KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Menemukan Kembali

    Menemukan Kembali

    BY 31 Des 2024 Dilihat: 192 kali
    Menemukan Kembali_alineaku

    Bab 15: Menemukan Kembali

    Malam itu, setelah percakapan yang mengungkapkan segala rasa yang terkubur dalam-dalam, aku merasa seperti ada beban berat yang terangkat dari pundakku. Suasana seakan menjadi lebih ringan, meskipun hatiku masih terasa nyeri. Cleo berdiri di depanku, wajahnya yang dulu penuh ekspresi kini tampak lelah, basah oleh air mata yang belum sepenuhnya mengering. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini—sebuah cahaya kecil yang perlahan muncul di matanya. Itu bukan hanya harapan, tetapi juga secercah keyakinan yang mulai tumbuh, seolah-olah ia mulai percaya bahwa hubungan kami belum sepenuhnya hilang, meskipun selama ini kami terpisah oleh kesepian dan ketakutan.

    Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah perasaan yang bercampur aduk. Mataku bertemu dengan matanya yang merah dan lelah, namun aku bisa merasakan getaran yang lebih lembut di baliknya. 

    “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Cle,” kataku, suara sedikit bergetar. 

    “Aku benar-benar nggak tahu, dan aku merasa bodoh karena nggak bisa melihat ini lebih cepat. Tapi aku janji, aku nggak akan biarkan kamu merasa ditinggalkan lagi. Kamu… kamu lebih dari sekadar teman buatku. Kamu keluarga.”

    Tangan Cleo gemetar sedikit saat dia mendengar kata-kataku, dan aku bisa melihat ada pertarungan dalam dirinya. Namun, aku juga tahu bahwa dia perlahan mulai melepaskan sedikit ketegangan yang sudah lama terkumpul. 

    “Aku takut, Mo,” katanya, suaranya pelan tapi penuh perasaan. 

    “Aku takut kamu nggak butuh aku lagi. Kamu sudah punya semuanya—mama, Jay, Willy. Mereka semua ada untukmu. Takut kalau kamu lebih memilih mereka, keluarga baru kamu, dan nggak butuh aku lagi.”

    Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri lebih dalam lagi, lalu melangkah sedikit lebih dekat. Dengan hati yang penuh kepedihan, aku menggenggam tangannya, perlahan menghapus jarak di antara kami yang sudah lama terbentuk.

    “Cleo, kamu adalah bagian yang tak tergantikan dalam hidupku,” kataku dengan penuh keyakinan.

    “Keluargaku memang bertambah, tapi itu nggak pernah mengubah kenyataan bahwa kamu adalah sahabatku. Kamu akan selalu ada, di hati dan di hidupku. Aku nggak akan pernah menjauhkan diri dari kamu. Aku nggak bisa.”

    Cleo menatapku dengan pandangan yang penuh kebingungan, tetapi di matanya, ada secercah harapan yang semakin jelas. Dia menggenggam tanganku kembali, pelan namun pasti. Dan, di situlah aku merasa bahwa sesuatu mulai berubah. Ada pengertian di sana, dan meskipun masih ada banyak yang harus diperbaiki, aku tahu kami sedang berjalan ke arah yang benar.

    “Gimana kalau kita mulai lagi?” aku bertanya pelan, suaraku bergetar sedikit, seolah kata-kata itu memerlukan keberanian lebih dari yang aku kira. Aku tahu, ini bukan hanya tentang kata-kata, tapi tentang perasaan yang selama ini kami sembunyikan.

    “Mulai dari sini, mulai dari sekarang. Mungkin kita nggak bisa kembali seperti dulu, tapi kita bisa belajar untuk jadi lebih baik. Kita bisa ambil langkah kecil, dan pelan-pelan kembali membangun semuanya. Aku nggak mau kehilangan kamu, Cle. Kita sudah terlalu jauh bersama.”

    Tangan Cleo menggenggam ujung lengan bajunya, sedikit gemetar. Aku melihat ada keraguan di matanya, tapi juga ada kehangatan yang mulai muncul. Matanya yang semula penuh amarah dan kekecewaan kini tampak lebih lembut, meski ada tanda-tanda air mata yang belum sepenuhnya kering. Sejenak, ia menatapku dengan tatapan yang tajam, mencoba mencari tahu apakah aku benar-benar serius. Aku tidak mengalihkan pandangan, menatapnya dengan penuh pengertian, menunggu reaksi yang kuharapkan, meski ada rasa cemas yang menggelayuti hati.

    “Mo…” 

    Suara Cleo terdengar begitu pelan, serupa bisikan yang keluar dari kedalaman hatinya. Ia menyusuri lantai dengan tatapannya yang kosong, kemudian memandang ke luar jendela, seolah mencari-cari kata-kata.

    “Aku nggak tahu… Aku takut kalau kita mulai lagi, aku malah akan lebih terluka. Kamu bilang kita nggak bisa kembali, dan aku setuju. Tapi apa yang terjadi kalau aku nggak bisa bertahan dengan perubahan itu?”

