Aku perempuan yang beruntung sebenarnya, namun kurang bersyukur. Benar kata orang, mengeluh lebih mudah daripada menikmati anugerah. Memiliki suami yang penyayang, orang tua yang peduli, anak-anak yang cerdas dan alhamdulillah tercukupi segala kebutuhan. Manusia memang tak sempurna, tak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Semua berawal dari keputusanku untuk mengenyam pendidikan di kota Malang. Kota pendidikan dengan nuansa yang sejuk dan nyaman bagi para pencari ilmu yang haus akan literatur keilmuan di kota ini. Bagaimana tidak, banyak kampus yang menawarkan berbagai macam bidang studi yang bisa kita tekuni untuk masa depan nanti.
Pagi itu, seperti biasa, aku berangkat pagi-pagi untuk bergegas melakukan rutinitasku setiap dua kali dalam seminggu. Rutinitasku menjadi seorang asisten rumah tangga di rumah dosenku di Jl. Jakarta No. 42, Kota Malang. Maklum, sebagai mahasiswa dengan uang saku pas-pasan seperti aku tidak akan cukup membiayai kuliahku yang harus aku bayar setahun dua semester. Padahal aku juga mendapat beasiswa peningkatan prestasi akademik waktu itu. Beasiswa yang katanya diperuntukkan bagi mahasiswa dengan IPK tinggi. Cuma ranking dua di kelas, tapi bersyukur juga dapat beasiswa itu. Dosenku adalah salah satu Profesor hebat di kampus ternama di kota Malang. Banyak hasil karya-nya yang diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku ber-ISBN, baik di media lokal maupun nasional.
Kesibukanku di sana sama seperti pembantu pada umumnya seperti mencuci baju, mencuci piring, mengepel, menyapu, menyetrika dan mengantar Bapak dan Ibu Dosen ke kampus. Kesulitannya hanya satu, manajemen waktu untuk menyeimbangkan antara waktu kuliah dan pekerjaan ini. Belum lagi aktivitasku sebagai pengajar les privat di salah satu perumahan mewah di Griya Santa. Aku juga memperdalam ilmu agama di Jl. Merjosari. Selain itu, aktif juga di kegiatan intrakurikuler Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Ekstrakurikuler. Bayangkan, jika semua berbenturan di waktu yang sama. Tak jarang aku lebih memilih berjalan kaki berkilo-kilo meter dari pondok ke rumah dosenku kemudian ke kampus dan kembali ke pondok lagi. Melelahkan dan tak mudah. Perjuangan menuntut ilmu dengan harapan masa depan yang cemerlang tentu menjadi dambaan semua orang, tapi nyatanya aku selalu melalui setiap tahap pencarian keilmuan dengan susah payah dan kerja keras. Hasilnya, di tahun terakhir kuliah tidak kusangka aku mendapatkan nilai cumlaude dengan peringkat dua besar di tingkat fakultas. Semoga ilmu yang kutempuh dengan niat lillah dan kerja keras mampu membawa keberhasilan di masa yang akan datang. Tak perlu disesali segala perjuangan kita di masa lalu. Semua takdir akan kita lalui meskipun takdir itu harus kita jalani dengan cara yang tak mudah. Semangat untuk para pencari ilmu di luar sana dengan segala angan-angan dan cita-citanya. Semua akan kalian dapatkan jika kalian mau bekerja keras mewujudkan impian kalian.
Kreator : Nila Solichatun Nadhiroh
Comment Closed: Menjemput Takdir yang Tak Mudah
Sorry, comment are closed for this post.