangkit menatap perwira itu dengan tatap angkuh.

    “Kurasa pembicaran kita sudah selesai, Faris.” ujar Airina. “Bercerminlah… melangkahlah dengan baik dimasa depan. Jangan tenggelam dimasa lalu. Jika tidak, kau akan menyesal setelah menyadari apa yang hilang dari genggamanmu!”

    Airina beranjak meninggalkan ruangan. Tiba-tiba Faris bangkit dan mengejar. Perwira itu langsung menarik Airina dalam pelukannya. Dan wanita itu terkejut bukan kepalang ketika dengan beraninya Faris menempelkan bibirnya di bibir wanita itu dan mengulum nikmat benda itu.

    PLAKKK!!!    UH…

    Tamparan keras Airina membuat Faris terjejer beberapa langkah ke belakang sambil menutup belah bibirnya yang terluka karena digigit wanita itu.

    “Yuki…” seru Faris dengan kaget.

    Airina berdiri dengan tangan terkepal dan tatapan marah yang membuncah. Matanya berkaca-kaca, namun Airina tak sudi mengubah-nya menjadi air mata. Bersikap cengeng dihadapan perwira ini akan menambah kesombongan lelaki itu.

    Damam ang ko mah?! (Tak waraskah kau?!)” sergah Airina menghardik menggunakan bahasa paling kasar dalam budaya minang-kabau, membuat Faris terdiam.

    “Tega kau melakukan itu!” desis Airina dengan gemetar. “Kau taruh dimana integritasmu sebagai seorang penegak hukum?”

    “Yuki… m-maafkan aku…” rengek Faris. “Aku… aku…ak-aku khilaf…”

    “Kekhilafan yang tak patut dimaafkan! Kau sudah lancang me-langgar pagar ayuku! Apa kau kira Akram akan berdiam diri melihat istrinya dihinakan?!” seru Airina dengan lantang.

    Anjiang ang! Baruak paja ko memang! (Anjing kau! Dasar kera!)” umpat Airina lagi menggunakan bahasa minang sambil mendengus. 

    Airina melangkah meninggalkan ruangan, sementara Faris terpaku ditempatnya. Tak lama kemudian Trias muncul dikawal dua orang dari divisi propam.

    “Tangkap orang ini dengan jerat pasal 289 dan 296 KUHP!” seru Trias dengan lantang.

    Dengan sigap, dua opsir itu maju membekuk Faris yang tak melawan sedikitpun. Bukti rekaman CCTV diruangan itu menjadi dalil kuat yang bisa menghancurkan karir kepolisian lelaki itu. pasal UU Nomor 8 tahun 1981 menjeratnya dengan begitu kuat.

    * * *

     

    Romin Bulotio benar-benar lemas. Panggilan dari POLDA atas kasus pelecehan seksual Faris terhadap Airina di ruang kerja Kapolda menjadi batu sandungan yang bisa menghancurkan prestise PT. Atma Jaya ke titik nadir paling rendah.

    Lelaki parobaya itu menemui Kanit Propam yang masih masuk dalam kerabatnya sendiri, Kombespol DR. Samsul Bahri Lasabang, M.H untuk mengkonfirmasi dan berdiskusi mencari titik celah dari masalah ini.

    Namun Samsul Bahri sendiri bukanlah orang yang gampang disetir oleh nepotisme. Dia seorang pejabat teras yang berdedikasi tinggi dibidangnya, sejak dilantik menjabat sebagai Kanit Intelkam di Polres Pohuwato dua dasawarsa silam.

    “Duduk, Oom…” ujar Samsul Bahri mempersilahkan.

    “Dimana Faris sekarang? Aku mau ketemu dengannya.” ujar Romin saat duduk di sofa.

    “Nggak bisa Oom.” tolak Samsul. “Anak itu sekarang ditangani unit provost. Pelanggarannya nggak main-main. Pelecehan seksual terhadap Airina Yuki Lasantu di ruang kerja kapolda.”

    “Lagi-lagi perempuan itu…” gerutu Romin dengan jengkel.

    “Kenapa dengan Faris, Oom?” selidik Samsul. “Setahuku, anak itu nggak begitu.” Lelaki berpakaian kasual itu mencondongkan tubuhnya ke depan.

