Tepat pukul 02.30 dini hari, suara tiga ponsel berdering serempak, memecah kesunyian malam. Membangukan kami di pekatnya malam. Ayah, Seno, dan Mas Bima sengaja memasang alarm itu secara bersamaan sebelum berangkat tidur pukul 21.00 malam tadi. Mereka semangat untuk berangkat berwisata maksimal pukul 03.00 sebelum subuh.
Satu per satu, pintu kamar terbuka dan penghuninya keluar. Aku yang pertama keluar dari kamar dan diikuti Ayah. Bersamaan muncul Mas Bima dari kamarnya dan juga si bungsu Seno. Tidak tampak ngantuk sedikitpun di mata mereka. Ruang tengah tempat di mana tiga pintu kamar saling berhadapan menjadi ramai seketika.
Ruang tengah yang biasanya sepi di jam segini, kini dipenuhi wajah-wajah bahagia dan obrolan ringan. Aku langsung menuju kamar kecil, ambil wudhu, dan lanjut salat safar 2 rakaat. Mas Bima langsung membuat teh hangat di teko kecil sambil mengeluarkan roti bakar yang sudah disiapkan semalam. Seno masih duduk di depan TV yang mati.
“Ayo gantian ke kamar mandi,” suara Ayah memecah kesunyian, setelah beliau dari kamar mandi. Seno dan Bima pun serempak menyahut, “Siap Yah!”
Suasana dini hari itu terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Kami menikmati teh buatan Mas Bima sambil menikmati roti bakar. Sekadar mengisi perut, biar tidak kosong saat mulai perjalanan. Liburan bersama yang sangat kami nantikan. Karena semenjak Mas Bima bekerja di pabrik dengan hari libur yang tidak pasti Sabtu-Minggu dan Seno yang kuliah di sekolah kedinasan libur bersama di hari Sabtu-Minggu menjadi hal yang sangat mahal. Nah, kesempatan ini tiba setelah kami menanti lebih dari tiga bulan. Bagi keluarga kami, liburan bukanlah sekadar perjalanan, melainkan waktu berharga untuk mengukir kenangan indah bersama.
“Sudah siap semua?” tanyaku.
“Sudah, Buk! Kita berangkat sekarang?” tanya Seno dengan tidak sabar.
Mas Bima menambahkan, “Aku sudah siap dari belum tidur,”
“Sama. Ayah juga sudah siap sejak kita merencanakan liburan sebulan yang lalu,” kata Ayah yang kami sambut dengan tawa.
Pukul 3 tepat kami keluar rumah. Seno siap di belakang kemudi mobil kebanggaan keluarga kami, Si Kondi. Kondi begitu kami memanggil satu-satunya mobil kami. Seno yang memberi julukan terhadap mobil kami itu. Katanya Kondi singkatan dari konco nang endi-endi (Bahasa Jawa yang artinya teman ke mana-mana). Kondi sudah setia menemani kami ke mana-mana selama 10 tahun terakhir ini. Dia tetap kokoh, fit, dan mulus. Kami sangat menyayanginya.
***
Jalan masih sepi ketika kami meninggalkan rumah dan menyusuri jalan kabupaten yang cukup lebar dan mulus. Sesekali kami berpapasan dengan pick up sayur yang berangkat ke pasar. Beberapa pedagang berangkat ke pasar dengan keranjang kosongnya. Begitu masuk ke jalan lintas provinsi situasinya sudah berbeda. Walau jalan masih sepi, tapi ada beberapa truck muatan yang besar-besar berjalan pelan-pelan di jalur kanan. Beberapa kali Seno mendahulinya dari sisi kiri. Hanya ada satu, dua, sepeda motor dengan pengendara yang kelihatan menempuh jarak jauh.
“Naik tol di Madiun saja, Dik. Jalan bawah masih sepi kok,” kata Ayah.
“Iya, salat subuhnya juga enak kalo lewat bawah. Banyak masjid, sewaktu-waktu dengar adan bisa langsung berhenti,” kata Mas Bima dengan suara tegas tanpa terdengar mengantuk sedikitpun.