    Aku menarik napas panjang, merasakan kekhawatiran yang sama, tetapi aku berusaha sekuat mungkin untuk menjaga ketenangan.

    “Aku tahu perasaanmu, Cle. Aku nggak mau menjanjikan hal yang muluk-muluk. Tapi aku percaya, meskipun kita nggak bisa kembali seperti dulu, kita masih bisa membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih kuat, dengan lebih banyak pengertian. Kita bisa mulai dari langkah-langkah kecil, dari percakapan-percakapan seperti ini, yang lebih jujur. Aku nggak akan pergi, Cle, aku janji. Aku tetap ada untukmu, dan aku ingin kita sama-sama berusaha.”

    Cleo mengerutkan kening, matanya berputar kembali ke arahku, seperti sedang mencari-cari ketulusan dalam kata-kataku. Aku bisa melihat keraguan itu, namun juga ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih lembut, yang sedikit demi sedikit muncul di permukaan.

    “Aku… aku juga nggak ingin kita berakhir seperti ini,” katanya dengan suara pelan, lebih seperti gumaman.

    “Tapi, aku takut kalau aku mulai berharap lagi, aku akan kembali jatuh dan kamu akan pergi.”

    Hatiku serasa tersentuh mendengar kata-katanya. Aku tidak bisa membayangkan betapa perihnya baginya untuk merasakan kehilangan, untuk merasa seperti dia tidak lagi menjadi bagian dari dunia yang selama ini kami bagi. Aku mendekat sedikit, menundukkan tubuhku agar sejajar dengan pandangannya, dan menatap matanya yang penuh ketakutan.

    “Aku nggak akan pergi, Cle. Kamu nggak akan kehilangan aku,” kataku, kali ini suara ku terasa lebih tegas dan penuh keyakinan. Aku bisa merasakan rasa sakit yang terpendam di balik matanya, seperti ada lapisan ketakutan yang ia kenakan untuk melindungi dirinya, tapi aku tidak akan mundur.

    “Mungkin kita nggak bisa melawan semua perubahan, tapi kita bisa berjalan bersama, dengan cara yang berbeda. Kita bisa saling memberi ruang, tapi tetap ada untuk satu sama lain.”

    Cleo menarik napas dalam-dalam, seakan-akan ia sedang mencoba menenangkan dirinya sendiri. Matanya menatapku dalam-dalam, dan aku melihat sebuah pergulatan batin yang luar biasa keras di sana. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berbicara, suaranya lebih rendah, lebih lembut, tetapi ada kekuatan yang terpendam di dalamnya.

    “Mungkin… mungkin aku bisa mencoba lagi. Aku nggak tahu apakah aku siap, tapi aku mau coba, Mo. Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak bisa terus-terusan takut kalau kamu akan pergi lagi.”

    Aku mengulurkan tanganku pelan, dan dengan ragu Cleo menyambutnya. Jemari kami saling bertaut, sebuah ikatan yang dulu begitu kuat, kini terjalin lagi dengan hati-hati, penuh kehati-hatian, tapi juga harapan.

    “Aku nggak akan pergi, Cle. Dan kalaupun kita harus berbeda, aku akan selalu ada di sini, untuk kamu,” kataku, dengan suara serak, menahan emosi yang mulai memenuhi dadaku.

    Cleo menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, dan senyumnya yang sangat kecil itu muncul, namun kali ini, ada kehangatan yang sungguh-sungguh. 

    “Terima kasih, Mo. Aku harap kita bisa lebih baik dari ini.”

    Aku tersenyum, meskipun aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Kami sudah memulai langkah pertama, dan meskipun masa depan masih kabur, aku merasa sedikit lebih tenang.

    “Kita akan, Cle. Kita akan.”

    Ada getaran halus di suaranya, seolah ada secercah harapan yang muncul setelah sekian lama dikepung oleh keraguan. Matanya yang semula penuh dengan kesedihan itu kini terlihat lebih terbuka, dan di sana ada sedikit cahaya, seperti fajar yang perlahan menyinari malam yang gelap.

    Aku menghela napas panjang, merasa sebuah beban terangkat sedikit dari dadaku.

    “Kita pasti bisa, Cle. Tidak ada yang sempurna, tapi kita bisa berusaha untuk lebih memahami satu sama lain. Aku siap untuk itu. Dan aku harap, kamu juga.”

    Cleo menarik napas dalam-dalam, seakan membiarkan kata-kataku meresap ke dalam dirinya. Senyum kecil, lembut, akhirnya muncul di bibirnya. Itu bukan senyum yang penuh tawa seperti dulu, tapi itu cukup untuk membuat hatiku merasa lebih ringan.

     “Aku siap, Mo. Kita coba lagi. Tapi kali ini, kita harus benar-benar saling mendukung, nggak ada yang merasa ditinggalkan, ya?”

    Aku mengangguk, merasa sangat lega. 

    “Ya, kita akan melangkah bersama, seperti dulu.”