    “Apa Faris nggak bahagia dengan pernikahannya?” selidik Samsul memicingkan mata.

    “Siapa bilang?!” bantah Romin. “Dia… bahagia, kok!”

    “Apa Faris pernah pacaran dengan Airina?” selidik Samsul lagi dengan datar, membuat Romin gugup.

    “Apa Oom memaksa Faris menikahi Priscilla?” cecar Samsul lagi, membuat Romin langsung mengibaskan tangannya.

    “Sudahlah…” sela Romin. “Katakan saja, apa yang harus ku-lakukan?”

    “Nggak ada…” jawab Samsul membuat Romin terduduk lemas. Kanit Propam itu menyambung. “Rekaman CCTV dikamar kerja Pak Kapolda sudah sangat jelas membeberkan jenis pelanggaran apa yang dilakukannya…”

    “Oom nggak tahu, kalau Airina itu keponakannya Pak Kapolda? Bukankah Oom tahu, karena hakikatnya kita ini masih berkerabat dengan mereka. Kalau Oom berkilah dan menuduh beliau itu nepotis, itu nggak ada buktinya. Beliau itu orang yang akuntabel dan kredibilitasnya tinggi…” ujar Samsul dengan tajam.

    “Lalu menurutmu, aku harus bagaimana?” tukas Romin yang mulai kalut.

    “Ada caranya…” usul Samsul. “Tapi kuyakin, Oom nggak akan menyukainya…” ujarnya karena Samsul tahu benar latar belakang perseteruan antara lelaki itu dengan Kenzie Lasantu.

    Sebenarnya, Romin sudah bisa menebak arah usulan ponakannya itu. jika dugaan itu benar, mau ditaruh dimana mukanya? Selama ini, dia dan Kenzie adalah seteru berat dalam proyek-proyek tender daerah.

    Merendahkan diri dihadapan Kenzie? Romin pasti sudah gila jika melakukan hal itu. namun, masalah Faris membutuhkan penanganan yang serius. Ego harus dikesampingkan. Trias tak akan mendiamkan siapapun yang mengusik Airina.

    Ditambah ancaman Sandiaga yang makin memumetkan pikiran-nya. Romin benar-benar berada dalam himpitan masalah yang besar.

    * * *

     

    Hari minggu, Airina yang kebetulan mengunjungi Kediaman Ali langsung disidang oleh Sandiaga, disaksikan oleh Inayah dan kedua orang tuanya. Saripah yang mengetahui latar belakangnya dari putrinya langsung mencak-mencak tak karuan.

    “Kurang ajar! Cecunguk itu berani melakukan hal itu pada anakku?! Kurang asem! Harus diberikan pelajaran dia!” sergah Saripah lalu menatap suaminya.

    “Abah! Pokoknya Umma nggak rela. Umma minta segera diproses anak kurang ajar itu. Kalau perlu, pecat dia!!!” tuntut Saripah membuat Trias menatap Inayah dengan tatapan mencela.

    Polwan itu hanya bisa cengar-cengir ditatapi begitu rupa oleh ayahnya. Sandiaga lalu maju menginterogasi adiknya.

    “Mengapa kau menemuinya?!” sergah Sandiaga.

    “Untuk menyelesaikan masalah yang belum tuntas….” Jawab Airina sembari menyilangkan kakinya. Sikap angkuhnya sebagai mantan wakil direktur PT. Buana Asparaga Tbk muncul. Wanita itu tak mau diintimidasi kakaknya.

    “Atau justru menambah masalah baru?!” tukas Sandiaga dengan ketus, mengerutkan alisnya.

    “Mungkin, dia nggak rela pisah denganku?” balas Airina meng-angkat bahunya seenaknya.

    “Kau tahu apa dampak dari kasus ini?!” tukas Sandiaga makin ketus membuat Airina mendengus jengkel.

    “Dia kan sudah ditahan di Propam!” seru Airina dengan lantang menantang wajah marah Sandiaga. “Aku tak melakukan kesalahan apapun!”

    “Kesalahanmu adalah menemuinya!!!” sergah Sandiaga meng-hardik adiknya.

    “Kita ganyang orang itu!” seru Inayah memprovokasi. Sandiaga langsung menatap istrinya.

