Jalanan mulai ramai padahal adzan subuh baru saja hilang dari pendengaran. Aku melipat mukenah menyimpannya dalam tas tangan, menyeruput kopi yang baru saja kuseduh sambil menampak pemandangan Jakarta dari lantai 15 tempatku menginap.
Jakarta Memang tak pernah tidur. Seperti biasa, bahkan di tengah malam sekalipun, suara bising kendaraan di jalan protokol tetap saja menimbulkan suara yang gaduh. Tidak benar-benar senyap seperti suasana kehidupan di kotaku. Yang bahkan jam sembilan malam kendaraan mulai sepi di jalanan.
Seperti pagi ini, menjelang pagi situasi mulai sibuk, gaduh dan berisik. Padahal matahari pagi belum lagi muncul. Jalanan mulai dipenuhi kendaraan, dengan sebagian besar driver yang tidak sabaran. Tidak peduli waktu seperti ini, dimana sebagian orang hikmat melakukan ritual pagi.
Bising klakson meruyak pagi yang damai, yang membuat kita sadar ” Ini Jakarta, Bung.” Kalimat yang
sering terlontar dari mulut sebagian orang saat kita melontarkan rasa heran melihat suasana ibu kota.
Aku berkemas meninggalkan hotel yang terletak di jalan Wahid Hasyim, sopir grab pesananku juga sudah siap menunggu. Jadi ingat gurauan teman, kalau menggunakan jasa kendaraan online, kita layaknya orang kaya yang gonta ganti mobil dalam sehari.
Dan, pagi ini aku bertemu dengan driver cantik bernama Yuli. Maaf tidak aku foto, menghargai privacy beliau. Tapi sumpah, kecantikan dan keramahannya membuatku khawatir jika suatu saat dia mendapat penumpang iseng.
Menggunakan pants hitam, jaket parasut tebal berwarna merah, kaos hitam yang senada dengan jilbabnya, membuatku yakin kalau dia berdiri di depan mobil Sienta orange yang dikemudikannya, orang akan menilai bahwa dia seorang model yang tengah mempromosikan mobil. Postur tubuhnya sangat proporsional untuk jadi seorang model, kulitnya kuning dengan hidung mancung dan alis mata yang terukir indah. Jarinya menggenggam kemudi dengan mantap, tersenyum menyambutku dengan salam dan langsung menawarkan air mineral serta permen yang rupanya sudah disediakan di box kecil yang diletakkan di punggung jok tempat duduknya. Aku mengucapkan terima kasih dan menawarkan roti yang sengaja kubeli semalam untuk sarapan di jalan, memang sengaja ku beli lebih karena ku niatkan untuk berbagi dengan driver yang akan mengantarkan aku ke bandara pagi ini. Dia juga mengucapkan terima kasih sambil tersenyum melihatku di kaca spion depan, aku membalas senyumnya, karena aku tahu dia tidak bisa menolak pemberianku, karena aku meletakkan roti di sampingnya, tepat dekat tuas persneling mobilnya.
Aku menggigit rotiku pelan, dan spontan menyatakan rasa senang karena sekaligus rasa heran karena ini kedua kalinya aku naik Grab yang di kemudikan oleh perempuan. Sejujurnya aku senang mendapat pengemudi perempuan, lebih menenangkan dan ngobrolnya pasti enak karena sesama perempuan. Dia tertawa renyah.
“Banyak driver perempuan kok, Bu. Hanya belum takdir dia membawa penumpang seperti Ibu yang baik.” Katanya melihatku dari kaca spion. Aku tersenyum menanggapi.
“Kalau jam segini sudah di jalan, jam berapa dari rumah?” Tanyaku.
“Tadi turun habis subuh, Bu. Kebetulan nurunin orang di Stasiun Senen. Ada yang order ke Tangerang tapi saya batalin, takut kena banjir. Satu orang lagi order ke arah Depok, saya batalin juga. Bisa kesana, lha terus pulangnya kejebak banjir, bisa fatal, Bu. Makanya, begitu Ibu order ke bandara langsung saya okein.” Katanya tersenyum dan melihatku lagi dari kaca spion.
“Alhamdulillah… tadi sempat di cancel juga saya sekali. Syukurlah, saya ketemu Mbak pagi ini.” Ucapku.
Sambil menyetir dia membuka tumbler air panasnya.
“Terima kasih rotinya, Bu. Enak dipasangin ama kopi panas.” Katanya menyeruput kopi dari tumbler-nya.
“Alhamdulillah, kalau suka.” Aku tersenyum dan ikut meneguk air mineral yang kubawa dari hotel.