    Kami berdua tertawa kecil, suara kami bergema pelan di ruang tamu yang tenang, seolah-olah dunia bisa sedikit lebih cerah hanya dengan kebersamaan ini. Tertawa bersama, setelah sekian lama, terasa seperti sebuah hadiah yang begitu sederhana, tetapi sangat berarti. Dalam tawa itu, aku bisa merasakan kekuatan dari setiap detik yang kami habiskan bersama, sebuah pengingat bahwa meskipun waktu dan jarak telah mengubah banyak hal, kami masih memiliki ikatan yang tak tergoyahkan. Aku menatap Cleo, dan dalam senyumannya yang sekarang terasa lebih hangat, aku menemukan secercah ketenangan. Cleo bukan hanya sahabatku, dia adalah bagian dari perjalanan hidupku, dan aku tahu bahwa aku tidak akan membiarkan jarak atau rasa takut memisahkan kami lagi.

    Kami duduk di sofa, suasana seakan kembali menyelimuti kami dengan keakraban yang dulu selalu ada. Walaupun di dalam hati aku tahu bahwa hubungan ini membutuhkan waktu untuk sembuh sepenuhnya, malam ini terasa seperti sebuah awal yang baru. Ketika kami duduk berdua di ruang yang penuh kenangan, rasanya seperti waktu berhenti sejenak, memberi kesempatan untuk kami menemukan kembali diri kami masing-masing dalam ruang ini yang begitu familiar. Kami tidak perlu kata-kata yang banyak untuk membuktikan apa yang kami rasakan satu sama lain. Cukup dengan hadirnya, cukup dengan berbagi keheningan yang nyaman, semuanya terasa begitu jelas.

    “Masa depan kita masih panjang, ya?” Cleo bertanya dengan suara yang agak tersembunyi, seakan-akan mencoba merangkai setiap kata dengan hati-hati.

    Aku mengangguk, menatapnya dengan penuh keyakinan. 

    “Iya, Cle. Kita masih punya banyak waktu untuk mencari tahu, untuk mengejar mimpi-mimpi kita. Yang penting sekarang adalah kita ada satu sama lain. Kita sudah melewati banyak hal, dan itu akan membuat kita lebih kuat.”

    Dia tersenyum kecil, lebih kepada dirinya sendiri, seolah perasaan itu baru mulai mengendap dalam pikirannya. 

    “Aku cuma takut kalau nanti kita terpisah lagi,” ujarnya pelan, tatapannya menghindar dariku untuk sesaat. 

    “Aku nggak tahu kalau bisa bertahan kalau itu terjadi lagi.”

    Aku meraih tangannya, menenangkannya dengan genggaman lembut, merasakan kekuatan dari sentuhan itu. 

    “Kali ini, Cle, kita nggak akan terpisah. Kita sudah belajar banyak hal. Kita tahu apa yang penting, dan itu bukan sekadar menjaga jarak atau menghindari kesalahan. Ini tentang memaafkan, tentang memberi kesempatan kedua.”

    Cleo menatapku, dan aku bisa melihat sedikit kelegaan di matanya, meskipun masih ada keraguan yang mengendap. 

    “Aku akan mencoba, Mo,” katanya, suara serak karena menahan emosi. 

    “Aku akan coba untuk nggak takut lagi.”

    Kami terdiam sejenak, menikmati keheningan yang membawa kedamaian. Dunia di luar sana terus berputar, dengan segala hiruk-pikuknya, tetapi malam itu, dalam keheningan ini, rasanya kami seperti berada dalam dunia kami sendiri. Di luar jendela, angin malam berhembus lembut, membawa suara-suara jauh yang tidak bisa kami dengar, namun tak mengganggu ketenangan yang ada di sini. Kami berdua tahu bahwa apa yang sedang kami jalani adalah sebuah perjalanan yang panjang, dan meskipun tidak ada jaminan untuk masa depan, kami berdua memiliki harapan baru.

    Kami kembali berbicara tentang masa depan—tentang mimpi-mimpi yang ingin kami capai, tentang rencana-rencana yang kini terasa lebih nyata, dan tentang segala hal yang mungkin datang. Kami berbicara dengan semangat yang baru, seolah-olah setiap kata adalah pembuka untuk sesuatu yang lebih besar, lebih penting. Tidak ada lagi kecanggungan, tidak ada lagi rasa takut atau ragu. Aku bisa merasakan semangat Cleo kembali menyala, dan itu memberi energi baru bagi kami berdua. Kami berdua tahu bahwa apapun yang terjadi, kami akan saling mendukung. Mungkin masa depan masih penuh ketidakpastian, tapi saat itu, yang terpenting adalah kami tidak akan menghadapi semuanya sendirian.

    Di luar sana, dunia terus berjalan dengan segala dinamika dan perubahan yang tak terhitung, tetapi bagi kami, malam itu, dengan segala perasaan yang kami bagi dan semua kata-kata yang belum terucapkan, adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih kuat, lebih dalam, dan lebih berarti. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi aku tahu satu hal: kami akan melewatinya bersama, dengan hati yang lebih lapang, dan dengan tekad yang lebih kuat.

     

     

    Kreator : Fati Nura

    Bagikan ke

    Comment Closed: Menemukan Kembali

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021