    “Kamu jangan mancing-mancing masalah, Schnucky!” tegur lelaki bermata satu itu.

    “Aku nggak mancing!” kilah Inayah. “Tapi aku tersinggung. Masa Yuki diperlakukan seperti itu? mestinya Ayank sebagai kakaknya harus lebih garang!” hasut polwan itu.

    “Ooo.. jadi maumu, aku datangi kantor Propam, nenteng Si Penebas Angin, nyamperi dia lalu tebas kepalanya? Begitu?” pancing Sandiaga mengerutkan alis. Sejenak Inayah tercekat dengan ucapan nekad suaminya. Namun tetap saja diladeninya.

    “Y-yaaa… b-be-begitulaaaa…” ujarnya tergagap takut.

    “Sudah diam!” tegur Trias. “Kok malah kalian yang gontok-gontokan?!”

    “Assalam alaikum…” seru seseorang didepan pintu.

    Mereka menoleh. Nampak Samsul Bahri berdiri mengenakan pakaian kasual. Trias bangkit menyambut tamunya.

    “Ayo masuk…” ajaknya.

    Keduanya melangkah masuk ke ruang keluarga. Samsul menatap Airina. “Bagaimana kabarmu, nak?”

    “Alhamdulillah, Oom…” jawab Airina.

    “Kedatanganku kemari untuk mengkonfirmasi, apakah kasusnya Faris itu dilanjutkan atau nggak…” ujar Samsul.

    “Jelas dilanjutkan laaaa… saya saja tersinggung, apalagi mama-nya…” sela Saripah dengan emosi.

    “Umma…” tegur Trias membuat Saripah memberenggut kesal. Samsul Bahri tersenyum.

    “Saya paham bagaimana perasaan Ibu Ketua… tentunya Keluarga Lasantu bisa jadi lebih daripada ini…” sahut perwira itu lalu menoleh menatap Airina.

    DRRRRT…DRRRRTTT…

    Gawai Airina bergetar membuat wanita itu memperhatikan layar ponselnya. Sejenak wajahnya pias melihat nama si penelpon.

    “Papa…” desisnya.

    Semuanya, terkecuali Samsul Bahri, langsung menampakkan raut wajah kuatir. Mereka tahu, bagaimana watak Kenzie jika berhubungan dengan Airina. Trias sebisanya bersikap tenang.

    “Angkat bicaranya, nak…” pinta Trias.

    Airina menerima panggilan itu. seketika terdengar suara Kenzie.

    “Halo, Assalam alaikum…”

    “Wa alaikum salam, Papa…” jawab Airina dengan lirih.

    “Kamu di Kediaman Ali? Pulanglah nak. Papa mau bicara sesuatu …” pinta Kenzie.

    “Gawat! Kenzie sudah tahu!” bisik Saripah kuatir. Trias mendesis menyuruh istrinya diam.

    “Yuki masih sama-sama Tata Iyun…” ujar Airina mencoba menolak.

    “Pulang Nak… Papa mau tanya sesuatu!” ulang Kenzie kini dengan bahasa menekan.

    “Iya… Pa…” ujar Airina pada akhirnya. Wanita itu lalu menatap seisi penghuni ruangan itu.

    “Jangan takut. Kami bersamamu…” ujar Trias berupaya me-nenangkan suasana.

    * * *

     

    Dihalaman beranda depan Kediaman Lasantu, nampak Romin dan istrinya, serta menantu perempuannya berdiri. Diatas beranda, nampak Kenzie dan istrinya beserta seluruh anggota keluarga Williams.

    Kedatangan mobil Roll-Royce dan Land Cruiser di kediaman itu membuat Romin sejenak menoleh. Airina muncul dari Roll-Royce diapit oleh Inayah dan ibunya. Kemudian Trias keluar bersama Sandiaga. Sementara dari Jip Land Cruiser, keluarlah Samsul Bahri. Mereka ber-gerak menuju halaman. Melihat Airina, Romin seketika hendak men-dekat namun langsung dicekal oleh Saripah.

    “Tahan langkahmu! Apa yang kau inginkan?!” hardik wanita parobaya itu. Romin sejenak menarik napas panjang.

