Kurang lebih seratus meter dari pintu gerbang sebuah perumahan elite di jalan Roda Pembangunan, nampak seorang pedagang daging tengah sibuk melayani pembeli. Orang-orang yang habis olahraga banyak yang mampir ke lapak daging tersebut. Selain harganya hampir sama dengan harga di pasar, daging yang dijualnya pun nampak masih segar.
Di tengah kesibukan pedagang dan pembeli daging, nampak seorang Ibu dengan baju yang nampak lusuh memperhatikan mereka. Tangan kanannya memegang besi pengait, tangan kirinya memegang karung yang hampir penuh dengan bekas botol air mineral. Rupanya dia termasuk salah satu pemulung yang beroperasi di sepanjang jalan tersebut. Setelah pembeli agak sepi, dia mulai mendekati pedagang daging.
“Pak, ada tidak tulang yang akan bapak buang?” Tanya ibu pemulung tersebut.
“Maaf, Bu. Tidak ada,” Jawab pedagang daging sambil mengibas-ngibaskan alat pengusir lalat. “Ini ada sedikit pun sudah dipesan orang.” Lanjutnya.
Ibu pemulung nampak sedikit kecewa, dia menundukkan mukanya sambil pura-pura membereskan botol dan gelas bekas air mineral yang dipegangnya.
“Ibu mau beli daging?” Tiba-tiba ada yang bertanya dari arah kiri ibu pemulung.
Ibu pemulung melirik ke arah sumber suara. Nampak seorang laki-laki tua berkursi roda yang didorong oleh seorang anak laki-lakinya.
“Tidak, Pak. Saya hanya bertanya kepada Bapak ini, barangkali ada tulang yang mau dibuang.” Jawabnya sambil menunjuk tukang daging.
“Untuk apa?” Tanyanya.
“Untuk anak-anak saya, Pak. Saya kasihan sama mereka. Sudah lama sekali tidak pernah mencicipi daging. Selama ini mereka hanya saya kasih makan sisa-sisa sayuran yang saya dapatkan dari pasar.” Jawab ibu pemulung.
“Berapa anak Ibu ?” Tanyanya kembali.
“Tiga orang, Pak.”
“Suami Ibu masih ada?”
“Sudah meninggal sejak tujuh tahun yang lalu, Pak.”
“Berapa daging yang Ibu butuhkan dalam satu minggu?”
“Setengah kilo saja sudah lebih dari cukup, Pak.”
“Mas, masih ada dagingnya?” Tanya laki-laki berkursi roda tersebut kepada pedagang daging.
“Masih, Pak. Tinggal sekitar dua kilo lagi nih.” Jawab pedagang daging.
“Kasihkan ke Ibu ini, lengkap dengan bumbunya, ya.” Pinta laki-laki berkursi roda itu.
“Siap, Pak!” Jawab pedagang daging semangat.
“Berapa?”
“Udah lah, semuanya 200 ribu aja, Pak!”
“Bagaimana kalau saya bayar untuk satu tahun, Apa Mas siap menyerahkan ke Ibu ini tiap minggu?”
“Siap, Pak.” Jawab pedagang daging lebih semangat lagi.
“Dua ratus ribu kali empat, delapan ratus ribu. Delapan ratus ribu kali dua belas, sembilan juta enam ratus ribu. Saya genapkan jadi sepuluh juta.” Kata laki-laki berkursi roda. “Bagaimana, apa mas setuju?” Tanyanya.
“Setuju lah, Pak.“ Jawab pedagang daging dengan girangnya.
“Punya nomor rekening?”
“Ada, Pak.“ Jawab pedagang daging sambil mengeluarkan dompet, lalu menuliskan nomor rekeningnya pada secarik kertas, “Ini nomornya, Pak.” Ucapnya sambil menyodorkan kertas tersebut.
Anak laki-laki yang mendorong kursi roda menerima kertas tersebut, lalu dia serahkan kepada laki-laki tua tersebut.
Setelah menerima secarik kertas tersebut, laki-laki berkursi roda itu mengeluarkan ponsel, lalu melakukan transaksi.
“Bank BRI, atas nama Purnomo?” Tanyanya
“Betul, Pak.” Pedagang daging membenarkan.
“Sudah, ya. Silahkan di cek.” Ucapnya setelah beberapa saat.
Purnomo, si pedagang daging, langsung memeriksa rekeningnya.
“Iya, pak. Sudah masuk. Nama bapak, Pak Abdullah?” Tanyanya sekaligus mencocokan identitas yang tertera dalam bukti transfer.
“Iya, nama saya. Abdullah.”
Purnomo keluar dari lapaknya, lalu mendekat kepada pak Abdullah, “Terima kasih, Pak Abdullah. Semoga saya bisa menjalankan amanah Bapak.” Ucapnya sambil menyodorkan tangan mengajak bersalaman.
Menyaksikan perbincangan antara pak Abdullah dan Si Penjual Daging, Ibu pemulung diam tidak bergeming. Dalam hatinya bertanya-bertanya, kenyataan, atau mimpikah ini, demikian kemelut di hatinya.
“Ibu, ini daging untuk minggu pertama di bulan ini. Silahkan diterima, Bu!” Purnomo menyodorkan kantong berisikan daging kepada ibu pemulung.