Dia berkisah panjang lebar tentang banjir yang melanda jakarta sejak kemarin. Aku ikut prihatin dengan para korban yang dievakuasi di tempat penampungan, serta banyaknya kendaraan yang ikut hanyut. Kami membayangkan berapa banyak kerugian yang dialami oleh masyarakat yang mobil dan motornya ikut hanyut, jika kemudian mereka tidak mengasuransikan kendaraannya. Prihatin memang, apalagi banyak penduduk yang tidak keburu menyelamatkan barang-barangnya karena begitu cepatnya arus air menyerbu. Banjir Jakarta memang selalu menjadi topik hangat setiap musim hujan tiba.
Kami juga tertawa mengingat banyaknya peristiwa lucu yang kemudian diposting di medsos, terkait banjir. Seperti mahasiswa yang berterima kasih karena keinginannya untuk naik kano di depan Universitas Trisakti terkabul, atau bahkan wawancara masyarakat dengan tikus yang basah kuyup dan mengeluhkan saudara-saudaranya yang terkurung di basement sebuah gedung.
Obrolan kami mengalir lancar layaknya dua sahabat lama yang baru bertemu. Obrolan kami juga membahas tentang lapangan pekerjaan yang sulit, hingga banyaknya jumlah pengangguran, kriminalitas yang tinggi sampai kepada maraknya yang bunuh diri karena pinjol. Hingga tidak terasa kami sudah sampai di gate lima terminal keberangkatan.
” Wah, Ibu. Kok cepat banget sampainya kita. Aku masih pengen ngobrol-ngobrol sama Ibu.” Katanya menghentikan mobilnya.
Aku juga tertawa, “Iya, yah. Asyik sekali kita ngobrol.” Balasku, menyesal kenapa perjalanan ini rasanya lebih cepat dari biasanya.
Aku membuka dompet dan menyerahkan tip kepada gadis itu, dia memandangku heran.
“Kan Ibu bayarnya pake OVO.” Katanya menolak.
“Nggak apa-apa, Mbak. Anggap saja ini hadiah dari Ibu karena sudah diajak ngobrol asyik layaknya seorang sahabat. Ibu senang naik mobilmu, kamu cantik, ramah dan baik hati.” Kataku tulus.
“Waduh, terima kasih Bu. Saya juga senang jadi supir Ibu pagi ini. Jarang-jarang saya dapat penumpang kek Ibu. Asyik di ajak cerita dan nyambung di semua topik pembicaraan. Kapan-kapan kalau Ibu ke Jakarta, saya tidak akan keberatan nganterin Ibu kemana-mana. Telepon saya udah di save kan, Bu?” Katanya.
Aku mengangguk.
“Beneran? Kalau Ibu telepon kamu masih mau nganterin Ibu?” Godaku sambil tersenyum.
“Dengan senang hati, Ibu.” Jawabnya sambil menurunkan koperku dari bagasi.
Aku menjabat tangannya. Dia menyalami dan mencium tanganku.
“Makasih yah, Bu. Ibu seperti Mama saya deh.” katanya tiba-tiba dengan mata berkabut.
Aku terkejut, dan menyadari ada hal yang terlupakan olehku. Sedikitpun kami tidak menceritakan hal pribadi sepanjang perjalanan tadi. Sikapnya yang tiba-tiba sedih membuatku spontan mengelus kepalanya.
“Kamu anak baik. Pasti Ibumu bangga memiliki anak perempuan seperti kamu.” Kataku. Dia mengangkat kepalanya dan tiba-tiba memelukku erat.
“Semoga ya, Bu. Mamaku bener-bener bangga padaku.” katanya.
Aku mengangguk mantap, “Pasti. Kamu anak yang menyenangkan. Pasti Ibumu senyum terus mendengar dan melihatmu bercerita. Sampai jumpa, ya.” Kataku menepuk punggungnya pelan.
“Semoga yah, Bu. Jangan lupa kontak saya, Bu.”
Kami pun akhirnya berpisah.
Sambil berjalan ke ruang check in aku me-review kembali perjalanan kami tadi. Betapa mudahnya bersahabat jika kita mau membuka hati. Menerima orang lain apa adanya tanpa pretensi apapun. Karena chemistry akan saling mencari sisi-sisi yang pas untuk saling merekat. Keterbukaan kita menerima orang lain apa adanya, secara tidak langsung juga membuat orang lain menerima kita sama baiknya. Karena Tuhan hanya mendekatkan air dengan air dan menjauhkan air dengan minyak. Selamat tinggal Yuli, semoga Allah swt membukakan rezeki yang melimpah buatmu dan memudahkan segenap urusanmu. Amin.
Kreator : Anna Sovi Malaba
Comment Closed: Menembus Pagi
Sorry, comment are closed for this post.