    “Aku mau bicara dengan Airina…” ujarnya dengan pelan.

    “Jangan disini!” sergah Saripah lalu mengangguk ke arah beranda. “Bicara disana!”

    “Umma…” tegur Trias.

    Sang kapolda melangkah bersama sahabatnya, kanit Propam mendekati beranda dan berhenti didepan anak tangga.

    “Ken…” panggil Trias.

    Kenzie menatap besannya dengan wajah garang. Trias menghela napas. Terjadilah diskusi batin antara kedua pendekar itu agar tidak diketahui oleh yang lainnya.

    Nggak baik mendiamkan tamu di halaman. Itu nggak sesuai dengan etika keluarga kita. Bukan begitu?” ujar Trias dalam percakapan batinnya.

    Dia nggak pantas menerima rasa hormatku! Anaknya berani merusak pagar ayu anakku! Mestinya dia membusuk di penjara!” balas Kenzie.

    Kita juga sedang membahas masalah ini… ayolah Ken…” bujuk Trias lagi.

    Sejenak Kenzie menarik napas dan memejamkan mata lalu mengangguk. Trias mendesah lega dan menyuruh Romin sekeluarga masuk dan duduk di beranda. Kenzie sendiri masih bungkam karena jijik menatap wajah seterunya. Romin menatap kumpulan orang itu dan makin lemaslah dia.

    “Sebutkan maksud kedatangan anda.” pinta Trias dengan datar dan berwibawa. Sejenak Romin mendehem mengusir kelu di lidahnya.

    “Saya datang untuk meminta maaf atas kelancangan anak saya…” ujar Romin membuat Kenzie langsung melengos jijik. Azkiya sendiri menatap tajam lelaki itu. kedua matanya sudah sejak tadi memendarkan cahaya biru pucat keabu-abuan.

    “Lagi pula, saya pikir hal ini bisa kita musyawarahkan secara kekeluargaan… bagaimanapun, kita masih kerabat juga, bertemu pada marga Lasabang….” ujar Romin dengan senyum layu.

    “Tapi ibuku, Fitri Lasabang, akhlaknya nggak kayak kamu!” sela Kenzie tiba-tiba sambil menuding-nudingkan telunjuknya ke arah Romin.

    “Kakakku, Aisyah, juga nggak kayak kamu! Kerabat apanya?! Kerabat mana yang selalu menjatuhkan prestiseku dihadapan serikat pengusaha, hah? Kerabat macam apa kau?!” sergah Kenzie penuh emosi.

    “Keeennnn….” tegur Trias.

    Teguran itu membuat Kenzie tersadar lalu menyandarkan kembali punggungnya ke sofa dan memalingkan wajah, jijik melihat wajah seterunya. Trias kemudian menatap Romin.

    “Sebelumnya, saya akan mengkonfirmasi sesuatu kepada me-nantu anda.” ujar Trias kemudian menatap Priscilla.

    “Silahkan…” ujar Romin dengan pasrah.

    “Apakah pernikahan kalian, bahagia?” selidik Trias membuat Priscilla diserang rasa gugup. Perubahan wajah itu jelas terlihat oleh Trias maupun Samsul.

    “Bukankah di sidang BP4R, Faris mengemukakan kebaha-giaannya untuk menikahimu? Ataukah… semuanya itu semu?” tukas Trias memicingkan mata.

    “P-pernikahan k-kami… b-ba-bahagia, Pak…” jawab Priscilla tergagap. Trias menyandarkan punggungnya di sofa.

    “Aku secara pribadi mengetahui latar hubungan antara Faris dengan Airina… keduanya pernah pacaran… aku tahu, karena anakku, Inayah yang mencomblangi mereka. Aku sendiri sempat memberikan nasihat kepadanya kala itu….” tutur Trias.

    Penuturan kapolda itu makin membuat Romin diserang gugup. Trias mencondongkan tubuhnya menatap Romin.

    “Katakan padaku. Apa yang membuat keduanya berpisah?” selidik Trias kembali memicingkan mata.

    “Faris… sudah kujodohkan dengan Priscilla…” jawab Romin pada akhirnya. Seketika tangis Priscilla terdengar menyayat. Romin kembali menatap Kenzie.