Setelah menerima daging, Si Ibu langsung tersungkur di depan kursi roda Pak Abdullah. Tangisannya pun mulai pecah.
“Terima kasih, Pak! Terima kasih!!”
Di tengah isak tangisnya, spontan ibu pemulung itu mengangkat kedua tanganya. “Terima kasih ya Allah, atas rizki yang tidak disangka-sangka ini, Ya Allah … berikan kesehatan dan keberkahan, berikan kesehatan dan keberkahan kepada bapak ini.”
”Aamiin..” Pak Abdullah mengaminkan doa ibu pemulung itu. Tak terasa air mata pun menetes. “Terima kasih atas doanya, Bu.” Ucapnya.
“Pak, sudah waktunya bapak istirahat.” Arifin, anak Pak Abdullah yang selalu mendorong kursi roda ke tempat yang diinginkan oleh ayahnya itu mengingatkan.
Pak Abdullah memandang ibu pemulung sejenak kemudian berkata, “Ibu, pulanglah. Gembirakan hati anak-anak Ibu. Saya mau istirahat dulu.”
“Iya, Pak. Sekali lagi, terima kasih atas semua kebaikan Bapak,” Ucap ibu pemulung.
“Assalamu alaikum.” Ucap pak Abdullah.
“Wa alaikum salam.” Jawab Ibu pemulung dan Purnomo bersamaan.
Seminggu sejak kejadian itu, kesehatan Pak Abdullah berangsur membaik. Kejadian yang luar biasa terjadi di hari dimana dia harus ke rumah sakit untuk pemasangan tiga ring di tubuhnya.
“Ibu!! Arifin!!” Pak Abdullah memanggil istri dan anaknya.
“Iya, Pak.” Jawab istrinya, setengah berlari menuju kamar tidur.
“Ada apa, Pak?” Tanya Arifin setelah sampai di kamar orang tuanya.
“Lihat! Bapak sudah bisa berdiri tegak lagi!” Ucapnya dengan hingar bingar
“Alhamdulillaaahh, terima kasih ya Allah!” Ucap Arifin dan ibunya.
“Badan Bapak rasanya nyaman sekali. Perasaan segala penyakit sudah tidak ada di badan Bapak.” Kata Pak Abdullah.
“Tapi, hari ini Bapak tetap harus ke rumah sakit untuk pengecekan terakhir sebelum menjalani operasi jantung.” Istrinya mengingatkan.
“Kayanya ga usah deh. Wong saya udah sehat, kok.”
“Pak, Bapak tetap harus ke rumah sakit dulu untuk memastikan, baik atau tidaknya kondisi Bapak. Kalau memang kata dokter baik-baik saja, ya sudah nggak apa-apa tidak jadi juga.” Pinta Arifin.
“Iya sudah, kamu siapkan dulu mobilnya. Bapak mau ganti pakaian dulu.” Kata Pak Abdullah kepada Arifin.
Arifin meninggalkan kedua orang tuanya yang tengah gembira untuk memanaskan mobil karena sudah cukup lama tidak dipakai. Hatinya sangat bersyukur melihat Bapak sudah terlihat cukup sehat.
Pukul sepuluh pagi, Pak Abdullah beserta istri dan anaknya berangkat menuju rumah sakit Centra Medika. Tiba disana tim medis sudah menyiapkan segala sesuatu. Langkah awal, Pak Abdullah diperiksa kondisi badannya mulai dari tensi darah, kadar gula darah, denyut jantung, dan hal-hal lainnya. Semuanya diperiksa dengan sangat teliti.
“Pak Abdullah, bapak berobat alternatif kemana selama ini?” Tanya Dokter setelah melakukan pemeriksaan.
“Saya tidak melakukan pengobatan alternatif, Dok. Tanya saja istri saya.” Ucap Pak Abdullah sambil menunjuk ke arah istrinya.
“Iya, Pak. Suami saya tidak berobat kemana-mana. Emangnya kenapa, Dok?” Tanya isteri pak Abdullah.
“Seharusnya hari ini di tubuh bapak dipasang 3 ring, sesuai dengan hasil pemeriksaan dua minggu yang lalu. Tapi, setelah dilakukan pemeriksaan ulang, jantung bapak normal kembali.” Jelas Dokter.
“Alhamdulillah, jadi perlu dipasang ring atau tidak, Dok?” Tanya Pak Abdullah.
“Tidak perlu, Pak.” Jawab dokter.
“Alhamdulillah, Terima kasih ya Allah.” Ucap Pak Abdullah dan istrinya.
“Kalau boleh tahu, apa yang telah bapak lakukan selama ini?” Tanya Dokter.
“Saya menyedekahkan sedikit uang saya untuk seorang Ibu yang kelihatan sangat membutuhkan.” Ucap Pak Abdullah sambil menceritakan kembali apa yang pernah dia lakukan kepada ibu pemulung dan pedagang daging.
“Subhanallah, Sungguh anda telah melakukan niaga dengan Allah. Anda telah menolong, lalu Anda sekarang ditolong.” Ucap Dokter sambil mengucapkan selamat pada Pak Abdullah.
Kreator : Baenuri
Comment Closed: Menolong Jadi Ditolong
Sorry, comment are closed for this post.