“Sarapannya juga enak. Banyak warung nasi pecel yang kelihatan ramai di sekitar Madiun. Kalau ramai pasti ada yang istimewa,” kata Seno.
“Iya, pokoknya sebelum masuk tol harus sudah makan pagi,” kataku tenang. Aku membiasakan keluargaku makan pagi sebelum mereka beraktivitas di luar rumah di pagi hari.
***
Sekitar pukul 7 pagi, jalan arteri Madiun mulai ramai, namun suasananya terasa begitu damai dan membahagiakan. Pepohonan rindang di tepi jalan seolah ikut menari mengikuti alunan angin, memberikan kesejukan bagi setiap pengendara.
Memasuki gerbang tol Madiun, suasana menjadi lebih optimis. Pemandangan hamparan sawah yang hijau membentang luas di kejauhan, menciptakan panorama alam yang menyejukkan mata. Langit biru yang bersih dan awan putih yang berarak pelan semakin menambah keindahan perjalanan. Setiap pengemudi melaju dengan senyuman, siap menyambut petualangan baru di hari yang cerah ini. Semua kesibukan terasa bermakna, karena setiap perjalanan membawa cerita dan harapan baru.
Matahari merangkak naik, suhunya menghangatkan udara dalam lambung si Kondi. Suasana dalam mobil semakin hangat dengan berbagai cerita yang lucu dan candaan yang selalu membuat kami kangen. Jalan tol yang mulus dan juga sepi menambah nyamannya berada dalam lambung si Kondi yang nyaman bersama orang-orang yang aku cintai.
“Volume tape-nya jangan keras-keras, ibumu terganggu ” Ayah yang duduk di sampingku nyeletuk sambil melirik ke arahku yang baru beberapa menit lalu membuka tabs dan melihat tugas anak-anak muridku.
“Yang penting sinyalnya bagus, biar Ibu bisa periksa tugas murid-muridnya di GCR dengan lancar,” suara Mas Bima meledek.
“Ibu tangannya gatal kalau duduk diam enggak periksa tugas murid-muridnya” kata Ayah menggoda. Aku hanya tersenyum menimpali godaan mereka.
“Daripada nganggur, kan lumayan, dapat melihat advertisement anak-anak. Mereka Ibu minta membuat iklan produk atau jasa yang asli milik mereka sendiri. Tidah boleh mengiklankan produk atau jasa yang sudah ada. Asyik lo…mereka kreatif-kreatif sekali,” jelasku.
“Ibu kalian ini memang luar biasa,” puji Ayah.
“Tiada hari tanpa memikirkan pekerjaan dan murid-muridnya,” kata Mas Bima
“Ya memang beda dengan Mas Bima. Kalau pekerjaan di pabrik, selesai ya selesai. Pulang tidak membawa pekerjaan,” timpalku.
“Kalau guru tidak cukup waktu kalau harus dikerjakan di sekolah semua. Terutama koreksi project kaya ini,”
“Tapi kerjanya harus bener-bener fokus Buk, salah sedikit saja, bisa bahaya,” jawab Bima
“Betul, Mas. Apalagi pabrikmu itu kan pabrik kimia. jadi harus ekstra hati-hati. Tapi, sebenarnya sama risikonya dengan mengajar. Ngajar salah konsep atau memasukkan paham yang salah…malah fatal akibatnya,” kata ayah dengan tone suara bassnya.
“Tapi banyak orang yang tidak menyadari hal itu. Baiknya atau rusaknya generasi muda, ada peran guru di sana,” jawabku serius.
Seno yang dari tadi fokus dengan kemudinya, tiba-tiba nyeletuk, “Inggih Bu guru, saya sadar.”
Semua tertawa. Ayah dan Mas Bima melirik ke arahku. Aku cubit punggung kekar Seno. Sungguh kekar dan keras sehingga tidak kena cubitanku. Aku sangat bersyukur mempunyai mereka. Aku sadari betapa bahagianya mereka saat ini. Aku akan jadikan saat bersama ini bertul-betul quality time kami dan aku pun menutup taps pink si teman kerjaku yang sangat setia.