    “Ken… aku benar-benar minta maaf untuk hal ini…” ujarnya memelas.

    “Minta maaf? Padaku?” tukas Kenzie memelototkan matanya. “Salah alamat! Tahu, nggak?! Yang semestinya kau mintakan maaf itu, Yuki!” sergahnya kembali sebab emosinya tersulut lagi.

    “Keeennn…” tegur Trias.

    Kenzie kembali mendesah kasar lalu duduk memalingkan wajahnya lagi. Samsul Bahri sejenak mengambil napas lalu bicara.

    “Dari penuturan Pak Kapolda, saya sudah bisa mengambil kesim-pulan. Ditambah lagi kelakuan Priscilla…” lelaki itu lalu menatap Priscilla.

    “ceritakan semua…” pinta Samsul.

    Akhirnya Priscilla menutur segalanya. Nampak benar wajah-wajah kemarahan tersirat diseluruh anggota keluarga Williams. Terlebih lagi Kenzie makin muntab. Kedua matanya sudah berkaca-kaca berupaya menahan emosi yang membuncah.

    Inayah dapat dengan jelas melihat aura yang memancar dari diri suaminya dan ibu mertuanya adalah aura membunuh. Sementara Priscilla terus bercerita sampai ke pertemuannya dengan Airina. Sejenak Trias menatap Airina yang juga mengangguk membenarkan peristiwa itu.

    “Saya tidak sepenuhnya mempersalahkan Priscilla. Tindakan itu murni disebabkan oleh sikap protektif dan posesif seorang istri kepada suaminya…” ujar Airina lalu menunduk. 

    “Saya hanya tak suka, dia mengungkit-ungkit masa lalu Mama…” sambung Airina kemudian.

    “Masa laluku? Kalian ingin tahu bagaimana masa laluku?” tukas Azkiya dengan gemetar. “Baiklah… kukisahkan saja, supaya kalian tahu.” 

    Wanita parobaya berkhimar panjang itu menutur alasan dirinya membunuh Puspita, seorang transgender karena orang itu menyekap dan menculik Kenzie, melecehkannya dan berhasil menggoyang saham perusahaan nyaris ke titik nadir. Semua yang mendengar akhirnya me-nampakkan wajah prihatin, termasuk Romin yang dilanda rasa bersalah yang luar biasa. 

    Azkiya juga menuturkan alasan dirinya membunuh Stefan di hutan Tumolata, disebabkan lelaki itu berniat menembak tiga opsir yang hendak meringkusnya. Itu adalah tindakan preventif untuk mencegah upaya pembunuhan terhadap aparat negara. Meskipun begitu, Azkiya harus rela dipenjara demi pertanggungjawaban yang bukan semestinya diembannya.

    “Sekarang kau sudah tahu, kan?!” tukas Azkiya mengakhiri kisah-nya. “Mulai sekarang, bungkam bacot busukmu itu, selamanya!” tandas Akiya dengan datar. Kenzie tiba-tiba berdiri sembari menatap Trias. 

    “Aku tak sanggup menghadapi ini! Kau aturlah!” lelaki itu lalu menatap putranya. Sedang Azkiya juga sudah bangkit menggandeng lengan suaminya. Kenzie menatap putranya.

    “Saburo, watashi o daihyo suru! (Saburo, wakilkan aku!)” serunya. lelaki itu lalu menyibak jalan melangkah meninggalkan beranda, diapit oleh Azkiya yang bungkam seribu bahasa.

    Hai! Otoo-Sama!” sahut Sandiaga dengan tanggap.

    Kini Trias bertindak sebagai moderator sekaligus eksekutor atas kasus tersebut. Setelah penyelidikan panjang lebar, lelaki parobaya itu menatap Kanit Propam tersebut.

    “Bagaimana?” tanya Trias.

    “Ini berat, bro… pencabulan aparat negara terhadap warga sipil bukan hal yang main-main.” ujar Samsul Bahri membuat wajah Priscilla menjadi pias sebab mengkuatirkan nasib suaminya.

    “Yuki. Bisa duduk dekat Abah?” pinta Trias.

    Airina yang berdiri disisi Akram akhirnya mendekat dan duduk disisi lelaki parobaya tersebut.

