Jika seseorang bertanya padaku lima tahun lalu, “Apa yang kamu bayangkan tentang menjadi ibu?”
Jawabanku pasti penuh dengan kata-kata indah tentang kebahagiaan dan idealisme seorang ibu. Tapi tidak ada yang memberitahuku tentang temaram setelah menjadi ibu. Walau mungkin jawabanku masih demikian, setidaknya aku sudah berancang-ancang akan datangnya masa temaram itu.
Temaram yang kumaksud bukanlah kegelapan yang mutlak, bukan juga kesedihan yang mendalam saat sudah menjadi ibu. Temaram adalah wilayah abu-abu di ntara terang dan gelap, di antara bahagia dan sedih, di antara yakin dan ragu. Temaram adalah paradoks yang aneh dimana aku setelah menjadi istri dan ibu merasa bersyukur luar biasa atas perjalanan hidup yang Allah berikan, bersyukur karena dipertemukan dengan suami yang mencintaiku, bersyukur karena diberikan kepercayaan menjadi istri, dan bersyukur yang tak terkira ketika diamanahkan menjadi seorang ibu, tetapi aku merasakan ada sesuatu yang kurang. Ada sesuatu yang hilang.
Aku sadar betul akan segala kebaikan dalam setiap peran ini. Kehangatan cinta suami yang menjadi kekuatan dalam setiap langkah. Senyum anakku yang bisa membuatku menangis haru. Kepercayaan penuh dalam mata kecil yang melihatku sebagai dunianya. Semua itu nyata, semua itu indah, semua itu membuatku merasa hidup dengan kelimpahan cinta.
Tapi entahlah temaram itu tetap ada, mengintai di sela-sela kebahagiaan. Temaram adalah saat kau bangun pagi dengan hati penuh syukur atas keluarga yang utuh dan bahagia, tapi di detik yang bersamaan ada pertanyaan kecil yang bergema, seperti “Lalu bagaimana dengan diriku?”
Sesederhana saat kau sudah selesai memandikan anak, lalu terbesit pertanyaan, “Bagaimana dengan aku? Apa aku sudah bisa mandi sekarang?”.
Adalah ketika kau menatap cermin sambil tersenyum karena bahagia dengan peran sebagai istri dan ibu, tapi sedetik kemudian bertanya, “Siapa wanita ini?”
Aku seperti tidak mengenali diriku sendiri. Seragamnya kini adalah pakaian rumah yang terkadang terlihat lusuh sebab belum sempat mandi dan berganti baju. Bahkan wajahnya telah berbeda dengan masa muda, tak lagi selalu manis merah pipinya, pucat dilihatnya, kantung mata seringnya menjadi satu-satunya hiasan di hari itu. Menjadi menawan di cermin kini tidaklah setiap hari. Mungkin hanya diwaktu tertentu, saat suami pulang atau ketika suami ada di rumah, barulah berusaha menjadi menawan. Itupun sebisaku.
Dalam temaram, aku kehilangan jejak atas diriku di tengah kebahagiaan yang luar biasa. Gadis yang dulu bermimpi seolah ingin mengubah dunia, kini tenggelam dalam cinta yang begitu dalam untuk suami dan keluarga dan seolah perjalanannya berhenti disana. Aku bahagia saat menyiapkan sarapan untuk keluarga tercinta, senang ketika bisa menjadi tempat pulang yang nyaman bagi suami, haru saat mengganti popok sambil bermain cilukba, menyusui dengan perasaan yang tak tergantikan, bermain bersama anak dengan tawa yang tulus, memasak sambil bernyanyi riang bersama anak, membereskan rumah dengan penuh syukur, dan seterusnya hingga malam tiba dengan kelelahan yang membahagiakan namun masih menyisakan pertanyaan yang riuh di kepala.
Temaram bukanlah ketidakmampuan menikmati momen-momen indah dalam hidup seorang istri dan ibu. Temaram adalah rasa bersalah karena di tengah kebahagiaan yang begitu nyata ini, masih ada bagian kecil dari diriku yang merindukan sesuatu yang lain. Temaram bagai konflik internal antara rasa bahagia dan kerinduan akan ruang untuk menjadi diri sendiri. Bukan karena aku tidak bahagia, tapi karena manusia memang makhluk yang kompleks.