“Mas Bima, nanti kalau di Dieng, aku mau foto-foto yang Instagramable, ya. Mas pasti faham pengaturannya, biar fotoku estetik. Aku dah bawa banyak kostum. Jadi nanti tiap lokasi aku akan ganti kostum, ” kata Seno.
Bima terkekeh mendengar celoteh adiknya, “Siap Ndan! Nanti tak jepret di setiap gerak langkamu. Tinggal kamu pilih dan upload” Tawa pun pecah.
“Mas, sambil cari info destinasi wisata di Dieng yang cocok untuk kita. Sekalian lihat jalurnya, biar enak dan efisien, yang bisa dilewati dari satu tempat wisata ke tempat lain tanpa harus putar balik” kata Ayah.
“Nah, itu Seno pakarnya, Yah,” kata Mas Bima
“Kita cari hotel aja dulu. Cari yang lokasi yang strategis, yang di tengah-tengah. Sedapat mungkin yang dekat ke banyak tempat wisata atau pusat kuliner,” kata Seno.
“Benar Dik,” kataku. “Semoga masih dapat ya, soalnya ini kan weekend,” lanjutku.
“InsyaAllah…tidak ramai Buk, kan barusan libur panjang. Orang-orang pada pergi liburan pas cuti bersama kemarin. Sekarang dah pada pulang,” kata Mas Bima yang memang jago analisis.
“Aamiin,” sambut kami hampir serentak.
“Kalo gitu biar Ayah saja yang bawa mobilnya, Dik. Kalian berdua bisa diskusi cari info hotel Ayah terlihat serius.
Tak seberapa lama si Kondi ambil jalur kiri dan masuk ke rest area. Ayah turun dan tukar duduk dengan Seno. Senopun turun sambil meregangkan tubuhnya, mengayun ke kanan ke kiri dan ke depan belakang.
“Ibuk ke toilet sebentar ya,” kataku minta izin.
“Tak temani Buk. Aku tak cari minuman hangat dan snack pedas di toko itu,” pinta Seno
“Modus itu Buk,” kata Mas Bima sambil melihat ke arah adiknya. “Aku juga belikan ya,” lanjutnya yang membuat kami semua jadi turun dan masuk toserba kecil yang ada di rest area tersebut.
Perjalan kamipun berlanjut dengan penuh kebahagiaan. Si Kondi yang setia semakin santun di tangan Ayah. Ayahlah orang pertama dan utama yang memegang tangan bundarnya sejak pertama kali dia mengabdi di keluarga kami. Waktu itu Bima masih kelas 2 SMP dan Seno baru kelas 5 SD. Mereka sangat sayang dengan Si Kondi. Setelah pergi mereka selalu memandikannya ala anak-anak. Kami memang membiasakan Bima dan Seno untuk memandikan Kondi setalah dia mangantar kami ke mana-mana.
“Bagaimana Dik, sudah dapat info?,” tanya Ayah sambil sesekali melirik spion.
“Belum Yah. Betul ibuk ternyata. Beberapa hotel penuh,” jawab Mas Bima.
Kedua laki-laki yang sudah beranjak dewasa itu, memang cekatan sekali dalam komunikasi digital pakai ponsel mereka. Aku mulai panik. Aku coba hubungi temanku yang bekerja di travel agent. Aku minta dicarikan hotel. Beberapa saat kemudian dia mengabari aku kalau tidak ada kamar hotel yang kosong. Lalu Ayah menghubungi travel langganan sekolahnya, untuk mencarikan info hotel. Jawabnya sama, full semua.
“Aduh…kalo penuh semua gimana? Masak harus tidur mobil,” keluhku. “Mas dan Ayah ndak nurut Ibu. Aku kan dah bilang untuk booking hotel dulu,” kali ini nadaku agak tinggi.
“Kan belum kita tentukan, mau ke mana waktu itu. Orang deal ke Dieng ya baru tadi malam kok,” sahut Mas Bima.