    No’u, bagaimana keputusanmu? Apakah kau tetap akan meng-gugat Faris, atau memafkannya atas nama kekeluargaan?” pancing Trias dengan lembut.

    Tiba-tiba Priscilla langsung menghambur dan bersimpuh me-meluk kaki Airina membuat wanita itu terhenyak kaget, berupaya meronta. Wajah Priscilla menengadah berurai airmata menatap Airina.

    “Airina, aku salah telah mengungkit masa lalu ibumu…” sedu Priscilla. “Aku salah telah menghinamu… tapi, berbelas kasihanlah kepadaku… lepaskan Kak Faris… Airina… Aku memohon… lepaskan dia…” pinta Priscilla disela sedu-sedannya.

    “Untuk apa membela lelaki yang tak mencintaimu? Apa kau bodoh?” sindir Airina mencemooh.

    “Ya! Aku bodoh! Aku memang dungu! Aku memang bebal!” seru Priscilla membenarkan sindiran Airina. “Sebut aku semaumu. Katai aku sesukamu. Tapi aku mencintai Kak Faris.”

    Airina terdiam mendengar pengakuan wanita itu. Priscilla kembali menyambung. “Perkara dia tak cinta, itulah resiko menikahi lelaki yang tak mau keluar dari masa lalunya….”

    Priscilla kembali menghiba. “Kumohon lepaskanlah Kak Faris… aku janji! Aku janji padamu! Aku akan menerima, biar kularutkan bersama sakit hatiku! Biarkan dia disisiku. Aku tak akan melupakan kebaikanmu ini…. Please, Airina… please…”

    Samsul bangkit dan menyentuh bahu Priscilla. “Bangunlah nak…” pintanya.

    “Aku tak akan bangkit, sebelum Airina mencabut gugatannya!” jerit Priscilla masih tetap bersimpuh memeluk kaki Airina.

    “Tapi bukan dengan cara serendah ini!” tegur Samsul agak keras.

    “Hanya ini yang bisa dilakukan seorang istri agar suaminya men-dapatkan pengampunan…” jawab Priscilla ditengah sedu-sedannya.

    Akram akhirnya menyentuh bahu istrinya. Airina menoleh. Lelaki itu membisikkan sesuatu kepadanya, membuat Airina terdiam lama. Akhirnya dengan senyum yang terkembang, Airina langsung berucap. 

    “Abah, Oom Samsul…. Aku putuskan mencabut gugatan, dan memaafkan Faris!” seru Airina dengan mantap.

    Mendengar kalimat pengampunan itu tanpa sadar Romin me-neteskan airmatanya, bersyukur bahwa ternyata putri dari seterunya masih memiliki hati selembut salju. Airina kemudian membungkuk menyentuh lengan Priscilla. 

    “Sekarang, bangkitlah kau. Sia-sia kau berlutut. Persendianmu bisa sakit!” oloknya.

    Priscilla bangkit dan langsung memeluk Airina kemudian me-numpahkan tangisnya dalam pelukan wanita itu. Airina tersenyum lalu menoleh menatap Akram yang juga mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah melepas pelukan, Airina, sambil membelai dan membarut rambut wanita itu kemudian berpesan.

    “Jangan sia-siakan airmata berhargamu untuk suami bodohmu itu. tapi, pastikan dia tak akan menggangguku! Jika kau tak mampu mengendalikannya, aku akan memastikan Faris benar-benar hancur! Kau paham?!” pesan Airina penuh tekanan intimidasi.

    Priscilla langsung mengangguk cepat. Airina ikut mengangguk. “Nah, sekarang bahagiakan hatimu. Hari senin nanti, Abah akan meng-gelar sidang kode etik. Berdoalah, semoga hukuman yang diterimanya tidak terlampau berat.”

    Keluarga Bulotio meninggalkan Kediaman Lasantu membawa harapan baru. Sementara keluarga Williams pamit meninggalkan tempat kembali ke hotel.

    * * *

     

    Setelah peristiwa itu, keluarga Lasantu dan keluarga Ali meng-gelar pertemuan kecil di kediaman itu. Airina kemudian menjelaskan alasan mengapa dia memaafkan tindakan Faris. Mendengar penuturan putrinya, Kenzie justru makin terharu dan memuji akhlak Akram. 