Di tengah kebahagiaan yang begitu nyata ini, di tengah rasa syukur yang tulus atas keluarga yang harmonis, masih ada ruang kosong kecil yang berteriak pelan tentang mimpi-mimpi lama. Mengapa rasa bersyukur yang mendalam bisa berdampingan dengan kerinduan akan sesuatu yang lebih? Aku berusaha berkhidmat sebagai istri, sebagai ibu, tapi mengapa pikirku masih berkelana. “Rasanya aku tidak punya kontribusi apapun di dunia ini”.
Temaram juga datang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab tuntas, “Akankah aku bisa mewujudkan mimpi-mimpiku suatu hari nanti? Bagaimana cara menjelaskan pada anak-anak bahwa ibu juga manusia yang punya kebutuhan dan keinginan? Apakah normal jika aku merasa kesepian di tengah keramaian keluarga?
Tapi dalam temaram inilah aku menemukan kata “eunoia” – sebuah kata bahasa Yunani kuno yang berarti keindahan dalam pikiran yang jernih. Kata yang entah pernah aku baca darimana, tapi aku begitu mengingatnya. Yang dalam ruang temaram ini, eunoia ku artikan sebagai pikiran jernih agar dapat menemukan cahaya terang dalam diri hingga bisa menampakan sinar yang dapat membawa manfaat bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain. Dan orang lain yang mendapat sinar itu dimulai dari mereka yang terdekat denganku, yaitu suami dan anak-anakku.
Kontemplasiku akan sebuah eunoia mengajarkanku bahwa keindahan sejati tidak selalu berwujud gemerlap dan sorak-sorai. Keindahan juga bisa ditemukan dalam keheningan pagi saat aku menyusui sambil mendengarkan detak jantung kecil yang tenang. Keindahan ada dalam senyum polos anak yang melihatku sebagai dunianya, meskipun aku merasa belum layak menjadi dunia siapa pun.
Eunoia adalah proses menemukan kejernihan pikiran di tengah kabut kehidupan sehari-hari. Bukan berarti masalah-masalah menghilang, tapi aku mulai melihatnya dari perspektif yang lebih jernih. Mulai memahami bahwa menjadi ibu bukan berarti menghilangkan diriku, tapi mentransformasi diriku menjadi versi yang lebih luas dan dalam.
Perjalanan menuju eunoia ini tidak mudah. Butuh waktu untuk berdamai dengan kenyataan bahwa hidup tidak selalu sesuai rencana. Butuh keberanian untuk mengakui bahwa boleh saja merasa tidak sempurna sebagai ibu. Butuh kebijaksanaan untuk mengerti bahwa mencintai keluarga tidak berarti mengorbankan semua mimpi pribadi. Justru setelah menjadi istri dan ibu kini memberikan perspektif yang lebih nyata tentang sebuah mimpi.
Ini adalah catatan perjalananku mencari eunoia – keindahan dalam pikiran yang jernih di tengah temaram kehidupan sebagai ibu. Ini bukan tentang bagaimana menjadi ibu yang sempurna, karena aku sendiri jauh dari sempurna. Tapi Ini adalah tentang bagaimana menjadi ibu yang utuh, yang bisa mencintai keluarga tanpa kehilangan diri sendiri. Dan kamu juga bisa berjalan denganku menemukan eunoia itu jika kamu merasakan temaram yang sama.
Ini adalah undangan untuk kita semua, para ibu yang sedang berjuang dalam temaram untuk mencari cahaya kita sendiri. Bukan cahaya yang menyilaukan mata, tapi cahaya yang hangat dan menenangkan jiwa. Cahaya yang memberi kita kekuatan untuk terus melangkah, bahkan ketika jalan di depan terasa tidak jelas.
Yakinlah di ujung setiap temaram, selalu ada fajar yang menanti untuk bersinar.
Kreator : Devi Ayu Oktiani (rangkaidiksi)
Comment Closed: Mengenal Eunoia – Sebuah Pencarian Keindahan dalam Temaram seorang ibu
Sorry, comment are closed for this post.