“Makanya lain waktu kalau mau pergi ditentukan jauh hari tujuan dan waktunya,” sahutku tidak mau kalah.
“Masalahnya di aku Buk, pesiarku bisa tiba-tiba batal karena alasan tertentu,” jawab Seno menjelaskan.
“Tenang, semuanya,” kata Bima sambil menyenggol adiknya. “Di daerah Dieng kan banyak penginapan berupa kabin. Bagaimana kalau kita menginap di kabin saja? Ini saya sudah lihat beberapa kabin, deskripsi dan reviewnya bagus-bagus. Aku lihat videonya juga bagus dan nyaman,” kalimat Mas Bima yang melegakanku.
Mas Bima dan Seno fokus dengan ponselnya. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dilihat dan siapa saja yang sudah dihubungi. Mereka sudah banyak pengalaman akan hal semacam ini. Aku saja yang sangat khawatir. Sebentar-bentar aku melirik ke arah mereka yang duduk bersebelahan di jok tengah. Kudengar diskusi kecil mereka. Aku dan ayahnya yakin mereka pasti akan mendapatkan tempat menginap yang baik dan nyaman. Mereka memang bisa diandalkan dalam mengurus akomodasi semacam ini.
“Nah ini Mas, kabin di tempat yang strategis. Dekat dengan Dieng 0, pusat kuliner, puncak si kunir, dan batu pandang ratapan angin. Lihat Mas…,” kata Semo sambil terus mantengin handphone nya.
“Iya, strategis banget. Kita lihat harganya dulu,” kata Bima semakin serius.
“Mahal banget?” potongku.
“Reasonable Buk. Rp 800.000,00. Dah lengkap. Kapasitas 6 orang, ada 3 bed besar, dapur yang lengkap peralatan masaknya, kamar mandi yang dilengkapi dengan water heater” kata Bima.
“Nah ini ada lagi. Kabin Pucuk Awan. Kapasitas 4 orang. Harganya Rp 600.000,-, reviewnya bagus-bagus. Berdekatan dengan tempat wisata yang tadi itu Mas,” kata Seno
Ayah yang mendengarnya langsung menanggapi, “Lokasi strategi ya? Dekat ke mana-mana? Lihat aksesnya. Jangan-jangan dekat ke mana-mana tapi masuk kabinya pakai jalan kaki, nanjak tiga bukit lagi, sampai kabin sudah klenger,” Semua tertawa mendengar sindiran Ayah.
“Ya tidak lah Yah…ini mobil langsung bisa parkir di depan nya kok,” Seno menjelaskan. “Tak chat adminnya ya?”
Dalam sekejap, Seno sudah dapat informasi lengkap.
“Deal ya, di cabin Pucuk Awan?,” tanya Seno minta konfirmasi.
“Kalo sudah jelas baik yang di deal kan aja. Nanti keduluan orang,” kataku tak sabar.
“Ibumu kuatir kalo harus nginep di mobil nanti malam,” canda Ayah. “Sudah Mas didealkan saja. Ini segera di transfer,” kata Ayah sambil menyodorkan handphone nya dengan tangan kirinya. Dengan cekatan Mas Bima mengaktifkan handphone Ayah dan mentransfer 50% uang penginapan sebagai door payment.
Keluarga kami menjunjung tinggi keterbukaan dan saling percaya. Kami saling tahu kata sandi ponsel, PIN ATM, hingga PIN e-banking. Kepercayaan dan tanggung jawab telah kami tanamkan kepada anak-anak sejak mereka kecil. Kami membiasakan mereka untuk berkomunikasi dan berdiskusi bersama, bahkan tentang berbagai masalah yang kami hadapi. Kami juga selalu memberi mereka wawasan tentang berbagai persoalan agar mereka bisa memahami kondisi orang tua, pekerjaan, dan situasi keuangan keluarga. Tak jarang, kami juga mengajak mereka berdiskusi tentang masalah pekerjaan atau keluarga besar.