    Sandiaga duduk diapit oleh Inayah. Polwan itu sempat melihat Rosemary yang berdiri disisi pintu kamar, membuatnya melambaikan tangan memanggil selirnya.

    “Sini kau! Duduk disisi suamimu!” perintahnya dengan ketus. Saripah sempat menegur putrinya. Namun Inayah berkilah bahwa Rosemary juga berhak atas suaminya.

    Rosemary dengan tersipu-sipu bercampur takut-takut mengambil tempat duduk disisi kiri Sandiaga. Dalam percakapan itu sering tertabur canda dan olokan yang kadang justru mengarah kepada Sandiaga sebagai pribadi yang menjadi obyek rundungan. Lelaki bermata satu itu hanya bisa menunduk malu.

    “Makanya, jangan melakukan hal yang mencoreng keluarga. Cukup sekali kau kecebur… selanjutnya, jangan lagi…” nasihat Trias.

    Sandiaga hanya mengangguk-angguk patuh. Tiba-tiba Rosemary bangkit dan melangkah menuju dapur. Inayah menyergahnya.

    “Mau kemana kamu?” tukas Inayah.

    “Mau ke dapur menyiapkan hidangan…” jawab Rosemary. “Apa Ne-Chan tidak mau ikut saya ke dapur?” pancingnya.

    Serta merta Inayah bangkit dan melangkah bersama-sama selirnya menuju dapur. Trias yang mengamatinya langsung menyung-ging senyum dan menatap Kenzie.

    “Anak-anak perempuan kita, akur juga akhirnya ya?” komentar Trias membuat Kenzie tertawa.

    “Anak perempuan?! Heh! Aku nggak mengakuinya!” sela Saripah melengos.

    “Suka nggak suka, kau harus tetap mengakuinya.” tegur Trias. “Aku lebih senang melihat sebuah keharmonisan dari perspektif yang berbeda.”

    Sementara di dapur, Inayah memeriksa lemari penyimpanan. Polwan itu mengeluh lalu menatap Rosemary.

    “Hei, Kepang Setaman! Ikut aku! Ayo!” ajak Inayah mengolok selirnya karena Rosemary sering mengepang rambutnya.

    “Kemana, Ne-Chan?” tanya Rosemary.

    “Tak usah banyak bacot kau! Ikut saja!” sergah Inayah sembari menarik lengan Rosemary dan keluar dari dapur menuju beranda samping.

    “Isssy… ittaaaiii…” jeritnya lirih takut terdengar oleh Inayah. Namun radar pendengaran tajam polwan itu tetap saja mengena. Di-sergahnya lagi madunya itu.

    “Siapa suruh kau masuk dalam kehidupan kami!” hardiknya. “Terima resiko dong, jadi garwa!”

    Mendengar kata ‘garwa’ dari bibir Inayah membuat senyum di bibir Rosemary perlahan terulas. Secara langsung, kini sang ratu telah mengakui statusnya sebagai selir, bukan lagi seorang pelakor. Langkah keduanya berhenti ketika menatap Sandiaga telah berada dihalaman, disisi Roll-Royce mertuanya.

    “Bisa ku antar?” ujar Sandiaga menawarkan. Inayah langsung menatap Rosemary. 

    “Eh, pota’elo to oto yi’o, tinggolopumu! (Eh, naiklah kau ke mobil, brengsek!)” ujarnya mengumpat. 

    Untung saja Rosemary tidak paham bahasa Gorontalo jadi Inayah bisa sesukanya mengumpat selirnya tersebut. Sandiaga mengisyaratkan Rosemary untuk menaiki Roll-Royce. Ketika melewati Sandiaga, polwan itu sempat mendengar ucapan pelan suaminya.

    “Terima kasih… kau memang istri yang patut kubanggakan.” ujar Sandiaga lirih nyaris berbisik.

    Seulas senyum terpancar dari wajah Inayah merespon pujian suaminya. Kendaraan mewah itu lalu melesat membawa tiga orang itu meninggalkan Kediaman Lasantu. []

     

     

    Kreator : Kartono

    Bagikan ke

    Comment Closed: Mendung di Benteng Otanaha Bab 45

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021