“Penginapan dah deal, sekarang lanjut cari tujuan wisata yang sejalur berangkat maupun pulangnya besok. Perkirakan waktunya, sehingga besok sebelum dzuhur kita sudah bisa mulai perjalan pulang. Sedapat mungkin sebelum pukul 21.00 kita dah di rumah,” kata Ayah bak komandan yang menginstruksi anak-buahnya.
Dalam waktu sekejap anak-anak sudah dapat berbagi peta wisata dataran tinggi Dieng ke dalam grup wa keluarga kami. Aku dan dua orang anakku, mempelajari peta wisata tersebut dengan seksama memakai handphone kami masing-masing. Ayah bergabung dengan aku. Sesekali aku bacakan destinasi yang ada di situ. Berkali-kali pula ayah meminta kami untuk melihat apa yang kita bisa nikmati di destinasi wisata tertentu. Harga tiket, akses masuk ke lokasi, souvenir dan kuliner di sekitarnya tidak lepas dari perhatian nya. Ayah memang selalu detail dalam mempersiapkan segala sesuatu. Kami sudah terbiasa dengan itu semua, sehingga hampir semua kegiatan kami berjalan sesuai harapan kami.
“Jadi, nanti pertama-tama kita akan ke Kompleks Candi Arjuna. Setelah itu, kita lanjut ke Kawah Sikidang. Baru kemudian kita masuk ke kabin untuk bersih-bersih dan salat Zuhur yang kita jamak takhir dengan Asar,” Mas Bima menghela nafas sejenak sambil terus menatap ponselnya
“Setelah istirahat sebentar, kita akan naik ke Bukit Scooter untuk melihat matahari terbenam. Nanti kita jamak Magrib dengan Isya saja. Dari sana, kita langsung menuju Dieng 0 untuk makan malam. Di sana kita bisa menikmati pertunjukan musik langsung. Menurut perkiraan cuaca, suhu malam nanti akan sekitar 7°C, jadi jangan terlalu lama berada di luar, ya. Kita kembali ke kabin sekitar jam 8 atau paling lambat jam 8.30 malam. Setelah shalat, kita langsung istirahat agar bisa bangun pagi untuk mendaki Puncak Sikunir demi melihat matahari terbit,” kali ini dia menatapku seolah meminta persetujuanku dan kembali dia berbicara.
“Setelah turun dari Puncak Sikunir, kita akan mencari sarapan dan kembali ke kabin untuk bersih-bersih. Lalu, kita berangkat lagi ke Batu Pandang Ratapan Angin. Setelah itu, kita kembali ke kabin untuk berkemas dan bersiap-siap check out. Dalam perjalanan pulang, kita mampir di Telaga Menjer sekaligus makan siang di sana. Nah itu, ok kan?” kalimatnya mengakhiri penjelasan panjangnya.
Penjelasan Mas Bima yang cukup panjang itu sangat menarik untuk kami simak. Kami semua langsung paham dan sepakat dengan rencana tersebut.
“Ok, Mas,” jawab kami hampir serempak.
Suasana dalam mobil semakin hangat dan menyenangkan. Tidak ada lagi kekhawatiran akan akomodasi atau destinasi wisata. Semua sudah siap ala kami, sederhana, praktis, dan efisien.
Rambu penunjuk arah menunjukkan Gerbang Tol Bawen, titik di mana petualangan sesungguhnya akan dimulai. Kami harus keluar dari jalan tol untuk memulai perjalanan yang seru namun memacu adrenalin. Mas Bima, dengan ketangguhannya, bersiap mengemudikan Si Kondi yang sudah sangat akrab dengannya. Ayah mengambil peran sebagai co-driver di sampingnya, sementara aku dan Seno duduk berdua di bangku tengah. Begitu roda Si Kondi meninggalkan tol Bawen, petualangan menuju Dieng yang menantang sudah menanti di depan mata.
Kreator : Kumbini Kundhaliniwati
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Mengukir Bahagia di Negeri di Atas Awan (chapter 2)
Sorry, comment are closed for this post.